1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pembangunan sistem Hak Kekayaan Intelektual nasional yang modern dan efektif merupakan kebutuhan nyata bagi Indonesia. Kondisi domestik
mengharuskan langkah ke arah itu seiring dengan proyeksi pembangunan ekonomi serta adaptasi terhadap dampak globalisasi. Namun demikian, arah
kebijakan yang ditempuh harus tetap realistik. Artinya, harus memerhatikan kepentingan dan kemampuan Indonesia sendiri, baik yang menyangkut kebutuhan
pengaturannya, maupun pemahaman dan kesiapan aparat penegak hukum, dan tingkat kesadaran hukum masyarakat dalam arti yang seluas-luasnya. Sejalan
dengan itu, sistem hukum harus diselaraskan dengan kemampuan dan kondisi kehidupan masyarakat, sehingga hukum benar-benar memberi manfaat bagi
masyarakat.
1
1
Bentham dalam R.Soeroso, Pengantar Ilmu Hukum, cetakan Kesepuluh Jakarta: Sinar Grafika, 2008, hlm. 58.
Sudut pandang Hak Kekayaan Intelektual selanjutnya disebut dengan HKI menunjukkan bahwa penumbuhan aturan tersebut diperlukan karena adanya
sikap penghargaan, penghormatan, dan perlindungan yang tidak saja akan memberikan rasa aman, tetapi juga akan mewujudkan iklim yang kondusif bagi
peningkatan semangat untuk menghasilkan karya-karya yang lebih besar, lebih baik, dan lebih banyak.
Hak kekayaan intelektual itu adalah hak kebendaan, hak atas sesuatu benda yang bersumber dari hasil kerja otak, hasil kerja rasio. Hasil dari pekerjaan
rasio manusia yang menalar. Hasil kerjanya itu berupa benda immaterial. Benda tidak berwujud.
2
Tidak semua orang dapat dan mampu mempekerjakan otak nalar, rasio, intelektual secara maksimal. Oleh sebab itu tidak semua orang pula dapat
menghasilkan intellectual property rights. Hanya orang yang mampu mempekerjakan otaknya sajalah yang dapat menghasilkan hak kebendaan yang
disebut intellectual property rights. Itu pulalah sebabnya hasil kerja otak yang membuahkan HKI itu bersifat eksklusif. Hanya orang tertentu saja yang dapat
melahirkan hak semacam itu. Berkembangnya peradaban manusia dimulai dari kerja otak itu.
3
Hak cipta merupakan bidang penting HKI yang mengatur perlindungan berbagai ragam karya cipta seperti antara lain karya tulis, termasuk ilmu
pengetahuan, karya seni, drama, tari, lagu dan film atau sinematografi. Menurut Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta selanjutnya disebut
Hak cipta yang merupakan bagian dari HKI Intellectual Property Rights disamping hak kekayaan industri seperti paten, merek, desain industri, desain tata
letak sirkuit terpadu, rahasia dagang dan varietas tanaman adalah merupakan hak yang sangat pribadi atau eksklusif bagi pencipta atau pemegang hak cipta untuk
mengumumkan atau memperbanyak ciptaannya tanpa mengurangi pembatasan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
2
OK. Saidin, Aspek Hukum Kekayaan Intelektual Intellectual Property Rights Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2007, hlm. 9.
3
Ibid, hlm. 10.
UUHC 2014 karya-karya intelektual yag berada dalam lingkup bidang ilmu pengetahuan, seni, dan sastra, adalah intelektual yang mendapatkan perlindungan
hak cipta. Perlindungan hak cipta diperlukan untuk mendorong apresiasi dan
membangun sikap masyarakat untuk menghargai hak seseorang atas ciptaan yang dihasilkannya. Sikap apresiasi memang lebih menyentuh dimensi moral.
Sedangkan sikap menghargai lebih bermuara pada aspek ekonomi. Bagaimanapun, perlindungan hak cipta diarahkan untuk memungkinkan
penggunaan ciptaan berlangsung secara tertib dan memberi manfaat ekonomi pada pencipta.
4
Menciptakan suatu karya cipta bukanlah hal yang mudah untuk dilakukan. Oleh karena itu, setiap orang diwajibkan untuk menghormatinya dan tidak boleh
melalaikannya begitu saja. Begitu juga dengan pencipta mempunyai hak yang timbul atas ciptaan dan mengawasi terhadap karya cipta yang menggunakan
ciptaannya beredar di masyarakat. Pencipta berhak melarang orang lain yang menggunakan ciptaannya tanpa izin, dan berhak pula menuntut orang yang
Penjelasan tersebut menunjukkan bahwa dalam perlindungan hak cipta dikenal adanya konsep hak ekonomi dan hak moral. Adapun hak ekonomi adalah
hak untuk mendapatkan manfaat ekonomi atas ciptaan, sedangkan hak moral adalah hak yang melekat pada diri pencipta atau pelaku seni, rekaman, siaran
yang tidak dapat dihilangkan dengan alasan apa pun, walaupun hak cipta atau hak terkait telah dialihkan.
4
Henry Soelistyo, Hak Cipta Tanpa Hak Moral Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2011, hlm. 21.
bersangkutan secara hukum. Hal ini menunjukkan bahwa diperlukan sebuah pengakuan baik oleh masyarakat maupun hukum terhadap keberadaan pencipta.
Latar belakangnya adalah menyangkut bidang ekonomi, karena sesuatu ciptaan yang diperbanyak tanpa izin penciptanya kemudian dijual kepada
masyarakat, maka akan menguntungkan orang lain yang memperbanyak ciptaan tersebut. Sedangkan pihak pencipta akan merasa dirugikan atas perbuatan tersebut
karena secara moril nama pencipta yang dijual dan secara materil pencipta tidak memperoleh keuntungan dari ciptaan yang diperbanyak orang lain.
5
Alat yang dipergunakan untuk kepentingan tersebut adalah dengan cara membentuk undang-undang yang mengatur bidang ciptaan. Undang-undang pada
hakikatnya adalah merupakan perjanjian antara rakyat dengan pemerintah sehingga peraturan ini mengikat seluruh rakyat maupun pemerintah termasuk
kepada para pejabatnya, sehingga siapa pun yang melanggar undang-undang wajib dilakukan penindakan.
Campur tangan negara diperlukan dalam hal ciptaan dengan tujuan untuk menyeimbangkan antara kepentingan pencipta dengan kepentingan masyarakat
dan juga kepentingan negara itu sendiri. Seperti diketahui bahwa pencipta mempunyai hak untuk mengontrol masyarakat dalam mengumumkan atau
memperbanyak ciptannya, di lain pihak warga masyarakat dapat menggunakan ciptaan secara resmi dan menghindari peredaran barang bajakan, sedangkan
negara kepentingannya dapat menjaga kelancaran dan keamanan masyarakat di bidang ciptaan.
5
Gatot Supramono, Hak Cipta dan Aspek-Aspek Hukumnya Jakarta: Rineka Cipta, 2010, hlm. 2.
Status hak cipta yang dipandang sebagai benda bergerak mempunyai konsekuensi seperti benda bergerak lainnya yaitu dapat dibawa kesana-kemari
maupun dipindahtangankan kepada pihak lain. Mengenai hak cipta dapat dibawa kesana-kemari, cara membawanya tidak seperti benda bergerak yang berwujud
seperti dengan memikul, menjinjing, mengirim atau mengangkut. Berhubung bendanya merupakan sebuah hak pribadi maka hak cipta selalu melekat pada
pencipta pemegang hak cipta. Hak cipta selalu mengikuti keberadaan pencipta pemegang hak cipta.
6
Hak cipta dapat beralih atau dialihkan, baik seluruhnya maupun sebagian melalui pewarisan, wasiat, hibah, jual-beli, perjanjian tertulis, atau sebab-sebab
lain yang dapat dibenarkan. Jika seorang pencipta wafat, hak cipta, hak cipta yang dimilikinya akan menjadi milik ahli waris atau penerima wasiat. Hak cipta
tersebut tidak dapat disita kecuali jika hak itu diperoleh dengan melawan hukum.
7
Pasal 50 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta menyebutkan bahwa di Indonesia, jangka waktu perlindungan hak cipta secara
umum adalah sepanjang hidup penciptanya ditambah 50 tahun atau 50 tahun setelah pertama kali diumumkan atau dipublikasikan atau dibuat, kecuali 20 tahun
setelah pertama kali disiarkan untuk karya siaran, atau tanpa batas waktu untuk hak moral pencantuman nama pencipta pada ciptaan dan untuk hak cipta yang
dipegang oleh negara atas folklor dan hasil kebudayaan rakyat yang menjadi milik
bersama.
6
Ibid, hlm. 29.
7
Haris Munandar, Sally Sitanggang, Mengenal HAKI Hak Kekayaan Intelektual Hak Cipta, Paten, Merek dan Seluk-beluknya Jakarta: Penerbit Erlangga, 2008, hlm. 17.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta memastikan para pencipta karya intelektual menikmati hak ekonomi yang lebih lama dengan
memperpanjang jangka waktu perlindungan karya. Sebelumnya dalam Undang- Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta disebutkan perlindungan atas
hak cipta adalah seumur hidup ditambah 50 tahun namun dalam UUHC 2014 menjadi seumur hidup pencipta ditambah 70 tahun. Alasan diperpanjangnya
jangka waktu tersebut adalah untuk menghormati dan melindungi pencipta sehingga memiliki waktu lebih lama untuk menikmati hak ekonominya.
Undang-undang yang baru disahkan pada tanggal 16 September 2014 ini lebih memberi harapan perlindungan hukum bagi para seniman, terutama dari hak
ekonominya. Di undang-undang yang lama yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta tidak diatur penjualan putus sold flat karya cipta.
Konsekuensinya, si pencipta tidak diperkenankan untuk meminta tambahan dari nilai-nilai ekonomi yang diperjanjikan dalam kontrak dengan pihak ketiga.
Hal tersebut direvisi dalam UUHC 2014. Diatur di sini, suatu penjualan secara putus atas suatu karya cipta tidak meniadakan hak dari para penciptanya,
antara lain musikus; artis ataupun pengarang, untuk mendapatkan kembali hak ekonominya. Hak ini baru beralih 25 tahun kemudian sejak kesepakatan jual putus
ditandatangani. Perlindungan yang lebih baik terhadap hak-hak pencipta khususnya
melalui pembatasan jual-putus ini menarik perhatian penulis untuk mengangkat judul “PEMBATASAN PENGALIHAN HAK EKONOMI DALAM BENTUK
JUAL PUTUS MELALUI PERLINDUNGAN HAK CIPTA DI INDONESIA”.
B. Perumusan Masalah