B. Pembatasan Pengalihan Hak Ekonomi dalam Bentuk Jual Putus melalui
Perlindungan Hak Cipta di Indonesia
Lahirnya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 menggantikan Undang-Undang Hak Cipta yang sebelumnya, melahirkan juga beberapa
ketentuan baru mengenai hak cipta. Salah satunya adalah mengenai pembatasan pengalihan hak ekonomi dalam bentuk jual putus.
Tujuan dari pembatasan ini tentunya memberi harapan baru bagi para pencipta. Kurangnya perhatian terhadap pencipta selama ini mendorong para
pembuat undang-undang untuk membuat suatu bentuk perlindungan yang lebih baik terhadap pencipta. Sistem jual putus yang selama ini diterapkan dalam
pengalihan hak cipta memberi dampak yang kurang baik bagi pencipta, dimana pencipta tidak memperoleh keuntungan sebagaimana seharusnya. Jika
dibandingkan dengan usaha yang diberikan oleh pencipta dalam menciptakan karyanya, maka manfaat ekonomi yang diperoleh dari hasil jual putus masih
dirasa kurang memadai dan tidak sesuai. Undang-Undang
Nomor 19 Tahun 2002 tentang Hak Cipta
memperbolehkan dilakukannya jual putus terhadap ciptaan, namun dalam undang-undang terbaru ini sistem jual putus dibatasi hanya berlangsung selama 25
tahun, kemudian setelah itu hak cipta beralih kembali kepada pencipta. Dasar hukum pembatasan pengalihan hak ekonomi dalam bentuk jual putus ini dapat
dilihat dalam Pasal 18 UUHC 2014, yaitu :“Ciptaan buku, danatau semua hasil karya tulis lainnya, lagu danatau musik dengan atau tanpa teks yang dialihkan
dalam perjanjian jual putus danatau pengalihan tanpa batas waktu, hak ciptanya
beralih kembali kepada pencipta pada saat perjanjian tersebut mencapai jangka waktu 25 dua puluh lima tahun.”
64
Hal ini juga berlaku terhadap karya pelaku pertunjukan, seperti disebutkan dalam Pasal 30 UUHC 2014, yaitu:
“karya pelaku pertunjukan berupa lagu danatau musik yang dialihkan danatau dijual hak ekonominya, kepemilikan hak
ekonominya beralih kembali kepada pelaku pertunjukan setelah jangka waktu 25 dua puluh lima tahun.”
65
Contohnya dalam hal perjanjian penerbitan, hak cipta hanya beralih sementara waktu, tidak dapat dimiliki seterusnya oleh penerbit. Adapun jika
Sebelumnya pengaturan jual putus mengakibatkan pencipta tidak dapat lagi memperoleh keuntungan dari hasil ciptaannya, atau bahkan tidak memiliki
lagi hak atas ciptaannya, maka dalam undang-undang ini pencipta masih diberi kesempatan untuk menikmati hasil dari ciptaannya, meskipun telah dilakukan
transaksi jual putus. Jual putus memang diatur di dalam undang-undang, tetapi undang-undang
tidak menyuratkan adanya ketentuan bahwa perjanjian jual putus harus mengandung jangka waktu atau limitasi, baik dalam durasi waktu ataupun
kuantitas oplag tiras. Walaupun demikian, untuk perjanjian jual putus yang tidak mencantumkan limitasi, undang-undang telah melindungi bahwa hak cipta
otomatis akan beralih setelah jangka waktu 25 tahun. Artinya, seorang pencipta masih tetap akan mendapatkan kembali ciptaannya atau paling tidak ahli
warisnya.
64
Pasal 18 UUHC.
65
Pasal 30 UUHC.
penerbitan buku dilakukan terus-menerus, perjanjian baru pun akan dibuat antara penerbit dan penulis atau ahli warisnya. Hal tersebut ditegaskan pada Pasal 18
UUHC 2014. Pembatasan terhadap sistem jual putus yang demikian memberi jaminan
kesejahteraan bagi para pencipta, untuk hari tua bahkan untuk keturunannya nanti. Sebab telah banyak dilihat dalam hal penjualan putus terhadap suatu ciptaan,
dimana pencipta tidak dapat merasakan lagi keuntungan dari hasil penjualan ataupun komersialisasi ciptaannya. Dalam beberapa kasus dapat dilihat, seorang
pencipta yang menjual putus ciptaannya, kemudian oleh penerima hak cipta ciptaan tersebut dikomersialisasikan dan sangat menguntungkan serta dapat
dinikmati dalam jangka waktu yang tidak terbatas. Namun hal ini tidak dapat lagi dirasakan oleh para pencipta, sebab pencipta telah menerima pembayaran di awal
ketika melakukan jual putus terhadap ciptaannya. Meskipun terkadang pembayaran tersebut tidak sesuai dengan keuntungan yang akan diperoleh dari
hasil pengelolaan ciptaan itu nanti. Hal tersebut merupakan salah satu latar belakang pembatasan pengalihan
hak ekonomi dalam bentuk jual putus di Indonesia. Sebab menjual ciptaan merupakan salah satu cara bagi pencipta untuk memperoleh keuntungan dari hasil
ciptaannya. Namun tetap harus diperhatikan keseimbangan antara keuntungan yang akan diperoleh dari hasil ciptaan itu nantinya, dengan pembayaran yang
diterima oleh pencipta. Keuntungan dari ciptaan itu memang belum dapat dipastikan jumlahnya,
namun undang-undang memberi perhatian terhadap pencipta dengan cara
pembatasan jual putus ini. Dengan cara ini, seorang pencipta dapat menjual ciptaannya dan menerima pembayaran di awal. Meskipun konsekuensinya seorang
pencipta tidak akan memperoleh keuntungan apapun dari ciptaannya tersebut, namun ciptaan tersebut akan kembali padanya secara otomatis setelah 25 tahun.
Hal ini dirasa cukup memberi keadilan baik bagi pencipta maupun pemegang hak cipta.
Praktik sehari-hari, sebelum munculnya UUHC 2014 yang mengatur mengenai pembatasan jual putus, juga telah banyak dilakukan pengalihan hak
melalui jual putus dengan berjangka waktu. Artinya, pencipta atau pemegang hak cipta dan penerima hak membuat kesepakatan bersama mengenai jangka waktu
berlakunya jual putus tersebut. Jadi ketika proses jual putus terjadi, tidak secara langsung meniadakan hak pencipta untuk selama-lamanya.
Tidak semua penerima hak mencantumkan batas waktu tersebut dan tidak semua pula pencipta atau pemegang hak cipta paham tentang adanya batas waktu
masa pengalihan hak cipta sebagai bagian dari negosiasi mereka atas eksploitasi hak cipta dengan sistem jual putus. Dalam jual putus, sebagian penerima hak
berpikir dapat menguasai sepenuhnya hak yang dialihkan tersebut. Lahirnya undang-undang ini memberi kepastian hukum bagi para pencipta
dan pemegang hak cipta untuk kepentingan pengalihan hak. Sehingga bagi pencipta maupun pemegang hak cipta yang tidak memahami adanya proses
negoisasi jangka waktu tersebut, tetap dapat terjamin haknya meskipun telah dilakukan jual putus terhadap ciptaannya. Hak ini diperoleh tidak lagi melalui
proses negosiasi namun secara otomatis menurut undang-undang.
Meskipun sudah dijual putus, hak moral tetap berlaku pada ciptaan tersebut. Maknanya jelas bahwa penerbit yang membeli putus sebuah naskah tidak
diperkenankan mengubah nama pencipta, termasuk menambahkan nama pencipta lain yang tidak ada hubungannya dalam proses penulisan atau penciptaan naskah.
Nama penulis karya tersebut harus dicantumkan, termasuk apabila ia menggunakan nama samaran atau nama pena.
Jual putus bukan berarti kemudian penerbit bisa seenaknya mencantumkan nama orang lain sebagai pencipta. Begitu juga dalam hal judul dan anak judul
yang asli dari penulis termasuk hak moral yang dilindungi. Sistem jual putus saat ini lebih menguntungkan pencipta karena pencipta
tidak semata-mata kehilangan hak ciptanya setelah dilakukan penjualan terhadap ciptaannya. Pengaturan yang baru ini tentu berpengaruh terhadap pencipta dan
kemauan serta minat untuk menghasilkan suatu ciptaan baru.
C. Dampak Pembatasan Pengalihan Hak Ekonomi dalam Bentuk Jual Putus