Data yang diperoleh dari penelitian ini terdiri dari data kondisi fisik, kesuburan dan kadar hormon tikus jantan dan betina F0 serta data kondisi fisik
dan kadar hormon tikus jantan dan betina F1. Data kesuburan tikus jantan dan betina F1 tidak dapat diperoleh karena tikus masih dalam usia puber sehingga
belum dapat dikawinkan serta belum menghasilkan sperma. Pada akhir perlakuan, tikus jantan dan betina F1 baru mencapai umur 7 - 8 minggu di mana pada umur
tersebut tikus sudah mencapai usia puber. Umur ideal untuk perkawinan tikus adalah 10 - 12 minggu Smith Mangkoewidjojo 1989.
D. Prosedur Pengamatan dan Analisis
1. Komposisi kimia ransum tikus percobaan a. Kadar proksimat
Kadar air SNI 1992 Metode analisis kadar air yang dipakai adalah metode oven. Prinsip dari
metode ini adalah mengukur kehilangan bobot pada pemanasan 105 C yang
dianggap sebagai kadar air yang terdapat pada sampel. Sebanyak 1 – 2g sampel
ditempatkan ke dalam wadah kemudian dikeringkan pada oven suhu 105 C
selama 3 jam. Setelah didinginkan di dalam desikator, sampel ditimbang kembali. Pengeringan kembali dilanjutkan hingga memperoleh bobot yang konstan.
Selanjutnya dilakukan perhitungan sebagai berikut: air = ww
1
x 100 Keterangan: w = bobot sampel sebelum dikeringkan gram
w
1
= kehilangan bobot setelah dikeringkan gram
Kadar protein AOAC 1995 Metode yang digunakan adalah metode kjeldahl dengan prinsip
penghitungan jumlah nitrogen total yang kemudian dikali dengan faktor konversi. Sebanyak 100
– 250mg sampel ditempatkan ke dalam labu Kjeldahl selanjutnya ditambahkan 1,9g K
2
SO
4,
40mg HgO, 2mL H
2
SO
4
pekat dan beberapa butir batu didih untuk mencegah bumping. Sampel kemudian dipanaskan secara bertahap
hingga diperoleh larutan jernih. Setelah dingin, sampel dipindahkan ke labu destilat kemudian ditambahkan 8
– 10mL larutan 60 NaOH-5 Na
2
S
2
O
3
.
Selanjutnya, pada tabung erlenmeyer ditempatkan 5mL H
3
BO
3
dan beberapa tetes indikator merah metal
– biru metil. Labu erlenmeyer kemudian ditempatkan di bawah kondensor dengan ujung kondensor yang terendam di dalam larutan.
Lakukan proses distilasi hingga diperoleh destilat sebanyak 15mL. Destilat yang didapatkan kemudian diencerkan sampai 50mL dengan akuades, selanjutnya
dititrasi dengan larutan HCl 0,02N standar hingga terbentuk warna abu – abu,
volume HCl yang terpakai untuk titrasi dicatat. Hal yang sama dilakukan pada larutan blanko. Kemudian dilakukan perhitungan dengan rumus sebagai berikut:
N = [v1 – v2 x N HCl x 14,007]berat sampel x 100
protein = N x 6,25 Keterangan: v1 = volume larutan HCl untuk titrasi sampel
v2 = volume larutan HCl untuk titrasi blanko 6,25 = faktor konversi nitrogen menjadi protein
Kadar lemak SNI 1992 Metode yang digunakan adalah metode soxhlet dengan prinsip mengekstrak
lemak bebas dengan pelarut non polar. Sebanyak 1 – 2g sampel dimasukkan ke
dalam selongsong kertas yang dialasi dengan kapas. Sumbat selongsong kertas berisi sampel dengan kapas lalu keringkan dalam oven dengan suhu maksimal
80 C selama 1 jam. Selongsong selanjutnya dimasukkan ke dalam alat soxhlet
yang telah dihubungkan dengan labu lemak berisi batu didih yang telah dikeringkan dan ditimbang. Ekstraksi sampel dengan pelarut heksana atau pelarut
lemak lainnya selama 6 jam lalu heksana disulingkan dan ekstrak dikeringkan dalam oven pada suhu 105
C. Setelah dingin dilakukan penimbangan hingga tercapai bobot tetap. Selanjutnya dilakukan perhitungan dengan rumus sebagai
berikut: lemak = w
– w1w2 x 100 Keterangan:
w = berat sampel gram w1= berat lemak sebelum ekstraksi gram
w2 = berat lemak setelah estraksi gram
Kadar abu SNI 1992 Prinsip dari pengujian kadar abu adalah dengan menguraikan zat organik
menjadi air dan CO
2
sehingga hanya tersisa bahan anorganik. Sebanyak 2 – 3g
sampel ditempatkan ke dalam cawan porselen kemudian dilakukan pengabuan dalam tanur listrik pada suhu maksimal 550
C. Dinginkan sampel di dalam eksikator kemudian ditimbang hingga diperoleh bobot tetap. Selanjutnya
dilakukan perhitungan sebagai berikut: Abu = w1
– w2 w x 100 Keterangan: w = berat sampel sebelum diabukan gram
w1 = berat sampel dan cawan setelah diabukan gram w2 = berat cawan kosong gram
b. Kadar serat kasar SNI 1992 Prinsip dari pengujian ini adalah mengekstraksi sampel dengan asam dan
basa untuk memisahkan serat kasar dari bahan lain. Sebanyak 2 – 4g sampel
dihilangkan lemaknya dengan cara soxhlet sebanyak 3 kali lalu ditempatkan ke dalam erlenmeyer 500mL. Kemudian dilakukan penambahan larutan H
2
SO
4
1,25 sebanyak 50mL lalu dilakukan pendidihan selama 30menit. Selanjutnya dilakukan penambahan 50mL NaOH 3,25 lalu didihkan lagi selama 30menit.
Saat masih panas, dilakukan penyaringan dengan corong bucher berisi kertas saring tak berabu tipe whatman 54,41 atau 541 yang telah dikeringkan dan
ditimbang. Pencucian endapan yang ada pada kertas saring dilakukan mengunakan H
2
SO
4
1,25 panas, air panas dan etanol 96. Kertas saring diangkat beserta isinya lalu dikeringkan pada suhu 105
C dan ditimbang hingga diperoleh berat konstan. Jika kadar serat kasar melebihi 1 maka kertas saring
diabukan beserta isinya dan ditimbang sampai bobot tetap. Kemudian dilakukan perhitungan dengan rumus sebagai berikut:
Serat kasar maksimal 1 = ww2 x 100 Serat kasar lebih dari 1 = w
– w1w2 x 100 Keterangan: w = berat sampel gram
w1 = berat abu gram w2 = berat endapan pada kertas saring gram
catatan: kehalusan partikel sampel harus diperhatikan, disarankan sampel dapat lolos ayakan 1mm
2
.
c. Kadar isoflavon Wang et al. 1990 Pengujian kadar isoflavon terdiri atas dua macam yaitu pengujian kadar
isoflavon bebas dan pengujian kadar isoflavon total. Pada pengujian kadar isoflavon bebas, sebanyak 2 gram sampel ditempatkan ke dalam labu erlenmeyer
kemudian ditambahkan 6 mL HCl 1M dan 24 mL asetonitril dan dilakukan pengadukan selama 30menit. Pada pengujian kadar isoflavon total, sebanyak
2gram sampel ditempatkan ke dalam labu erlenmeyer kemudian ditambahkan 24mL HCl 1M kemudian dipanaskan pada suhu 98
– 100 C selama 2 jam. Setelah
proses pemanasan selesai, sampel dilarutkan dengan 96mL asetonitril dan dilakukan pengadukan selama 1 menit.
Setelah dilakukan pengadukan, baik pada pengujian kadar isoflavon bebas maupun kadar isoflavon total, sebanyak 1mL supernatant dilarutkan dengan 1 mL
H
2
O kemudian disaring dengan glass fiber filter ukuran 13 mm. Filtrat yang didapat kemudian dianalisis menggunakan instrument HPLC yang dilengkapi
dengan katup penginjeksi berukuran β0 L, kolom C
18
berdimensi panjang 30cm dan diameter 3,9mm dan detektor fluoresen yang terhubung dengan perangkat
detektor UV. Kondisi operasional pengujian yaitu menggunakan fase gerak campuran
metanol dan 1mM ammonium asetat dengan perbandingan 6:4. Kecepatan alir fas
e gerak sebesar 1mLmenit. Detektor UV diatur pada panjang gelombang β45nm dan detektor fluoresen pada eksitasi sebesar 365nm serta menggunakan
filter emisi pada 418nm.
2. Kondisi fisik dan kesuburan tikus percobaan a. Penampilan dan aktivitas fisik Krisen 1996
Pengamatan penampilan dan aktivitas fisik dilakukan secara deskriptif. Pengamatan penampilan fisik dilakukan dengan cara mengamati morfologi tubuh
tikus yang meliputi kondisi bulu dan ada tidaknya tanda – tanda alergi. Kemudian
pengamatan aktivitas fisik dilakukan dengan cara mengamati keaktifan gerak tikus selama ±5 menit sehingga dapat diketahui apakah tikus dalam keadaan
lincah, diam atau bergerak kurang seimbang.
b. Deteksi vaginal plug Smith Mangkoewidjojo 1988; Anggadiredja et. al. 2006
Pengamatan terhadap ada atau tidaknya sumbatan air mani yang menjendal dalam vagina tikus betina F0 yang menandakan terjadinya perkawinan. Jika
tidak terdapat sumbatan air mani maka dilakukan pembuatan preparat apusan vagina yaitu dengan cara menggoreskan kapas yang mengandung NaCl 0,95
pada lubang vagina dan meletakkan goresan tersebut pada gelas objek kemudian diwarnai oleh metilen biru 0,1. Preparat apusan vagina diamati di bawah
mikroskop dengan perbesaran 100x. Jika terdapat sperma maka telah terjadi perkawinan dan hari tersebut tercatat sebagai hari ke 0 kehamilan.
c. Persen kebuntingan Smith dan Mangkoewidjojo 1989 Pengamatan kebuntingan dilakukan 10
– 14 hari setelah ditemukan sumbat vagina yaitu dengan cara meraba perut tikus. Penghitungan persen kebuntingan
tikus betina F0 dilakukan dengan menghitung jumlah tikus betina yang bunting dibagi dengan jumlah seluruh tikus betina yang mengalami perkawinan di dalam
satu kelompok.
d. Motilitas sperma Arifiantini 2012 Sebelumnya dilakukan pengambilan sperma dengan cara menyayat bagian
cauda epididimis dan memencet perlahan lalu menampung sperma yang keluar. Satu tetes sperma ditempatkan pada gelas objek lalu ditambahkan larutan NaCl
fisiologis 0,9 dan dicampur sampai homogen. Gelas objek kemudian ditutup dengan gelas penutup.
Analisis motilitas sperma dilakukan di bawah mikroskop perbesaran 400x dengan cara menghitung jumlah sperma yang bergerak secara progresif dibagi
jumlah seluruh sperma pada bidang pandang kemudian dikali 100. Penilaian dilakukan pada lima hingga sepuluh bidang pandang.
e. Konsentrasi sperma Arifiantini 2012 Konsentrasi sperma dihitung menggunakan gelas hemasitometer. Sampel
spermatozoa yang telah didapat kemudian dicampur dengan larutan pengencer.
Larutan sampel tersebut kemudian dihomogenkan dengan cara memutar tabung seperti angka delapan. Selanjutnya larutan sampel diambil sebanyak 8
– 10μL lalu ditempatkan pada kamar hitung hemasitometer Improved Neubauer Gambar 11.
Hemasitometer yang telah diisi sampel kemudian diamati di bawah mikroskop cahaya dengan perbesaran 400 kali. Spermatozoa yang ada pada lima
kotakbidang pandang A, B, C, D dan E kemudian dihitung dan jumlah hitungan dimasukkan ke dalam rumus berikut:
Jumlah sperma = N2 x 10
5
spermamL x Faktor Pengenceran FP N
= jumlah sperma pada kotak A, B, C, D dan E Keterangan:
Volume kotak hemasitometer = 1mm x 1mm x 0,1mm = 0,1mm
3
= 10
-7
dm
3
= 10
-4
mL Maka dalam 1mL terdapat 10
4
sel sperma, kemudian karena jumlah sperma yang dihitung sebanyak 5 kotak dari 25 kotak Gambar 11, maka:
Jumlah sperma seluruhnya = N x 255 x 10
4
selmL atau N2 x 10
5
selmL x FP
Gambar 11 Bidang hitung hemasitometer Heidcamp 2012
f. Abnormalitas sperma Arifiantini 2012 Analisis abnormalitas sperma dilakukan secara kuantitatif menggunakan
metode pewarnaan eosin nigrosin. Pada pengujian ini dibutuhkan tiga gelas objek bersih. Gelas objek pertama diteteskan dengan eosin 2 kemudian dicampurkan
sedikit dengan semen. Kedua larutan dihomogenkan dengan cepat. Gelas objek bersih kedua kemudian digunakan untuk menyinggungkan ujung gelas objek
berisi campuran semen lalu dibuat preparat ulas pada gelas objek ketiga. Selanjutnya dilakukan penghitungan sperma abnormal dengan cara melakukan
pengacakan dari 10 lapang pandang dengan jumlah sel minimal 200 sel.
3. Kadar hormon testosteron tikus jantan dan estrogen tikus betina a. Kadar hormon testosteron tikus jantan Cusabio 2012a
Pengujian hormon testosteron dilakukan di akhir intervensi. Hormon testosteron dideteksi pada serum darah tikus di mana darah diperoleh dari bagian
jantung. Serum darah diperoleh dengan cara memisahkan bagian cairan dari sel darah dengan teknik sentrifugasi pada kecepatan 1000 x g selama 15 menit.
Serum yang telah didapat ataupun standar kemudian dimasukkan ke dalam tabung reaksi mik
ro sebanyak 50 L. Selanjutnya ditambahkan HRP-conjugated testosteron
sebanyak 50 L dan antibodi monoklonal anti testosteron sebanyak itu pula lalu dilakukan inkubasi pada 37
C selam 1 jam. Kemudian dilakukan pencucian dengan buffer sebanyak 200μL dengan cara mendiamkan campuran
selama 10 detik lalu menggoyang perlahan hingga tercampur diulangi 3 kali. Selanjutnya dilakukan pemberian substrat sebanyak 50 L ke dalam test tube
berisi sampel serum dan diinkubasi selama 37 C selama 15menit. Kemudian akan
terjadi perubahan warna yang menunjukkan interaksi antara enzim dengan substrat yang membentuk produk. Konsentrasi hormon dideteksi menggunakan
alat ELISA Reader. Sebelum dideteksi dengan ELISA Reader, sampel diberi larutan stop solution
sebanyak 50 L untuk menghentikan reaksi Gambar 13.
b. Stadium siklus estrus tikus betina Purnamasari et al. 2012 Pengamatan siklus estrus tikus betina dilakukan sebagai tahap persiapan
analisis kadar hormon estrogen yaitu untuk menentukan waktu terminasi tikus
betina yang tepat. Pada pengamatan status reproduksi tikus betina, dilakukan pembuatan preparat apusan vagina dengan cara menggoreskan kapas yang
mengandung NaCl 0,95 pada lubang vagina dan meletakkan goresan tersebut pada gelas objek kemudian direndam dalam larutan etanol 70 selama 10 menit.
Setelah itu, preparat dibilas dengan air dan ditunggu hingga kering. Selanjutnya preparat diwarnai dengan metilen biru 0,1 dan dibiarkan mengering. Preparat
apusan vagina diamati di bawah mikroskop dengan perbesaran 400x. Stadium siklus estrus tikus betina dibagi menjadi empat fase yaitu proestrus, estrus,
metestrus dan diestrus Gambar 12.
a b
c d Gambar 12 Sel epitel vagina tikus betina F0 pada: Fase proestrus a, fase estrus
b, fase metestrus s, fase diestrus d, di bawah mikroskop perbesaran 400x
Sel epitel berinti
Sel epitel mengalami penandukan
Sel leukosit
Gambar 13 Prinsip pengujian hormon menggunakan perangkat ELISA
c. Kadar hormon estrogen tikus betina Cusabio 2012b Analisis hormon menggunakan kit ELISA produksi Cusabio Biotech Co.
Prinsip dari pengujian ini adalah mekanisme penghambatan kompetitf di mana estrogen dari sampel akan berkompetisi dengan estrogen dari kit yang telah
dilabel enzim. Terjadinya reaksi antara substrat dengan enzim membentuk produk yang ditandai dengan perubahan warna. Perubahan warna yang terjadi kemudian
diukur absorbansinya menggunakan ELISA reader. Nilai absorbansi berbanding terbalik dengan kadar hormon di dalam sampel Gambar 13.
Pengujian hormon estrogen dilakukan di akhir intervensi. Hormon estrogen dideteksi pada serum darah tikus. Darah tikus diperoleh dari bagian jantung
karena volume darah yang dibutuhkan cukup banyak. Serum darah diperoleh dengan cara memisahkan bagian cairan dari sel darah dengan teknik sentrifugasi
pada kecepatan 1000 x g selama 15 menit. Setelah preparasi sampel selesai, sampel serum atau standar ditempatkan ke
dalam tabung reaksi mikro sebanyak 50μL. Kemudian tambahkan HRP-conjugate estrogen sebanyak 50μL ke dalam sampel lalu tambahkan pula Antibodi anti
estrogen sebanyak 50μL, kemudian inkubasi selama 2 jam pada suhu 37 C.
1 .
2
3
4
Stop solution
5
Diukur pada λ=450nm
Prinsip pengujian hormon: ELISA Kompetitif tak langsung
Keterangan: = antibodi primer yang sudah
ada di dalam plate = antibodi sekunder
antiobodi spesifik: anti estrogentestosteron
= enzim HRP-conjugated estrogentestosteron
= estrogentestosteron dari sampel
= substrat = produk yang terbentuk
= produk setelah diberi stop solution
Nilai absorbansi sampelstandar berbanding terbalik
dengan kadar hormon
Setelah inkubasi, dilakukan pencucian dengan wash buffer sebanyak 250μL diulangi 3 kali
. Setelah itu dilakukan penambahan substrat sebanyak 50 L kemudian ditutup dengan adhesive strip yg baru dan diinkubasi kembali selama
15menit pada suhu 37 C. Tahap terakhir adalah penambahan stop solution
sebanyak 50 L. Reaksi yang akan terjadi di dalam tabung reaksi mikro berupa perubahan warna. Nilai absorbansi sampel dideteksi menggunakan alat ELISA
Reader.
E. Rancangan Percobaan