20
BAB II PENGATURAN HAK CIPTA DI INDONESIA
A. Konsep Dasar Hak Cipta
Suatu bentuk yang nyata dan berwujud expression dan sesuatu yang berwujud itu adalah asli original atau bukan hasil plagiat merupakan syarat yang
harus dipenuhi untuk dapat menikmati perlindungan hukum hak cipta. Konsep dasar lahirnya hak cipta akan memberikan perlindungan terhadap suatu karya
cipta yang memiliki bentuk yang khas dan menunjukkan keaslian sebagai ciptaan seseorang atas dasar kemampuan dan kreatifitasnya yang bersifat pribadi.
17
1. Yang dilindungi hak cipta adalah ide yang telah berwujud dan asli.
Justifikasi yang paling mendasar untuk HKI adalah bahwa seseorang yang telah mengeluarkan usaha ke dalam penciptaan memiliki sebuah hak alami untuk
memiliki dan mengontrol apa yang telah mereka ciptakan. Pendekatan ini menekankan pada kejujuran dan keadilan. Dilihat sebagai perbuatan yang tidak
jujur dan tidak adil jika mencuri usaha seseorang tanpa mendapatkan terlebih dahulu persetujuannya. Ciptaan yang mendapatkan hak cipta setidaknya harus
memperhatikan beberapa prinsip-prinsip dasar hak cipta, yakni:
Salah satu prinsip yang paling fundamental dari perlindungan hak cipta adalah konsep bahwa hak cipta hanya berkenan dengan bentuk perwujudan dari suatu
17
Muhammad Djumhana dan R. Djubaedillah, Hak Milik Intelektual: Sejarah Teori dan Prakteknya di Indonesia Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1997, hlm. 63.
ciptaan, misalnya buku, sehingga tidak berkenaan atau tidak berurusan dengan substansinya. Dari prinsip dasar ini telah melahirkan dua subprinsip, yaitu:
18
a. Suatu ciptaan harus mempunyai keaslian orisinil untuk dapat
menikmati hak-hak yang diberikan undang-undang keaslian, sangat erat hubungannya dengan bentuk perwujudan suatu ciptaan.
b. Suatu ciptaan, mempunyai hak cipta jika ciptaan yang bersangkutan
diwujudkan dalam bentuk tertulis atau bentuk material yang lain. Ini berarti bahwa suatu ide atau suatu pikiran atau suatu gagasan atau cita-
cita belum merupakan suatu ciptaan. 2.
Hak cipta timbul dengan sendirinya otomatis Suatu hak cipta eksis pada saat seseorang pencipta mewujudkan idenya dalam
suatu bentuk yang berwujud yang berupa buku. Dengan adanya wujud dari suatu ide, suatu ciptaan lahir. Ciptaan yang dilahirkan dapat diumumkan to
make public openbaarmaken dan dapat diumumkan. Suatu ciptaan yang tidak diumumkan, hak ciptanya tetap ada pada pencipta.
3. Suatu ciptaan tidak perlu diumumkan untuk memperoleh hak cipta
Suatu ciptaan yang diumumkan maupun yang tidak diumumkan published unpublished work kedua-duanya dapat memperoleh hak cipta.
4. Hak cipta suatu ciptaan merupakan suatu hak yang diakui umum legal right
yang harus dipisahkan dan harus dibedakan dari penguasaan fisik suatu ciptaan.
18
Edy Damian, Hukum Hak Cipta Bandung : Alumni, 2002 hlm. 99-106 sebagaimana dikutip oleh Budi Agus Riswandi dan M. Syamsudin, Hak Kekayaan Intelektual dan Budaya
Hukum Jakarta : PT. RajaGrafindo Persada, 2004, hlm. 8.
5. Hak cipta bukan hak mutlak absolut
Hak cipta bukan suatu monopoli mutlak melainkan hanya suatu limited monopoly. Hal ini dapat terjadi karena hak cipta secara konseptual tidak
mengenal konsep monopoli penuh, sehingga mungkin saja seorang pencipta menciptakan suatu ciptaan yang sama dengan ciptaan yang telah tercipta lebih
dahulu. Konsep hak cipta di Indonesia merupakan terjemahan dari konsep
copyright dalam bahasa Inggris secara harafiah artinya “hak salin”. Copyright ini diciptakan sejalan dengan penemuan mesin cetak. Sebelum penemuan mesin
ini oleh Gutenberg, proses untuk membuat salinan dari sebuah karya tulisan memerlukan tenaga dan biaya yang hampir sama dengan proses pembuatan karya
aslinya. Sehingga, kemungkinan besar para penerbitlah, bukan para pengarang, yang pertama kali meminta perlindungan hukum terhadap karya cetak yang dapat
disalin. Awalnya, hak monopoli tersebut diberikan langsung kepada penerbit
untuk menjual karya cetak. Baru ketika peraturan hukum tentang copyright mulai diundangkan pada tahun 1710 dengan Statute of Anne di Inggris, hak tersebut
diberikan ke pengarang, bukan penerbit. Peraturan tersebut juga mencakup perlindungan kepada konsumen yang menjamin bahwa penerbit tidak dapat
mengatur penggunaan karya cetak tersebut setelah transaksi jual beli berlangsung. Selain itu, peraturan tersebut juga mengatur masa berlaku hak eksklusif bagi
pemegang copyright, yaitu selama 28 tahun, yang kemudian setelah itu karya tersebut menjadi milik umum.
Ketentuan Pasal 27 ayat 2 Deklarasi Hak Asasi Manusia seDunia juga menyebutkan bahwa setiap orang memiliki hak untuk mendapat perlindungan
untuk kepentingan moral dan materi yang diperoleh dari ciptaan ilmiah, kesusasteraan atau artistik dalam hal dia sebagai pencipta.
Hukum bertindak menjamin pencipta untuk menguasai dan menikmati secara eksklusif hasil karyanya itu dalam hubungan kepemilikan terhadap hak
cipta dan jika perlu dengan bantuan negara untuk penegakan hukumnya. Jaminan ini tercermin dalam sistem HKI yang berkembang dengan menyeimbangkan antar
dua kepentingan yaitu pemilik hak cipta dan kebutuhan masyarakat umum. Ada 4 prinsip dalam sistem HKI untuk menyeimbangkan kepentingan individu dengan
kepentingan masyarakat, sebagai berikut:
19
1. Prinsip keadilan the principle of natural justice
Pencipta yang menghasilkan suatu karya berdasarkan kemampuan intelektualnya wajar memperoleh imbalan baik berupa materi maupun bukan
materi, seperti adanya rasa aman karena dilindungi, dan diakui atas hasil karyanya. Hukum memberikan perlindungan kepada pencipta berupa suatu
kekuasaan untuk bertindak dalam rangka kepentingannya yang disebut hak. Alasan melekatnya hak pada HKI adalah penciptaan berdasarkan kemampuan
intelektualnya. Perlindungan ini pun tidak terbatas di dalam negeri pencipta sendiri, melainkan dapat meliputi perlindungan di luar batas negaranya.
2. Prinsip ekonomi the economic argument
19
Tim Lindsey, ed., Hak Kekayaan Intelektual Suatu Pengantar Bandung : PT. Alumni, 2006, hlm. 90.
HKI yang diekspresikan kepada khalayak umum dalam berbagai bentuknya, memiliki manfaat dan nilai ekonomi serta berguna bagi kehidupan manusia.
Adanya nilai ekonomi pada HKI merupakan suatu bentuk kekayaan bagi pemiliknya. Pencipta mendapatkan keuntungan dan kepemilikan terhadap
karyanya, misalnya dalam bentuk pembayaran royalti terhadap pemutaran musik dan lagu hasil ciptaannya.
3. Prinsip kebudayaan the cultural argument
Pertumbuhan dan perkembangan ilmu pengetahuan, seni dan sastra sangat besar artinya bagi peningkatan taraf kehidupan, peradaban, dan martabat
manusia. Selain itu, akan memberikan keuntungan baik bagi masyarakat, bangsa, maupun negara. Pengakuan atas kreasi, karya, karsa, cipta manusia
yang dilakukan dalam sistem HKI diharapkan mampu membangkitkan semangat, dan minat untuk mendorong melahirkan ciptaan baru.
4. Prinsip sosial the social argument
Hukum tidak mengatur kepentingan manusia sebagai individu yang berdiri sendiri terlepas dari manusia yang lain, tetapi hukum mengatur kepentingan
manusia sebagai warga masyarakat. Jadi, manusia dalam hubungannya dengan manusia lain sama-sama terikat dalam ikatan satu kemasyarakatan. Sistem
HKI dalam memberikan perlindungan kepada pencipta, tidak boleh diberikan semata-mata untuk memenuhi kepentingan individu dan persekutuan atau
kesatuan itu saja, melainkan berdasarkan keseimbangan kepentingan individu dan masyarakat.
Pengaturan hak cipta tidak terlepas dari adanya perjanjian internasional. Tujuan diadakannya perjanjian internasional melindungi atau memberikan
kepastian hak atas suatu hak yang ditimbulkan dari suatu perjanjian tersebut kepada setiap peserta negara anggota. Maka jika dikaitkan dengan hak cipta,
maka akan diperoleh suatu tujuan yaitu untuk melindungi hak cipta secara internasional. Secara internasional dalam hal ini berarti setiap negara peserta.
Perlindungan hak cipta secara internasional saat ini mengikuti beberapa konvensi internasional antara lain persetujuan TRIPs, Bern Convention, Universal
Copy Rights Convention, Rome Convention. Trade Related Aspects of Intellectual Property Right yang selanjutnya disebut TRIPs awalnya muncul atas
antisipasi Amerika dan beberapa negara Eropa yang menilai bahwa World Intellectual Property Organizatio yang selanjutnya disebut WIPO yang bernaung
dibawah Perserikatan Bangsa-Bangsa, tidak mampu melindungi HKI mereka di pasar internasional, yang akan mengakibatkan neraca perdagangan mereka
menjadi negatif. TRIPs bertujuan untuk melindungi dan menegakkan hukum hak milik
intelektual guna mendorong timbulnya inovasi, peralihan, serta penyebaran teknologi, dengan cara menciptakan kesejahteraan sosial dan ekonomi serta
keseimbangan antara hak dan kewajiban Pasal 7 TRIPs. Secara singkat, ada beberapa hal penting di dalam Persetujuan TRIPs ini yang menyangkut bidang
hak cipta bila dikaitkan dengan Undang-Undang Hak Cipta Nasional, yaitu :
20
20
OK. Saidin., Op. Cit., hlm. 211.
1. Di dalam persetujuan ini perlindungan hak cipta atas program kompuer
lamanya harus tidak kurang dari lima puluh tahun pasal 12 TRIPs, sementara dalam Undang-Undang Hak Cipta Nasional juga telah disesuaikan menjadi
lima puluh tahun pasal 27 ayat 1 Undang-Undang Hak Cipta Nomor 12 Tahun 1997.
2. Di dalam persetujuan ini dikenal adanya hak penyewaan rental rights bagi
pemegang hak cipta karya film video dan program komputer pasal 11 TRIPs, yaitu hak yang diberikan kepada pencipta atas kegiatan penyewaan
yang bersifat komersial. Pengaturan mengenai hal ini sudah ada dalam Undang-Undang Hak Cipta Nasional.
3. Dalam persetujuan ini terdapat pengaturan yang tegas terhadap pelaku
pertunjukan, produsr rekaman musik dan badan penyiaran, hal mana dalam Undang-Undang Hak Cipta Nasional sudah diatur.
TRIPs berlaku dengan disetujuinya Putaran Uruguay GATT pada tanggal 15 Desember 1993 yang kemudian diratifikasi pada bulan April di Marokko oleh
117 negara. Sejak saat itu TRIPs yang merupakan bagian dari GATT berlaku bagi negara-negara anggotanya, termasuk Indonesia.
Hadirnya Persetujuan TRIPs ini mengakibatkan Indonesia secara tidak langsung diharuskan untuk menyesuaikan peraturan perundang-undangannya
dengan berbagai konvensi internasional. Khususnya dalam hak cipta Indonesia telah melakukan penyempurnaan dengan hadirnya Undang-Undang Nomor 12
Tahun 1997, yang merupakan penyempurnaan dari undang-undang sebelumnya.
Penyesuaian dan penyempurnaan tersebut memang dilakukan melalui Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1997 tentang Hak Cipta yang saat ini sudah
tidak berlaku lagi sebab telah mengalami beberapa kali perubahan, namun hal ini tetap dapat dilihat sebagai suatu sejarah dan dasar adanya kesesuaian antara
konvensi Internasional dengan Undang-Undang Hak Cipta Nasional. Konvensi Roma 1961 mulai berlaku terhadap negara-negara anggota
Persetujuan TRIPs. Konvensi ini berisikan pengaturan tentang perlindungan bagi pelaku pertunjukan, produser rekaman suara dan organisasi penyiaran. Yang
menjadi permasalahan pokok yang dituangkan dalam ketentuan konvensi ini adalah mengenai perlindungan bagi pelaku pertunjukan produser rekaman dan
organisasi penyiaran. Hak cipta juga diatur dalam Konvensi Bern yang ditandatangani di Bern
pada tanggal 9 September 1886. Adapun konvensi ini telah beberapa kali mengalami revisi serta penyempurnaan, yaitu:
21
1. Revisi pertama dilakukan di Paris pada tanggal 4 Mei 1986;
2. Revisi kedua di Berlin pada tanggal 13 November 1908;
3. Revisi ketiga di Bern pada tanggal 24 Maret 1914;
4. Revisi keempat di Roma tanggal 2 Juli 1928;
5. Revisi kelima di Brussels pada tanggal 26 Juni 1948;
6. Revisi keenam di Stockholm pada tanggal 14 Juli 1967;
7. Revisi terakhir di Paris pada tanggal 24 Juli 1971.
21
Ibid, hlm. 216.
Konvensi Bern berpendapat bahwa objek perlindungan hak cipta terdiri dari karya sastra, ilmu, dan seni yang meliputi segala hasil bidang sastra, ilmu,
dan seni dengan cara atau bentuk pengungkapan apapun. Di samping karya asli dari pencipta pertama, dilindungi juga karya-karya turunan salinan seperti
terjemahan, saduran, aransemen music, karya fotografis. Perlindungan juga diberikan kepada para pencipta atau pemegang hak. Para Pencipta memperoleh
perlindungan yang sama seperti diperoleh mereka dalam negara sendiri atau perlindungan yang diberikan oleh konvensi ini. Artinya, pencipta merupakan
warga negara dari salah satu negara yang terikat pada konvensi memperoleh perlindungan di negara-negara yang bergabung dalam Uni ini.
22
Kemunculan Protokol Stockholm ini mengakibatkan negara-negara berkembang yang telah meratifikasi protokol tersebut memperoleh pengecualian
Hal ini diatur dalam Pasal 5 setelah direvisi di Paris tahun 1971, yang sekaligus merupakan pasal yang terpenting. Menurut pasal ini pencipta akan
menikmati perlindungan yang sama seperti diperoleh mereka dalam negara sendiri atau perlindungan yang diberikan oleh konvensi ini.
Mengenai revisi dan penyempurnaan terhadap Konvensi Bern ini, hal yang terpenting adalah penyempurnaan yang memuat protokol tambahan dari
perjanjian utama yang memperhatikan kepentingan-kepentingan negara berkembang dan ini diterima pada revisi di Stockholm tanggal 14 Juli 1967.
Kemudian protokol ini diberi tempat dalam appendix tambahanlampiran tersendiri dalam konvensi ini.
22
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit. hlm. 35.
atau reserve yang berkenan dengan perlindungan yang diberikan oleh Konvensi Bern. Pengecualian itu dapat dilakukan mengenai hal yang berkenaan dengan hak
melakukan penerjemahan, jangka waktu perlindungan, tentang hak untuk mengutip dari artikel-artikel dari berita-berita pers, hak untuk melakukan siaran
radio dan perlindungan daripada karya-karya sastra dan seni semata-mata untuk tujuan pendidikan, ilmiah atau sekolah.
23
Salah satu ketentuan konvensi universal hak cipta adalah ketentuan formalitas hak cipta berupa kewajiban setiap hak cipta yang ingin dilindungi
mencantumkan tanda c dalam lingkaran disertai nama pencipta, dan tahun karya cipta tersebut mulai dipublikasikan. Simbol tersebut menunjukkan bahwa hak
cipta telah dilindungi di negara asalnya, dan telah terdaftar di bawah perlindungan hak cipta.
Konvensi selanjutnya adalah Konvensi Jeneva yang ditandatangani pada tanggal 6 September 1952 yang mengatur tentang hak cipta universal dan dikenal
sebagai Universal Copyright Convention. Konvensi ini mulai berlaku pada tanggal 16 September 1955. Tujuan dari konvensi ini adalah untuk memberikan
perlindungan hak cipta secara universal.
24
Setelah mengalami revisi pada tanggal 24 Juli 1971 di Paris, konvensi ini terdiri dari 21 pasal dan dilengkapi dengan 3 protokol. Protokol I mengenai
perlindungan karya dari orang-orang yang tanpa kewarganegaraan dan orang- orang pelarian, ataupun para pengungsi. Secara internasional hak cipta mereka itu
perlu dilindungi. Protokol II mengenai berlakunya konvensi ini atas karya-karya
23
OK. Saidin.,Op. Cit. hlm. 216.
24
Abdulkadir Muhammad, Op. Cit. hlm. 37.
daripada organisasi-organisasi internasional tertentu. protokol III berkenaan dengan cara-cara untuk memungkinkan turut sertanya negara dalam konvensi ini
dengan cara bersyarat. Konvensi Bern jika dibandingkan dengan Konvensi Jeneva maka di situ
terdapat perbedaan mengenai dasar falsafah yang dianut. Konvensi Bern menganut dasar falsafah Eropa yang menganggap hak cipta sebagai hak alamiah
pencipta pribadi, sehingga menonjolkan sifat individualis yang menimbulkan hak monopoli. Sedangkan Konvensi Jeneva di samping kepentingan individu juga
memperhatikan kepentingan umum. Konvensi Jeneva mencoba untuk mempertemukan antara falsafah Eropa dan falsafah Amerika yang memandang
hak monopoli yang diberikan kepada pencipta diupayakan pula agar memperhatikan kepentingan umum.
25
Konvensi-konvensi internasional ini telah diratifikasi oleh pemerintah Indonesia. Pada tahun 1994, pemerintah meratifikasi pembentukan Organisasi
Perdagangan Dunia World Trade Organization – WTO, yang mencakup pula Agreement on Trade Related Aspects of Intellectual Property Rights – TRIPs
“Persetujuan tentang Aspek-aspek Dagang Hak Kekayaan Intelektual”. Universal Copyrights Convention berpendapat bahwa hak cipta itu
ditimbulkan oleh karena adanya ketentuan yang memberikan hak seperti itu kepada pencipta. Oleh sebab itu jika dilihat dalam UUHC 1982 yang diperbaharui
dengan UUHC 1987 dan UUHC 1997 menganut sistem yang terakhir ini, dimana hak cipta itu dilahirkan oleh undang-undang.
25
Ibid, hlm. 38.
Ratifikasi tersebut diwujudkan dalam bentuk undang-undang Nomor 7 tahun 1994. Pada tahun 1997, pemerintah meratifikasi kembali Konvensi Bern melalui
Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1997 dan juga meratifikasi World Intellectual Property Organization Copyrights Treaty “Perjanjian Hak Cipta
WIPO” melalui Keputusan Presiden Nomor 19 Tahun 1997.
B. Pengaturan Hak Cipta dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014