Pengalihan hak ekonomi dalam bentuk jual-putus

67 BAB IV PEMBATASAN PENGALIHAN HAK EKONOMI DALAM BENTUK JUAL-PUTUS MELALUI PERLINDUNGAN HAK CIPTA DI INDONESIA

A. Pengalihan hak ekonomi dalam bentuk jual-putus

Undang-undang menganggap HKI adalah benda bergerak tidak berwujud intangible moveable goods. Menurut konsep hukum perdata, hak kebendaan zakaalijkrecht adalah hak mutlak atas sesuatu benda dimana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas sesuatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun. Sifatnya sebagai benda bergerak, maka HKI dapat beralih atau dialihkan seluruh atau sebagian karena pewarisan, hibah, wasiat, dijadikan milik negara, perjanjian yang harus dilakukan dengan akta, dengan ketentuan bahwa perjanjian itu hanya mengenai wewenang yang disebut dalam akta. Dengan demikian, HKI tidak dapat dialihkan secara lisan, melainkan harus secara tertulis dengan akata otentik atau akta tidak otentik. Hak Kekayaan Intelektual bersifat dapat dibagi divisible artinya dapat dialihkan seluruhnya atau sebagian kepada pihak lain. Pengalihan seluruhnya atau sebagian itu ditunjukkan oleh perbuatan yang dilakukan berkenaan dengan penggunaan hak. Pada hak cipta, pengalihan seluruhnya meliputi hak mengumumkan dan atau memperbanyak ciptaan. Sedangkan pengalihan sebagian hanya meliputi hak mengumumkan, atau hak memperbanyak, atau hak memberi izin untuk mengumumkan atau memperbanyak ciptaan. Hak cipta sebagai benda kekayaan, maka secara hukum hak cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian kepada pihak lain. Pengalihan hak cipta dapat dilakukan dengan berbagai cara sesuai dengan ketentuan Pasal 16 UUHC 2014, antara lain dengan cara pewarisan, hibah, wakaf, wasiat, perjanjian tertulis, dan sebab lain yang dibenarkan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan. Bentuk pengalihan hak ekonomi dalam UUHC 2014 salah satunya adalah melalui perjanjian tertulis. Namun undang-undang tidak menyebutkan atau menjelaskan perjanjian tertulis bagaimanakah yang dimaksud. Bentuk perjanjian yang dimaksudkan dalam UUHC 2014 bukan perjanjian hibah ataupun wakaf akan tetapi lebih cenderung kepada perjanjian yang bertimbal balik yaitu kedua belah pihak yang melakukan perjanjian mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban yang saling bertimbal-balik antara satu dengan yang lainnya. Apabila bentuk perjanjian yang dimaksud adalah bertimbal balik maka perjanjiannya dapat berupa perjanjian jual beli atau tukar menukar. Pemegang hak cipta dapat menjual hak ciptanya kepada orang lain, atau menukarkan hak ciptanya dengan barang yang lain. Kedua perjanjian tersebut berakibat beralihnya hak milik atas suatu benda. Membeli dan menjual adalah dua kata yang sering kita pergunakan dalam istilah sehari-hari yang apabila digabungkan antara keduanya, berarti salah satu pihak menjual dan pihak lainnya membeli, dan hal ini tidak dapat berlangsung tanpa pihak lainnya, dan itulah yang disebut perjanjian jual-beli. 61 61 Ahmadi Miru, Op. Cit., hlm. 125. Dalam pasal 1457 KUH Perdata diatur tentang perjanjian jual beli sebagai berikut, “Perjanjian jual beli merupakan suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu benda dan pihak lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan.” Perjanjian jual beli dikatakan pada umumnya merupakan perjanjian konsensual karena ada juga perjanjian jual beli yang termasuk perjanjian formal, yaitu yang mengharuskan dibuat dalam bentuk tertulis yang berupa akta autentik, yakni jual beli barang-barang tidak bergerak. Sifat konsensual dari jual beli tersebut ditegaskan dalam Pasal 1458 KUH Perdata yang berbunyi : ”jual beli dianggap sudah terjadi antara kedua belah pihak seketika setelah mereka mencapai sepakat tentang barang dan harga, meskipun barang itu belum diserahkan maupun harganya belum dibayar”. 62 Sahnya suatu perjanjian menurut hukum wajib memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan Pasal 1320 KUH Perdata yaitu adanya kata sepakat, kecakapan, hal tertentu, dan sebab yang halal. Syarat pertama tentang kata sepakat adalah suatu keadaan yang menunjukkan adanya kehendak dari kedua belah pihak yang berjanji untuk saling menerima satu sama lain. Kedua belah pihak sama-sama tidak menolak apa yang diinginkan oleh masing-masing pihak. Dengan adanya kata sepakat itu maka perjanjian itu telah terjadi atau terwujud. Sejak saat itu pula Dikarenakan sifatnya yang merupakan benda bergerak tidak berwujud, maka pengalihan hak dalam bentuk jual beli terhadap hak cipta, dilakukan dengan pembuatan perjanjian jual beli, baik berupa akta autentik ataupun tidak. 62 R. Subekti., Aneka Perjanjian Bandung : PT. Citra Aditya Bakti, 1995, hlm. 2. perjanjian itu menjadi mengikat kedua belah pihak dan dapat dilaksanakan. Kekuatan mengikat perjanjian sangat kuat sekali karena perjanjian itu tidak dapat ditarik kembali secara sepihak kecuali terdapat alasan yang diperbolehkan undang-undang. Kecakapan yang dimaksud adalah kemampuan para pihak untuk melakukan perjanjian. Pada prinsipnya semua orang dipandang memiliki kecakapan membuat perjanjian, karena mereka bebas menentukan bentuk dan isi perjanjian sesuai dengan asas konsensualisme. Meskipun demikian seseorang dikatakan cakap menurut hukum dapat dilihat dari segi usia dan kesehatan jiwanya. Syarat yang ketiga tentang hal tertentu, bahwa objek sebuah perjanjian harus tertentu dengan tujuan agar perjanjian dapat dilaksanakan dengan baik. Dengan objek tertentu untuk menghindari agar jangan sampai terjadi pelaku perjanjian membuat perjanjian yang objeknya lebih dari satu macam tanpa ada hubungan antara yang satu dengan yang lainnya. Syarat yang keempat yaitu sebab yang halal, bahwa suatu perjanjian dibuat oleh para pihak pasti ada sebabnya. Sebab yang halal sebagai salah satu syarat sahnya perjanjian karena undang-undang menghendaki terjadinya suatu perjanjian wajib dilatarbelakangi dengan itikad baik. 63 Perjanjian yang menyangkut pengalihan hak cipta sebagaimana ditentukan dalam Pasal 16 ayat 2 UUHC 2014 bahwa perjanjiannya dilakukan secara tertulis, hal ini merupakan syarat mutlak. Artinya perjanjian tersebut tidak 63 Gatot Supramono, Op. Cit., Hlm. 38. mungkin dilakukan secara lisan. Walaupun undang-undang tidak memberi penjelasan tentang hal tersebut namun dapat dipahami kewajiban perjanjian itu dengan tertulis karena dipengaruhi oleh objeknya sebagai barang bergerak yang tidak bertubuh. Barang bergerak yang tidak bertubuh akan sulit dikatakan bahwa seseorang itu sedang menguasainya apabila tidak ada surat sebagai tanda buktinya. Perjanjian yang berkaitan dengan pengalihan hak cipta dibuat secara tertulis bertujuan untuk kepentingan pembuktian bahwa telah terjadi peralihan hak dari pemegang hak cipta kepada orang lain. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta tidak melarang seorang pencipta untuk menjual hasil ciptaanya dengan sistem jual putus. Akan tetapi seorang pencipta tidak dapat menuntut ganti rugi mengenai hak ekonomisnya jika terjadi pelanggaran terhadap hasil ciptaannya tersebut. Di dalam Pasal 24 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta seorang pencipta tetap memiliki hak moral atas hasil ciptaanya walaupun hak atas ciptaannya telah beralih. Pasal 24 ayat 2 UUHC 2014 menjelaskan bahwa suatu ciptaan tidak boleh diubah walaupun hak ciptanya telah diserahkan kepada pihak lain, kecuali dengan persetujuan pencipta atau dengan persetujuan ahli warisnya dalam hal pencipta telah meninggal dunia. Pencipta hanya akan menerima satu kali pembayaran saja dalam jual putus, yaitu pembayaran di muka ketika kesepakatan sudah disetujui dan kontrak jual beli sudah ditandatangani. Setelah itu pencipta tidak akan menerima pembayaran lagi. Dilihat dari sistem jual putus dalam hal penerbitan, maka jual putus memiliki keuntungan serta kerugian terhadap penulis. Adapun keuntungan seorang penulis menjual putus hasil karyanya adalah : 1. Penulis akan menerima pembayaran sekaligus sesuai angka kesepakatan tanpa perlu menunggu periode pembayaran seperti yang diberlakukan pada sistem royalti. 2. Apabila buku tidak laku, penulis tidak akan merasa rugi karena sudah dibayar di muka. Sedangkan konsekuensi kerugian yang harus dihadapi akibat jual putus adalah: 1. Apabila bukunya ternyata laris dan bahkan best seller, penulis tidak akan mendapatkan keuntunganpembayaran apapun lagi. 2. Setiap kali terjadi cetak ulang, penulis hanya akan mendapatkan bukti cetak ulang saja. Keberadaan sistem jual putus di Indonesia saat ini dirasa masih kurang memberi perlindungan akan hak-hak dari para pencipta. Hilangnya hak pencipta untuk selama-lamanya setelah dilakukan jual putus mencerminkan kurangnya perhatian dan penghargaan terhadap usaha para pencipta dalam menghasilkan karya-karyanya. Oleh karena itu dalam UUHC 2014 diatur kembali adanya suatu pembatasan terhadap pengalihan hak ekonomi dalam bentuk jual putus di Indonesia.

B. Pembatasan Pengalihan Hak Ekonomi dalam Bentuk Jual Putus melalui