Pengaruh Konsumsi Tepung Kedelai dan Isolat Protein Kedelai terhadap

Tingginya berat relatif hati tikus betina F0 kelompok ISdiduga karenajumlah anak yang disapih oleh tikus kelompok IS lebih banyak yaitu ±6-7 ekor anak tikusekor tikus betina F0 sedangkan tikus kelompok tepung kedelai hanya ±5ekoranak tikusekor tikus betina F0. Semakin banyak jumlah anak yang harus disapih maka diduga aktivitas organ hati semakin meningkat sehingga terjadi penambahan jumlah sel-sel hati atau peningkatan volume sel - sel hati yang menyebabkan peningkatan berat relatif hati. Selain karena jumlah anak yang disapih, tingginya berat relatif hati tikus betina F0 kelompok IS diduga karena kadar isoflavon yang dikonsumsi.Tikus kelompok IS mengonsumsi isoflavon lebih tinggi daripada tikus kelompok TP. Hal tersebut sejalan dengan pernyataan Ikegami et al. 2006 bahwa tikus betina induk yang diberi isoflavon selama bunting hingga 13 hari menyusui memiliki berat relatif hati yang secara nyata lebih tinggi daripada tikus kontrol namun penyebabnya tidak dijelaskan lebih lanjut. Berdasarkan hasil penelitian ini, tidak terdapat fenomena penurunan berat organ baik absolut maupun relatif seperti yang terjadi pada tikus jantan F0.Hal tersebut mengindikasikan bahwa konsumsi tepung kedelai dan isolat protein kedelai sebelum dan selama kebuntingan serta selama menyusui cenderung untuk tidak memberikan pengaruh negatif terhadap organ hati, ginjal, limpa dan uterus tikus betina F0 ditinjau dari beratnya.

C. Pengaruh Konsumsi Tepung Kedelai dan Isolat Protein Kedelai terhadap

Profil Reproduksi Tikus Jantan dan Betina Induk F0 1. Kesuburan tikus jantan F0 Pengaruh konsumsi tepung kedelai dan isolat protein kedelai terhadap profil reproduksi tikus jantan F0 ditandai dengan kualitas sperma yang meliputi konsentrasi, motilitas dan abnormalitas sperma serta konsentrasi hormon testosteron. Konsentrasi sperma tikus jantan F0 setelah perlakuan 30 hari dapat dilihat pada Gambar 23.Konsentrasi sperma tikus kelompok kontrol adalah 2,09x10 9 selmL, konsentrasi sperma tikus kelompok TP1-TP3 sebesar 2,21, 2,37 dan 2,25x10 9 selmL sedangkan konsentrasi sperma tikus kelompok IS1-IS3 sebesar 2,28, 2,60 dan 2,83x10 9 selmL. Berdasarkan hal tersebut, konsentrasi 2,09 d 2,21 cd 2,37 c 2,25 cd 2,28 cd 2,60 b 2,83 a 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 Kontrol TP 1 TP 2 TP 3 IS 1 IS 2 IS 3 Ju m lah s p er m a x 1 9 selm L Kelompok sperma tikus kelompok IS3 menunjukkan nilai yang paling dibandingkan kelompok lainnya. Berdasarkan uji ANOVA, terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok terhadap konsentrasi sperma tikus jantan F0. Konsentrasi sperma tertinggi hingga terendah menurut uji Duncan α=0,05 berturut – turut terdapat pada kelompok IS3, IS2, dan kelompok perlakuan lainnya termasuk kontrol, namun kelompok TP2 menunjukkan hasil yangberbeda dari kontrol. Berdasarkan data tersebut, konsumsi tepung kedelai hingga 17,38 dan konsumsi isolat protein dalam jumlah tinggi 21,21 tanpa menggunakan kasein ternyata menunjukkan konsentrasi sperma yang tidak berbeda dengan kontrol. Keterangan: n=5 untuk tiap kelompok Gambar 23 Konsentrasi sperma tikus jantan F0 pada berbagai kelompok. Konsentrasi sperma diduga tidak dipengaruhi oleh kadar isoflavon yg dikonsumsi. Hal tersebut ditandai dengan konsentrasi sperma tikus kelompok IS1 isolat 21,21 yang tidak berbeda nyata dari kontrol padahal isoflavon yang dikonsumsi paling tinggi dari kelompok perlakuan lainnya yaitu 3,30mgtikusekor. Konsentrasi sperma diduga lebih dipengaruhi oleh imbangan protein yang diberikan. Pada IS3 isolat 10,6, protein kedelai dan protein kasein yang diberikan berada pada proporsi yang hampir seimbang yaitu 1 : 0,93. Rasio tersebut dapat dianggap sebagai imbangan yang tepat untuk memperoleh TP 1 = Tepung kedelai 17,38 IS 1 = Isolat protein kedelai 21,21 TP 2 = Tepung kedelai 13,04 IS 2 = Isolat protein kedelai 15,9 TP 3 = Tepung kedelai 8,69 IS 3 = Isolat protein kedelai 10,6 konsentrasi sperma yang tinggi.Jika dibuat persentase, maka komposisi protein kedelai pada ransum kelompok IS3 sebesar 51,8 sedangkan protein kasein sebesar 48,2. Berdasarkan hal tersebut, konsumsi protein hewani kasein dan protein nabati kedelai pada kadar yang hampir seimbang protein kedelai nabati ± 4 lebih banyak dari protein kasein hewani dapat meningkatkan konsentrasi sperma. Kesesuaian imbangan tersebut diduga karena komposisi asam amino yang terkandung pada kedua sumber protein tersebut.Komposisi asam amino pada protein kedelai dan proteinsusudapat dilihat pada Tabel 13. Tabel 13 Komposisi asam amino protein kedelai dan susu Vugh et al. 2010 Asam amino Kedelai g100 g protein Susu g100 g protein Arginin 6,8 3,7 Sistein 1,1 0,7 Histidin 2,3 2,8 Isoleusin 4,4 5,6 Leusin 7,1 10,0 Lisin 5,4 8,5 Metionin 1,1 2,9 Fenilalanin 4,6 5,0 Treonin 3,3 4,7 Triptofan 1,1 1,5 Tirosin 3,4 5,5 Valin 4,2 7,0 Menurut Manandhar dan Sutovsky 2007, selama fase perkembangan sperma, di dalam inti sel sperma terdapat benang - benang kromatin yang tersusun dengan sangat rapi.Hal tersebut disebabkan oleh senyawa protamin yang terkandung di dalamnya. Protamin juga berperan dalam menstabilkan ikatan silang pada jembatan sulfur yang ada pada kromatin sehingga dapat melindungi kromatin dari kerusakan akibat gangguan fisik ataupun senyawa kimia berbahaya. Protamin adalah protein dengan berat molekul rendah yang kaya akan arginin dan sistein. Protein kedelai kaya arginin sedangkan protein susu tinggi metinonin. Metionin dapat dimanfaatkan tubuh untuk membentuk sistein melalui senyawa perantara homosistein dan serin Lehninger 2004.Ketersediaan arginin dan sistein yang cukup menyebabkan protamin dapat disintesis dengan jumlah cukup sehingga berdampak positif pada perkembangan sperma selama spermatogenesis. Hal sebaliknya dikemukakan oleh Adeeyo et al. 2011. Konsumsi kedelai pada konsentrasi 16,67 dan 25 selama 12 minggu dapat menurunkan konsentrasi sperma tikus jantan, namun konsumsi kedelai pada konsentrasi 8,33 tidak menunjukkan perbedaan konsentrasi sperma dengan kontrol bahkan cenderung meningkatkan berat badan. Adeeyo et al. 2011 menyatakan bahwa konsumsi kedelai dalam jumlah tinggi dapat menyebabkan infertilitas pada tikus jantan namun konsumsi sebesar 8,33 atau lebih rendah dari itu tidak berakibat buruk bagi kesuburan tikus jantan. Adeeyo et al. 2011 berpendapat bahwa infertilitas yang terjadi pada tikus wistar jantan setelah konsumsi kedelai tersebut diduga karena kandungan fitoestrogen yang terdapat dalam kedelai namun pada penelitian tersebut tidak terdapat data kadar isoflavon yang terkandung pada sampel dan yang dikonsumsi. Kedelai yang digunakan oleh Adeeyo et al. 2011 sebagai campuran ransum tikus jantan tidak mengalami tahap pengukusan steaming terlebih dahulu sehingga seluruh isoflavon yang terkandung didalamnya masih dalam kondisi utuh dan belum mengalami kerusakan. Kadar isoflavon tersebut mungkin lebih tinggi dari yang terdapat di dalam tepung kedelai pada penelitian ini. Selain fitoestrogen isoflavon, komponen fitokimia lain yang terdapat dalam kedelai adalah fitosterol, fosfolipid, spingolipid, tokoferol dan karotenoid. Masing – masing senyawa tersebut tidak berperan secara langsung terhadap sistem reproduksi melainkan berperan sebagai antioksidan dan pencegah penyakit kardiovaskuler Wang 2008. Sinaga 2012 menyatakan hal yang sama yaitu pemberian larutan isoflavon secara oral sebanyak 1,26 mg – 5,04 mg selama 48 hari secara nyata menurunkan konsentrasi sperma tikus jantan dibandingkan dengan kontrol. Penurunan konsentrasi sperma pada tikus yang diberikan perlakuan tersebut diduga karena isoflavon bersifat agonis yang dapat berikatan dengan reseptor estrogen yang akan menstimulasi respon estrogen dan menyebabkan gangguan proses spermatogenesis. Fitoestrogen berperan dalam penghambatan kerja enzim 17- β- hidroksisteroidoksidoreduktase yaitu enzim yang berperan dalam sintesis testosteron. Penghambatan kerja enzim tersebut menyebabkan penurunan kadar testosteron yang menyebabkan penurunan konsentrasi sperma tikus jantan. Pemberian isoflavon murni secara oral yang dilakukan oleh Sinaga 2012 walaupun pada konsentrasi rendah akan langsung diserap oleh tubuh sehingga secara cepat direspon oleh tubuh. Hal yang bertentangan dengan Adeeyo et al. 2011 dan Sinaga 2012 dinyatakan oleh Astuti 2009 yaitu, pemberian tepung kaya isoflavon dan rendah lemak secara cekok sebanyak 3mgekorhari selama 2 bulan tidak memberikan pengaruh terhadap konsentrasi sperma tikus jantan. Pemberian tepung kaya isoflavon dan rendah lemak yang dikombinasikan dengan Zn seng sebesar 6,14 mgkg ransum dan vitamin E sebesar 100mgkg ransum justru memberi efek positif yaitu dapat meningkatkan konsentrasi sperma tikus jantan. Berdasarkan hasil penelitian dan beberapa literatur maka dapat disimpulkan bahwa konsumsi kedelai yang secara alamiah mengandung isoflavon tidak berakibat pada penurunan konsentrasi sperma tikus jantan F0 selama tidak dikonsumsi melebihi angka 17,38 untuk tepung kedelai dan 21,21 untuk isolat protein konsentrasi maksimum sampel yang digunakan pada penelitian ini dengan tetap diiringi oleh konsumsi protein hewani kasein. Selain itu, kadar isoflavon yang ada pada tepung dan isolat protein kedelai cukup rendah sehingga tidak akan berefek negatif. Konsumsi isolat protein kedelai bahkan dapat meningkatkan konsentrasi sperma bila dikonsumsi bersama dengan protein hewani pada kadar yang seimbang. Parameter kesuburan tikus jantan F0 yang kedua adalah motilitas sperma.Terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok eksperimen terhadap motilitas sperma tikus jantan F0. Motilitas sperma tikus kelompok kontrol sebesar 60,5, motilitas sperma tikus kelompok TP1-TP3 sebesar 61, 62 dan 61,5 sedangkan kelompok IS1-IS3 sebesar 73, 81 dan 73,5 Gambar 24. Berdasarkan hal tersebut, kelompok IS1-IS3 menunjukkan motilitas sperma yang paling tinggi dibandingkan kelompok kontrol. Hal tersebut sesuai dengan hasil uji Duncan α=0,05 di mana motilitas sperma kelompok IS1-IS3 lebih tinggi dari kontrol namun tidak terdapat perbedaan yang nyata antara motilitas sperma kelompok TP1-TP3 dengan kontrol. Menurut Hafez Hafez 2000 diacu dalam Astuti 2009, motilitas sperma dipengaruhi oleh faktor endogen yaitu suplai energi, pematangan sperma dan 60,5 c 61 c 62 c 61,5 c 73 b 81 a 73,5 b 10 20 30 40 50 60 70 80 90 Kontrol TP 1 TP 2 TP 3 IS 1 IS 2 IS 3 Mo tili tas s p er m a Kelompok integritas membran sel serta faktor eksogen yang meliputi nutrisi dan suplai ion anorganik. Kadar isoflavon yang dikonsumsi oleh tikus kelompok IS1 lebih tinggi dibandingkan tikus kelompok TP. Isoflavon berperan sebagai antioksidan yang dapat menjaga integritas membran sel sperma. Menurut Jiang 2007 pemberian isoflavon kedelai sebanyak 25mM secara signifikan meningkatkan aktivitas enzim Glutation Peroksidase pada sel otot anak ayam secara in vitro. Kemudian menurut Jiang et al. 2011, pemberian isoflavon kedelai sebanyak 30μmolL secara signifikan meningkatkan aktivitas enzim SOD pada sel otot babi secara in vitro. Keterangan: n = 5 untuk tiap kelompok Gambar 24 Persentase motilitas sperma tikus jantan F0 pada berbagai kelompok Selain itu, kualitas protein pada kelompok tersebut diduga ikut berperan dalam peningkatan motilitas sperma tikus jantan. IS1 adalah kelompok dengan kadar isoflavon tertinggi 3,30 mgekorhari, namun menunjukkan persen motilitas yang tidak berbeda dengan kelompok IS3 1,34. IS2 merupakan kelompok dengan kadar isoflavon di antara IS1 dan IS3 namun menunjukkan motilitas tertinggi. Hal tersebut dikarenakan seluruh sumber protein pada kelompok IS1 berasal dari kedelai sedangkan sumber protein pada kelompok IS2 sebagian besar berasal dari protein kedelai dan sekitar 18 berasal dari kasein. Protein kasein dapat menutupi kekurangan asam amino sulfur pada protein kedelai. Metionin yang cukup banyak terdapat pada kasein dapat disintesis TP 1 = Tepung kedelai 17,38 IS 1 = Isolat protein kedelai 21,21 TP 2 = Tepung kedelai 13,04 IS 2 = Isolat protein kedelai 15,9 TP 3 = Tepung kedelai 8,69 IS 3 = Isolat protein kedelai 10,6 8,68 5,74 6,58 6,42 5,06 6,02 6,9 2 4 6 8 10 12 Kontrol TP 1 TP 2 TP 3 IS 1 IS 2 IS 3 A b n o rm alitas sp er m a Kelompok menjadi sistein. Sistein penting untuk pembentukan Outer Dense Fiber ODF yang merupakan protein non kontraktil yang terdapat pada ekor sperma. Keberadaan ODF pada ekor sperma berperan dalam meningkatkan elastisitas ekor sperma sehingga penting untuk pergerakanmotilitas sperma Manandhar dan Sutovsky 2007. Kekurangan asam amino sulfur dalam hal ini sistein berpengaruh terhadap ketersediaan ODF sehingga berpengaruh terhadap motilitas sperma. Berdasarkan hal tersebut, konsumsi ransum yang mengandung isolat protein dapat meningkatkan motilitas sperma namun perlu dibarengi dengan konsumsi protein hewani kasein. Parameter kesuburan tikus jantan F0 yang ketiga adalah abnormalitas sperma. Abnormalitas sperma merupakan hasil dari proses spermatogenesis yang tidak sempurna. Hal tersebut terjadi karena faktor genetik, penyakit atau kondisi lingkungan yang buruk. Tingginya abnormalitas sperma diasosiasikan dengan ketidaksuburan. Abnormalitas sperma meliputi sperma yang kehilangan kepala, kerusakan akrosom, sperma dengan ekor menggulung, serta kepala sperma bercabang Ball dan Peters 2004. Data persen abnormalitas tikus jantan F0 setelah 30 hari perlakuan dapat dilihat pada Gambar 25. Keterangan: n=5 untuk tiap kelompok Gambar 25 Persentase abnormalitas sperma tikus jantan F0 pada berbagai kelompok TP 1 = Tepung kedelai 17,38 IS 1 = Isolat protein kedelai 21,21 TP 2 = Tepung kedelai 13,04 IS 2 = Isolat protein kedelai 15,9 TP 3 = Tepung kedelai 8,69 IS 3 = Isolat protein kedelai 10,6 Abnormalitas sperma tikus kelompok kontrol sebesar 8,68, abnormalitas sperma tikus kelompok TP1-TP3 sebesar 5,74, 6,58 dan 6,42 sedangkan untuk kelompok IS1-IS3 sebesar 5,06, 6,02 dan 6,9 Gambar 24. Berdasarkan hal tersebut, abnormalitas sperma tikus untuk tiap kelompok tidak lebih dari 10. Menurut Bearden 2004, setiap ejakulat semen sedikitnya mengandung 5 sperma abnormal. Abnormalitas pada sperma merupakan hal yang wajar dan tidak mempengaruhi fertilitas hewan jantan selama jumlah tidak lebih dari 20 total sperma. Berdasarkan data pada Gambar 25, kelompok TP1- TP3 dan IS1-IS3 menunjukkan abnormalitas sperma yang lebih rendah dari kontrol. Meskipun demikian, seluruh kelompok TP dan IS menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata dibandingkan dengan kontrol. Pemberian tepung kedelai kaya isoflavon sebanyak 3mgekorhari selama dua bulan ternyata tidak berpengaruh terhadap abnormalitas sperma tikus jantan Astuti 2009.Pemberian isoflavon kedelai sebanyak 2mgKg berat badan selama 12 minggu juga tidak berpengaruh terhadap abnormalitas sperma kelinci jantan Yousef, El-Demerdash dan Al-Salhen 2003.Berbeda dengan dua literatur sebelumnya, pemberian kedelai hingga 25 dari total komposisi ransum selama 12 minggu ternyata dapat meningkatkan abnormalitas sperma tikus jantan Adeeyo et al. 2011.Gambar sperma abnormal pada tikus jantan F0 dapat dilihat pada Gambar 26. Gambar 26 Sperma tikus jantan F0 yang abnormal ditandai dengan lingkaran dan tanda panah Sperma tanpa kepala abnormal Sperma yang memiliki kepala y = -0.74x + 7.642 y = -0.814x + 7.734 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 0.5 1 1.5 2 2.5 3 3.5 4 A b n o rm alitas sp er m a Protein kedelai gramhari Isoflavon kedelai mghari Protein kedelai Isoflavon kedelai Linear Protein kedelai Linear Isoflavon kedelai Keterangan: r pk = nilai korelasi protein kedelai-abnormalitas sperma r ik = nilai korelasi isoflavon kedelai-abnormalitas sperma r pk = -0,769 r ik = -0,797 Nilai yang tidak berbeda nyata untuk semua kelompok tikus jantan F0 baik kontrol maupun perlakuan menunjukkan bahwa konsumsi tepung kedelai ataupun isolat protein tidak berpengaruh terhadap abnormalitas sperma.Konsumsi tepung kedelai ataupun isolat protein pada konsentrasi yang tepat berdasarkan konsentrasi yang digunakan dalam penelitian bahkan cenderung dapat menurunkan abnormalitas sperma tikus jantan F0 namun dampaknya tidak konsisten.Potensi isoflavon dalam penurunan abnormalitas sperma dapat diteliti lebih lanjut dengan menggunakan subjek hewan percobaan yang memiliki persen abnormalitas sperma yang tinggi di atas 20 sehingga pengaruhnya dapat dengan jelas diketahui. Berdasarkan analisis Korelasi Pearson α=0,05, terdapat hubungan yang nyata antara konsumsi protein kedelai ataupun isolat protein kedelai terhadap abnormalitas sperma Gambar 27. Konsumsi protein kedelai ataupun isolat protein kedelai menunjukan korelasi yang negatif terhadap abnormalitas sperma. Nilai korelasi antara konsumsi protein kedelai terhadap persentase abnormalitas sperma sebesar -0,769 sedangkan nilai korelasi antara konsumsi isoflavon kedelai terhadap persentase abnormalitas sperma sebesar -0,797. Keterangan: n=5 untuk tiap konsentrasi, =signifikan p0,05 Gambar 27 Hubungan konsumsi protein dan isoflavon kedelai terhadap abnor- malitas sperma tikus jantan F0 setelah 30 hari perlakuan Nilai korelasi sebesar -0,769 dan -0,797 bermakna bahwa konsumsi protein kedelai ataupun isoflavon kedelai sangat erat kaitannya dengan penurunan abnormalitas sperma.Semakin banyak protein kedelai atau isoflavon kedelai yang dikonsumsi maka semakin kecil persentase abnormalitas sperma.Hal tersebut merupakan hal positif karena berpeluang untuk mencegah terjadinya gangguan kesuburan pada pria yang diakibatkan oleh tingginya abnormalitas sperma, namun konsumsi protein ataupun isoflavon kedelai tidak berhubungan secara nyata dengan konsentrasi dan motilitas sperma. Berdasarkan analisis uji perbandingan nilai rataan uji t, terdapat perbedaan yang nyata antara konsentrasi sperma, motilitas dan abnormalitas sperma tikus jantan F0 kelompok kontrol dengan kelompok TP dan IS Tabel 14. Konsentrasi sperma tikus kelompok TP ataupun IS secara nyata lebih tinggi daripada kontrol dan konsentrasi sperma tikus kelompok IS ternyata lebih tinggi dari kelompok TP. Motilitas sperma tikus kelompok IS lebih tinggi dari kontrol dan TP sedangkan abnormalitas sperma tikus kelompok TP lebih rendah dari kontrol. Tabel 14 Perbandingan kualitas sperma tikus jantan F0 setelah 30 hari perlakuan antara kelompok kontrol, TP dan IS Organ Kelompok K - TP n= 5 - 15 K - IS n= 5 - 15 TP - IS n= 15 - 15 Konsentrasisperma TPK, p0,05 ISK, p0,01 ISTP, p0,01 Motilitas sperma ns ISK, p0,01 ISTP, p0,01 Abnormalitas sperma TPK, p0,05 ISK, p0,05 ns Keterangan: p0,01= sangat signifikan p0,05 = signifikan ns = non signifikan, tidak terdapat perbedaan nyata antar kelompok Tingginya konsentrasi sperma tikus kelompok TP dan IS melebihi kontrol disebabkan oleh isoflavon yang dikonsumsi isoflavon yang terkandung di dalamnya. Meskipun demikian, berdasarkan analisis Korelasi Pearson α=0,05 tidak terdapat hubungan antara konsumsi protein ataupun isolat protein kedelai terhadap konsentrasi sperma tikus jantan F0. Hal tersebut menunjukkan bahwa isoflavon bukanlah satu - satunya zat yang berperan utama dalam meningkatkan konsentrasi sperma. Komposisi gizi yang seimbang, terutama kombinasi protein hewani dan nabati pada isolat protein kedelai serta keberadaan antioksidan kelompok lain yang terdapat pada tepung kedelai diduga menjadi faktor penting dalam peningkatan konsentrasi sperma tikus jantan F0. Persen abnormalitas sperma tikus kelompok TP IS yang lebih rendah dari kontrol diduga kuat karena isoflavon yang dikonsumsi. Isoflavon kedelai diduga kuat menjadi satu - satunya faktor yang dapat menurunkan abnormalitas sperma. Walaupun tikus kelompok TP mengonsumsi isoflavon lebih sedikit daripada kelompok IS namun karena isoflavon dapatdimetabolisme dengan baik oleh tikus kelompok TP maka persen abnormalitas sperma tikus kelompok TP menjadi lebih rendah dari kontrol. Peranan serat yang terkandung dalam ransum TP membantu perkembangan mikroflora usus sehingga membantu isoflavon diserap dengan baik. Peranan isoflavon dalam menurunkan persen abnormalitas sperma disebabkan oleh kemampuannya sebagai antioksidan yang dapat melindungi sel dari kerusakan terutama kerusakan molekul DNA yang dapat menyebabkan mutasi genetik dan peningkatan senyawa Reactive Oxygene Species ROS yang dapat merusak keutuhan membran sel.Faktor genetik, penyakit atau kondisi lingkungan yang buruk merupakan penyebab dari meningkatnya nilai abnormalitas sperma Ball dan Peter 2004. Menurut Jiang et al. 2011, isoflavon mampu meningkatkan aktivitas enzim SOD Super Oksida Dismutase dan meningkatkan ekspersi gen penyandi SOD pada otot babi secara in vitro. Berdasarkan hal tersebut, kemampuan isoflavon sebagai antioksidan disebabkan oleh kemampuannya dalam mempengaruhi persinyalan sel. Menurut Peer dan Murphy 2006, flavonoid dapat secara langsung berinteraski dalam jalur transportasi dan transduksi sinyal di dalam sel yaitu berperan dalam regulasi proses transkripsi, transduksi sinyal dan aktivitas enzim di dalam sel. Isoflavon yang merupakan kelompok flavonoid diduga juga memiliki kemampuantersebut sehingga dapat menurunkan persen abnormalitas sperma tikus jantan F0. 2. Kesuburan tikus betina F0 Kajian tentang pengaruh isoflavon kedelai terhadap kesuburan tikus betina F0 terdiri atasvaginal plug, persen kebuntingan dan jumlah anak. Vaginal plug merupakan deteksi terjadinya perkawinan pada tikus betina.Vaginal plug terbentuk dari campuran sekresi kelenjar vesikula seminalis tikus jantan pada waktu terjadinya ejakulasi Moore 2000. Besarnya persen vaginal plug menunjukkan besarnya tingkat perkawinan yang terjadi pada tikus betina di masing – masing kelompok.Vaginal plug pada tikus betina F0 dapat dilihat pada Gambar 28. Gambar 28 Vaginal plug tikus betina F0 yang terbentuk setelah perkawinan ditandai dengan lingkaran dan tanda panah Dapat dilihat pada Gambar 29, semua tikus betina pada kelompok perlakuan kecuali TP2 sukses melakukan perkawinan. Persen perkawinan pada kelompok TP2 sama dengan kontrol yaitu 80, artinya satu dari lima ekor tikus betina tidak kawin selama jangka waktu lima hari, sedangkan kelompok perlakuan lainnya memiliki persentase perkawinan 100. Hal tersebut menunjukkan bahwa konsumsi tepung kedelai dan isolat protein kedelai cenderung dapat meningkatkan peluang terjadinya perkawinan.Perkawinan merupakan salah satu tanda kesuburan tikus betina.Perkawinan disebabkan oleh timbulnya libido yang dirangsang oleh hormon estrogen pada tikus betina atau testosteron pada tikus jantan serta kondisi lingkungan. Vaginal plug 80 100 80 100 100 100 100 20 40 60 80 100 120 Kontrol TP 1 TP 2 TP 3 IS 1 IS 2 IS 3 V ag inal p lug Kelompok Setiap tikus betina F0 dipasangkan dengan tikus jantan F0 pada kelompok yang sama. Sebagai contoh, tikus betina F0 kelompok TP1 dipasangkan dengan tikus jantanF0 dari kelompok TP1 dan itu berlaku untuk semua kelompok.Hal tersebut menunjukkan bahwa peristiwa kawin tidak hanya dipengaruhi oleh kesuburan tikus betina F0 tetapi juga tikus jantan F0.Kesuksesan perkawinan yang terjadi pada tikus kelompok perlakuan juga menunjukkan bahwa tikus jantan F0 memiliki libido yang baik sebagai akibat dari konsumsi tepung kedelai dan isolat protein kedelai. Keterangan: n=5 untuk tiap kelompok Gambar 29 Persen vaginal plug tikus betina F0 pada berbagai kelompok Perilaku kawin pada hewan betina terjadi saat fase estrus Bearden et al 2008.Menurut Ball dan Peters 2004, mendekati masa estrus hewan betina menjadi lebih atraktif terhadap hewan jantan karena rangsangan saraf olfaktori dan feromon.Hewan jantan mendekati betina dan mengendus daerah perineal kemudian menaiki hewan betina.Peristiwa tersebut dilanjutkan dengan kopulasi yang terjadi sangat singkat hanya beberapa detik. Tikus merupakan hewan polioestrus dengan panjang siklus estrus selama lima hari. Selama selang waktu tersebut, tikus akan mengalami masa estrus dalam waktu yang sangat singkat TP 1 = Tepung kedelai 17,38 IS 1 = Isolat protein kedelai 21,21 TP 2 = Tepung kedelai 13,04 IS 2 = Isolat protein kedelai 15,9 TP 3 = Tepung kedelai 8,69 IS 3 = Isolat protein kedelai 10,6 50 100 50 100 100 60 20 20 40 60 80 100 Kontrol TP 1 TP 2 TP 3 IS 1 IS 2 IS 3 T in g k at k eb u n tin g an Kelompok yaitu 12 – 14 jam. Kemudian 8 – 12 jam setelah estrus, akan terjadi ovulasi secara spontan Moore 2000. Jika ovulasi berlangsung dengan baik kemudian ovum bertemu dengan sperma maka akan terjadi fertilisasi. Parameter kesuburan tikus betina F0 selanjutnya adalah persen kebuntingan.Kebuntingan pada tikus betina terjadi selama 21 – 23 hari, rata – rata 21 hari Moore 2000.Persen kebuntingan tikus betina F0 sangat beragam untuk tiap kelompok.Dapat dilihat pada Gambar 30, persen kebuntingan pada kelompok perlakuan tidak menunjukkan pola yang khas. Pada kelompok IS1-IS3, persen kebuntingan menurun seiring menurunkan kadar isoflavon namun hal tersebut tidak terjadi pada kelompok TP1-TP3. Ketidakkonsistenan data persen kebuntingan pada tikus kelompok tepung kedelai dan isolat protein kedelai tersebut menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan tidak memberi pengaruh terhadap kebuntingan tikus betina F0. Keterangan: nkelompok Kontrol=4, TP1=5, TP2=4, IS3=5, IS1=5, IS2=5, IS=5 Gambar 30 Persen kebuntingan tikus betina F0 pada berbagai kelompok Isoflavon bukan merupakan zat gizi esensial yang diperlukan selama masa kebuntingan. Berdasarkan hal tersebut, penurunan persen kebuntingan pada tikus betina F0 kelompok IS bukan disebabkan oleh semakin berkurangnya kadar isoflavon yang dikonsumsi tikus betina F0. Berdasarkan analisis Korelasi Pearson TP 1 = Tepung kedelai 20,00 IS 1 = Isolat protein kedelai 30,30 TP 2 = Tepung kedelai 15,00 IS 2 = Isolat protein kedelai 22,72 TP 3 = Tepung kedelai 10,00 IS 3 = Isolat protein kedelai 15,15 α=0,05, tidak terdapat hubungan antara konsumsi isoflavon terhadap angka persen kebuntingan. Hal tersebut menunjukkan bahwa isoflavon bukan zat yang dapat meningkatkan ataupun menurunkan angka kebuntingan tikus betina F0. Fenomena tersebut lebih disebabkan oleh faktor internal dari individu tikus betina F0. Faktor internal yang diduga mempengaruhi kebuntingan tikus betina F0 adalah kadar hormon progesteron. Menurut Bearden et al.2008, progesteron adalah hormon reproduksi yang paling berperan dalam mempertahankan atau memelihara kebuntingan khususnya pada masa awal kebuntingan. Aksi sinergis antara hormon estrogen dan progesteron memberikan kesiapan bagi uterus untuk menghadapi kebuntingan. Pengukuran kadar hormon progesteron tidak dilakukan sehingga tidak didapatkan informasi tentang besarnya hormon tersebut dalam plasma darah tikus betina F0. Pada penelitian selanjutnya yang juga mempelajari pengaruh isoflavon terhadap kebuntingan, perlu dilakukan pengujian terhadap kadar hormon progesteron sebagai informasi penting yang menyangkut kesuksesan proses kebuntingan. Rendahnya angka persen kebuntingan pada kelompok IS3 lebih kecil dari kontrol diduga karena tingginya kadar estrogen pada tikus betina F0 kelompok tersebut melebihi batas normal Gambar 31. Tingginya kadar estrogen dapat menyebabkan ketidakseimbangan kadar hormon reproduksi yang lain, dalam hal ini hormon progesteron. Menurut Bearden et al. 2008, keseimbangan hormon reproduksi sangat penting dalam mempertahankan kebuntingan. Tingginya kadar hormon estrogen pada tikus betina F0 kelompok IS3 juga tidakdipengaruh oleh isoflavon yang dikonsumsi karena berdas arkan analisis Korelasi Pearson α = 0,05 tidak terdapat hubungan yang signifikan antara konsumsi isoflavon dengan kadar hormon estrogen tikus betina, begitupun terhadap angka kebuntingan. Parameter kesuburan tikus betina F0 yang ketiga adalah jumlah anak yang dilahirkan.Data jumlah anak tikus betina F0 disajikan dalam bentuk matriks yaitubanyaknya anak yang dilahirkan per individu di setiap kelompok. Berdasarkan Tabel 15, data jumlah anak juga tidak menunjukkan pola yang khas. Hal tersebut menunjukkan bahwa perlakuan yang diberikan tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah anak yang dilahirkan. Menurut Suprihatin 2008, pemberian tepung tempe sebanyak 5gram100g bbhari selama 28 hari kepada tikus betina secara signifikan dapat meningkatkan jumlah anak yang dilahirkan. Hal tersebut dikarenakan pemberian isoflavon yang terdapat pada tepung tempe dapat meningkatkan produksi estrogen. Kadar estrogen yang tinggi dapat meningkatkan jumlah sel telur yang diovulasikan.Makin banyak jumlah sel telur yang diovulasikan maka makin banyak korpus luteum yang dihasilkan, dengan demikian makin banyak pula progesteron yang dihasilkan. Kadar progesteron yang tinggi akan meningkatkan metabolisme janin sehingga janin dapat berkembang dengan baik. Pernyataan Suprihatin berbeda dengan hasil penelitian ini. Hal tersebut dikarenakan pemberian tepung tempe oleh Suprihatin dilakukan saat sebelum masa perkawinan dan kebuntingan. Pemberian kedelai yang mengandung isoflavon sebelum masa kebuntingan terbukti baik untuk reproduksi tikus betina namun belum tentu berdampak positif bagi tikus bunting. Menurut McClain et al. 2007, pemberian genistein sebanyak 20, 100 dan 500 mgkg bbhari selama bunting tidak memberikan pengaruh terhadap jumlah korpus luteum tikus betina. Tabel 15 Pengaruh konsumsi tepung dan isolat protein kedelai terhadap jumlah anak tikus betina F0 Kelompok Ulangan 1 2 3 4 5 Kontrol 11 94 TP 1 20 80 30 60 81 TP 2 11 60 TP 3 143 1515 30 121 43 IS 1 30 99 99 102 1212 IS 2 70 91 101 IS 3 102 Keterangan: = kelompok dengan jumlah anak tikus tersedikit = kelompok dengan jumlah anak terbanyak = tikus yang tidak melahirkan 94 = anak tikus yang lahir 9 ekoranak tikus yang mati 4 ekor = anak tikus mati karena dimakan induk kanibal TP 1 = Tepung kedelai 20,00 IS 1 = Isolat protein kedelai 30,30 TP 2 = Tepung kedelai 15,00 IS 2 = Isolat protein kedelai 22,72 TP 3 = Tepung kedelai 10,00 IS 3 = Isolat protein kedelai 15,15 Berdasarkan analisis Korelasi Pearson α=0,05, tidak terdapat hubungan antara konsumsi protein ataupun isoflavon kedelai terhadap jumlah anak yang dilahirkan. Hasil analisis uji t pun tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara jumlah anak yang dilahirkan oleh tikus betina F0 kelompok TP dengan kontrol, IS dengan kontrol ataupun TP dengan IS. Hal tersebut menunjukkan bahwa mengonsumsi protein kedelai atau isoflavon kedelai sebelum kebuntingan dan diteruskan selama kebuntingan tidak berpengaruh terhadap jumlah anak yang dilahirkan. Konsumsi isoflavon kedelai akan berpengaruh jika dilakukan sebelum masa perkawinan Suprihatin 2008 karena pada masa tersebut hormon estrogen akan meningkat dan sel telur diproduksi dalam jumlah banyak sehingga jumlah janin yang terimplantasi juga akan berbanding lurus. Pemberian isoflavon selama kebuntingan dikhawatirkan akan mengganggu keseimbangan hormon karena pada saat bunting, hormon yang dominan bukanlah estrogen melainkan progesteron. Walaupun demikian, hasil analisis Korelasi Pearson dan uji t menunjukkan bahwa konsumsi isoflavon tidak berpengaruh positif ataupun negatif terhadap jumlah anak tikus yang dilahirkan. Pengamatan jumlah anak terus dilakukan sepanjang masa menyusui.Pada hari ke 1 – 7 selepas kelahiran, terjadi kematian anak tikus di beberapa kelompok perlakuan khususnya pada kelompok IS1. Dapat dilihat pada Tabel 14, kematian anak pada kelompok IS1 sangat tinggi yaitu dari 43 jumlah anak tikus yang lahirkan, 32 ekor mati 74.Kematian anak tikus juga terjadi pada kelompok kontrol namun persentasenya tidak sebesar pada kelompok IS1 yaitu hanya sebanyak 4 ekor dari 9 ekor tikus yang dilahirkan 44. Tingginya persentase kematian anak tikus pada kelompok IS1 74 dibandingkan pada kelompok kontrol 44 dapat dikarenakan dua hal yaitu komposisi asam aminodan kadar isoflavonyang dikonsumsi. Pada kelompok IS1, seluruh sumber protein berasal dari kedelai sehingga tidak terdapat sumber protein lain baik yang berasal dari nabati maupun hewani. Protein kedelai memiliki kadar asam amino metionin, sistein dan triptofan yang rendah Vugh 2010 padahal tikus mempunyai kebutuhan akan metionin dan sistein yang tinggi, bahkan lebih tinggi dari manusia Muchtadi 2010. Kekurangan asam amino tertentu saat masa kebuntingan dapat menyebabkan kematian pada janin dikarenakan zat tersebut adalah komponen utama dalam pembentukan sel dan jaringan tubuh.Berdasarkan hal tersebut, konsumsi protein kedelai sebagai satu - satunya sumber protein selama masa kebuntingan cenderung berakibat buruk terhadap kondisi anak yang dilahirkan. Selain karena faktor sumber protein, tingginya kadar isoflavon yang dikonsumsi juga dapat menjadi penyebab tingginya angka kematian anak tikus. Pada kelompok IS1, tikus betina F0 mengonsumsi isoflavon pada kadar yang paling tinggi diantara kelompok perlakuan lain yaitu 4,24mgekortikus pada masa kebuntingan dan 6 hari selepas menyusui. Selama bunting, isoflavon yang terdapat dalam darah betina induk hewan pengerat dan juga manusia dapat menembus atau masuk ke dalam plasenta namun masih sedikit informasi mengenai aktivitasnya selama kebuntingan dan perkembangan munculnya penyakit Bonacasa, Siow dan Mann 2011. Menurut McClain et al. 2007, pemberian genistein pada tikus bunting sebanyak 2mg100g bbhari secara signifikan dapat meningkatkan angka kematian anak tikus pada hari ke 1 – 7 selepas kelahiran. Ikegami et al. 2006 menyatakan bahwa isoflavon merupakan zat kimia yang dapat berperan sebagai endocrine disruptormengacaukan kerja endokrin dan pemberian isoflavon dosis tinggi selama bunting dan menyusui dapat menginduksi pengaruh negatif bagi kerja sistem endokrin dan sistem tubuh lainnya berdasarkan penelitian menggunakan hewan percobaan. Meskipun demikian, berdasarkan hasil analisis Korelasi Pearson α = 0,05 tidak terdapat hubungan antara konsumsi isoflavon terhadap angka persen kematian anak tikus. Hal tersebut dikarenakan jumlah isoflavon yang dikonsumsi tidak berbanding lurus dengan angka kematian anak dan masing - masing konsentrasi perlakuan memberikan hasil yang berbeda-beda. Berdasarkan analisis uji t antara tikus betina F0 kelompok kontrol dengan TP, kelompok kontrol dengan IS serta kelompok TP dan IS terhadap angka kematian anak tikus, tidak terdapat perbedaan nyata antar kelompok tersebut. Berdasarkan hal tersebut, konsumsi isoflavon tidak berhubungan dengan peningkatan angka kematian anak tikus selama dalam bentuk makanan utuh, 3,90 cd 25,24 a 16,43 b 5,33 cd 11,51 bc 6,35 cd 1,70 d 0.00 5.00 10.00 15.00 20.00 25.00 30.00 35.00 Kontrol TP1 TP2 TP3 IS1 IS2 IS3 Kad ar test o ster o n n g m L Kelompok bukan senyawa murni.Fenomena yang terjadi pada tikus betina F0 kelompok IS1 merupakan suatu fenomena khusus dikarenakan komposisi ransum untuk kelompok tersebut berbeda dengan ransum kelompok lain. Pada kelompok tersebut, protein ransum yang diberikan seluruhnya berasal dari kedelai sehingga diduga tikus kekurangan asam amino tertentu. Adapun kadar isoflavon yang dimakan menjadi faktor tambahan yang diduga ikut berpengaruh terhadap kondisi kesehatan anak tikus yang dilahirkan. Oleh sebab itu, konsumsi ransum yang hanya mengandung satu jenis protein saja dan di dalamnya terkandung isoflavon dalam jumlah tinggi tetap perlu menjadi perhatian khusus. 3. Kadar hormon testosteron tikus jantan F0 Kadar testosteron tikus jantan F0 kelompok kontrol sebesar 3,90 ngmL, kadar testosteron tikus kelompok TP1-TP3 sebesar 25,24, 16,43 dan 5,33 ngmL sedangkan untuk kelompok IS1-IS3 sebesar 11,51, 6,35 dan 1,70 ngmL Gambar 31. Dengan demikian, tikus kelompok TP1-TP3 memiliki kadar testosteron yang lebih tinggi dibandingkan kelompok kontrol maupun IS1-IS3. Tikus kelompok TP1 menunjukkan kadar testosteron yang paling tinggi sedangkan tikus kelompok IS3 menunjukkan kadar yang paling rendah. Keterangan: n=2 untuk tiap kelompok Gambar 31 Kadar hormon testosteron tikus jantan F0 pada berbagai kelompok TP 1 = Tepung kedelai 17,38 IS 1 = Isolat protein kedelai 21,21 TP 2 = Tepung kedelai 13,04 IS 2 = Isolat protein kedelai 15,9 TP 3 = Tepung kedelai 8,69 IS 3 = Isolat protein kedelai 10,6 Berdasarkan uji ANOVA α=0,05, terdapat perbedaan yang nyata antar kelompok tikus jantan F0 terhadap konsentrasi testosteron. Berdasarkan uji Duncan α=0,05, kadar testosteron tikus jantan F0 kelompok TP1 secara nyata menunjukkan nilai yang paling tinggi dibandingkan kontrol dan kelompok perlakuan lainnya. TP1 adalah kelompok tikus yang diberi tepung kedelai sebanyak 17,38 dengan kadar isoflavon yang dikonsumsi sebesar 1,5mgtikushari. Kadar testosteron tikus jantan F0 kelompok TP2 tidak berbeda dengan IS1 namun berbeda dengan kontrol dan perlakuan lainnya. Hanya tikus jantan F0 kelompok TP3, IS2 dan IS3 yang memiliki kadar testosteron tidak berbeda dari kontrol. Tikus kelompok IS3 ternyata menunjukkan kadar testosteron yang tidak berbeda nyata dari kontrol meskipun nilainya lebih tinggi dari kontrol. Menurut DRG Diagnostic 2010, kadar testosteron yang normal untuk tikus jantan yang diuji menggunakan instrument ELISA N = 35 ekor tikus sebesar 0,66 – 5,4 ngmL dengan rata – rata 3,06ngmL. Nilai tersebut sesuai dengan kadar testosteron pada kelompok kontrol, TP3 dan IS3. TP3 dan IS3 adalah kelompok perlakuan dengan konsumsi isoflavon terendah untuk kelompok TP dan IS. Jika mempertimbangan nilai simpangan, kelompok IS2 masih masuk ke dalam rentang nilai kadar testosteron normal namun berdasarkan uji statistik kadar testosteron pada tikus kelompok IS1 dan IS2 tidak berbeda nyata sehingga masih dapat dikategorikan kadar testosteron normal. Hal tersebut berbeda untuk kelompok TP1. Kadar testosteron kelompok TP1 dan TP2 secara nyata berbeda dengan kontrol namun kadarnya sangat jauh melebihi batas normal.Tikus kelompok TP1 dan TP2 memperoleh ransum dengan sebagian besar serat berasal dari kedelai.Groski 2006 menyatakan bahwa pemberian ransum kaya kedelai 12 pada tikus jantan sejak lepas menyusui hingga umur 160 hari secara sangat signifikan dapat meningkatkan kadar testosteron. Menurutnya, peningkatan kadar testosteron dikarenakan isoflavon memiliki afi nitas yang tinggi terhadap ERβ reseptor estrogen yang terekspresi pada sel sertoli ataupun germ cell di dalam testis sehingga isoflavon dapat bertindak sebagai estrogen. Estrogen dapat merangsang sekresi hormon GnRH Gonadotrophin Releasing Hormone dan peningkatan kadar hormon GnRH merangsang peningkatan hormon LH Lutenizing Hormone Bearden et al. 2008. Peningkatan kadar hormon LH akan merangsang peningkatan kadar hormon testosteron Vincenzo et al. 2009. Selain itu menurut Pino et al. 2000, isoflavon secara signifikan dapat meningkatkan kadar SHBG Sex Hormone Binding Globulin. SHBG berperan dalam transportasi hormon steroid di dalam darah menuju sel target Bearden et al 2008. Ketersediaan SHBG berbanding lurus dengan ketersediaan hormon testosteron di dalam darah. Tingginya kadar testosteron pada kelompok TP1 dibandingkan dengan IS1 konsumsi isoflavon tertinggi menunjukkan bahwa isoflavon dimetabolisme secara sempurna di dalam tubuh. Hal tersebut dikarenakan sumber serat yang digunakan pada kelompok TP1 sebagian besar dari tepung kedelai 4,35 dari total 5 serat yang diberikan. Serat berperan penting dalam metabolisme isoflavon di dalam tubuh.Kualitas serat yang baik dapat membantu penyerapan isoflavon di dalam tubuh. Walaupun demikian, tingginya kadar testosteron pada tikus kelompok TP1 belum tentu berdampak baik bagi tubuh. Menurut Bearden 2004, konsentrasi hormon testosteron yang tinggi dapat menurunkan konsentrasi hormon FSH Folicle Stimulating Hormone. Hormon FSH berperan dalam menstimulasi produksi spermatozoa di dalam tubulus seminiferus, khususnya di sel sertoli. Penurunan kadar hormon FSH dapat mengakibatkan penurunan kadar spermatozoa. Pada penelitian ini, konsentrasi sperma pada kelompok TP1 tidak berbeda nyata dengan kontrol. Jika dihubungkan dengan hormon FSH, diduga konsentrasi sperma kelompok TP1 pada rentang waktu sebelumnya sempat berada pada level yang lebih tinggi, kemudian seiring dengan penurunan FSH maka diduga terjadi penurunan konsentrasi sperma, namun jumlahnya tidak sampai lebih rendah dari kontrol. Berdasarkan penelitian ini, kadar testosteron yang sangat tinggi pada kelompok TP1 ternyata tidak berefek toksik bagi tikus jantan F0. Hal tersebut ditandai dengan konsentrasi, motilitas dan abnormalitas sperma yang tidak berbeda dengan kontrol. Berdasarkan uji Korelasi Pe arson α=0,05, tidak terdapat hubungan antara jumlah protein atau isoflavon yang dikonsumsi dengan kadar hormon testosteron tikus jantan F0. Hal tersebut semakin menegaskan bahwa konsentrasi isoflavon yang tinggi tidak selalu memberikan pengaruh yang lebih tinggi terhadap kadar hormon testosteron, begitupun sebaliknya. Dampak dari konsumsi isoflavon lebih dikarenakan oleh komposisi ransum yang diberikan. Semakin baik kualitas serat ransum tersebut maka semakin baik penyerapan isoflavon ke dalam tubuh dan dampak yang dirasakan akan semakin meningkat. Berdasarkan uji t, terdapat perbedaan nyata pada kadar hormon testosteron antara tikus jantan F0 kelompok kontrol dengan TP namun tidak terdapat perbedaan nyata pada kadar hormon testosteron antara tikus jantan F0 kelompok kontrol dengan IS ataupun kelompok TP dengan IS Gambar 33. Hal tersebut menunjukkan bahwa dalam hal ini konsumsi tepung kedelai berperan dalam meningkatkan kadar testosteron tikus jantan F0 terlepas dari konsentrasi yang dihasilkan. Fenomena bahwa kadar testosteron tikus jantan F0 kelompok IStidak berbeda nyata dengan kontrol dikarenakan simpangan yang cukup besar. Hanya tikus kelompok IS1 yang menunjukkan kadar hormon yang berbeda dari kontrol. Bila dihubungkan dengan kualitas sperma, kadar hormon yang terlalu tinggi juga berpotensi menurunkan konsentrasi dan motilitas sperma karena ketidakseimbangan hormon namun hal tersebut tidak sampai menimbulkan dampak negatif. Selain itu, kualitas sperma tidak hanya ditentukan oleh kadar testosteron namun juga ditentukan oleh zat gizi lainnya terutama protein. Berbeda dengan hormon, testosteron adalah hormon steroid yang senyawa prekursornya adalah kolesterol serta sangat dipengaruhi oleh zat dari luar tubuh yang memiliki kemampuan seperti hormon yang dalam hal ini adalah isoflavon. 4. Kadar hormon estrogen tikus betina F0 Serum darah yang digunakan untuk analisis hormon estrogen diperoleh setelah tikus betina F0 selesai menyusui. Sebelum dilakukan pengambilan darah, terlebih dahulu dilakukan apusan vagina untuk mengetahui status reproduksi tikus betina F0 sehingga analisis kadar hormon estrogen dapat dilakukan pada status reproduksi yang sama. Kadar hormon estrogen berubah – ubah selama siklus estrus namun berada paling tinggi saat fase proestrus atau mendekati fase estrus Beimborn et al. 2003. Oleh karena itu, pada penelitian ini pengujian kadar hormon estrogen tikus betina F0 dilakukan pada fase proestrus. 79.67 65.51 54.34 51.22 80.41 67.77 105.38 20 40 60 80 100 120 Kontrol TP1 TP2 TP3 IS1 IS2 IS3 Kd aa r estro g en p g m L Kelompok Menurut Ghosh 2005 diacu dalam Shrestha et al. 2010, fase proestrus ditandai dengan sel epitel vagina yang masih berinti, fase estrus ditandai dengan lebih sel epitel yang berkornifikasi mengalami penandukan sebanyak lebih dari 50, fase metestrus ditandai dengan terdapatnya leukosit yang tersebar di sekitar sel epitel sedangkan fase diestrus ditandai dengan leukosit yang mendominasi epitel vagina. Hasil pengamatan mengenai kondisi sel epitel tikus betina F0 untuk setiap status reproduksi proestrus, estrus, metestrus dan diestrus dapat dilihat pada Gambar 12. Kadar hormon estrogen tikus betina F0 selepas menyusui untuk tiap kelompok tidak dapat dianalisis secara statistik Gambar 32 karena kurangnya jumlah ulangan.Hal tersebut dikarenakan, tidak semua tikus betina dapat menyusui hingga tuntas sehingga kekurangan jumlah ulangan. Kelompok kontrol, TP2 dan IS3 hanya memiliki satu data kadar estrogen dikarenakan hanya satu ekor tikus yang berhasil menyusui hingga tuntas. Oleh karena itu, penilaian mengenai kadar estrogen tikus betina F0 menjadi bersifat deskriptif bukan secara statistik. Keterangan: n=2 untuk tiap kelompokkecuali Kontrol, TP2 IS3 Gambar 32 Kadar hormon estrogen tikus betina F0 tiap kelompok selepas menyusui Menurut Martin, Lee dan Behbehani 2007, kadar estrogen pada tikus pada fase proestrus di pagi hingga siang hari berkisar antara 70 – 85 pgmL. Berdasarkan data tersebut, maka kelompok kontrol, IS1 dan IS2 masuk ke dalam TP 1 = Tepung kedelai 20,00 IS 1 = Isolat protein kedelai 30,30 TP 2 = Tepung kedelai 15,00 IS 2 = Isolat protein kedelai 22,72 TP 3 = Tepung kedelai 10,00 IS 3 = Isolat protein kedelai 15,15 range tersebut. Kelompok IS3 memiliki kadar estrogen yang lebih besar dari kontrol dan di luar dari rentang kadar estrogen normal. Kemudian kelompok kedelai baik TP1, TP2 dan TP3 memiliki kadar estrogen yang berada di bawah kontrol dan cenderung lebih rendah dari rentang kadar estrogen normal. Isoflavon merupakan senyawa kimia yang dapat berperan sebagai fitoestrogen yang jika dikonsumsi dalam keadaan normal dapat meningkatkan kesehatan reproduksi tikus betina.Konsumsi kedelai saat bunting dan menyusui belum tentu positif menimbulkan dampak positif. Penurunan kadar estrogen pada kelompok kedelai kemungkinan dapat menyebabkan efek buruk bagi reproduksi tikus betina. Saat masa akhir kebuntingan menuju kelahiran, plasenta menghasilkan estrogen untuk merangsang produksi prostaglandin PGF βα yang berperan dalam kontraksi uterus Ball dan Peters 2004. Isoflavon dapat bersifat agonis yaitu merangsang produksi estrogen saat kadar estrogen di dalam tubuh rendah dan dapat bersifat antagonis yaitu menurunkan estrogen saat kadarnya tinggi Wilhelm, Scanes dan Anderson 2006. Pemberian kedelai yang mengandung isoflavon pada saat bunting dikhawatirkan berefek menurunkan kadar estrogen endogen. Konsentrasi estrogen yang sangat tinggi pada kelompok IS3 hingga melebihi batas normal perlu dicermati lebih lanjut. Jika tikus betina F0 kelompok IS3 memasuki masa kebuntingan dengan kadar hormon estrogen yang sangat tinggi melebih normal maka dikhawatirkan dapat mengganggu proses kebuntingan. Menurut Bearden et al. 2004 hormon yang paling dominan selama awal masa kebuntingan adalah progesteron sedangkan estrogen berada pada konsentrasi yang rendah.Konsentrasi progesteron yang tinggi dapat menurunkan pergerakan myometrium dan mencegah kontraksi uterus sehingga memungkinkan terjadinya kebuntingan.Ketidakseimbangan hormon selama masa kebuntingan dapat menyebabkan keguguran. Bila dihubungkan dengan data persen kebuntingan, maka rendahnya angka persen kebuntingan pada tikus betina F0 kelompok IS3 diduga karena tingginya kadar hormon estrogen sehingga menyebabkan ketidakseimbangan hormon.Ketidakseimbangan hormon pada masa kebuntingan dapat menyebabkan 5 10 15 20 25 30 K TP IS Kad ar tes to stero n n g m L Kelompok 20 40 60 80 100 120 K TP IS Kad ar estro g en p g m L Kelompok keguguran.Bearden et al. 2004 menyatakan bahwa konsumsi fitoestrogen dapat menyebabkan sejumlah gangguan reproduksi pada ternak diantaranya memendekkan atau memperpanjang fase estrus, hipertofi endometrial dan keguguran. Pernyataan tersebut ditambah dengan fenomena tingginya kadarhormon estrogen pada kelompok IS3 mendukung rendahnya angka persen kebuntingan tikus kelompok IS3. Walaupun demikian, dugaan rendahnya angka kebuntingan kelompok IS3 karena kadar hormon estrogen yang sangat tinggi cukup lemah mengingat hanya ada satu data hormon pada kelompok tersebut. Berdasarkan uji Korelasi Pearson α =0,05, tidak terdapat hubungan antara jumlah isoflavon yang dikonsumsi dengan kadar hormon estrogen tikus betina F0. Berdasarkan uji t untuk kadar hormon estrogen tikus betina F0 antara kelompok TP dan IS menunjukkan hasil yang tidak berbeda nyata Gambar 33. Terdapat kesamaan hasil antara kadar hormon testosteron tikus jantan dengan kadar hormon estrogen tikus betina F0 yaitu tidak terdapat perbedaan nyata antara kadar hormon tikus kelompok tepung kedelai dengan isolat protein kedelai. a b Keterangan: a. n K=2, TP=6, IS=6, b. N=5 untuk tiap kelompok. =signifikan p0,05 Gambar 33 Kadar hormon testosteron tikus jantan F0 a dan estrogen tikus betina F0 b kelompok kontrol K. tepung kedelai TP dan isolat protein kedelai IS Hasil uji t untuk kelompok kontrol dengan kelompok TP ataupun IS tidak dapat dilakukan karena hanya ada satu ekor tikus betina kelompok kontrol yang menyusui hingga tuntas, artinya hanya ada satu data pada tikus kelompok kontrol. Berdasarkan hal tersebut, kadar hormon estrogen kelompok TP dan IS tidak dapat dibandingkan secara statistik dengan kelompok kontrol. Walaupun demikian, berdasarkan data pada Gambar 32 dan 33, kadar hormon estrogen tikus betina F0 kelompok TP cenderung lebih rendah dari kontrol sedangkan kadar hormon tikus betina F0 kelompok IS menunjukkan hasil yang cenderung tidak jauh berbeda dibandingkan dengan kontrol.

D. Pengaruh Konsumsi Tepung Kedelai dan Isolat Protein Kedelai