Membuat kader bekerja: dinamika internal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam merespons kasus korupsi Luthfi Hasan Ishaaq menjelang pemilu 2014

(1)

MEMBUAT KADER BEKERJA:

DINAMIKA INTERNAL PARTAI KEADILAN SEJAHTERA

(PKS) DALAM MERESPONS KASUS KORUPSI LUTHFI

HASAN ISHAAQ MENJELANG PEMILU 2014

Skripsi

Diajukan untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)

Oleh:

Rangga Eka Saputra 109033200017

PROGRAM STUDI ILMU POLITIK

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA


(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

ABSTRAKSI

Skripsi ini membahas dinamika internal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam merespons kasus korupsi yang menjerat Luthfi Hasan Ishaaq menjelang pemilu 2014. Penelitian ini menjelaskan pertanyaan: mengapa kader PKS tetap melakukan aksi-aksi kolektif (collective action), seperti: mengikuti rapat-rapat kordinasi, menyelenggarakan aksi pelayanan sosial, pengajian bulanan, pemasangan spanduk/pamflet, direct selling, dan kampanye-kampanye menjelang pemilu 2014, disaat terjadi kasus korupsi kuota impor daging sapi yang melibatkan Luthfi Hasan Ishaaq? Dan bagaimana gerakan PKS melakukan pembingkaian (framing) kepada kadernya untuk tetap melakukan aksi-aksi kolektif menjelang pemilu 2014, disaat terjadi kasus tersebut?. Penelitian ini penting karena PKS merupakan partai kader dan merupakan gerakan Islamisme yang menekankan pelaksanaan prinsip-prinsip ajaran Islam yang ketat bagi para kader maupun elit partainya. Faktanya, perolehan suara PKS pada pemilu 2014 mengalami peningkatan suara elektoral sebanyak 8.480.204 suara, dibandingkan suara tahun 2009 sebanyak 8.204.946 suara. Pembahasan ini juga penting untuk mengetahui faktor framing dalam organisasi gerakan Tarbiyah/ PKS yang membuat kadernya tetap loyal atau bekerja ketika terjadi kasus tersebut.

Penelitian ini menggunakan pendekatan pembingkaian (framing) dalam kajian gerakan sosial (sosial movement). Kemudian, penelitian ini juga menggunakan metode studi kasus. Untuk mendapatkan hasil penelitian yang representatif dan reliable, dalam mendapatkan data penulis menggunkan metode wawancara mendalam kepada kader PKS di setiap jenjang pengkaderan dan struktur organisasi PKS serta melakukan studi pustaka. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat mekanisme framing yang dilakukan struktur/elit PKS dalam menjaga kadernya agar tetap loyal dan bekerja di tengah kasus tersebut. Usaha yang mereka lakukan seperti: pertama, melakukan interpretasi ulang kasus tersebut yang menyatakan bahwa Luthfi Hasan Ishaaq tidak bersalah serta terjadi konspirasi terhadap PKS, kedua, PKS melakukan proses spiral

encapsulation terhadap kadernya terkait kasus tersebut. Terdapat juga

faktor-faktor pendukung dalam budaya atau ideologi PKS yang menyebabkan proses

framing berjalan dengan baik, seperti: adanya faktor kewajiban dan insentif,

resonansi pembingkaian (peran aktor), dan pengaruh rukun bai‟at dalam proses


(7)

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Allah Swt, yang dengan rahmat dan karunianya telah memberikan kemudahan bagi penulis untuk menyelesaikan skripsi ini. Shalawat serta salam dilimpahkan kepada Rasulullah Saw yang telah membawa risalah Islam sebagai salah satu peradaban dunia yang menjunjung tinggi ilmu pengetahuan bagi umatnya.

Dalam proses penyusunan skripsi ini penulis merasa banyak pihak yang membantu. Dengan kerendahan hati, penulis mengucapkan terima kasih kepada pihak-pihak yang membantu penyusunan skripsi ini, diantaranya:

1. Bapak Prof. Bachtiar Effendi selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UIN Syarif Hidayatullah, Bapak Dr. Ali Munhanif selaku Ketua Jurusan Program Studi Ilmu Politik, Bapak M. Zaki Mubarak, M.Si selaku Sekretaris Jurusan, beserta seluruh staf jajarannya.

2. Bapak Dr. Saiful Mujani, MA selaku dosen pembimbing skripsi. Di tengah kesibukannya yang padat, beliau bersedia membaca, mengoreksi, dan memberi saran dalam penyusunan skripsi ini.

3. Bapak dan Ibu dosen jurusan Ilmu Politik yang senantiasa memberikan ilmu dan bimbingannya selama masa penulis berkuliah, antara lain: Bapak Idris Thaha sebagai dosen pembimbing akademik penulis, Bapak Bakir Ihsan, Bapak Agus Nugraha, Bapak Sirajudin Aly, Bapak Nawirudin, Ibu Mutiara Pratiwi, Ibu Gefarina Djohan, dan semua dosen Ilmu Politik yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.


(8)

4. Secara khusus kepada Kak Ihsan Ali-Fauzi (Direktur PUSAD Paramadina) dan Ibu Ida Rosyida yang telah banyak membantu dan memotivasi penulis dalam penyusunan skripsi ini, terutama ketika membantu penulis untuk mewawancarai Ibu Aan Rohana selaku Majelis Syuro PKS. Kak Ihsan adalah sosok yang penting dalam perkembangan akademik saya.

5. Teman-teman Forum Muda Paramadina: Kak Husni Mubarak, Kak Irsyad Rafsyadi, Kak Syafiq Hasyim, Kak Ali Nursyahid, Siswo Mulyartono, Ayu Mellisa, Joko Arizal Theofani, Kathi, Adit, dan Joevarian. Kalian semua menjadi inspirasi bagi saya.

6. Teman-teman FORMACI (Forum Mahasiswa Ciputat): Erwin M. Simbolon, Muhammad Rafsan, Doddy Iskandar, Indra T Purnama, Didi Manakara, Amrizal Ulya, Iir Irham Mudzakir, dan lain-lain. Semoga tradisi membaca, berdiskusi, dan menulis terus berlanjut pada komunitas ini.

7. Teman-teman Jurusan Ilmu Politik angkatan 2009: Muhdlari, Asep Asyari,

Sam‟an, Eko Indrayadi, Abdi, Ali Wafa, Amizar Isma, Riza Abiwinata, Iir Irham Muudzakir, Isma Hamdani, Kholil, Imron Ghozali, Elva, Annisa, Lina, Mutia, Almarhum Selamet, dan lain-lain. Semoga kekompakan dan persahabatan kita akan berlanjut seiring keterbatan ruang dan waktu selepas kita lulus.

8. Kepada narasumber yang telah meluangkan waktunya untuk penulis bertanya kepada mereka mengenai penelitian ini.


(9)

9. Ucapan terima kasih kepada istri saya: Pury Cahyani, S.KM yang dengan sabar dan setia membantu dan menemani saya dalam penyusunan skripsi ini. Kepada putri-putri saya: Kayyisah Hasna Jannati dan Nizza Ismah Zayani. Mereka adalah sumber semangat bagi saya dalam menyusun skripsi ini.

10.Terakhir, ucapan terima kasih kepada keluarga saya: Ayahanda Rahimi Chandra dan Ibunda Megawati, yang senatiasa memberi doa untuk hidup saya. Juga kepada adik-adik saya: Putri Bilqish, Maria Qibtia, Haikal Ibrahim dan Naurah Nazifah.

Jakarta, 22 Oktober 2014


(10)

DAFTAR ISI

ABSTRAKSI...i

KATA PENGANTAR...ii

DAFTAR ISI...v

DAFTAR TABEL...vii

DAFTAR SINGKATAN...viii

DAFTAR PUSTAKA...ix

BAB I. PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah...1

B. Pertanyaan Penelitian...8

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian...8

D. Tinjauan Pustaka...10

E. Metode Penelitian...13

E.1. Pendekatan Penelitian...13

E.2. Jenis Penelitian...14

E.3. Teknik Pengumpulan Data...14

E.4. Analisis Data...15

F. Sistematika Penulisan...16

BAB II. KERANGKA TEORI A. Gerakan Sosial : Pembingkaian (Framing)...18

A.1. Bingkai Aksi Kolektif (Collective Action Frame)...22

A.2. Resonansi Pembingkaian (Framing Resonance)...23

A.3. Psikologi Sosial (Social Psychology)...25

B. Islamisme dan Aktivisme Islam...29

B.1. Definisi Islamisme dan Aktivisme Islam...29

B.2. Asal-Usul Gerakan Islamisme...31

B.3. Variasi dalam Gerakan Islamisme...34

BAB III. PKS SEBAGAI ORGANISASI GERAKAN SOSIAL DAN KASUS LUTHFI HASAN ISHAAQ A. Sejarah PKS: Dari Gerakan Kampus ke Panggung Politik...36

B. Framing PKS Sebagai Organisasi Gerakan Sosial Islam...40

B.1. Bingkai Diagnostik...40

B.2. Bingkai Prognostik...43

B.3. Bingkai Motivasi...45

C. Landasan Ideologis Gerakan...47


(11)

E. Urgensi Rukun Bai‟at Dalam Gerakan...52

F. Tingkatan/Jenjang Keanggotaan Dalam Gerakan...55

G. Kasus Kuota Impor Daging Sapi yang Menjerat Luthfi Hasan Ishaaq...61

BAB IV. FRAMING PKS DAN FAKTOR-FAKTOR PENDUKUNGNYA A. Reinterpretasi Masalah: Konspirasi dan Luthfi Hasan Ishaaq Tidak Bersalah...65

B. Bingkai Motivasi: Kewajiban dan Insentif...69

C. Resonansi Pembingkaian (Peran Aktor)...73

D. Pemutusan Informasi yang Berasal dari Luar Gerakan...77

E. Pengaruh Rukun Bai‟at dalam ProsesFraming...81

BAB V. KESIMPULAN A. Kesimpulan...85


(12)

DAFTAR TABEL

Tabel 1: Perbandingan perolehan suara PKS dan Partai Demokrat tahun 2009 dan

2014...7

Tabel 2: Framing diagnostik gerakan Tarbiyah/PKS...43

Tabel 3: Rukun Bai‟at...54


(13)

DAFTAR SINGKATAN

DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia) DPC (Dewan Pengurus Cabang)

DPD (Dewan Pengurus Daerah) DPP (Dewan Pengurus Pusat) DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) DPRa (Dewan Pengurus Ranting) DPW (Dewan Pengurus Wilayah)

FSLDK (Forum Silaturahmi lembaga Dakwah Kampus), FIS (Forum of Islamic Study)

HTI (Hizbut Tahrir Indonesia) ITB (Institut Teknologi Bandung) KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi)

KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). LDK (Lembaga Dakwah Kampus)

NU (Nahdlatul Ulama)

PAN (Partai Amanat Nasional) PBB (Partai Bulan Bintang) PD (Partai Demokrat) PK (Partai Keadilan)

PKS (Partai Keadilan Sejahtera) PPP (Partai Persatuan Pembanguna) UI (Universitas Indonesia)


(14)

BAB I

PENDAHULUAN

G. Pernyataan Masalah

Skripsi ini membahas dinamika internal Partai Keadilan Sejahtera (PKS) dalam merespons kasus korupsi yang menjerat Luthfi Hasan Ishaaq menjelang pemilu 2014. Penelitian ini menjelaskan pertanyaan: mengapa kader PKS tetap loyal dan melakukan aksi-aksi kolektif (collective action) ketika terjadi kasus tersebut dan bagaimana usaha yang dilakukan struktur/elit PKS untuk menjaga kadernya tetap loyal dan bekerja untuk gerakan. Penelitian ini penting karena PKS merupakan partai kader dan merupakan gerakan Islamisme yang menekankan pelaksanaan prinsip-prinsip ajaran Islam yang ketat bagi para kader maupun elit partainya. Loyalitas dan aksi-aksi kolektif yang dilakukan kader PKS seperti: memasang atribut (spanduk dan poster) partai, direct selling, kampanye pemilu, melakukan aksi pelayanan sosial, dan mengikuti rapat-rapat rutin partai.

Sebelumnya ada sebuah peristiwa penting bagi PKS menjelang pemilu 2014, yaitu tertangkap tangannya presiden PKS Luthfi Hasan Ishaaq oleh KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) terkait kasus kuota impor sapi akhir Januari 2013. Bahkan dalam pengadilan yang digelar hari Senin, 9 Desember 2013 terbukti bahwa Luthfi Hasan Ishaaq menerima suap dalam pengurusan kuota impor daging di Kementerian Pertanian. Dalam kasus ini, Luthfi dinyatakan terbukti bersalah melanggar Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 30 Tahun


(15)

1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP.1

Yang penting dalam kasus tersebut adalah dinamika internal PKS terkait kasus hukum Luthfi terutama bagaimana pengaruhnya terhadap mesin partai (kader). Diketahui bahwa PKS adalah partai yang menjadikan Islam sebagai ideologi dan menuntut kadernya untuk mengamalkan ajaran-ajaran Islam secara

kaffah. Ada persoalan penting yaitu seberapa besar kasus Luthfi Hasan Ishaaq

mempengaruhi loyalitas dan soliditas kadernya yang notabene adalah mesin partai dalam menghadapi pemilu 2014.

Mardani Ali Serra menyatakan bahwa mesin partai (kader) dan struktur partainya tidak terpengaruh dengan kasus yang menimpa Luthfi Hasan Ishaaq.2 Lebih lanjut, PKS melalui Anis Matta menyatakan memberi bantuan hukum kepada Luthfi Hasan Ishaaq terkait kasus kuota impor daging sapi tersebut.3 Hal ini menjadi paradoks dengan kasus Syamsul Balda (anggota DPR RI dari PK periode 1999-2004) yang dipecat terkait pelanggaran moral.

Loyalitas kader PKS dapat dilihat dari bagaimana aksi-aksi kolektif

(collective actions) atau kerja-kerja untuk gerakan/partai yang dilakukan kadernya

menjelang pemilu legislatif 2014. Sebagaimana laporan berita di harian Tempo yang menggambarkan kampanye PKS menjelang pemilu 2014:

1

Tempo.co, Luthfi Hasan Disebut Terbukti Menerima Suap. Lihat http://www.tempo.co/read/news/2013/12/09/063535925/Luthfi-Hasan-Disebut-Terbukti-Terima-Suap. Di Unduh pada Kamis, 1 Mei 2014.

2

Tempo.co, PKS Tak Terima Luthfi Disebut Rusak Citra Partai. Lihat http://www.tempo.co/read/news/2013/12/10/078536112/PKS-Tak-Terima-Luthfi-Disebut-Rusak-Citra-Partai. diunduh pada Kamis, 1 Mei 2014.

3

The Jakarta Post Online, PKS Provides Lawyers to Defends Luthfi Hasan. Lihat http://www.thejakartapost.com/news/2013/02/05/pks-provides-lawyers-defend-luthfi-hasan.html. diunduh pada Kamis, 1 Mei 2014.


(16)

“Ribuan kader Partai Keadilan Sejahtera memenuhi tribun Stadion Gelora Bung

Karno, Senayan, Jakarta, Ahad, 16 Maret 2014. Mereka tampak berdesak-desakan di antara kursi tribun sembari menyaksikan juru kampanye partai berlambang bulan sabit kembar menyampaikan pidatonya.Hampir tidak ada kursi tribun yang kosong. Bahkan para kader yang kompak mengenakan baju putih seolah mengubah warna tribun stadion yang bermacam corak dan warna itu...Dalam pidatonya, Hilmi Aminududdin mengatakan penuhnya massa di stadion mununjukkan PKS tahan dengan beragam masalah yang menimpa setahun belakangan (Kasus LHI). "Hari ini mengingatkan langkah perjuangan kami 30 tahun lalu. Saya tidak pernah yakin bisa menyaksikan massa sebegini besar,"...Anis Matta mengatakan goncangan hebat terhadap PKS sudah selesai, ibarat Nabi Yusuf yang keluar dari pembuangan sumur. “Kita sudah keluar dari goncangan itu dengan iman yang lebih kuat. Dengan tekad itulah, kita putihkan

Jakarta”.4

Fenomena loyalitas dan aksi kolektif kader PKS di atas diperkuat dengan fakta perolehan suara nasional PKS secara elektoral yang naik dari 8.204.946 suara pada tahun 2009 menjadi 8.480.204 suara pada tahun 2014.5 Kenaikan suara ini menurut penulis merupakan hasil dari kerja-kerja kolektif kader PKS menjelang pemilu legislatif 2014. Karena, sebagai salah satu gerakan Islamisme yang bertansformasi menjadi partai politik, PKS masih mempertahankan karakter dasarnya dengan memperkuat kapasitas organisasi dan sumber daya kader yang dimilikinya dalam melakukan mobilisasi aktifitas partai atau gerakannya.6 Artinya, dengan kasus yang menjerat Luthfi Hasan Ishaaq tidak mempengaruhi loyalitas kader PKS dalam berkerja untuk gerakan/partai.

Fenomena kenaikan suara PKS secara nasional pada tahun 2014 berbeda dengan yang dialami oleh Partai Demokrat (PD). Partai Demokrat mengalami

4

Tempo.co, Kampanye Perdana, PKS Bersumpah Putihkan Jakarta. Lihat

http://pemilu.tempo.co/read/news/2014/03/16/269562686/Kampanye-Perdana-PKS-Bersumpah-Putihkan-Jakarta--- 10/6/14. Di Unduh pada Kamis, 1 Mei 2014.

5

Wikipedia, Partai Keadilan Sejahtera. Lihat

http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Keadilan_Sejahtera. Diunduh pada Jumat, 23 Agustus 2014. 6

Burhanudin Muhtadi, Dilema PKS: Suara dan Syariah, (Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2012) hal.31.


(17)

penurunan suara nasional secara drastis pada tahun 2014. Pada pemilu tahun 2009, PD secara elektoral mendapat suara nasional sebanyak 21.703.137, sedangkan pada pemilu 2014 turun menjadi 12.728.913 suara.7

Sebenarnya pada saat yang sama, PKS dan Partai Demokrat mengalami masalah yang sama menjelang pemilu 2014, yaitu pimpinan/elit partai keduanya (Luthfi Hasan Ishaaq sebagai presiden PKS dan Anas Urbaningrum sebagai ketua umum PD) terjerat kasus korupsi. Dari data perolehan suara PKS dan Partai Demokrat di atas, kedua partai ini mengalami perbedaan. PKS mengalami kenaikan, sedangkan Partai Demokrat mengalami penurunan suara elektoral pada pemilu 2014 jika dibandingkan perolehan suara pada pemilu sebelumnya (lihat tabel 1).

Tabel 1. Perbandingan perolehan suara PKS dan Partai Demokrat tahun 2009 dan 2014.

Partai Keadilan Sejahtera Partai Demokrat

2009 8.204.946 21.703.137

2014 8.480.204 12.728.913

Selisih (+) 275.258 (-) 8.974.224

Sebelumnya, kelahiran PKS sebagai partai Islam yang menekankan sumber daya kader dalam aktivitasnya, tidak lepas dari sejarah gerakan Tarbiyah. Fenomena politik pada periode Orde Baru yaitu tidak tersalurkannya aktivitas dan aspirasi gerakan-gerakan yang bersebrangan secara ideologi dan politis dengan penguasa. Hal ini dapat dipahami karena pada rezim Orde Baru negara melakukan kontrol yang ketat dan represif kepada organisasi yang berlawanan dengan azas dan kepentingan penguasa dengan alasan stabilitas dan pembangunan. Banyak

7

Wikipedia, Partai Demokrat lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Demokrat. Diunduh pada Jumat, 23 Agustus 2014.


(18)

cara yang dilakukan rezim untuk menjinakkan organisasi-organisasi tersebut, seperti: penculikan, penahanan, pembredelan media, dan sebagainya.

Azas tunggal Pancasila dijadikan legitimasi rezim untuk melakukan tindakan represif tersebut. Bahkan, rezim secara paksa mengharuskan semua organisasi memakai azas Pancasila dalam landasan organisasinya. Akibatnya kelompok-kelompok yang tidak mau memakai azas Pancasila dalam gerakannya atau bersebrangan secara politis dengan rezim, memilih untuk menjadi organisasi

underground, seperti: komunisme dan beberapa gerakan aktivisme Islam.

Gerakan Tarbiyah merupakan salah satu gerakan yang menjadi

underground pada masa Orde Baru. Gerakan ini memulai aktivisnya pada awal

tahun 1980 dan mengadopsi ideologi gerakan Al-Ikhwan Al-Muslimun dari Mesir yang didirikan oleh Hasan Al-Banna.8 Pada awal masa Orde Baru gerakan ini memulai aktifitasnya di kampus-kampus dengan merekrut mahasiswa sebagai kader-kader gerakan.9 Beberapa kader awal gerakan ini yang direkrut dari kampus antara lain seperti: Mustafa Kamal, Zulkieflimansyah, Mahfud Siddiq, dan Rama Pratama, mereka adalah kader gerakan yang direkrut di Universitas Indonesia. Beberapa organisasi ekstra-kampus yang menjadi basis kader Jamaah Tarbiyah seperti: FSLDK (Forum Silaturahmi lembaga Dakwah Kampus), FIS (Forum of Islamic Study), dan KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia).

8

Yon Machmudi, Islamising Indonesia : The Rise of Jemaah Tarbiyah and the Prosperous Justice Party (PKS), (Canberra: ANU E Press, 2006), hal.4.

9

Yon Machmudi, Islamising Indonesia : The Rise of Jemaah Tarbiyah and the Prosperous Justice Party (PKS), hal.1.


(19)

Proses pengkaderan yang dilakukan Jamaah Tarbiyah pada rezim Orde Baru, mereka sebut Mihwar Tanzimi10 atau penguatan organisasi. Pada periode ini fokus utama gerakan Jamaah Tarbiyah dan yang menjadi kebutuhan mereka adalah menyiapkan kader-kader yang militan dan loyal terhadap organisasi. Dalam penguatan organisasi, fokus pembinaan kader pada periode ini meliputi

tashhihul aqidah (meluruskan aqidah), tashhihul fikroh (meluruskan pemikiran),

tashhihul akhlaq (meluruskan akhlak), dan tashhihul „ubudiah (meluruskan

ibadah).11 Pada periode ini aspek pembinaan lebih menekankan pada internalisasi dan pemurnian ideologi kepada para kadernya. Aspek politik dilihat belum terlalu penting karena struktur kesempatan politik yang belum memungkinkan.

Munculnya Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang merupakan kelanjutan dari Jamaah Tarbiyah, membawa ciri tersendiri terhadap gerakan aktivisme Islam di Indonesia paska Orde Baru. Bebeda dengan NU (Nahdlatul Ulama) atau Muhammadiyah yang corak ke-Islamannya merupakan hasil adaptasi dengan konteks budaya ke-Indonesiaan. Jamaah Tarbiyah/PKS corak ke-Islamannya mengikuti ideologi Al-Ikhwan Al-Muslimun yang berasal dari Timur Tengah. Kemudian yang membedakan Jamaah Tarbiyah/PKS dari Partai Islam yang lainnya, seperti: Partai Persatuan Pembanguna (PPP) dan Partai Bulan Bintang (PBB) adalah bahwa PKS lahir dari sebuah gerakan Islam.

Dengan kata lain, Partai Keadilan Sejahtera (PKS) selain sebagai sebuah partai politik juga merupakan gerakan Islamisme. Ciri khusus yang membedakan PKS dengan gerakan Ismamisme lainnya di Indonesia adalah mereka menempuh

10

KH. Hilmi Aminuddin, Menghilangkan Trauma Persepsi, (Jakarta: ARAH Press,2008) hal.168.

11


(20)

jalur politik formal dengan mengikuti pemilu dan masuk dalam sistem negara, serta tetap mempertahankan kader sebagai basis gerakannya. Hal tersebut tercermin dari struktur organisasi PKS yang rigid mulai dari level DPP (Dewan Pengurus Pusat) sampai pada level DPRa (Dewan Pengurus Ranting) atau tingkat kelurahan. Selain itu, ciri dari dari sebuah gerakan sosial juga dilihat dari tuntutan kedisiplinan dan loyalitas para anggotanya terhadap pemimpin dan ideologi partai. Hadirnya PKS juga mendapat respon positif secara elektoral. Sebelum menjadi PKS, terlebih dahulu partai ini bernama Partai Keadilan (PK) pada pemilu tahun 1999. PK pada saat itu hanya mendapat perolehan suara 1,7 % sehingga tidak lolos elektoral threshold. Pada tahun 2002 PK berubah menjadi PKS, dan pada pemilu 2004 mendapat perolehan suara 4 %, kemudian pada pemilu tahun 2009 mendapat perolehan suara elektoral 7,88 %. Ini melebihi perolehan suara PAN, PPP, dan PKB.

Terakhir, fokus skripsi ini untuk mengetahui faktor-faktor pembingkaian

(framing) dalam organisasi gerakan Tarbiyah/ PKS yang membuat kadernya tetap

loyal atau bekerja ketika terjadi kasus Luthfi tersebut. Terutama framing yang berasal dari ajaran/ideologi dalam gerakan mereka ataupun framing yang sengaja dikonstruk oleh gerakan terhadap kasus tersebut. Sehingga, penelitian ini dapat melihat dengan pendekatan teori-teori framing dalam studi gerakan sosial, bagaimana PKS sebagai sebuah gerakan sosial Islam keluar dari krisis dan berusaha untuk membuat kadernya tetap loyal dan bekerja disaat terjadi pelanggaran ideologi oleh pimpinan/elit mereka.


(21)

H. Pertanyaan Penelitian

Dalam penelitian ini, penulis mengajukan dua pertanyaan yang terkait dengan latar belakang masalah yang telah dijabarkan di atas:

1. Mengapa kader PKS tetap melakukan aksi-aksi kolektif (collective action), seperti: mengikuti rapat-rapat kordinasi, menyelenggarakan aksi pelayanan sosial, pengajian bulanan, pemasangan spanduk/pamflet, direct selling, dan kampanye-kampanye menjelang pemilu 2014, disaat terjadi kasus korupsi kuota impor daging sapi yang melibatkan Luthfi Hasan Ishaaq? 2. Bagaimana gerakan PKS melakukan pembingkaian (framing) kepada

kadernya untuk tetap melakukan aksi-aksi kolektif menjelang pemilu 2014, disaat terjadi kasus korupsi kuota impor daging sapi yang melibatkan Luthfi Hasan Ishaaq?

I. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Berdasarkan rumusan permasalahan di atas, maka tujuan yang hendak dicapai oleh penulis dalam penelitian ini adalah:

1. Menjelaskan alasan atau faktor-faktor yang menyebabkan kader-kader PKS tetap melakukan aksi-aksi kolektif dalam gerakan disaat terjadi kasus Luthdi Hasan Ishaaq.

2. Mendeskripsikan dan menganalisa proses pembingkaian (framing) yang dilakukan struktur organisasi PKS dalam menjaga kadernya (mesin partai) untuk tetap loyal ketika terjadi kasus Luthfi Hasan Ishaaq.


(22)

3. Menjelaskan faktor-faktor pendukung yang menyebabkan framing yang dilakukan struktur atau elit PKS berhasil membuat kadernya tetap melakukan kerja-kerja untuk partai.

Penelitian ini juga memiliki signifikansi manfaat penelitian secara akademis dan praktis sebagai berikut:

Manfaat Akademis

Penelitian ini diharapkan dapat menjadi nilai tambah bagi pengembangan ilmu pengetahuan dalam kajian tentang partai politik Islam dan gerakan sosial ke-Islaman, khususnya mengenai dinamika partai politik Islam yang sedang mengalami persoalan internal. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran dan tambahan wawasan bagi peneliti lain yang ingin melakukan penelitian yang sejenis, khususnya di UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.

Manfaat Praktis

Penelitian ini diharapkan memberikan gambaran terhadap dinamika perkembangan partai Islam di Indonesia. Penelitian ini memberikan gambaran langkah-langkah pembingkaian (framing) sebuah gerakan Islam dalam menghadapi persoalan internal, khususnya PKS yang sedang mengalami persoalan internal yang terkait masalah yang menyangkut pelanggaran ideologi agar kadernya tetap loyal melakukan aksi-aksi kolektif (collective action).


(23)

J. Tinjauan Pustaka

Literatur pertama yang penulis bahas adalah disertasi Yon Machmudi yang

berjudul “Islamising Indonesia: The Rise of Jemaah Tarbiyah and the Prosperous

Justice Party (PKS). Dalam disertasinya, Yon Machmudi membahas mengenai

asal usul PKS, ideologi, dan pengaruh mereka terhadap Islamisme di Indonesia. Penelitian Yon Machmudi bertujuan memberikan kontribusi guna menganalisis fenomena gerakan Islam dan partai politik Islam di Indonesia, khususnya kemunculan gerakan Jamaah Tarbiyah dan transformasi mereka menjadi partai politik (PKS).12

Pada penelitiannya tersebut Yon Machmudi memberikan klasifikasi baru

bagi model aktivisme Islam Jamaah Tarbiyah atau PKS, yaitu “Santri Global”.

Maksudnya adalah kemunculan PKS merupakan sintesa antara orientasi akomodasi dan purifikasi Islam di Indonesia, sehingga kemunculannya

menyebabkan kaburnya dikotomi antara Islam “tradisionalis” dan “Modernis”.13 Corak khas dari gerakan ini adalah mereka mengadopsi ideologi dari Ihkwanul

Muslimin yang didirikan Hasan Al-Banna di Mesir. Artinya corak atau

prinsip-prinsip gerakan Islam PKS khas timur tengah (Ikhwanul Muslimin) dan memberikan warna tersendiri bagi gerakan Islam di Indonesia.

Literatur kedua yang penulis ulas dalam penulisan skripsi ini adalah buku

yang berjudul “Dilema PKS: Suara dan Syariah” karya Burhanudin Muhtadi. Buku ini secara mendalam membahas dinamika PKS baik sebagai partai politik

12

Yon Machmudi, Islamising Indonesia : The Rise of Jemaah Tarbiyah and the Prosperous Justice Party (PKS), hal.15.

13

Yon Machmudi, Islamising Indonesia : The Rise of Jemaah Tarbiyah and the Prosperous Justice Party (PKS), hal.61.


(24)

maupun salah satu gerakan sosial Keagamaan, disebut “aktivisme Islam” dalam

kerangka gerakan sosial.

Ada beberapa hal yang menarik perhatian Burhanudin mengapa Dia memilih PKS sebagai objek penelitiannya. Pertama, PKS merupakan satu-satunya partai poltik Islam yang terlahir dari gerakan sosial keagamaan (Tarbiyah) paska Orde Baru. Burhanudin melihat ini sebagai hal yang unik karena PKS sebagai gerakan sosial melakukan transformasi menjadi partai politik, berbeda dengan gerakan-gerakan Islamis lainnya yang tidak masuk dalam politik praktis

(electoral), seperti: HTI (Hizbut Tahrir Indonesia), Laskar Jihad, MMI (Majelis

Mujahidin Indonesia), dan sebagainya.

Kedua, PKS adalah partai yang rajin melakukan aksi-aksi turun ke jalan

dan melakukan aktivitas non-elektoral. Isu-isu yang biasa dipakai PKS dalam melakukan aksi-aksi tersebut adalah isu solidaritas kepada Palestina dan mengutuk tindakan Israel dan Amerika. Dalam melakukan aksi-aski tersebut, PKS melakukan mobilisasi kadernya untuk turun ke jalan dan secara kolektif menyumbang dana untuk rakyat Palestina.

Selain persoalan aktivisme Islam yang dibahas, salah satu hal pokok yang menjadi pembahasan Burhanudin adalah dilema elektoral PKS. Dari persoalan ini

Burhanudin melihat ada “kegalauan” PKS dalam melakukan strategi elektoral,

yakni di satu sisi mereka ingin menaikkan suara elektoral dengan mendeklarasikan diri sebagai partai terbuka, dengan melakukan strategi-strategi yang bergerser dengan pakem ideologi mereka (seperti melakukan Mukernas di Bali dan iklan Soeharto sebagai bapak bangsa). Kemudian di sisi lain, mereka


(25)

harus tetap menjaga idealisme mereka terhadap kemurnian ideologi yang dianutnya sebagai basis soliditas organisasi.

Dari fenomena di atas Burhanudin merumuskan beberapa pertanyaan terkait PKS dalam bukunya. Pertama, mengapa PKS lahir dan bagaimana proses kelahirannya? Kedua, bagaimana PKS menyampaikan pesan ideologi dan diterima oleh kelompok sasaran? Bagaimana strategi elektoral PKS dalam mengembangkan suara elektoral dengan mendeklarasikan sebagai partai terbuka?.14

Dalam buku tersebut Burhanudin menggunakan pendekatan gerakan sosial yang integral untuk menjelaskan fenomena dan pertanyaan di atas. Beberapa teori gerakan sosial utama yang digunakan Burhanudin yaitu: Teori Mobilisasi Sumber Daya (Resources Mobilization Theory), Struktur Kesempatan Politik (Political

Opportunity Structure), dan Pembingkaian (Framing).

Hal yang menurut penulis luput dari pembahasan Yon Machmudi dan Burhanudin Muhtadi dalam risetnya adalah pembahasan mengenai dinamika internal PKS terkait kasus-kasus particular yang menyangkut pelanggaran atau penyelewengan ideologi oleh elit/pimpinan PKS (kasus hukum dan pelanggaran moral) terhadap loyalitas kadernya. Misalnya, Burhanudin dalam bukunya melihat dilema PKS disebabkan karena faktor strategi elektoral yang menggeser idealisme ideologi partai. Artinya yang dilihat adalah faktor kebijakan partai dan dinamika yang terjadi dalam tataran elit.

14


(26)

Sementara itu penelitian mengenai dinamika Internal PKS terkait kasus-kasus khusus (hukum dan moralitas) yang mempengaruhi loyalitas kader PKS dalam setiap level (tingkatan anggota) belum banyak perhatian secara akademis. Kasus utama seperti pengaruh kasus hukum Luthfi Hasan Ishaaq terhadap soliditas kader PKS dan bagaimana PKS sebagai sebuah gerakan menanggulangi persoalan tersebut, belum di bahas oleh penelitian-penelitian sebelumnya.

K. Metode Penelitian

Metode penelitian merupakan cara dan prosedur yang tersusun secara sistematis dan terorganisasi untuk menyelidiki suatu masalah tertentu dengan maksud mendapatkan informasi untuk digunakan sebagai solusi atas masalah tersebut.15 Metode penelitian mencakup: pendekatan penelitian, jenis penelitian, teknik pengumpulan data, dan analisis data.

E.1. Pendekatan Penelitian

Pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan kualitatif untuk menjawab pertanyaan penelitian. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk mengungkapkan gejala secara holistik-kontekstual melalui pengumpulan data dan latar alami dengan memanfaatkan penelitian sebagai instrumen kunci. Proses dan pemaknaan (perspekstif subjek) lebih ditonjolkan dalam penelitian kualitatif, Ciri penelitian kualitatif dapat dilihat dari bentuk laporannya, yaitu dalam bentuk narasi yang bersifat kreatif dan mendalam.16

15

Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2010), hal. 12. 16

H. Bahrun Nur Tanjung dan Ardinal, Pedoman Penulisan Karya Ilmiah (Jakarta: Kencana, 2005), Hal. 2.


(27)

E.2. Jenis Penelitian

Jenis penelitian yang penulis gunakan pada penelitian ini adalah Studi Kasus. Studi kasus merupakan penelitian dimana di dalamnya peneliti menggali entitas tunggal atau fenomena (kasus) yang dibatasi oleh waktu dan kegiatan (program, kejadian, proses, institusi, atau kelompok sosial) dalam pengumpulan informasi terperinci melalui penggunaan berbagai prosedur pengumpulan data selama periode waktu yang lama.17 Dengan jenis penelitian ini, penulis mencoba menfokuskan penelitiannya mengenai proses framing dan faktor pendukungnya yang menyebabkan kadernya agar tetap loyal melakukan aksi-aksi kolektif

(Collective actions) dalam melaksanakan kegiatan partai di tengah kasus hukum

yang menjerat Luthfi Hasan Ishaaq. E.3. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan penulis adalah wawancara mendalam dan studi pustaka. Di sini penulis mewawancarai secara mendalam beberapa orang kader PKS yang penulis klasifikasi berdasarkan: pertama, Jenjang keanggotaan, meliputi: kader Tamhidi (pemula), Muayyid (muda),

Muntasib (Madya), Muntazhim (Dewasa) dan Mas‟ulin (Purna). kedua, struktur

organisasi PKS, meliputi: Pengurus DPP (Dewan Pengurus Pusat) PKS, Pengurus DPD (Dewan Pengurus Daerah) PKS Jakarta, Pengurus DPC (Dewan Pimpinan Cabang) PKS Kecamatan, DPRa (Dewan Pengurus Ranting) Kelurahan, dan kader non-struktural. Sedangkan untuk studi pustaka, penulis mendapatkan sumber dari: buku, jurnal, skripsi, disertasi, berita koran, dan berita internet.

17


(28)

E.4. Analisis Data

Berdasarkan tujuannya, penelitian ini bertujuan deskriptif-analisis terhadap masalah yang diangkat penulis. Penelitian deskriptif menyajikan satu gambaran yang terperinci tentang situasi khusus, setting sosial, atau hubungan.18 Setelah data dideskripsikan maka selanjutnya penulis akan melakukan analisis kristis terhadap temuan-temuan dalam penelitian dan memberikan penilaian subjektif terhadap hasil temuan dalam penelitian.

Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif, sehingga analisis data yang digunakan juga merupakan analisis kualitatif. Dalam analisis data kualitatif, data yang dikumpulkan (observasi, wawancara, dan studi dokumen) dan diproses sebelum siap digunakan (melalui pencatatan, pengetikan, penyuntingan, atau alih tulis), dimana analisis kualitatif tetap menggunakan kata-kata dalam bentuk teks, dan tidak menggunakan angka-angka matematis atau statistika sebagai alat analisis.19

Ada beberapa alur kegiatan dalam analisis data kualitatif: reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan.20 Reduksi data diartikan sebagai proses pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan, pengabstaksian, dan transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan di lapangan.21 Sedangakan dalam penyajian data, bentuk yang paling sering digunakan untuk data kualitatif adalah teks narative.22

18

Ulbe Silalahi, Metode Penelitian Sosial, hal.27. 19

Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial,hal.339. 20

Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, hal.339. 21

Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, hal.339. 22


(29)

L. Sistematika Penulisan

Agar didapatkan penelitian yang fokus dan sistematis, serta mempermudah dalam penulisan laporan penelitian ini, penulis membagi pembahasan ke dalam lima bab. Masing-masing bab terdiri dari sub-sub sebagaimana berikut:

BAB. I, membahas Pendahuluan yang berisi antara lain: Latar Belakang Masalah, Pertanyaan Masalah, Tujuan dan Manfaat Penelitian, Tinjauan Pustaka, Kerangka Teori, Metodologi Penelitian, dan Sistematika Penulisan.

BAB. II, pada bab ini akan membahas tentang Landasan Teori Framing dalan kajian Gerakan Sosial dan Aktivisme Islam atau Islamisme. Teori-teori

Framing yang penulis gunakan meliputi: bingkai aksi kolektif (collective actions

frame), resonansi pembingkaian (framing resonance), dan faktor psikologi sosial

(social psychology). Sedangkan pembahasan mengenai Islamisme dan aktivisme

Islam meliputi: definisi Islamisme dan aktivisme Islam, asal usul gerakan Islamisme, dan variasi dalam gerakan Islamisme.

BAB. III, bab ini membahas PKS sebagai organisasi gerakan sosial. Pembahasan pada bab ini meliputi: sejarah dan latar belakang berdirinya PKS,

framing PKS sebagai organisasi gerakan sosial Islam, landasan ideologis gerakan,

proses kaderisasi melalui tarbiyah: tujuan dan prosesnya, rukun bai‟at, tingkatan keanggotaan/jenjang dalam gerakan, dan sekilas persoalan hukum yang menjerat Luthfi Hasan Ishaaq.

BAB. IV, bab ini berisi deskripsi dan analisis komprehensif mengenai pembingkaian (framing) PKS dan faktor pendukungnya pada kasus Luthfi Hasan Ishaaq. Bagian ini meliputi: reinterpretasi kasus dengan penjelasan konspirasi dan


(30)

menilai Luthfi Hasan Ishaaq tidak bersalah, bingkai motivasi: kewajiban dan insentif, peran aktor dalam resonansi pembingkaian, pemutusan informasi bagi

kader terhadap informasi yang berasal dari luar, dan pengaruh rukun bai‟at

terhadap proses framing.

BAB. V, pada bab ini akan diambil kesimpulan dari uraian yang telah ditulis pada bab-bab sebelumnya, kemudian akan diberikan saran-saran berkaitan dengan kesimpulan-kesimpulan tersebut.


(31)

BAB II

KERANGKA TEORI

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan gerakan sosial

(social movement) untuk menjawab persoalan dan pertanyaan penelitian. Teori

gerakan sosial yang penulis gunakan adalah adalah teori-teori gerakan sosial dari perspektif pembingkaian (framing). Alasan penulis menggunakan teori framing, karena penulis melihat PKS sebagai sebuah organisasi gerakan sosial Islam kaya akan bentuk-bentuk pembingkaian yang ditujukan kepada para kadernya supaya melakukan aksi-aksi kolektif (collective actions) untuk tujuan gerakan.

A. Gerakan Sosial : Pembingkaian (Framing)

Ihsan Ali Fauzi memberikan rangkuman mengenai definisi gerakan sosial dari beberapa sarjana gerakan sosial:

“Definisi gerakan sosial menurut Michael Usleem adalah tindakan kolektif

terorganisasi yang dimaksudkan untuk mengadakan perubahan sosial. Lebih jauh McCarthy dan Mayer Zald merinci definisi gerakan sosial sebagai upaya terorganisasi untuk mengadakan perubahan di dalam distribusi hal-hal yang

bernilai secara sosial”. 23

Dalam menjelaskan definisi gerakan sosial di atas, Ihsan Ali Fauzi menyatakan bahwa terdapat dua fitur dalam definisi gerakan sosial, yaitu

“tantangan kolektif” dan “corak politis”. Tantangan kolektif, yakni upaya-upaya terorganisasi untuk mengadakan perubahan struktur dan kelembagaan sosial (institusi maupun kebijakan publik). Kedua adalah corak politis yang terdapat

23

Ihsan Ali Fauzi dalam Pengantar terjemahan buku, Quintan Wiktorowicz (edt.),

Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial,(Jakarta: Demokrasi Project dan Yayasan Abad Demokrasi, 2012) hal.4.


(32)

dalam aksi-aksi gerakan sosial. Corak politis ini sangat erat dengan tujuan-tujuan politis dari sebuah gerakan sosial. 24

Dalam gerakan sosial terdapat tiga teori utama yang menjadi kesepakatan dalam studi gerakan sosial. Teori tersebut yaitu: teori mobilisasi sumber daya

(Resource Mobilization Theory), struktur kesempatan politik (political

opportunity structure), dan pembingkaian (framing)25. Ketiga teori ini merupakan

sintesis dari teori gerakan sosial sebelumnya, seperti pendekatan psikologis. Pada penelitian ini penulis menggunakan pendekatan framing dalam lingkup gerakan sosial untuk menjelaskan aksi-aksi kolektif kader PKS. Bingkai

(frame) merupakan skema-skema yang memberikan sebuah bahasa dan sarana

kognitif untuk memahami pengalaman-pengalaman dan peristiwa-peristiwa “di

dunia luar”, yang skema-skema ini digunakan untuk menghasilkan dan menyebarkan penafsiran-penafsiran subjektif gerakan yang digunakan untuk memobilisasi para peserta dan dukungan untuk melakukan aksi-aksi kolektif.26 Pembingkaian juga dapat diartikan sebagai kemampuan sebuah gerakan untuk mengubah potensi mobilisasi menjadi mobilisasi yang aktual (aksi kolektif), hal tersebut tergantung pada kemampuan sebuah bingkai untuk mempengaruhi calon

24

Ihsan Ali Fauzi dalam Pengantar terjemahan buku, Quintan Wiktorowicz (edt.),

Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial, hal.4-5. 25

Burhanudin Muhtadi, Demokrasi Zonder Toleransi, Disampaikan dalam Diskusi “Agama dan Sekularisme di Ruang Publik: Pengalaman Indonesia” di Komunitas Salihara, Rabu 26 Januari 2011.

26

Quintan Wiktorowicz, Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial,(Jakarta: Demokrasi Project dan Yayasan Abad Demokrasi, 2012) hal. 70.


(33)

anggotanya.27 Sebuah bingkai biasanya berbentuk simbol-simbol, identitas budaya, maupun ideologi yang berfungsi memperkuat mobilisasi.28

Mengutip Erving Goffman, sarjana gerakan sosial Karl-Dieter Opp memberikan definisi bingkai (frame) sebagai “skema penafsiran” yang memungkinkan individu-individu “menempatkan, merasa, dan mengidentifikasi” kejadian dalam ruang hidup mereka dan dunia pada umumnya. Dengan memberikan arti dan makna pada setiap kejadian atau peristiwa, bingkai berfungsi untuk mengorganisasi pengalaman dan pemandu tindakan, apakah pada level individu atau kolektif. Hal ini bertujuan agar para anggota dan simpatisan gerakan terlibat langsung dalam aksi-aksi untuk tujuan dan cita-cita gerakan. 29

Teori penting dalam proses pembingkaian (framing process) adalah bingkai aksi kolektif (collective action frame), resonansi pembingkaian (framing

resonance), dan psikologi sosial (social psychology). Bingkai aksi kolektif

(collective action frame) dan resonansi pembingkaian (framing resonance) penulis

pakai pada penelitian ini karena, mengutip David Snow30 karena topik ini menggambarkan secara mencolok teori dan analisis empirik tentang gerakan sosial, dan sebagian lagi karena proses pembingkaian fokus perhatiannya pada kerja interpretasi oleh aktor gerakan dan pihak lain yang terkait. Sedangkan teori psikologi sosial penulis pakai untuk menganalisis faktor-faktor keberhasilan

27

Quintan Wiktorowicz, Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial, hal. 71. 28

Quintan Wiktorowicz, Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial, hal. 71-72. 29

Karl-Dieter Opp, Theoris of Political Protest and Social Movements: A multidisciplinary introduction, critique, and synthesis, (New York: Routledge, 2009), hal.235.

30

David A. Snow, Framing Processes, Ideology, and Discursive Fields, dalam dalam David Snow, Sarah A. Soule, dan Hanspeter Kriesi,edt. The Blackwell Companion to Social Movements (United Kingdom: Blackwell Publishing, 2004), hal.380.


(34)

framing, yang dalam konteks sosial dapat mempengaruhi aksi-aksi kolektif dan perilaku peserta gerakan sosial.

Perspektif framing berakar pada interaksi simbolik dan pembangunan prinsip, bahwa makna tidak secara otomatis atau secara alami menempel pada objek, peristiwa, atau pengalaman yang kita hadapi, tetapi yang sering mengemuka justru sebaliknya, yaitu melalui secara interaksi berdarkan proses interpretasi.31 Artinya orang yang terlibat dalam gerakan sosial, tidak secara alami

memiliki “pemaknaan” atau alasan bahwa terlibat dalam gerakan karena timbul

dengan sendirinya dalam dirinya. Pendekatan framing menekankan bahwa keterlibatan seseorang dalam gerakan sosial lahir karena adanya proses interaksi dengan orang lain yang mempengaruhinya.

Kata “framing” juga digunakan untuk mengkonseptualisasi kata yang

berarti sebuah “pekerjaan”, yang mana suatu pekerjaan yang dilakukan pengikut gerakan sosial atau pemimpin mereka. Itu berarti “pembingkaian” atau memberikan pemaknaan dan menafsirkan adalah sebuah usaha atau cara yang berniat untuk mengumpulkan dan memobilisasi pengikut dan konstituen yang potensial untuk terlibat dalam aksi-aksi gerakan dan untuk mendemobilisasikan musuh.32

31

David A. Snow, Framing Processes, Ideology, and Discursive Fields, dalam dalam David Snow, Sarah A. Soule, dan Hanspeter Kriesi,edt. The Blackwell Companion to Social Movements, hal.380.

32

David A. Snow, Framing Processes, Ideology, and Discursive Fields, dalam dalam David Snow, Sarah A. Soule, dan Hanspeter Kriesi,edt. The Blackwell Companion to Social Movements, hal.384.


(35)

A.1. Bingkai Aksi Kolektif (Collective Action Frame)

Terdapat tiga bagian proses utama teori bingkai aksi kolektif (collective

action frame). Pertama, yaitu gerakan membangun bingkai-bingkai yang

mendiagnosis kondisi sebuah persoalan yang perlu ditangani (Diagnostic

Framing), kedua, gerakan memberikan pemecahan terhadap persoalan tersebut,

termasuk strategi pemecahannya (Prognostic Framing), ketiga, gerakan memberikan alasan dasar untuk memotivasi tumbuhnya dukungan kolektif

(Motivational Framing).33

Pada bingkai diagnostik sebuah gerakan berusaha mengidentifikasi sebuah masalah yang harus diselesaikan. Masalah-masalah tersebut bisa berupa ancaman bagi organisasi, budaya, maupun ideologi. Ciri khas bagi gerakan sosial Islam yang biasanya pada level diagnostik ini adalah berupa ancaman dan masalah yang ditujukan pada budaya barat, seperti: liberalisme, sekularisme, dan pluralisme. Ditambah kata-kata seperti konspirasi Yahudi dan Amerika biasa digunakan aktor-aktor gerakan Islam dalam mendiagnosis masalah umat Islam saat ini.

Pada level bingkai prognostik, gerakan Islam berusaha memberikan solusi dan cara atas permasalahan yang mereka gambarkan dalam bingkai diagnostik. Pada level ini terjadi perbedaan antara gerakan Islam yang satu dengan gerakan Islam yang lain. Dalam konteks Indonesia cohntohnya, gerakan Islam memiliki perbedaan dalam rangka pemecahan masalah sosial dan mencapai tujuan-tujuan gerakan. Jamaah Islamiyah memilih jalan radikal dan menggunakan kekerasan, Jamaah Tabligh memilih jalan tidak masuk dalam sistem politik dan lebih

33

Jonathan Christiansen, Framing Theory, dalam “Sociology Reference Guide: Theories of Social Movements”, (California: Salem Press,2011). Hal 148.


(36)

menekankan pemurnian kesalehan para anggotanya, Hizbut Tahrir juga memilih jalan tidak masuk dalam sistem politik tapi berusaha untuk mempengaruhi kebijakan publik, sedangkan PKS memilih masuk dalam sistem politik dan ikut sebagai peserta pemilu. Artinya pada level diagnostik mereka mempunyai kesamaan, tetapi pada level prognostik mereka berbeda dalam cara perjuangannya.

Sedangkan menyangkut bingkai motivasi, penulis mengutip David Snow dan Robert Benford yang menyatakan bahwa motivasi dalam proses framing menyediakan alasan untuk orang terlibat aksi-aksi kolektif dalam suatu gerakan, ini meliputi konstruksi kata-kata yang tepat mengenai motif tertentu. Beberapa kata-kata mengenai motif yang diidentifikasikan dalam motivasi adalah: Severity, mengacu pada perasaan adanya bahaya dan ancaman; Urgency, mengacu pada bahwa masalah harus segera ditangani secepatnya; Efficacy, mengacu pada pengertian bahwa gerakan tersbut mempunyai solusi (obat mujarab) dan kemampuan yang dapat menyelesaikan masalah; Propriety, mengacu bahwa aksi-aksi mereka adalah sebuah kewajiban dan kemuliaan. 34

A.2. Resonansi Pembingkaian (framing Resonance)

Menurut Jonathan Christiansen ide resonansi pembingkaian (frame

resonance) serupa dengan cakupan penafsiran ide (idea of interpretative).

Asumsinya adalah Jika suatu bingkai beresonansi (bergaung) dengan khalayak, maka mereka biasanya akan lebih sukses.35 Christiansen dengan mengutip

34

Jonathan Christiansen, Framing Theory, dalam “Sociology Reference Guide: Theories of Social Movements”, hal.150.

35

Jonathan Christiansen, Framing Theory, dalam “Sociology Reference Guide: Theories of Social Movements”, hal.151.


(37)

Benford & Snow memberikan dua cara menambah resonansi, yaitu: kredibilitas

(credibility) dan arti-penting (salience).36

Kredibiltas (credibility) mencakup tiga faktor. Pertama adalah konsistensi bingkai. Konsistensi mengacu pada kesenjangan antara apa yang dilakukan oleh aktor gerakan sosial atau SMO (social movement organization) dan apa yang mereka katakan. Jika orang merasa bahwa aksi pelaku gerakan sosial konsisten dengan apa yang dinyatakan sebagai tujuan gerakan, maka anggota atau simpatisan meraka akan merasa bahwa gerakan tersebut mempunyai kredibilitas yang tinggi.

Kedua adalah faktor kredibiltas empiris (empirical credibility). Mengutip

Benford & Snow, menjelaskan bahwa “ini merujuk pada kecocokan antara pembingkaian dan kejadian nyata di dunia”. Jika merekrut calon anggota gerakan

tidak memperhatikan bingkai dan keadaan sebenarnya yang terjadi, maka sebuah gerakan sosial kemungkinan terlihat tidak kredibel. Frame harus menjelaskan berbagai hal di sekitar dunia mereka dan menyediakan solusi jitu. Ketiga, cara bingkai menjadi bergaung adalah jika orang mengekspresikan bingkai itu terlihat kredibel.37 Pada yang ketiga ini, diperlukan aktor atau elit gerakan yang kharismatik dan kredibel untuk menggaungkan persoalan yang dihadapi dan solusi jitu yang ditawarkan gerakan, agar orang tertarik terlibat dalam aksi-aksi kolektif gerakan.

36

Jonathan Christiansen, Framing Theory, dalam “Sociology Reference Guide: Theories of Social Movements”, hal 151.

37

Jonathan Christiansen, Framing Theory, dalam “Sociology Reference Guide: Theories


(38)

Arti Penting (salience) juga berpengaruh pada resonansi pembingkaian.

Salience dipengaruhi tiga faktor utama: sentralitas (centrality), kesepadanan

pengalaman (experiential commensurability), and kesetiaan narasi (narrative

fidelity). Sentralitas merujuk pada pentingnya sebuah kepercayaan (beliefs)

tertentu dalam hidup manusia. Jadi jika persoalan frame dipandang penting dalam kepercayaan dan keyakinan hidup sesorang, frame ini dikatakan memiliki sentralitas. Kesepadanan pengalaman (experiential commensurability) mengacu pada cara dimana sebuah frame sesuai dengan pengalaman hidup seseorang. Jika cara persoalan dibingkai sesuai dengan pengalaman hidup seseorang, maka frame dikatakan sangat kredibel. Terakhir, kesetiaan naratif mengacu pada apakah ya atau tidaknya frame sesuai dengan narasi budaya atau ideologi yang dianut dalam diri seseorang atau komunitas. 38

A.3. Psikologi Sosial (Social Psychology)

Teori yang juga berkaitan dengan pembingkaian (framing) adalah teori psikologi sosial (social psychology). Inti dari teori psikologi sosial adalah membahas bagaimana konteks sosial dapat mempengaruhi perilaku.39 Dua unsur penting dalam proses aksi-aksi kolektif suatu gerakan dalam skala sikap dan

tindakan adalah bagaimana suatu gerakan melakukan “mobilisasi konsensus” dan “mobilisasi aksi”. Mobilisasi konsensus adalah “proses di mana organisasi

gerakan sosial berusaha memperoleh dukungan bagi pandangan-pandangannya.”

38

Jonathan Christiansen, Framing Theory, dalam “Sociology Reference Guide: Theories of Social Movements”, hal 151-152.

39

Jacquelien Van Stekelenburg dan Bert Klandermans, Individuals in Movements: A Social Psychology of Contention, dalam Bert Klandermans dan Conny Roggeband, edt, Handbook of Social Movements Across Disciplines (New York: Springer, 2007). Hal 157.


(39)

Sementara itu, mobilisasi aksi berhubungan dengan persoalan psikologi sosial klasik mengenai hubungan antara sikap dan perilaku.40

Teori psikologi sosial diambil dari kajian studi psikologi. Psikologi sosial memberikan tipe proses psikologi seperti: identitas, kognisi, motivasi, dan emosi kepada kajian-kajian gerakan sosial. Asumsi dari keempat tipe proses psikologi gerakan adalah bahwa orang hidup dalam dunia perasaan. Mereka merespon dunia atas apa yang mereka rasa dan interpretasi. Maka apabila kita ingin mengetahui kognisi, motivasi, dan emosi mereka, kita harus mengetahui persepsi dan interpretasi mereka.41

Hal yang juga penting dalam teori ini adalah identifikasi grup dalam gerakan sosial. Identifikasi grup merupakan hal fundamental dalam psikologi sosial untuk menjawab pertanyaan apa yang menggerakkan orang untuk terlibat dalam aksi-aksi kolektif. Identifikasi dengan grup merupakan alasan yang kuat untuk berpartisipasi dalam gerakan.42 Orang tidak akan terlibat dalam sebuah gerakan apabila mereka tidak merasa bagian (identifikasi) dari gerakan tersebut. Contoh seorang buruh akan cenderung bergabung dengan gerakan buruh, begitupun gerakan feminisme, Islamisme, dan lainnya.

Selain itu, partisipasi dalam gerakan merupakan partisipasi dalam aksi-aksi bersama (collective action). Setiap collective action biasanya mengambil akar

40

Burhanudin Muhtadi, Demokrasi Zonder Toleransi, Disampaikan dalam Diskusi “Agama dan Sekularisme di Ruang Publik: Pengalaman Indonesia” di Komunitas Salihara, Rabu 26 Januari 2011.

41

Jacquelien Van Stekelenburg dan Bert Klandermans, Individuals in Movements: A Social Psychology of Contention, dalam Bert Klandermans dan Conny Roggeband, edt, Handbook of Social Movements Across Disciplines. Hal 157.

42

Jacquelien Van Stekelenburg dan Bert Klandermans, Individuals in Movements: A Social Psychology of Contention, dalam Bert Klandermans dan Conny Roggeband, edt, Handbook of Social Movements Across Disciplines. Hal 163.


(40)

atau dasar dari identitas kolektif (collective identity). Terdapat empat mekanisme dasar (sama dengan proses psikologi) dalam psikologi sosial, yaitu: identitas sosial, kognisi, emosi, dan motivasi, yang menghubungkan antara identitas kolektif dan aksi kolektif.43

Dinamika partisipasi dalam gerakan berdasarkan atas asumsi bahwa kita dapat membedakan tiga alasan fundamental mengapa seorang terlibat dalam sebuah gerakan sosial. Keikutsertaan dalam gerakan menarik seseorang: ingin

merubah keadaan mereka, mereka ingin “berbuat” sebagai anggota kelompok mereka, atau mereka ingin memberikan arti untuk dunia mereka dan mengekspresikan pandangan dan perasaan mereka.44 Tiga alasan inilah yang membuat orang berpatisipasi dalam sebuah gerakan sosial.

Bert Klandermans memberikan tiga tipe transaksi mengenai unsur-unsur keterlibatan seseorang dalam sebuah gerakan, yaitu: perantara (instrumentality), identitas (identity), dan ideologi (ideology). Instrumentality merujuk bahwa partisipasi dalam gerakan sebagai usaha untuk mempengaruhi lingkungan sosial dan politik; identitas merujuk bahwa partisipasi dalam gerakan sebagai manifestasi dari identifikasi dengan kelompok mereka; dan ideologi merujuk

43

Jacquelien Van Stekelenburg dan Bert Klandermans, Individuals in Movements: A Social Psychology of Contention, dalam Bert Klandermans dan Conny Roggeband, edt, Handbook of Social Movements Across Disciplines. Hal 160-161.

44

Bert Klandermans, The Demand and Supply of Participation: Social-Psychological Correlates of Participation in Social Movement, dalam David Snow, Sarah A. Soule, dan Hanspeter Kriesi,edt. The Blackwell Companion to Social Movements (United Kingdom: Blackwell Publishing, 2004), hal.361.


(41)

bahwa partisipasi gerakan sebagai pengejaran untuk memaknai dan mengekspresikan perasaan dan keyakinan mereka. 45

Pertama Instrumentality. Tuntutan untuk perubahan dimulai dengan ketidakpuasan, perasaan deprivasi relatif, perasaan ketidakadilan, kemarahan moral tentang beberapa urusan negara, atau menentukan segala keluhan. Teori keluhan dalam psikologi sosial seperti teori deprivasi relatif atau teori keadilan sosial berusaha untuk menetapkan bagaimana dan mengapa keluhan dibangun.46 Dalam instrumentality, aspek pertama yang harus dibangun adalah perasaan

“keluhan” terhadap fenomena sosial.

Anggota gerakan adalah orang yang percaya bahwa mereka dapat mengubah lingkungan politik untuk keuntungan mereka dan paradigma

instrumentality yang menyatakan bahwa perilaku mereka dikontrol oleh perasaan

untung dan rugi dalam berpartisipasi. Hal Itu diambil untuk memberi lebel bahwa mereka yang dirugikan atau dizolimi, bukan banyaknya keluhan yang bersifat sendiri-sendiri, Tetapi percaya bahwa situasi dapat berubah dengan biaya yang terjangkau jika mereka berpartisipasi. Mereka mempunyai sumber daya dan kesempatan untuk membuat pengaruh yang kuat.47 Dengan keterlibatan mereka dalam gerakan, maka akan menambah sumber daya gerakan dan mempermudah tujuan gerakan.

45

Bert Klandermans, The Demand and Supply of Participation: Social-Psychological Correlates of Participation in Social Movement, dalam David Snow, Sarah A. Soule, dan Hanspeter Kriesi,edt. The Blackwell Companion to Social Movements, hal.361.

46

Bert Klandermans, The Demand and Supply of Participation: Social-Psychological Correlates of Participation in Social Movement, dalam David Snow, Sarah A. Soule, dan Hanspeter Kriesi,edt. The Blackwell Companion to Social Movements, hal.362.

47

Bert Klandermans, The Demand and Supply of Participation: Social-Psychological Correlates of Participation in Social Movement, dalam David Snow, Sarah A. Soule, dan Hanspeter Kriesi,edt. The Blackwell Companion to Social Movements, hal.363.


(42)

Kedua identity. Bahwa instrumentality bukanlah satu-satunya alasan orang untuk berpartisipasi. Setelah semuanya, banyak tujuan gerakan hanya bisa dicapai dalam jangka panjang. Dengan cara yang sama, ketika datang keuntungan material, pengorbanan sering lebih besar dari pada keuntungan. Yang nampak adalah lebih baik menjadi bagian dari gerakan daripada merasakan biaya dan manfaat.48 Artinya anggota gerakan mungkin menyadari bahwa keuntungan mereka tidak lebih besar dari pada pengorbanan mereka. Tapi rasa solidaritas mereka tehadap identitas memberikan alasan mereka terlibat dalam suatu gerakan. Ketiga Ideology. Ideologi memainkan peran yang penting dalam konteks psikologi sosial. Orang bergabung dalam gerakan sosial tidak hanya mendesak perubahan politik, tetapi untuk mendapatkan kemuliaan dalam hidup mereka melalui perjuangan dan ekspresi moral.49 Faktor ideologi memberikan alasan bahwa ikut terlibat dalam suatu gerakan sosial merupakan suatu kewajiban dan hal yang mulia. Sehingga mereka menganggap bahwa keterlibatannya mengangkat derajat mereka yang bersifat sacred (suci).

B. Islamisme dan Aktivisme Islam

B.1. Definisi Islamisme dan Aktivisme Islam

Quintan Wiktorowicz memberikan definisi yang luas terhadap aktivisme Islam. Menurut Wiktorowicz, aktivisme Islam sebagai :

48

Bert Klandermans, The Demand and Supply of Participation: Social-Psychological Correlates of Participation in Social Movement, dalam David Snow, Sarah A. Soule, dan Hanspeter Kriesi,edt. The Blackwell Companion to Social Movements, hal.364.

49

Bert Klandermans, The Demand and Supply of Participation: Social-Psychological Correlates of Participation in Social Movement, dalam David Snow, Sarah A. Soule, dan Hanspeter Kriesi,edt. The Blackwell Companion to Social Movements, hal.365.


(43)

“beragam perseteruan yang muncul berdasar atas nama “Islam”, termasuk

gerakan-gerakan dakwah, kelompok-kelompok teroris, tindakan kolektif yang bersumber dari simbol dan identitas Islam, gerakan-gerakan politik yang bertujuan mendirikan negara Islam, dan kelompok-kelompok yang mengusung spriritualitas Islam melalui usaha-usaha kolektif.”50

Dari definisi tersebut, dapat diambil dua syarat mengapa suatu gerakan dapat dikatakan sebagai gerakan aktivisme Islam. Pertama adanya tujuan-tujuan yang berorientasi pada nilai-nilai Islam, dan kedua tujuan tersebut dilakukan secara kolektif.

Salah satu unsur dalam gerakan aktivisme Islam yaitu orientasi mereka pada nilai Islam, biasa disebut Islamisme. Burhanudin Muhtadi mengatakan bahwa Islamisme merupakan keyakinan bahwa Islam memiliki seperangkat norma atau ajaran yang komprehensif dan unggul, yang dapat dijadikan pedoman untuk ketertiban dan aturan sosial.51 Sehingga tampak dalam definsi Islamisme dan aktivisme Islam, Burhanudin membedakan keduanya. Merujuk pada definisi di atas, aktivisme Islam dipandang sebagai sebuah gerakan/aktivitas kolektif yang berorientasi pada nilai-nilai Islam, sedangkan Islamisme sebagai ideologi yang meyakini bahwa Islam merupakan seperangkat ajaran yang menyeluruh dan menjadi solusi bagi seluruh persoalan hidup manusia.

Lebih jauh Valentine M. Moghadam memberikan definisi yang lebih bercorak orientasi politis. Islamisme menurut Moghadam melingkupi tujuan dan cita-cita bersama untuk pembentukan dan penguatan hukum dan norma-norma

50

Quintan Wictorowicz, (edt). “Aktivisme Islam: Pendekatan Teori Gerakan Sosial” hal.38-39.

51


(44)

Islam sebagai solusi untuk krsis ekonomi, politik, dan budaya.52 Definisi Islmamisme menurut Moghadam menekankan adanya tujuan dan cita-cita bersama dalam menerapkan ideologi Islam dalam mengatasi krisis di dunia maupun Islam sebagai intrumen untuk ketertibah sosial. Corak kolektif inilah yang khas dari sebuah gerakan sosial.

Cara lain dalam mendefinisikan Islamis adalah dengan cara melihat

orang-orang yang berada di luar mereka. Istilah “muslim abangan” dan “muslim sekuler” bukanlah termasuk bagian dari kelompok Islamis. Pemikiran mereka

(bukan Islmis) tentang Islam terangkum bahwa Islam tidak boleh menjadi sebuah ideologi yang didesakkan ke dalam ruang publik.53 Kelompok atau gerakan Islamis menganggap bahwa jalan untuk mengislamisasi masyarakat dilakukan hanya melalui aksi sosial dan politik.54

A.2. Asal Usul Gerakan Islamisme

Menurut Oliver Roy, asal mula pemikiran dan organisasi Islamisme dapat diruntut pada gerakan al-Ikhwan al-Muslimun yang didirikan oleh Hasan Al-Banna tahun 1928 dan Jamaat Islami oleh Abul „Ala Maududi tahun 1941.55 Walaupun berbeda dalam organisasi, tetapi mereka mempunyai kesamaan tema dalam revivalisme Islam. Pada generasi setelahnya, Islamisme diatributkan dengan Sayyid Quthb, terutama pemikirannya dalam buku Milestone. Mengenai

spirit Islamisme dalam orientasi kepemimpinan Islam, Sayyid Quthb menulis:

52

Valentine M. Moghadam, Globalization and Social Movements : Islamism, Feminism, and the Global Justice Movement, (Maryland: Rowman & Littlefield Publishers, 2009). Hal. 37.

53

Ihsan Ali-Fauzi, Warna- Warni “Islamisme”. Diakses pada 1 Oktober 2014, lihat: http://www.paramadina-pusad.or.id/publikasi/warna-warni-islamisme.html.

54

Oliver Roy, The Failure of Political Islam, (Massachusetts: 1994, Harvard University Press). Hal. 36.

55


(45)

“Umat Islam dewasa ini memerlukan identitas kepribadian tersendiri, tidak tercampur dengan kepribadian-kepribadian jahiliyah yang berkembang, identitas tujuan dan kepentingan yang sesuai dengan kepribadian dan konsepsi; identitas panji yang membawa nama Allah semata... Mereka harus memiliki kekhasan komunitas tersendiri: akidah sebagai jalinannya dan kepemimpinan Islam (Qiyadah Islamiyah) sebagai lambangnya.56

Anggota dan kader dalam gerakan Islamisme biasanya direkrut dari kalangan intelektual (universitas) dan masyarakat perkotaan. Mereka adalah kelompok yang secara sosiologis adalah modern dan isu-isu mereka berangkat dari persoalan kalangan modernis pada sektor masyarakat, terlebih reaksi mereka melawan modernisasi di dalam mayarakat muslim.57 Lebih lanjut, alasan masyarakat perkotaan dan kalangan intelektual muda muslim yang bergabung dengan gerakan Islamisme karena kurangnya kesempatan mereka untuk masa depan yang lebih baik dalam negara. Hal ini membuat mereka hanya mempunyai sedikit harapan untuk menemukan ambisi masa depan mereka dan menyalahkan sistem nasional yang kapitalis.58

Untuk merangkum argumen tentang gerakan Islamisme, Valentine M. Moghadam memperlihatkan beberapa hal mengenai penyebab kemunculan dan karakteristik gerakan Islamisme59:

1. Gerakan Islamisme muncul dalam konteks pergeseran dari sistem ekonomi Keynesianisme ke arah sistem Neoliberalisme di seluruh dunia. Konsekuensi dari pergeseran ini adalah meningkatnya hutang negara, pengangguran, dan masalah yang timbul dari penghematan dan rekonstruksi ekonomi pada tahun 1980-an di negara-negara muslim atau mayoritas muslim. Ini berhubungan dengan

56 Sayyid Quthb, dalam Sa‟id Hawwa dan Sayyid Quthb,

Al-Wala‟:Loyalitas Tunggal Seorang Muslim. (Jakarta: Al-I‟tishom Cahaya Umat, 2001), hal. 73-74.

57

Oliver Roy, The Failure of Political Islam. Hal.50. 58

Oliver Roy, The Failure of Political Islam. Hal.51. 59

Valentine M. Moghadam, Globalization and social Movements : Islamism, Feminism, and the Global Justice Movement, hal. 44-46.


(46)

restrukturisasi dan resesi global. Runtuhnya harga minyak dunia yang mempunyai efek merugikan bagi pembangunan dan standar hidup khususnya bagi negara-negara mayoritas penduduk muslim.

2. Secara politis, banyak negara-negara mayoritas muslim adalah rezim autoritarian dan patriarki, yang dipimpin oleh kekuatan gerakan kiri dan sekuler, kemudian mereka mengembangkan institusi agama dalam mencari legitimasi politik untuk mereka. Ini menciptakan kesenjangan antara ideologi dan politik yang dapat diisi oleh kelompok Islamis dengan sumber daya dan bingkai resonansi budaya yang mereka miliki.

3. Gerakan Islmisme juga muncul dalam konteks transisi demografi. Gerakan Islamisme juga pengaruh dari cepatnya pertumbuhan populasi dan menimbulkan beban sosial yang besar. Keluarga dalam negara mayoritas muslim cenderung memiliki banyak anak, sehingga mereka banyak ketergantungan pada negara dan menimbulkan permasalahan sosial lainnya, seperti: pengangguran dan kemiskinan. Banyak anak-anak menemukan diri mereka tanpa kepastian masa depan, dan ini yang menjadikan mereka mudah direkruit dalam gerakan Islamisme.

4. Tidak tejadinya resolusi dalam masalah Palestina-Israel dan meresapnya rasa ketidakadilan dikarenakan oleh aksi Israel dan Amerika, merupakan faktor penting yang membantu timbulnya gerakan Islmamisme. Kegagalan proyek demokrasi sekuler oleh PLO, mendorong Islamisme sebagai alternatif di Palestina dan melalui agama. Invasi dan pendudukan AS di Iraq juga membangitkan lebih banyak gerakan Islamisme.

5. Dengan absenya secara penuh pembangunan dan artikulasi gerakan, institusi, dan wacana dari liberalisme dan sosialisme, Islam menjadi wacana yang universal,

dan gerakan Islamisme mengirimkan pesan yang luas bahwa “Islam adalah

solusi”. Untuk sebagian muslim, ideologi Islam baru mengurangi kegelisahan mereka karena mampu menawarkan bentuk jaminan baru dan gerakan Islmisme menyediakan bentuk solidaritas kolektif baru.

6. Dalam konteks krisis ekonomi, politik, dan ideologi-termasuk rezim negara- kekosongan harus diisi oleh pemimpin dan wacana Islamis, apakah itu fundamentalis atau ekstrimis.

7. Dalam pembentukan ideologi yang baru, tradisi adalah suatu yang mulia/agung dan sering ditemukan. Contoh adalah cara berpaian. Meskipun ada bentuk-bentuk pakaian tradisional di seluruh dunia Islam yang sering merefleksikan budaya dan sejarah lokal, Islamisme pada tahun 1980-an mulai mempromosikan jilbab sebagai seragam , sebagian besar pakaian berwarna gelap. Sebuah tema yang sering muncul adalah bahwa identitas ke-Islaman berada dalam bahaya; muslim harus kembali ke tradisi yang telah ditetapkan; identitas adalah kewajiban wanita dalam perilaku, pakaian, penampilan; dan hukum Islam secara personal menjadi penting pada level negara (dalam kasus masyarakat mayoritas muslim) atau dalam komunitas (dalam kasus masyarakat minoritas muslim).

8. Gerakan Islamisme adalah hasil hasil kontradiksi dari transisi dan modernisasi; mereka juga merupakan hasil dari ketegangan Utara-Timur hegemoni dalam dunia Islam; dan mereka adalah proyek politik terkait dengan kekuasaan yang mereka gambarkan sebagai penindasan, ketidakadilan, dan tidak-Islami. Budaya, agama, dan identitas gerakan Islamisme menjadi acuan mereka bertindak sebagai mekanisme pertahanan dan pembentukan tatanan baru yang ingin dibentuk.


(47)

A.3. Variasi dalam Gerakan Islamisme

Gerakan Islamisme merupakan bukanlah suatu entitas yang tunggal. Moghadam mengatakan bahwa Gerakan Islamisme merupakan gerakan heterogen dan beraneka ragam, pembedaannya adalah antara Gerakan Islamisme “moderat”

dan Gerakan Islamisme “ekstrimis”.60

Secara umum, gerakan Islamis moderat menggunakan cara-cara yang nir-kekerasan dalam berorganisasi dan mendukung

civil society. Mereka bisa berbentuk atau bergabung dengan partai politik dan

masuk dalam parlemen melalui mekanisme pemilu, dengan begitu mereka bisa mengkritik dan merubah keadaan politik dengan pandangan-pandangan mereka.61 Sedangkan gerakan Islamisme ekstrimis merupakan sebutan untuk gerakan Islamisme yang cara-cara untuk mencapai tujuan mereka dengan cara kekerasan. Lebih jauh Moghadam mengatakan bahwa cara mereka mencapai tujuan atau cita-cita gerakan secara politik dengan cara menggulingkan sistem politik yang anti-Islam, berasal dari Barat, dan diktator, dengan menggunakan jaringan mereka antar negara dengan bentuk kekerasan dalam mencapai tujuan politis mereka.62 Mereka tidak berpartisipasi dalam pemilu, karena menganggap pemilu itu tidak Islami.

Oliver Roy juga memberikan variasi dalam gerakan Islmaisme berupa tiga model gerakan Islamis. Tiga model tersebut berdasarkan pada strategi mereka dalam melakukan penetrasi politik dalam rangka mencapai agenda Islamis

60

Valentine M. Moghadam, Globalization and Social Movements : Islamism, Feminism, and the Global Justice Movement, hal. 27.

61

Valentine M. Moghadam, Globalization and Social Movements : Islamism, Feminism, and the Global Justice Movement, hal. 27.

62

Valentine M. Moghadam, Globalization and Social Movements : Islamism, Feminism, and the Global Justice Movement, hal. 28.


(48)

mereka. Tidak seperti para ulama dan salafis, orang-orang Islmamis memberikan perhatian utama pada aktifitas politik, dan mereka tetap menjalankan aktifitas agama dengan keras.63 Tiga model gerakan Islamisme menurut Oliver Roy antara lain:

1. A Lenninst-type party, kelompok ini memperlihatkan diri mereka sebagai kalangan perintis Islmisme yang mempunyai tujuan menaklukkan kekuasaan dan melolak legitimasi semua partai lain. Contoh dari model ini adalah Hizb-i Islami di Afganistan.

2. A Western-style political party, kelompok Islamis ini masuk dalam pemilu demokratis di suatu negara, tujuannya adalah mendapatkan suara terbanyak dan menang pemilu untuk mengimplementasikan program dan agenda Islamis mereka. Contoh dari kelompok ini adalah Prosperity Party di Turki.

3. A Religious militant organization, kelompok ini mempunyai tujuan mempromosikan nilai-nilai Islam dan mengubah masyarakat, serta melakukan penetrasi di kalangan elit negara, tetapi secara langsung tidak mempunyai ambisi politis. Contoh yang masuk dalam model ini adalah Ikhwanul Muslimin di Mesir, Jamaat Islami di Pakistan.64

Dengan kata lain terdapat variasi dalam organisasi-organisasi pada studi gerakan Islamisme. Perbedaan-perbedaan itu terlihat dari cara-cara mereka mencapai tujuan gerakan: moderat atau ektrimis dan tiga model gerakan Islamisme Oliver Roy, semuanya memperlihatkan variasi yang bersifat akomodatif atau konfrontatif dengan sistem politik yang ada. Dengan memakai variasi gerakan Islamisme Moghadam, perbedaan ini kita bisa lihat bahwa organisasi seperti Al-Qaeda, Hizbullah, Jamaah Tabliq, Jamaah Islamiah, dan Hizbut Tahrir masuk dalam kategori ekstrimis. Sedangkan organisasi seperti PKS di Indonesia, partai AKP di Turki, dan Ikhwanul Muslimin di Mesir dan Jordania masuk dalam kategori gerakan Islamisme yang moderat.

63

Oliver Roy, The Failure of Political Islam. Hal. 46. 64


(49)

BAB III

PKS SEBAGAI ORGANISASI GERAKAN SOSIAL DAN KASUS

KORUPSI LUTHFI HASAN ISHAAQ

H. Sejarah PKS: Dari Gerakan Kampus ke Panggung Politik

Dalam konteks gerakan sosial, penulis mencatat setidaknya ada dua alasan mengapa model gerakan Tarbiyah atau PKS bisa muncul di Indonesia. Pertama adalah munculnya generasi baru Indonesia pada tahun 1980-an, yang disebut oleh Yon Machmudi sebagai Global Santri.65 Mereka adalah pemuda Indonesia yang belajar di Timur Tengah, dan bersentuhan dengan ideologi Ikhwanul Muslimin, khususnya di Arab Saudi dan Mesir. Alasan kedua adalah adanya tekanan politik pada rezim Orde Baru dan terbukanya ruang kesempatan politik pada era Reformasi. Artinya ada konteks global secara ideologi dan konteks lokal, yaitu terbukanya struktur kesempatan politik yang mempengaruhi kemunculan Gerakan Tarbiyah atau PKS di Indonesia.

Kemunculan Jamaah Tarbiyah juga tidak bisa dilepaskan dari gerakan revivalisme Islam akibat dari ketegangan antara Sunni dan Syiah paska terjadinya revolusi Iran tahun 1979. Hal ini berpengaruh pada persaingan dominasi pengaruh ideologi antara Iran dan Arab Saudi di dunia Islam.66 Di satu sisi menguatnya

65

Santri Global adalah sebuah fenomena baru yang dalam klasifikasi kelompok Islam di Indonesia berdasarkan garis budaya. Santri global merupakan tipologi baru kelompok Islam “santri” yang dipengaruhi oleh paham atau ideologi yang berasal dari timur tengah. Yang termasuk dalam tipologi santri global ini adalah: Jamaah Tarbiyah/PKS, Hizbut Tahrir Indonesia (HTI), dan kelompok Salafi. Sehingga memudahkan untuk mengenal tipologi kelompok Islam di Indonesia, seperti: tradisionalis, modernis, radical, dan santri global. Lihat selengkapnya di: Yon Machmudi,

Islamising Indonesia : The Rise of Jemaah Tarbiyah and the Prosperous Justice Party (PKS).

66


(50)

hubungan antara Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII) dengan Arab Saudi, dimanfaatkan oleh Arab Saudi untuk membendung dominasi Iran di Indonesia. Salah satu cara membendung pengaruh Iran di Indonesia adalah dengan bekerja sama melalui pemberian beasiswa kepada pelajar atau santri di Indonesia yang dekat dengan DDII untuk belajar di Timur Tengah, khususnya Arab Saudi.67

Melalui jalur beasiswa inilah perkenalan antara pelajar Islam Indonesia dengan ideologi Ikhwanul Muslimin terjadi. Tokoh-tokoh seperti Hilmi Aminuddin, Salim Segaf Al-Jufri, Abdullah Said Baharmus, dan Acep Abdul Syukur yang ketika kembali ke Indonesia menjadi pelopor gerakan Ikhwanul Muslimin.68 Pada tahun 1980-an para alumni baru dari Timur Tengah ini bekerjasama dengan tokoh DDII (Dewan Dakwah Islam Indonesia) seperti Abu Ridho dan Rahman Zainuddin menterjemahkan tulisan-tulisan utama tokoh Ikhwanul Muslimin seperti: Hasan Al-Banna dan Sayyid Quthb ke dalam bahasa Indonesia.69 inilah yang memungkinkan para aktivis gerakan dakwah kampus bersentuhan dengan karya-karya tokoh Ihkwanul Muslimin dalam kajian studi Islam yang mereka pelajari.

Gerakan Tarbiyah tumbuh sekitar tahun 1980-an yang mengambil basis gerakannya di masjid-masjid Universitas yang tersebar di Indonesia.70 Salah seorang pelopor Gerakan Tarbiyah di kampus yang merupakan tokoh dari DDII adalah Ir. Imaduddin Abdul Rahim, yang memprakarsai pola pengkaderan model

67

Buhanudin Muhtadi, Dilema PKS: Suara dan Syariah, hal.38. 68

Ahmad Norma Permata, Ideology, Institutions, Political Actions: Prosperous Justice Party (PKS) in Indonesia, (Jurnal: ASIEN 109 (Oktober 2008), S. 22-36), hal.25.

69

Buhanudin Muhtadi, Dilema PKS: Suara dan Syariah, hal.38. 70

Ahmad Norma Permata, Ideology, Institutions, Political Actions: Prosperous Justice Party (PKS) in Indonesia, (Journal: ASIEN 109 (Oktober 2008), S. 22-36).


(51)

Ikhwanul Muslimin yang dikenal dengan “usrah” atau “halaqoh/Liqo‟at”.71 Program halaqoh/liqo ini berawal di Masjid Salman ITB (Institut Teknologi Bandung) yang kemudian menyebar ke universitas sekuler lainnya seperti: UI, IPB, UGM, UNDIP, dan lain-lain.

Kemudian gerakan dakwah kampus atau Tarbiyah ini menegaskan bentuk ideologi dan idealisme mereka dalam bentuk oraganisasi-organisasi mahasiswa baik intra maupun ekstra. Di kalangan internal kampus, gerakan ini membentuk LDK (Lembaga Dakwah Kampus), sedangkan secara eksternal mereka membuat KAMMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia). Organisasi inilah yang menjadi basis dari Gerakan Tarbiyah dalam merekrut dan mengkader mahasiswa sampai sekarang. Tokoh-tokoh PKS seperti Fahri Hamzah, Rama Pratama, Zulkieflimansyah, dan Mahfud Shiddiq lahir dari kedua organisasi tersebut.

Alasan kedua, yakni Gerakan Tarbiyah/PKS muncul dari kebijakan politik

rezim orde baru yang represif khususnya terhadap “Islam politik”. Dibubarkannya

Masyumi pada tahun 1970 merupakan bukti bahwa rezim Orde Baru tidak mengizinkan Islam secara politik tampil ke publik yang berpotensi menjadi lawan pemerintah. Lebih jauh diterapkannya azas tunggal Pancasila sebagai landasan dari semua organisasi yang ada, menjadi pemicu sakit hati kalangan Islam terhadap rezim, terutama kalangan Masyumi yang kemudian membentuk DDII.

Otoritarianisme rezim Orde Baru tidak memungkinkan sebuah gerakan, seperti Gerakan Tarbiyah muncul ke publik. Mereka, pada rezim Orde Baru melakukan aktivitasnya secara sembunyi-sembunyi atau underground. Dengan

71

Miftahuddin, Pengaruh Ideologi Ikhwanul Muslimin terhadap Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di Indonesia, (Jakarta: Skripsi, UIN Syarif Hidayatullah, 2008), hal.3.


(52)

kaderisasi menggunakan sistem halaqoh/liqo, mereka mempunyai keuntungan dibawah rezim yang tertutup tersebut, yaitu menguatnya soliditas organisasi dan terjaganya kemurnian ideologi. Hal ini terjadi karena sistem tarbiyah atau kaderisasi yang mereka lakukan pada saat itu berada pada tahap mihwar tanzimi72 atau pembentukan organisasi.

Setelah rezim Soeharto tumbang dan beralih ke era Reformasi, maka ada ruang kesempatan politik bagi Gerakan Tarbiyah untuk memperjuangkan dan mengekspresikan idealisme dan cita-cita gerakan mereka ke ruang publik. Ini tercermin dengan dideklarasikannya Partai Keadilan (PK) pada 20 Juli 1998 di Masjid Al-Azhar, Kebayoran Baru, Jakarta, dengan presidennya yang pertama yaitu Nurmahmudi Ismail.73 Kemudian pada pemilu 1999 PK memperoleh suara nasional sebanyak 1.436.565 atau 1,7 % dan menurut Undang-Undang Nomer 3 tahun 1999 tentang electoral threshold, maka PK dinyatakan tidak memenuhi

electoralthreshold sebesar 2 % menurut Undang-Undang tersebut.

Karena Partai Keadilan tidak lolos electoral threshold pada pemilu 1999, maka pada tanggal 2 Juli 2003 dideklarasikan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) yang merupakan transformasi dari Partai Keadilan. Kehadiran PKS mendapat respon baik secara elektoral, hal ini terbukti dari perolehan suara PKS yang naik secara signifikan pada pemilu 2004, yaitu sebanyak 8.325.020 suara nasional atau

72

Jamaah Tarbiyah atau PKS mempunyai tahapan-tahapan perkembangan dalam dakwahnya. 1. Mihwar Tanzimi (pembentukan organisasi), 2. Mihwar Sya‟bi (bermasyarakat), 3. Mihwar Muassasi (berpolitik), 4. Mihwar Daulah (negara atau kawasan Islam), 5. Uztazul Alam (soko guru dunia atau khilafah). Bagian ini akan penulis bahas pada bagian berikutnya. Lihat: Ahmad Norma Permata, Ideology, Institutions, Political Actions: Prosperous Justice Party (PKS) in Indonesia, (Journal: ASIEN 109 (Oktober 2008), S. 22-36), hal.25.

73

Sejarah Partai Keadilan Sejahtera, lihat: http://www.pks.or.id/content/sejarah-ringkas, diakses pada tanggal 16 Juli 2014.


(53)

7,34 %, kemudian pada tahun 2009 mendapat 8.204.946 suara atau 7,88%, dan pada pemilu 2014 mendapat 8.480.204 suara atau 6,79%.74 Data ini menunjukkan perolehan suara PKS secara elektoral dari tahun 2004 sampai 2014 cenderung stabil.

I. Framing PKS Sebagai Organisasi Gerakan Sosial Islam B.1. Bingkai Diagnostik

Pada level framing diagnostik, PKS mengidentifikasi masalah umat Islam sebagai akibat dari apa yang mereka disebut dengan ghazwul fikri75 atau perang pemikiran. Melalui ghazwul fikri ini, mereka merasa bahwa umat Islam sedang diserang oleh pihak lawan, bukan hanya melalui jalan militer, tetapi juga diserang dari segi budaya, ekonomi, dan politik. Sebagaimana yang dituliskan Irwan Prayitno salah seorang kader PKS:

“Kekalahan pihak kafir, khususnya Nasrani, dari umat Islam melalui perang fisik dan senjata (pada perang salib), menjadikan mereka berfikir mencari jalan lain yang dapat mengalahkan umat Islam. Al-Ghazw Al-Fikr adalah serangan pemikiran secara bertubi-tubi yang tersusun secara sistematik, teratur dan terancang dengan baik yang dilakukan oleh umat yang kuat kepada umat yang lemah untuk merubah kepribadiannya sehingga kemudian menjadi pengikut umat yang kuat tersebut. Umat jahiliyah senantiasa memerangi umat Islam. Perang tersebut dilaksanakan dalam tiga bentuk, yaitu: politik, militer, dan ekonomi. Al-Ghazw Al-Fikr akan menghasilkan berbagai kerusakan di kalangan umat Islam dengan cara merusak akhlak, menghancurkan fikrah, melarutkan pribadi, dan menumbangkan aqidah. Dengan cara tersebut, akan dihasilkan umat yang rusak akhlak dan kepribadiannya, kotor pemikirannya, keluar dari Islam, serta

memberikan loyalitasnya kepada orang kafir.”76

74

Data selengkapnya lihat:

http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Keadilan_Sejahtera#Sejarah, diakses pda tanggal 16 Juli 2014. 75

Ghazwul Fikri atau perang pemikiran dalam konsepsi gerakan PKS adalah upaya dari musuh-musuh Islam yang berupaya untuk memperlemah umat Islam dengan cara melarutkan umat Islam dari ajaran Islam yang murni. Sarana yang biasa dilakukan dalam Ghazwul Fikri seperti: budaya, politik, dan militer. Lebih jauh dapat dilihat dalam: Irwan Prayitno, Kepribadian Dai,

(Bekasi: Pustaka Tarbiyatuna, 2003). 76


(1)

xii Website Internet

DPP PKS. Sejarah Partai Keadilan Sejahtera, lihat: http://www.pks.or.id/content/sejarah-ringkas. Diakses pada tanggal 16 Juli 2014.

Ihsan Ali-Fauzi, Warna- Warni “Islamisme”, lihat: http://www.paramadina-pusad.or.id/publikasi/warna-warni-islamisme.html. Diakses pada 1 Oktober 2014,

Wikipedia, Partai Keadilan Sejahtera. Lihat

http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Keadilan_Sejahtera. Diakses pada Jumat, 23 Agustus 2014

Wikipedia, Partai Demokrat lihat http://id.wikipedia.org/wiki/Partai_Demokrat. Diakses pada Jumat, 23 Agustus 2014

Wawancara

Aan Rohana (Kader Jenjang Purna/Mas‟ulin dan Anggota Majelis Syuro PKS). Bogor, 7 Agustus 2014.

Ust. Hasib Hasan, Lc. (Kader Jenjang Purna/Mas‟ulin, Pendiri Partai Keadilan (PK) dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS), Mantan Anggota Majelis Syuro DPP PKS, Mantan Bidang Kaderisasi DPP PKS, dan Mantan Bidang Dewan Syariah DPP PKS). Bogor, 7 Agustus 2014.

Rahmat Aziz, S.Pdi (Kader Jenjang Dewasa/Muntazhim dan Ketua Bidang Kaderisasi DPD PKS Jakarta Barat). Jakarta, 23 Juli 2014.

Suhada (Kader Jenjang Madya/Muntasib dan Ketua DPRa PKS Kelurahan Duri Kosambi, Jakarta). Jakarta, 25 Juli 2014

Sugianto (Kader Jenjang Madya/Muntasib dan Bidang Kepanduan DPC PKS Kecamatan Cengkareng, Jakarta). Jakarta, 5 Juli 2014.

Supriadi (Kader Jenjang Madya/Muntasib dan tidak masuk dalam struktur PKS, karena statusnya sebagai PNS (Pegawai Negeri Sipil)). Jakarta, 7 Juli 2014.

Sutrisna, S.Pd (Kader Jenjang Muda/Muayyid dan Anggota DPRa PKS Kelurahan Duri Kosambi, Jakarta). Bekasi, 21 Agustus 2014

Obi Alim (Kader Jenjang Muda/Muayyid. Membina Rohani Islam (Rohis) di Sebuah Sekolah Menengah Atas di Jakarta). Jakarta, 21 Agustus 2014.


(2)

Lampiran


(3)

(4)

Lampiran 2

Foto bersama informan, Rahmat Aziz, kader PKS jenjang Dewasa dan Ketua Bidang Kaderisasi DPD PKS Jakarta Barat.

Foto Bersama Informan, Suhada, kader PKS jenjang Madya dan Ketua DPRa PKS Kelurahan Duri Kosambi, Jakar


(5)

Foto Bersama Informan, Sugianto, kader PKS jenjang Madya dan Bidang Kepanduan DPC PKS Cengkareng, Jakarta.

Foto Bersama Informan, Sutrisna, kader PKS jenjang Muda dan Anggota DPRa PKS Kelurahan Duri Kosambi, Jakarta.


(6)

Foto Bersama Informan, Obi Alim, kader PKS jenjang Muda dan pengurus dakwah sekolah, DPD PKS Jakarta Barat.