Partai Politik KERANGKA TEORITIS

15 yang terspesialisasi khusus menekankan keterwakilan representativeness, agregasi, pertimbangan dan perumusan kebijaksanaan, partisipasi, serta kontrol pemerintah untuk maksud- maksud terbatas dan untuk satu periode tertentu, serta cara bertindak partai tipe ini umumnya menggunakan beberapa cara untuk bisa berkuasa. Sedangkan partai yang diffused menekankan integrasi, pengawasan permanen dan total, mobilisasi dan pembangunan institusi.

B. Korupsi dan Kartelisasi Partai Politik

Studi ini menggunakan teori-teori yang memiliki hubungan erat dengan kasus yang akan dikaji. Setelah penulis menggunakan teori tentang partai politik, teori selanjutnya yang dipakai pada skripsi ini adalah teori tentang korupsi dan kartelisasi partai politik. Dalam menganalisis masalah ini, penulis menggunakan teori Jack Bologne GONE 13 dalam menjelaskan faktor-faktor mengapa seseorang melakukan tindakan korupsi. Pertama Greedy, terkait keserakahan dan kerakusan para pelaku korupsi. Koruptor adalah orang yang tidak puas akan keadaan dirinya. Kedua Opportuniy, sistem yang memberi peluang untuk melakukan korupsi. Ketiga Need, sikap mental yang tidak pernah merasa cukup, selalu sarat dengan kebutuhan yang tidak pernah usai. Keempat Exposes, hukuman yang dijatuhkan 13 Diakses di http:21ngafifi.wordpress.com20101025beberapa-teori-dasar- tentang-korupsi pada tanggal 2 Mei 2013. 16 kepada para pelaku korupsi yang tidak memberi efek jera pelaku maupun orang lain. Model partai terbaru terutama yang diklasifikasikan oleh Katz dan Mair yang juga hadir pada tahun 1950-an yaitu Cartel Party Partai kartel. Kartel biasanya dikenal dalam konsep ekonomi, ketika beberapa produsen bekerjasama dalam menjual barang dan jasa dengan harga dan jumlah yang telah ditentukan. Tujuan dari pembentukan kartel yaitu membatasi kompetisi tiap produsen serta menghambat masuknya produsen baru untuk bersaing di dalam pasar Sundari. Ketika partai berkolusi menjadi agen dari negara dan menggunakan sumber daya- sumber daya negara Partai negara untuk memastikan kehidupan kolektif mereka sendiri sehingga tetap dapat eksis. Lebih jauh, kehadiran model partai ini karena terjadinya krisis keuangan pada tubuh partai yang disebabkan oleh menghilangnya sumber pokok keuangan mereka dan menurunnya iuran yang berasal dari anggota. 14 Sikap ketidak pedulian anggota ini disebabkan oleh semakin mapannya kehidupan mereka secara ekonomi sehingga sudah tidak begitu tertarik terhadap isu-isu ekonomi. Kartelisasi muncul dari situasi di mana partai politik semakin bergantung pada negara dalam hal pemenuhan kebutuhan finansial. Kebergantungan ini disebabkan oleh merosotnya secara tajam kemampuan mobilisasi keuangan partai melaui iuran anggota. Menyurutnya basis tradisional sumber keuangan ini kemudian membawa partai untuk lebih mendekat ke negara dan menjauh dari masyarakat. Dan kebergantungan mereka pada subsidi negara melaui proses 14 Kuskridho Ambardi, Mengungkap Politik kartel, Jakarta: KPG Kepustakaan Populer Gramedia, 2009. Hal. 31. 17 subvensi dana publik untuk partai pada akhirnya menentukan kelangsungan hidup partai dan memicu munculnya partai jenis kartel. 15 Kartelisasi tejadi karena kepentingan partai-partai untuk menjaga kelangsungan hidup kolektif, mengharuskan mereka melakukan kartel. Dengan demikian, kelangsungan hidup mereka ditentukan oleh kepentingan bersama untuk menjaga berbagai sumber keuangan yang ada, terutama yang berasal dari pemerintah. Pada titik ini, sumber keuangan partai yang dimaksud bukanlah uang pemerintah yang resmi dialokasikan untuk partai politik, melainkan uang pemetrintah yang didapatkan melalui perburuan rente rent-seeking. 16 Sekali satu partai terlibat dalam perburuan rente, ia terlibat dalam kelompok kartel. Dengan demikian, nasib politik dan ekonominya bergantung pada terpeliharanya kartel ini. Dalam situasi seprti ini, partai melihat jabatan- jabatan di kabinet dan parlemen terutama sebagai gerbang untuk menjalankan perburuan rente, bukan untuk mewujudkan tujuan partai yang bersifat ideologis atau pragmatis. 17 Menurut studi yang dilakukan oleh Kuskrido Ambardi 2009, ciri utama dari kartelisasi partai politik adalah kaburnya ideologi partai. Semua partai politik yang bertarung pada dua arena, yaitu pemilu dan di parlemen menunjukkan ketidak konsistensiannya dalam hal ideologi. Ketika pada saat pemilu mereka mereka berkompetisi dengan menegaskan ideologi partainya untuk lebih dekat 15 Kuskrido Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, Jakarta: KPG Kepustakaan Populer Gramedia, 2009. Hal. 31 16 Kuskrido Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, Jakarta: KPG Kepustakaan Populer Gramedia, 2009, Hal.3. 17 Kuskrido Ambardi, Mengungkap Politik Kartel, Jakarta: KPG Kepustakaan Populer Gramedia, 2009. Hal. 3-4. 18 dengan basis pendukungnya. Lain halnya dengan arena kompetisi di parlemen, mereka cenderung melakukan kerjasama dalam memburu rente, sehingga mengabaikan faktor ideologi dan semakin tidak jelasnya pola koalisi-oposisi. Yang terpenting bagi partai politik dalam situasi ini adalah bagaimana mendapatkan dana legal atau ilegal dari negara untuk menghidupi partainya.

C. Teori Institusionalisasi Partai Politik

Penelitian ini menggunakan kerangka teori institusionalisasi partai politik yang dikembangkan oleh Vicky Randall dan Lars Svasand 2002 dalam artikelnya yang berjudul “Party Institutionalization in New Democracies.” Randal dan Svasand mendefinisikan institusionaliasi partai politik sebagai sebuah proses pelembagaan sebuah partai politik yang merupakan hasil dari integrasi antara pola perilaku dengan nilai atau budaya politik. 18 Terdapat dua aspek dalam proses institusionalisasi sebuah partai politik, yaitu internal-eksternal dan struktural-kultural. Jika masing-masing aspek tersebut dipersilangkan, maka menghasilkan beberapa dimensi yang dapat digunakan untuk mengukur derajat institusionalasi sebuah partai politik. Pertama, persilangan antara aspek struktural-internal menghasilkan derajat kesisteman systemness; kedua, persilangan antara aspek kultural-internal menghasilkan derajat identitas nilai value infusion; ketiga, derajat otonomi dalam mengambil keputusan decisional authonomy sebagai hasil dari persilangan antara aspek eksternal dan struktural; keempat, derajat pengetahuan publik atau citra opini 18 Vicky Randall dan Lars Svasand. Party Institusionalization in New Democracies. Jurnal SAGE Publications, tahun 2002, Vo 8 No.1 pp.5-29. Hal 12. 19 publik terhadap sebuah partai politik reification merupakan hasil persilangan dari aspek ekstenal dengan kultural. 19 Internal External Structural Systemness Decisional Autonomy Attitudinal Value Infusion Reification Sebelum membahas keempat derajat proses institusionalasi tersebut, penulis akan menyajikan penjelasan dari keempat aspek yang dipersilangkan dalam mengukur derajat institusionalisasi sebuah partai politik, yakni intenal, eksternal, struktural, dan attitudinalkultural. Pertama, aspek intenal merujuk pada pembangunan aturan main dalam internal sebuah partai politik . Kedua, aspek eksternal mengacu pada hubungan antara sebuah partai politik dengan masyarakat dan institusi-institusi politik lain. Ketiga, aspek struktural dilihat sejauhmana sebuah partai politik berinteraksi dengan negara. Dan Keempat, aspek kultural melihat sejauhmana sebuah partai politik menerima eksistensi para kompetitornya, biasanya dalam bentuk pola koalisi-oposisi paska pemilu. Ramlan Surbakti sebagaimana dikutip Wawan E. Kuswandoro 20 menjelaskan pelembagaan partai politik, dan memberikan penjelasan dari hasil persilangan antara aspek internal-eksternal dan struktural-kultural dengan mengelaborasi teori Randall dan Svasand ini, yakni: 19 Vicky Randall dan Lars Svasand. Party Institusionalization in New Democracies. Jurnal SAGE Publications, tahun 2002, Vo 8 No.1 pp.5-29. Hal 7 dan 12. 20 Wawan E. Kuswandoro. Pelembagaan Partai Politik Randall. Diunduh dari situs: http:wkwk.lecture.ub.ac.id201510pelembagaan-partai-politik-randall , pada tanggal 10 November 2015.