4 - 6 Kali Sedang Program sustaniable development
dilaksanakan oleh Indocement. Kebijakan korporasi merupakan wujud dari cara pandangan perusahaan yaitu adanya dorongan tulus dari dalam internal driven
dalam mengimplementasikan program program TJS perusahaan. Model implementasi program program TJS perusahaan yang digunakan oleh Indocement
termasuk ke dalam model keterlibatan langsung. Implementasi pelaksanaan keseluruhan program TJS perusahaan telah tepat karena dilakukan melalui
tahapan perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pemantauan.
Penerima manfaat menilai pelaksanaan visi, misi, program, dan kegiatan Indocement melalui TJS perusahaan ada pada kategori baik dengan rataan skor
2.84. Jika dilihat dari masing-masing indikator, penerima manfaat program TJS perusahaan Indocement yang diwakili 410 responden menilai pelaksanaan dan
implementasi kebijakan korporasi sebagai saluran komunikasi masuk kategori baik. Penilaian ini berdasarkan frekuensi dan persentase di mana 60.5 persen atau
248 responden menilai baik. Sebanyak 62 responden atau 15.1 persen menilai sangat baik, 96 responen atau 23.2 persen menilai buruk dan sebanyak lima
responden atau 1.2 persen menilai sangat buruk.
Penyebarluasan informasi tentang kebijakan perusahaan terjadi melalui arena komunikasi yang bernama Bilik Informasi Bilikom. Positifnya penilaian
penerima manfaat terhadap saluran komunikasi indikator kebijakan korporasi karena penerima manfaat menganggap Bilikom dapat menampung aspirasi dari
masyarakat. Bilikom dilaksanakan setiap tiga bulan sekali, pesertanya terdiri dari perwakilan masyarakat perdesaan yang diwakili oleh tokoh masyarakat.
Pemerintah diberikan kewenangan oleh perusahaan untuk menentukan tokoh masyarakat siapa yang akan hadir dalam kegiatan Bilikom. Masyarakat umum
tidak dapat hadir karena mereka sudah diwakili oleh tokoh masyarakat, kondisi ini menjadikan celah informasi hanya dikuasai oleh beberapa orang saja karena
informasi dari hasi Bilikom tidak tersebarluaskan kepada masyarakat. Pemerintah desa binaan juga mengakui sampai saat ini belum terdapat mekamisme untuk
memastikan sejauh mana informasi yang diperoleh tokoh masyarakat sudah menyebar. Selain itu, belum ada mekanisme di tingkat RW untuk memastikan
cara penjaringan aspirasi masyarakat.
Kondisi ini didukung oleh penelitian Sukada 2007 yang menyebutkan penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan, dan pelayanan publik yang
dilakukan oleh pemerintah daerah, selama ini didasarkan pada paradigma rule government pendekatan legalitas. Dalam merumuskan, menyusun, dan
menetapkan kebijakan, senantiasa didasarkan pada pendekatan prosedur dan hasil output, serta dalam prosesnya menyandarkan atau berlindung pada peraturan
perundang-undangan atau mendasarkan pada pendekatan legalitas. Wibowo 2009 menyimpulkan bahwa proses perencanaan partisipatif hanya tahap
penyelidikan dan perumusan masalah sudah melibatkan masyarakat sedangkan tahap identifikasi daya dukung, menetapkan langkah-langkah rinci dan
merangcang anggaran, masyarakat tidak disertakan. Terkait transparansi anggaran program TJS perusahaan Indocement Lia Damayanti, senior CSR officer
Indocement melalui indeph interview menjelaskan
“ … Di lapangan sebenarnya tidak berlaku sama rata sama rasa. Kalau dilihat dari bujetnya, lebih seperti Lulut. Yang mereka tahu sama rata dan
sama rasa itu kulitnya saja, seperti beasiswa. Contohnya kita mau santuni kaum duafa di Lulut, di desa lain tidak ada. Kalau kita bicara ring,
sebetulnya 12 desa binaan itu ring satu. Tapi kita perlakuan kita berbeda dan para kepala desa sebenarnya sudah paham…” LD, 44, P.
Wibowo memaparkan juga faktor-faktor yang memengaruhi proses perencanaan partisipatif adalah keterlibatan masyarakat, pelaku kebijakan,
pemahaman pelaku kebijakan, serta lingkungan kebijakan. Namun, berbeda dengan hasil penelitian Aulya et al. 2013, di mana kesimpulan penelitiannya
menyebutkan faktor-faktor penghambat yang teridentifikasi dalam implementasi program CSR, baik dari internal maupun eksternal, adalah: 1 tidak ada spesifikasi
kebijakan dari internal perusahaan mengenai pelaksanaan CSR; 2 proses administrasi yang memakan waktu yang cukup lama; 3 tidak ada struktur
organisasi atau aktor pelaksana yang khusus menangani CSR; 4 implementasi dinilai warga masih belum transparan; 5 masih sering terjadi miskomunikasi
dalam internal perusahaan.
Program TJS perusahaan Indocement dirumuskan berdasarkan data dari social mapping perusahaan. Data social mapping diperbarui setiap lima tahun
sekali. Data social mapping Indocement diperoleh dari hasil penelitian pihak ketiga. Program yang dirumuskan itu kemudian dibicarakan dalam forum Bina
Lingkungan Komunikasi Bilikom. Forum Bilikom sangat strategis, yaitu mempertemukan antara eksternal dan internal stakeholders perusahaan. Forum
Bilikom dilaksanakan reguler dengan key performance index KPI dan adanya stakeholders mapping waktu, agenda dan notulensi. Anggota forum Bilikom
merupakan perwakilan perusahaan dan perwakilan masyarakat. Forum Bilikom dilaksanakan selama 48 kali di 12 desa binaan selama satu tahun, sehingga satu
desa mendapat empat kali putaran Bilikom selama satu tahun.
Agenda Bilikom dalam empat putaran di satu desa dalam kurun waktu setahun adalah:
1 Putaran pertama, penyampaian program yang telah disetujui oleh perusahaan,
penyampaian waktu pelaksanaan dan pembentukan tim yang akan melaksanakan program;
2 Putaran kedua, evaluasi kemajuan pelaksanaan program TJS PT Indocement
semester pertama; 3
Putaran ketiga, penyampaian hasil Musrenbangdes kepada perusahaan untuk dikaji sebagai bahan skala prioritas perusahaan, dan evaluasi program TJS
Indocement yang telah maupun yang belum dilaksanakan; 4
Putaran keempat, evaluasi program TJS Indocement yang telah berjalan selama setahun dan silaturahim pasca Idul Fitri.
Berdasarkan aspek hukum dalam kebijakan korporasi, menurut Fajar 2010 terdapat empat jenis TJS perusahaan, yaitu: 1 Social responsibility theory, yaitu
kewajiban direksi dan manajemen untuk menjaga keharmonisan kepentingan pemegang saham shareholders dan pemangku kepentingan stakeholders. Di
dalam teori ini seakan tanggung jawab sosial hanya menjadi kewajiban direksi dan manajemen saja atau menjadi terlalu sempit dari hakekat TJS perusahaan yang
seutuhnya; 2 Hobbesian leviatan theory, yang menghendaki kontrol yang ketat dari pemerintah serta meniadakan upaya-upaya lainnya. Teori ini menempatkan
hanya pemerintah sebagai pihak yang berwenang dan menentukan terhadap aktivitas TJS perusahaan perusahaan dan menegasikan alternatif lainnya dalam
pengaturan TJS perusahaan; 3 Corporate governance theory, menghendaki