Latar Belakang Masalah PENDAHULUAN

6

BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Krisis yang melanda pada tahun 1998 secara tidak langsung berdampak banyak ke dalam setiap sektor yang ada. Tidak terkecuali dengan sektor pendidikan. Krisis yang terjadi ternyata juga mau tidak mau mengalami dampak terhadap anggaran pemerintah terhadap pendidikan yang terpaksa mengalami pengurangan. Sebagai salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi pengurangan anggaran pendidikan yang terjadi adalah dengan merumuskan suatu bentuk baru terhadap perguruan tinggi yang ada di seluruh Indonesia. Rumusan bentuk baru perguruan tinggi tersebut pada akhirnya dituangkan dalam PP 60 dan 61 tahun 1999 yang mengatur tentang otonomi kampus agar perguruan tinggi bisa mengatur rumah tangganya sendiri tanpa intervensi dari pemerintah. Sesuai dengan PP yang telah dikeluarkan, paradigma Perguruan Tinggi Negeri PTN mengalami pergeseran. Paradigma PTN yang pada awalnya memiliki konsep sentralisasi secara perlahan bergeser menjadi desentralisasi, yang mengisyaratkan perlunya dilakukan otonomi bagi setiap perguruan tinggi negeri yang ada. Geliat otonomi kampus di berbagai PTN semakin hari juga semakin terlihat, di antaranya dengan adanya penetapan perubahan paradigma Perguruan Tinggi yang mengacu kepada keluarnya PP 152-155 tahun 2000 yang menetapkan Universitas Sumatera Utara 7 4 Perguruan Tinggi di Indonesia sebagai pilot project dengan status baru perguruan tinggi negeri menjadi badan hukum milik negara BHMN. Keempat universitas tersebut adalah Universitas Gajah Mada UGM, Universitas Indonesia UI, Institut Pertanian Bogor IPB dan Institut Tekhnologi Bandung ITB. Sejak berstatus BHMN, keempat PTN ini secara perlahan-lahan diarahkan untuk dapat menjadi mandiri dalam mencari dana. Sebab pemberian status BHMN itu juga berarti tidak mendapat subsidi lagi dari pemerintah. Dengan kata lain, PTN yang bersangkutan memiliki kebebasan sendiri untuk mencari dana operasional pendidikannya masing-masing. 1 Setelah Pemerintahan beralih ke tangan Megawati. Ternyata PP No. 60 Tahun 1999 dan PP No. 61 Tahun 1999 tak membuat Pemerintah Indonesia yang baru memikirkan kondisi pendidikan agar lebih baik. Pemerintahan Megawati malah mengeluarkan Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional yang Baru yakni UU No. 20 Tahun 2003. Dimana dalam UU No. 20 Tahun 2003 tersebut secara terang-terangan telah melegalkan pengalihan tanggung jawab negara atas pendidikan kepada masyarakat, yang notabene adalah masyarakat yang memiliki uang. Hal ini jelas tercantum dalam Pasal 9 “Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”. 2 Kedua kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Megawati tersebut ternyata tak berhenti sampai disitu saja, pada tahun 2003 sebagai tindak lanjut dari 1 Dikutip dari tulisan Lidus Yardi S.Pd.I, Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Pendidikan Mahal, dalam Harian Suara Merdeka www.suaramerdeka.com Tanggal 27 Juni 2003. 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional, Pasal 9 Universitas Sumatera Utara 8 dua kebijakan yang telah dikeluarkan tersebut, pemerintah kembali melakukan privatisasi kepada PTN Universitas Sumatera Utara USU dengan mengeluarkan PP No. 56 Tahun 2003 tentang pengalihan status USU menjadi BHMN. Sama halnya dengan universitas yang telah terlebih dahulu menerapkan BHMN, nantinya setiap kebijakan yang akan dilakukan oleh USU tidak lagi bersifat top down seperti sebelumnya, melainkan bottom up dengan rancangan program berasal dari bawah Universitas. Artinya adalah USU memiliki wewenang dan tanggung jawab penuh di dalam mengelola keuangannya, baik pemasukan dan pengeluaran yang dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan yang ada. Sehingga sumber keuangan tidak hanya didasarkan kepada anggaran pendidikan dari pemerintah. Dengan kata lain, USU diperbolehkan berusaha secara mandiri untuk mencari biaya operasional agar proses belajar mengajar di kampus tersebut dapat terus berlangsung. Alasan pemerintah untuk memberikan status BHMN kepada USU dan beberapa perguruan tinggi ternama lainnya yang ada di Pulau Jawa adalah terkait dua hal yaitu, pertama mutu pendidikan dan yang kedua adalah pembiayaan pendidikan tersebut. Dengan asumsi dasar bahwa untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas dibutuhkan biaya yang besar dan mahal. Sehingga pemerintah menganggap bahwa merubah status USU menjadi BHMN merupakan sebuah langkah awal bagi USU untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas. 3 3 Dikutip dari tulisan Lidus Yardi S.Pd.I, Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Pendidikan Mahal, dalam Harian Suara Merdeka www.suaramerdeka.com Tanggal 27 Juni 2003. Universitas Sumatera Utara 9 Disisi lain, pihak USU yang dalam hal ini diwakili oleh Rektor USU Prof. dr. Chairuddin Panusunan Lubis, DTMH, Sp.AK berpendapat tidak jauh berbeda dengan pemerintah. Beliau berpendapat bahwa USU masih tertinggal dalam hal kualitas pendidikan dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Salah satu kendalanya karena dukungan dana dari pemerintah yang jauh dari memadai. 4 Oleh sebab itu USU menyambut baik usulan dari Pemerintah Indonesia untuk memberikan status BHMN kepada USU seperti yang sudah diberikan sebelumnya kepada empat universitas ternama yang ada di Indonesia pada tahun 2000. Sehingga jika USU tetap mempertahankan hanya menerima biaya operasional pendidikan dari pemerintah maka untuk mencapai kualitas pendidikan yang baik hanya menjadi mimpi belaka. Dengan kata lain, maka USU akan terus tertinggal dan terus tertinggal dari negara-negara tetangga dalam hal kualitas pendidikan. Walaupun demikian, Rektor USU tidak serta-merta menerima usulan Pemerintah Indonesia untuk merubah status USU menjadi BHMN. Rektor USU terlebih dahulu mempelajari bagaimana BHMN tersebut dengan cara membentuk Panitia Perumusan Perubahan Status USU Menjadi Badan Hukum pada tahun 2000. Panitia Perumusan Perubahan Status USU menjadi Badan Hukum yang dibentuk oleh Rektor USU tersebut menyimpulkan bahwa perubahan status USU 4 Dikutip dari Majalah Konstan Online berjudul USU Menuju Kelas Dunia, Terbitan Tanggal 6 Agustus 2008. Universitas Sumatera Utara 10 menjadi BHMN diperlukan dan dimungkinkan. Sehingga Rektor USU menindaklanjuti hal tersebut dan hasilnya adalah diterimanya draf usulan perubahan USU sebagai BHMN diterima oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2003. Maka ditahun yang sama lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2003 tentang Perubahan Status USU menjadi BHMN. Lebih jelasnya dapat dilihat di dalam tabel 1. Universitas Sumatera Utara 11 Tabel 1: Kronologis Singkat Perubahan Status USU menjadi BHMN. WAKTU PERISTIWA 24 Juni 1999 Lahir peraturan pemerintah RI Nomor 60 Tahun 1999 tentang pendidikan tinggi dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 Tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum 03 November 1999 Wacana Perubahan status USU menjadi Badan Hukum dikemukakan pemerintah kepada Senat USU 26 Oktober 2000 Senat USU menyetujui perubahan status USU menjadi Badan Hukum dan membentuk tim yang akan merumuskan perubahan tersebut 9 November 2000 Rektor USU membentuk panitia perumusan perubahan status USU menjadi Badan Hukum 20 Mei 2002 Draf usulan Penetapan USU sebagai BHMN telah direvisi dan diajukan kepada TIM asisten BHMN Dikti Mei 2002 Sosialisasi USU sebagai BHMN di Lingkungan USU 11 November 2003 USU ditetapkan sebagai BHMN dengan diterbitkannya PP No. 56 Tahun 2003 oleh Pemerintah RI Universitas Sumatera Utara 12 Sumber : Lampiran Pidato Rektor USU, Prof. dr. Chairuddin Panusunan Lubis, DTMH, Sp.AK pada Upacara Peringatan Dies Natalis USU ke 53 di Auditorium USU, Tanggal 20 Agustus 2005. Lahirnya PP No. 56 tahun 2003 tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia sepertinya ingin lepas tangan dari tanggung jawab pendidikan, khususnya pada persoalan dana. Hal ini jelas tercantum dalam Pasal 10 Ayat 1 bahwa “Pembiayaan penyelenggaraan dan pengembangan Universitas berasal dari Pemerintah, masyarakat, pihak luar negeri yang tidak mengikat dan usaha dan tabungan Universitas”. 5 Sehingga dari pasal tersebut memberikan kesempatan kepada petinggi- petinggi USU untuk menghimpun dana sebesar-besarnya dari pihak swasta untuk membiayai jalannya proses pendidikan di USU. Padahal sesungguhnya pendanaan untuk pendidikan di negeri ini merupakan tanggung jawab dari Pemerintah Indonesia seperti yang telah dijelaskan dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 4 “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.” 6 Akibat dari lepasnya tanggung jawab pemerintah dalam hal pendanaan pendidikan maka terjadilah proses pendidikan dengan biaya yang mahal serta 5 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2003 Tentang Penetapan USU sebagai BHMN, Pasal 10 Ayat 1 6 Undang – Undang Dasar RI Tahun 1945, Pasal 31 Ayat 4 Universitas Sumatera Utara 13 komersialisasi pendidikan di negara ini. Namun perubahan status USU menjadi BHMN tentunya tidak selalu membawa dampak yang negatif terhadap proses pendidikan di USU, perubahanstatus ini tentunya juga memiliki dampak positif yang dapat dirasakan secara langsung. Salah satunya adalah kebijakan yang dihasilkan terkait dengan permasalahan kegiatan akademik tidak lagi hanya menunggu instruksi yang dikeluarkan oleh pihak pusat. Semenjak diterapkannya bentuk BHMN, USU memiliki wewenang untuk mengeluarkan kebijakan terkait dengan kegiatan akademik seperti penyediaan fasilitas, penambahan gaji pengajar dan lain sebagainya. Selang 7 tahun berjalannya USU sebagai BHMN, maka tentu saja sudah banyak dampak yang terjadi sebagai akibat dirubahnya status USU menjadi BHMN. Baik dampak secara struktural maupun non struktural, pola fikir mahasiswa sendiri juga memiliki perubahan sedikit banyaknya. Hal ini dikarenakan berubahnya orientasi dalam mengenyam pendidikan, sebab didalam BHMN mahasiswa diharuskan memiliki pola fikir study oriented, tidak berorganisasi, cepat tamat dan lain sebagainya. Kaitan antara pendidikan dan manusia sangat erat sekali, tidak bisa dipisahkan. pendidikan adalah “humanisasi”, yaitu sebagai media dan proses pembimbingan manusia muda menjadi dewasa, menjadi lebih manusiawi “humanior”. Jalan yang ditempuh tentu menggunakan massifikasi jalur kultural. Tidak boleh ada model “kapitalisasi pendidikan” atau “politisasi pendidikan”. Karena, pendidikan secara murni berupaya membentuk insan akademis yang berwawasan dan berkepribadian kemanusiaan. Hal ini sejalan dengan yang Universitas Sumatera Utara 14 dikemukakan Paulo Freire yang memiliki gagasan “penyadaran conscientizacao”nya. Beliau merefleksikan kembali gagasan Antonio Gramsci yang pernah menyatakan bahwa kesenjangan struktural manusia perlu diperiksa secara kritis dengan menggunakan teori penyadaran, yaitu pembacaan secara mendalam dan kritis terhadap “realitas akal sehat” Gagasan Freire sangat menarik karena beliau ingin memperhadapkan pendidikan dengan realitas yang tengah bergumul di sekitarnya. Kenyataan yang nampak hingga hari ini justru proses dan reproduksi pendidikan sangat jauh dari keinginan untuk mampu menbaca realitas secara kritis dan cerdas. “Pendidikan kritis” sebuah gagasan yang memang banyak dipengaruhi oleh Freire merupakan suatu bentuk “kritisisme sosial”; semua pengetahuan pada dasarnya dimediasi oleh linguistik yang tidak bisa dihindari secara sosial dan historis; individu-individu secara syechochical berhubungan dengan masyarakat yang lebih luas melalui tradisi mediasi yaitu bagaimana lingkup keluarga, teman, agama, sekolah formal, budaya pop, dan sebagainya. Pendidikan mempunyai hubungan dialogis dengan konteks sosial yang melingkupinya. Sehingga, pendidikan harus kritis terhadap berbagai fenomena yang ada dengan menggunakan pola pembahasaan yang bernuansa sosio-historis. Lebih lanjut, dimaknai bahwa pendidikan kritis yang disertai adanya kedudukan wilayah-wilayah pedagogis dalam bentuk universitas, sekolah negeri, museum, galeri seni, atau tempat-tempat lain, maka ia harus memiliki visi dengan Universitas Sumatera Utara 15 tidak hanya berisi individu-individu yang adaptif terhadap dunia hubungan sosial yang menindas, tapi juga didedikasikan untuk mentransformasikan kondisi semacam itu Artinya pendidikan tidak berhenti pada bagaimana produk yang akan dihasilkannya untuk mencetak individu-individu yang hanya diam manakala mereka harus berhubungan dengan sistem sosial yang menindas. Harus ada kesadaran untuk melakukan pembebasan. Pendidikan adalah momen kesadaran kritis kita terhadap berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat. Upaya menggerakkan kesadaran ini bisa menggeser dinamika dari pendidikan kritis menuju pendidikan yang revolusioner. Keduanya berasal dari rahim pemikiran Freire juga. Menurutnya, pendidikan revolusioner adalah sistem kesadaran untuk melawan sistem borjuis karena tugas utama pendidikan selama ini adalah mereproduksi ideologi borjuis. Artinya, pendidikan telah menjadi kekuatan kaum borjuis untuk menjadi saluran kepentingannya. Maka, revolusi yang nanti berkuasa akan membalikkan tugas pendidikan yang pada awalnya telah dikuasai oleh kaum borjuis kini menjadi jalan untuk menciptakan ideologi baru dengan terlebih dahulu membentuk “masyarakat baru”. Masyarakat baru adalah tatanan struktur sosial yang tak berkelas dengan memberikan ruang kebebasan penuh atas masyarakat keseluruhan. Pendidikan pembebasan akan dicapai dengan menumbangkan realitas penindasan, yaitu dengan mengisi konsep pedagogis yang memberikan kekuatan pembebasan yang baru. Di sinilah kita perlu memperbincangkan soal kurikulum pendidikan yang membebaskan. Tapi, terlebih dahulu kita perlu mengkritik Universitas Sumatera Utara 16 konsep pengetahuan selama ini. Dan sebenarnya pengetahuan yang ingin didorong oleh Freire adalah pengetahuan melalui transformasi dan subversi terhadap pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang “didepositokan” dalam buku- buku teks sehingga apa yang dihasilkan dari pola pendidikan dan pengetahuan ini akan terpisah dengan realitas kontekstual. Berangkat dari latar belakang inilah penulis merasa tertarik untuk melakukan suatu penelitian mengenai dampak-dampak apa saja yang telah ditimbulkan semenjak diberlakukannya USU menjadi BHMN, baik dampak secara positif dan negatifnya maupun dampaknya terhadap pola prilaku mahasiswanya.

1.2. Rumusan Masalah