Dampak Kebijakan BHMN Terhadap Pola Pikir Mahasiswa (Studi Kasus Di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara)

(1)

DAMPAK KEBIJAKAN BHMN TERHADAP POLA PIKIR MAHASISWA

(Studi Kasus Di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara)

SKRIPSI

Disusun dan Diajukan Untuk Melengkapi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial Pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sumatera Utara

Oleh:

040901056

ASHARI AMANDA P. LUBIS

DEPARTEMEN SOSIOLOGI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SUMATERA UTARA

MEDAN

2010


(2)

KATA PENGANTAR

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Allah SWT yang masih memberikan kesempatan kepada penulis sehingga penulis akhirnya dapat merampungkan skripsi ini. Shalawat beriring salam juga tidak lupa penulis ucapkan kepada Nabi Muhammad S.a.w. Di dalam pengerjaan skripsi ini sendiri banyak pihak yang membantu penulis sehingga pada akhirnya penulis dapat merampungkan skripsi ini dan dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada:

1. Prof. Dr. Badaruddin, M.Si selaku Dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

2. Dra. Lina Sudarwati, M.Si selaku Ketua Departemen Sosiologi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

3. Drs. Muba Simanihuruk, M.Si selaku Dosen Wali sekaligus Dosen Pembimbing yang berkat arahan dan bimbingannyalah penulis dapat menghasilkan suatu karya akhir penelitian ini.

4. Keluarga besarku tercinta, kakakku, adikku, dan terutama Ibundaku tercinta yang selalu sabar dan memberikan motivasi terbesar untuk menyelesaikan jenjang pendidikan ini.

5. Seluruh dosen departemen Sosiologi yang telah banyak memberikan ilmu kepada penulis yang mudah-mudahan dapat dipergunakan penulis untuk membantu khalayak.

6. Seluruh teman-teman Stambuk 2004 Departemen Sosiologi yang selama ini menemani penulis di dalam mengenyam jenjang pendidikan ini.

7. Seluruh keluarga besar HMI Komisariat Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik.

8. Seluruh keluarga besar Pemerintahan Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Periode 2008-2009.


(3)

Dalam kesempatan ini penulis juga berharap bahwa penelitian skripsi ini semoga dapat berguna dan menambah wawasan ilmu pengetahuan bagi kita semua.

Medan, 26 Maret 2011

Penulis,


(4)

ABSTRAKSI

Perguruan Tinggi Negeri( (PTN) pada tahun 1999 memasuki satu babak baru dalam bentuk pendidikan. Pada tahun ini sebuah rumusan baru ditawarkan dan diuji coba kepada 4 Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia. Adapun rumusan baru itu sendiri adalah sebuah konsep yang membebaskan keempat perguruan tinggi tersebut untuk mengelola keuangan dan kebijakannya masing-masing tanpa harus menunggu koordinasi dan instruksi dari pemerintah pusat. Konsep inilah nantinya akan menjadi cikal bakal sebagai konsep Badan Hukum Milik Negara (BHMN).

Di tahun 2003 Universitas Sumatera Utara secara resmi mengumumkan pengalihan status menjadi BHMN. Meskipun menuai banyak kontroversi status baru ini tetap dijalankan dan bahkan hingga hari ini. Kajian mengenai konsep BHMN ini sendiri memang telah banyak dilakukan dan pro kontra mengenai konsep baru ini juga terus terjadi hingga saat ini.

Setelah 7 tahun berjalannya perubahan status USU menjadi BHMN dampak-dampak yang telah ditimbulkannya juga semakin dapat kita amati dan cermati. Berangkat dari permasalahan-permasalahan tersebutlah penulis merasa tertarik untuk meneliti apa-apa saja dampak-dampak yang ditimbulkannya dan adakah pengaruh perubahan status USU menjadi BHMN dengan perubahan pola pikir mahasiswa.


(5)

DAFTAR ISI BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah ... 6

1.2. Rumusan Masalah ... 16

1.3. Tujuan Penelitian ... 17

1.4. Manfaat Penelitian ... 17

1.5. Defenisi Konsep ... 18

1.5.1. Dampak ... 18

1.5.2. Kebijakan ... 18

1.5.3. BHMN ... 19

1.5.4. Pola Pikir ... 19

1.5.5. Mahasiswa ... 19

BAB 2 KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan ... 21

2.2. Teori Hegemoni ... 23

2.3. Teori Dahdendrof tentang Kekuasaan ... 25

2.4. Teori Alienasi Manusia ... 27

2.5. Teori Human Investment ... 30

BAB 3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian ... 33

3.2. Lokasi Penelitian ... 34

3.3. Unit Analisis dan Informan ... 34

3.4. Teknik Pengumpulan Data ... 35

3.5. Interpretasi Data ... 37

BAB 4 DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA 4.1. Profil Universitas Sumatera Utara ... 38

4.2. Profil Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik ... 40


(6)

4.4. Dampak yang Ditimbulkan dari Penerapan USU sebagai BHMN ... 48

4.4.1. Dampak Pola Pikir ... 48

4.4.2. Dampak-Dampak Positif ... 53

4.4.3. Dampak-Dampak Negatif ... 57

BAB 5 KESIMPULAN ... 64 DAFTAR PUSTAKA


(7)

ABSTRAKSI

Perguruan Tinggi Negeri( (PTN) pada tahun 1999 memasuki satu babak baru dalam bentuk pendidikan. Pada tahun ini sebuah rumusan baru ditawarkan dan diuji coba kepada 4 Perguruan Tinggi yang ada di Indonesia. Adapun rumusan baru itu sendiri adalah sebuah konsep yang membebaskan keempat perguruan tinggi tersebut untuk mengelola keuangan dan kebijakannya masing-masing tanpa harus menunggu koordinasi dan instruksi dari pemerintah pusat. Konsep inilah nantinya akan menjadi cikal bakal sebagai konsep Badan Hukum Milik Negara (BHMN).

Di tahun 2003 Universitas Sumatera Utara secara resmi mengumumkan pengalihan status menjadi BHMN. Meskipun menuai banyak kontroversi status baru ini tetap dijalankan dan bahkan hingga hari ini. Kajian mengenai konsep BHMN ini sendiri memang telah banyak dilakukan dan pro kontra mengenai konsep baru ini juga terus terjadi hingga saat ini.

Setelah 7 tahun berjalannya perubahan status USU menjadi BHMN dampak-dampak yang telah ditimbulkannya juga semakin dapat kita amati dan cermati. Berangkat dari permasalahan-permasalahan tersebutlah penulis merasa tertarik untuk meneliti apa-apa saja dampak-dampak yang ditimbulkannya dan adakah pengaruh perubahan status USU menjadi BHMN dengan perubahan pola pikir mahasiswa.


(8)

BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah

Krisis yang melanda pada tahun 1998 secara tidak langsung berdampak banyak ke dalam setiap sektor yang ada. Tidak terkecuali dengan sektor pendidikan. Krisis yang terjadi ternyata juga mau tidak mau mengalami dampak terhadap anggaran pemerintah terhadap pendidikan yang terpaksa mengalami pengurangan. Sebagai salah satu upaya pemerintah untuk mengatasi pengurangan anggaran pendidikan yang terjadi adalah dengan merumuskan suatu bentuk baru terhadap perguruan tinggi yang ada di seluruh Indonesia.

Rumusan bentuk baru perguruan tinggi tersebut pada akhirnya dituangkan dalam PP 60 dan 61 tahun 1999 yang mengatur tentang otonomi kampus agar perguruan tinggi bisa mengatur rumah tangganya sendiri tanpa intervensi dari pemerintah. Sesuai dengan PP yang telah dikeluarkan, paradigma Perguruan Tinggi Negeri (PTN) mengalami pergeseran. Paradigma PTN yang pada awalnya memiliki konsep sentralisasi secara perlahan bergeser menjadi desentralisasi, yang mengisyaratkan perlunya dilakukan otonomi bagi setiap perguruan tinggi negeri yang ada.

Geliat otonomi kampus di berbagai PTN semakin hari juga semakin terlihat, di antaranya dengan adanya penetapan perubahan paradigma Perguruan Tinggi yang mengacu kepada keluarnya PP 152-155 tahun 2000 yang menetapkan


(9)

4 Perguruan Tinggi di Indonesia sebagai pilot project dengan status baru perguruan tinggi negeri menjadi badan hukum milik negara (BHMN). Keempat universitas tersebut adalah Universitas Gajah Mada (UGM), Universitas Indonesia (UI), Institut Pertanian Bogor (IPB) dan Institut Tekhnologi Bandung (ITB).

Sejak berstatus BHMN, keempat PTN ini secara perlahan-lahan diarahkan untuk dapat menjadi mandiri dalam mencari dana. Sebab pemberian status BHMN itu juga berarti tidak mendapat subsidi lagi dari pemerintah. Dengan kata lain, PTN yang bersangkutan memiliki kebebasan sendiri untuk mencari dana operasional pendidikannya masing-masing.1

Setelah Pemerintahan beralih ke tangan Megawati. Ternyata PP No. 60 Tahun 1999 dan PP No. 61 Tahun 1999 tak membuat Pemerintah Indonesia yang baru memikirkan kondisi pendidikan agar lebih baik. Pemerintahan Megawati malah mengeluarkan Undang-undang tentang Sistem Pendidikan Nasional yang Baru yakni UU No. 20 Tahun 2003. Dimana dalam UU No. 20 Tahun 2003 tersebut secara terang-terangan telah melegalkan pengalihan tanggung jawab negara atas pendidikan kepada masyarakat, yang notabene adalah masyarakat yang memiliki uang. Hal ini jelas tercantum dalam Pasal 9 “Masyarakat berkewajiban memberikan dukungan sumber daya dalam penyelenggaraan pendidikan”.2

Kedua kebijakan yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Megawati tersebut ternyata tak berhenti sampai disitu saja, pada tahun 2003 sebagai tindak lanjut dari

1 Dikutip dari tulisa

dalam Harian Suara Merdeka


(10)

dua kebijakan yang telah dikeluarkan tersebut, pemerintah kembali melakukan privatisasi kepada PTN Universitas Sumatera Utara (USU) dengan mengeluarkan PP No. 56 Tahun 2003 tentang pengalihan status USU menjadi BHMN.

Sama halnya dengan universitas yang telah terlebih dahulu menerapkan BHMN, nantinya setiap kebijakan yang akan dilakukan oleh USU tidak lagi bersifat top down seperti sebelumnya, melainkan bottom up dengan rancangan program berasal dari bawah (Universitas).

Artinya adalah USU memiliki wewenang dan tanggung jawab penuh di dalam mengelola keuangannya, baik pemasukan dan pengeluaran yang dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan yang ada. Sehingga sumber keuangan tidak hanya didasarkan kepada anggaran pendidikan dari pemerintah. Dengan kata lain, USU diperbolehkan berusaha secara mandiri untuk mencari biaya operasional agar proses belajar mengajar di kampus tersebut dapat terus berlangsung.

Alasan pemerintah untuk memberikan status BHMN kepada USU dan beberapa perguruan tinggi ternama lainnya yang ada di Pulau Jawa adalah terkait dua hal yaitu, pertama mutu pendidikan dan yang kedua adalah pembiayaan pendidikan tersebut. Dengan asumsi dasar bahwa untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas dibutuhkan biaya yang besar dan mahal. Sehingga pemerintah menganggap bahwa merubah status USU menjadi BHMN merupakan sebuah langkah awal bagi USU untuk menciptakan pendidikan yang berkualitas.3

3Dikutip dari tulisa


(11)

Disisi lain, pihak USU yang dalam hal ini diwakili oleh Rektor USU Prof. dr. Chairuddin Panusunan Lubis, DTM&H, Sp.A(K) berpendapat tidak jauh berbeda dengan pemerintah. Beliau berpendapat bahwa USU masih tertinggal (dalam hal kualitas pendidikan) dibandingkan dengan negara-negara tetangga. Salah satu kendalanya karena dukungan dana dari pemerintah yang jauh dari memadai.4

Oleh sebab itu USU menyambut baik usulan dari Pemerintah Indonesia untuk memberikan status BHMN kepada USU seperti yang sudah diberikan sebelumnya kepada empat universitas ternama yang ada di Indonesia pada tahun 2000.

Sehingga jika USU tetap mempertahankan hanya menerima biaya operasional pendidikan dari pemerintah maka untuk mencapai kualitas pendidikan yang baik hanya menjadi mimpi belaka. Dengan kata lain, maka USU akan terus tertinggal dan terus tertinggal dari negara-negara tetangga dalam hal kualitas pendidikan.

Walaupun demikian, Rektor USU tidak serta-merta menerima usulan Pemerintah Indonesia untuk merubah status USU menjadi BHMN. Rektor USU terlebih dahulu mempelajari bagaimana BHMN tersebut dengan cara membentuk Panitia Perumusan Perubahan Status USU Menjadi Badan Hukum pada tahun 2000.

Panitia Perumusan Perubahan Status USU menjadi Badan Hukum yang dibentuk oleh Rektor USU tersebut menyimpulkan bahwa perubahan status USU

4Dikutip dari Majalah Konstan Online berjudul USU Menuju Kelas Dunia, Terbitan Tanggal 6


(12)

menjadi BHMN diperlukan dan dimungkinkan. Sehingga Rektor USU menindaklanjuti hal tersebut dan hasilnya adalah diterimanya draf usulan perubahan USU sebagai BHMN diterima oleh Pemerintah Indonesia pada tahun 2003. Maka ditahun yang sama lahirlah Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2003 tentang Perubahan Status USU menjadi BHMN. Lebih jelasnya dapat dilihat di dalam tabel 1.


(13)

Tabel 1: Kronologis Singkat Perubahan Status USU menjadi BHMN.

WAKTU PERISTIWA

24 Juni 1999

Lahir peraturan pemerintah RI Nomor 60 Tahun 1999 tentang pendidikan tinggi dan Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 Tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum

03 November 1999

Wacana Perubahan status USU menjadi Badan Hukum dikemukakan pemerintah kepada Senat USU

26 Oktober 2000

Senat USU menyetujui perubahan status USU menjadi Badan Hukum dan membentuk tim yang akan merumuskan perubahan tersebut

9 November 2000

Rektor USU membentuk panitia perumusan perubahan status USU menjadi Badan Hukum

20 Mei 2002

Draf usulan Penetapan USU sebagai BHMN telah direvisi dan diajukan kepada TIM asisten BHMN Dikti Mei 2002 Sosialisasi USU sebagai BHMN di Lingkungan USU

11 November 2003

USU ditetapkan sebagai BHMN dengan diterbitkannya PP No. 56 Tahun 2003 oleh Pemerintah RI


(14)

Sumber : Lampiran Pidato Rektor USU, Prof. dr. Chairuddin Panusunan Lubis, DTM&H, Sp.A(K) pada Upacara Peringatan Dies Natalis USU ke 53 di Auditorium USU, Tanggal 20 Agustus 2005.

Lahirnya PP No. 56 tahun 2003 tersebut secara tidak langsung menunjukkan bahwa Pemerintah Indonesia sepertinya ingin lepas tangan dari tanggung jawab pendidikan, khususnya pada persoalan dana. Hal ini jelas tercantum dalam Pasal 10 Ayat 1 bahwa “Pembiayaan penyelenggaraan dan pengembangan Universitas berasal dari Pemerintah, masyarakat, pihak luar negeri yang tidak mengikat dan usaha dan tabungan Universitas”.5

Sehingga dari pasal tersebut memberikan kesempatan kepada petinggi-petinggi USU untuk menghimpun dana sebesar-besarnya dari pihak swasta untuk membiayai jalannya proses pendidikan di USU.

Padahal sesungguhnya pendanaan untuk pendidikan di negeri ini merupakan tanggung jawab dari Pemerintah Indonesia seperti yang telah dijelaskan dalam UUD 1945 Pasal 31 Ayat 4 “Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”6

Akibat dari lepasnya tanggung jawab pemerintah dalam hal pendanaan pendidikan maka terjadilah proses pendidikan dengan biaya yang mahal serta

5 Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2003 Tentang Penetapan USU sebagai BHMN, Pasal 10

Ayat 1


(15)

komersialisasi pendidikan di negara ini. Namun perubahan status USU menjadi BHMN tentunya tidak selalu membawa dampak yang negatif terhadap proses pendidikan di USU, perubahanstatus ini tentunya juga memiliki dampak positif yang dapat dirasakan secara langsung. Salah satunya adalah kebijakan yang dihasilkan terkait dengan permasalahan kegiatan akademik tidak lagi hanya menunggu instruksi yang dikeluarkan oleh pihak pusat. Semenjak diterapkannya bentuk BHMN, USU memiliki wewenang untuk mengeluarkan kebijakan terkait dengan kegiatan akademik seperti penyediaan fasilitas, penambahan gaji pengajar dan lain sebagainya.

Selang 7 tahun berjalannya USU sebagai BHMN, maka tentu saja sudah banyak dampak yang terjadi sebagai akibat dirubahnya status USU menjadi BHMN. Baik dampak secara struktural maupun non struktural, pola fikir mahasiswa sendiri juga memiliki perubahan sedikit banyaknya. Hal ini dikarenakan berubahnya orientasi dalam mengenyam pendidikan, sebab didalam BHMN mahasiswa diharuskan memiliki pola fikir study oriented, tidak berorganisasi, cepat tamat dan lain sebagainya.

Kaitan antara pendidikan dan manusia sangat erat sekali, tidak bisa dipisahkan. pendidikan adalah “humanisasi”, yaitu sebagai media dan proses pembimbingan manusia muda menjadi dewasa, menjadi lebih manusiawi (“humanior”). Jalan yang ditempuh tentu menggunakan massifikasi jalur kultural. Tidak boleh ada model “kapitalisasi pendidikan” atau “politisasi pendidikan”. Karena, pendidikan secara murni berupaya membentuk insan akademis yang berwawasan dan berkepribadian kemanusiaan. Hal ini sejalan dengan yang


(16)

dikemukakan Paulo Freire yang memiliki gagasan “penyadaran (conscientizacao)”nya.

Beliau merefleksikan kembali gagasan Antonio Gramsci yang pernah menyatakan bahwa kesenjangan struktural manusia perlu diperiksa secara kritis dengan menggunakan teori penyadaran, yaitu pembacaan secara mendalam dan kritis terhadap “realitas akal sehat” Gagasan Freire sangat menarik karena beliau ingin memperhadapkan pendidikan dengan realitas yang tengah bergumul di sekitarnya.

Kenyataan yang nampak hingga hari ini justru proses dan reproduksi pendidikan sangat jauh dari keinginan untuk mampu menbaca realitas secara kritis dan cerdas. “Pendidikan kritis” (sebuah gagasan yang memang banyak dipengaruhi oleh Freire) merupakan suatu bentuk “kritisisme sosial”; semua pengetahuan pada dasarnya dimediasi oleh linguistik yang tidak bisa dihindari secara sosial dan historis; individu-individu secara syechochical berhubungan dengan masyarakat yang lebih luas melalui tradisi mediasi (yaitu bagaimana lingkup keluarga, teman, agama, sekolah formal, budaya pop, dan sebagainya).

Pendidikan mempunyai hubungan dialogis dengan konteks sosial yang melingkupinya. Sehingga, pendidikan harus kritis terhadap berbagai fenomena yang ada dengan menggunakan pola pembahasaan yang bernuansa sosio-historis.

Lebih lanjut, dimaknai bahwa pendidikan kritis yang disertai adanya kedudukan wilayah-wilayah pedagogis dalam bentuk universitas, sekolah negeri, museum, galeri seni, atau tempat-tempat lain, maka ia harus memiliki visi dengan


(17)

tidak hanya berisi individu-individu yang adaptif terhadap dunia hubungan sosial yang menindas, tapi juga didedikasikan untuk mentransformasikan kondisi semacam itu

Artinya pendidikan tidak berhenti pada bagaimana produk yang akan dihasilkannya untuk mencetak individu-individu yang hanya diam manakala mereka harus berhubungan dengan sistem sosial yang menindas. Harus ada kesadaran untuk melakukan pembebasan. Pendidikan adalah momen kesadaran kritis kita terhadap berbagai problem sosial yang ada dalam masyarakat.

Upaya menggerakkan kesadaran ini bisa menggeser dinamika dari pendidikan kritis menuju pendidikan yang revolusioner. Keduanya berasal dari rahim pemikiran Freire juga. Menurutnya, pendidikan revolusioner adalah sistem kesadaran untuk melawan sistem borjuis karena tugas utama pendidikan (selama ini) adalah mereproduksi ideologi borjuis. Artinya, pendidikan telah menjadi kekuatan kaum borjuis untuk menjadi saluran kepentingannya. Maka, revolusi yang nanti berkuasa akan membalikkan tugas pendidikan yang pada awalnya telah dikuasai oleh kaum borjuis kini menjadi jalan untuk menciptakan ideologi baru dengan terlebih dahulu membentuk “masyarakat baru”. Masyarakat baru adalah tatanan struktur sosial yang tak berkelas dengan memberikan ruang kebebasan penuh atas masyarakat keseluruhan.

Pendidikan pembebasan akan dicapai dengan menumbangkan realitas penindasan, yaitu dengan mengisi konsep pedagogis yang memberikan kekuatan pembebasan yang baru. Di sinilah kita perlu memperbincangkan soal kurikulum pendidikan yang membebaskan. Tapi, terlebih dahulu kita perlu mengkritik


(18)

konsep pengetahuan selama ini. Dan sebenarnya pengetahuan yang ingin didorong oleh Freire adalah pengetahuan melalui transformasi dan subversi terhadap pengetahuan itu sendiri, yaitu pengetahuan yang “didepositokan” dalam buku-buku teks sehingga apa yang dihasilkan dari pola pendidikan dan pengetahuan ini akan terpisah dengan realitas kontekstual.

Berangkat dari latar belakang inilah penulis merasa tertarik untuk melakukan suatu penelitian mengenai dampak-dampak apa saja yang telah ditimbulkan semenjak diberlakukannya USU menjadi BHMN, baik dampak secara positif dan negatifnya maupun dampaknya terhadap pola prilaku mahasiswanya.

1.2. Rumusan Masalah

Dari latar belakang singkat diatas maka rumusan masalah yang menarik bagi penulis untuk dibahas secara lebih jauh adalah :

1. Dampak-dampak apa saja yang ditimbulkan dari penerapan bentuk USU sebagai BHMN, khususnya bagi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. 2. Bagaimana dampak kebijakan BHMN terhadap pola pikir mahasiswa di


(19)

1.3. Tujuan Penelitian

Adapun yang menjadi tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Tujuan Formal Akademis

Menambah wawasan mahasiswa dibidang sosiologi, khususnya menambah pemahaman mengenai BHMN dan efek yang ditimbulkan dari penerapan BHMN tersebut.

2. Tujuan Ilmiah

a. Untuk mencari tahu dampak yang ditimbulkan dari penerapan PP No. 56 tahun 2003 Tentang Penerapan USU sebagai BHMN.

b. Untuk mengetahui dampak BHMN terhadap pola pikir mahasiswa

1.4. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Bagi Penulis

Bagi penulis manfaat penelitian ini yakni dapat menambah wawasan dan pengalaman berharga dalam meningkatkan kapasitas kemampuan untuk menganalisis bagaimana sebenarnya dampak positif dan dampak negatif yang ditimbulkan dari perubahan bentuk PTN menjadi BHMN, khususnya di Universitas Sumatera Utara.


(20)

2. Manfaat Praktis

Manfaat praktis dari penelitian ini adalah agar hasil penelitian ini menjadi sebuah sumbangan pemikiran bagi kalangan mahasiswa, masyarakat, dan kaum intelektual

3. Manfaat Akademis

Manfaat akademis dari penelitian ini adalah sebagai sesuatu hal yang baru dalam pengembangan khasanah ilmu pengetahuan. Bagaimana dampak positif dan negatif yang ditimbulkan BHMN terhadap perguruan tinggi yang ada, khususnya Universitas Sumatera Utara.

1.5. Definisi Konsep 1.5.1 Dampak

Dampak merupakan akibat yang terjadi karena disebabkan oleh suatu hal dan dapat menyebabkan terjadinya akibat akibat di kemudiannya, baik itu positif maupun negatif. Sehingga harus ada parameter-parameter yang jelas untuk dapat mengukur dampak yang ditimbulkan dari suatu hal tersebut.

1.5.2 Kebijakan

Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, Sangsekerta, dan Latin. Dimana istilah kebijakan ini memiliki arti menangani masalah-salah publik atau pemerintahan. Secara umum, saat ini kebijakan lebih dikenal sebagai keputusan yang dibuat oleh lembaga pemerintah, yang bertujuan


(21)

untuk menyelesaikan permasalah-permasalahan yang terjadi dimasyarakat dalam sebuah negara.

1.5.3. BHMN

Badan Hukum Milik Negara (BHMN) merupakan salah satu konsep yang menawarkan otonomi bagi setiap perguruan tinggi negeri yang ada. Berbeda dengan konsep perguruan tinggi negeri sebelumnya yang selalu bergantung dan menunggu instruksi dari pemerintah pusat, BHMN menawarkan suatu konsep di mana setiap universitas negeri yang ada di Indonesia dapat bebas mengatur segala sesuatu yang berkaitan dengan pengembangan terhadap keberhasilan kegiatan akademik di universitas. Baik dari segi pengelolaan keuangan maupun otoritas untuk mengeluarkan kebijakan-kebijakan.

1.5.4. Pola Pikir

Secara garis besar defenisi pola merupakan tindakan yang dilakukan berulang-ulang dan dianggap sebagai sebuah kebenaran. Sehingga pola pikir dapat diartikan sebagai kerangka berfikir dalam memandang suatu hal. Pola pikir dapat berupa ideologisasi yang tersturktur yang dapat terjadi secara sadar maupun tidak sadar (laten dan manifest). Pola pikir juga menjadi acuan utama seseorang untuk bertindak, hal ini disebabkan karena pola pikir merupakan pola yang menetap dalam pikiran bawah sadar seseorang.

1.5.5. Mahasiswa

Mahasiswa adalah orang yang belajar di perguruan tinggi. (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 1989) Mahasiswa adalah sekumpulan manusia intelektual yang akan bermetamorfosa menjadi penerus tombak estafet pembangunan di setiap


(22)

negara, dengan itelegensinya diharapkan bisa mendobrak pilar-pilar kehampaan suatu negara dalam mencari kesempurnaan kehidupan berbangsa dan bernegara, serta secara moril akan dituntut tanggung jawab akdemisnya dalam menghasilkan “buah karya” yang berguna bagi kehidupan lingkungan.


(23)

BAB 2

KAJIAN PUSTAKA 2.1. Kebijakan

Secara Etimologis, istilah Kebijakan (policy) berasal bahasa Yunani, Sangsekerta, dan Latin. Dimana istilah kebijakan ini memiliki arti menangani masalah-masalah publik atau pemerintahan.7

Secara umum, saat ini kebijakan lebih dikenal sebagai keputusan yang dibuat oleh lembaga pemerintah, yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalah-permasalahan yang terjadi dimasyarakat dalam sebuah negara.

8

Dalam defenisi diatas dapat dilihat dengan jelas adalah bahwa pelaku yang melahirkan kebijakan adalah pemerintah. Dimana untuk melahirkan suatu kebijakan tidaklah dapat dilakukan hanya dalam waktu yang seketika. Namun untuk membuat suatu kebijakan dibutuhkan suatu proses yang sering disebut dengan proses pembuatan kebijakan. Proses pembuatan kebijakan itu sendiri memiliki makna sebagai serangkaian aktivitas intelektual yang divisualisasikan sebagai serangkaian tahap yang saling bergantung yang diatur menurut urutan waktu.

Adapun tahapan yang harus dilalui dalam proses pembuatan kebijakan adalah penyusunan agenda, formulasi kebijakan, adopsi kebijakan, implementasi kebijakan, serta evaluasi kebijakan.

7William Dunn, Pengantar Analisa Kebijakan Publik (Edisi II), Yogyakarta: Gadjah Mada

University Press, 1999. Hal. 51.


(24)

Gambar 2 : Proses Pembuatan Kebijakan

Sumber : Dikutip dari Buku William Dunn, Pengantar Analisa Kebijakan

Publik (Edisi II), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999. Hal. 25.

Dalam proses melahirkan kebijakan yang bertujuan untuk menyelesaikan permasalah yang dihadapi, tidak tertutup kemungkinan bahwa kebijakan yang akan dilahirkan nantinya akan dapat dipengaruhi oleh kepentingan pihak lain.

Penyusunan Agenda

Formulasi Kebijakan

Adopsi Kebijakan

Implementasi Kebijakan


(25)

2.2. Teori Hegemoni

Hegemoni adalah sebuah pandangan hidup dan cara berpikir yang dominan, yang di dalamnya sebuah konsep tentang kenyataan disebarluaskan dalam masyarakat baik secara institusional maupun perorangan; (ideologi) mendiktekan seluruh cita rasa, kebiasaan moral, prinsip-prinsip religius dan politik, serta seluruh hubungan-hubungan sosial, khususnya dalam makna intelektual dan moral.

Gramsci menjelaskan bahwa hegemoni merupakan sebuah proses penguasaan kelas dominan kepada kelas bawah, dan kelas bawah juga aktif mendukung ide-ide kelas dominan. Di sini penguasaan dilakukan tidak dengan kekerasan, melainkan melalui bentuk-bentuk persetujuan masyarakat yang dikuasai.

Istilah hegemoni berasal dari bahasa Yunani, yaitu hegeishtai. Istilah tersebut berarti yang berarti memimpin, kepemimpinan, atau kekuasaan yang melebihi kekuasaan yang lain. Konsep hegemoni menjadi ngetrend setelah digunakan sebagai penyebutan atas pemikiran Gramsci yang dipahami sebagai ide yang mendukung kekuasaan kelompok sosial tertentu.

Bentuk-bentuk persetujuan masyarakat atas nilai-nilai masyarakat dominan dilakukan dengan penguasaan basis-basis pikiran, kemampuan kritis, dan kemampuan-kemampuan afektif masyarakat melalui konsensus yang menggiring kesadaran masyarakat tentang masalah-masalah sosial ke dalam pola kerangka


(26)

yang ditentukan lewat birokrasi (masyarakat dominan). Di sini terlihat adanya usaha untuk menaturalkan suatu bentuk dan makna kelompok yang berkuasa .

Dengan demikian mekanisme penguasaan masyarakat dominan dapat dijelaskan sebagai berikut: Kelas dominan melakukan penguasaan kepada kelas bawah menggunakan ideologi. Masyarakat kelas dominan merekayasa kesadaran masyarakat kelas bawah sehingga tanpa disadari, mereka rela dan mendukung kekuasaan kelas dominan.

Sebagai contoh dalam situasi kenegaraan, upaya kelas dominan (pemerintah) untuk merekayasa kesadaran kelas bawah (masyarakat) adalah dengan melibatkan para intelektual dalam birokrasi pemerintah serta intervensi melalui lembaga-lembaga pendidikan dan seni yaitu teori kritis dan teori tradisional.

. Pemikiran kritis merefleksikan masyarakat serta dirinya sendiri dalam dialektika struktur penindasan dan emansipasi. Pemikiran kritis merasa bahwa dirinya bertanggung-jawab atas keadaan sosial yang nyata. Sejarah itu merupakan sejarah penindasan, bahwa penindasan itu justru ditutupi sehingga realitas sekarang bagaikan objektifitas yang wajar. Teori kritis bertugas membuka selubung ideologis tersebut, membuka struktur penindasan, dan kemudian terciptanya terciptanya kebebasan.

Maka, teori kritis yang dimaksudkan Habermas merupakan teori praksis. Ia juga meyakini pendekatan psikoanalisa Sigmund Freud, bahwa ingatan kembali terhadap sejarah penindasan akan mampu melepaskan kekuatan-kekuatan


(27)

emansipatoris. Melihat itu semua, maka sesungguhnya pendidikan sangatlah terpengaruh oleh faktor lingkungan. Lingkungan tersebut terdiri dari keadaan objektif yang menyangkut kondisi negara, masyarakat, model konsumsi, dan distribusi ekonomi politik

2.3. Teori Dahrendorf tentang Kekuasaan

Ralf Dahrendorf menggunakan teori perjuangan kelas Marxian untuk membangun teori kelas dan pertentangan kelas dalam masyarakat industri kontemporer. Baginya, kelas tidak berarti pemilikan sarana-sarana produksi (seperti yang dilakukan oleh Marx) tetapi lebih merupakan pemilikan kekuasaan, yang mencakup hak absah untuk menguasai orang lain. Perjuangan kelas dalam masyarakat modern, baik dalam perekonomian kapitalis maupun komunis, dalam pemerintahan bebas dan totaliter, berada di seputar pengendalian kekuasaan. Menurut Dahrendorf hubungan-hubungan kekuasaan (authority) yang menyangkut atasan dengan bawahan menyediakan unsur-unsur bagi kelahiran kelas. Dahrendorf (1959: 173) mengakui terdapat perbedaan diantara mereka yang memiliki sedikit dan banyak kekuasaan. Perbedaan dalam tingkat dominasi kekuasaan itu dapat dan selalu sangat besar. Tetapi pada dasarnya tetap terdapat dua sistem kelas sosial( dalam perkumpulan khusus) yaitu, mereka yang berperan serta dalam struktur kekuasaan melalui penguasaan dan mereka yang tidak berpartisipasi melalui penundukan. Perjuangan kelas yang dibahas olehnya lebih berdasarkan kekuasaan daripada pemilikan sarana-sarana produksi.


(28)

Dahrendorf berpendapat bahwa di dalam setiap asosiasi yang ditandai oleh pertentangan terdapat ketegangan diantara mereka yang ikut dalam struktur kekuasaan dan yang tunduk pada struktur itu . Kepentingan yang dimaksudkan dia mungkin bersifat manifes (disadari) atau laten (kepentingan potensial), kepentingan laten adalah tingkah laku potensil yang telah ditentukan oleh seseorang karena dia menduduki peranan tertentu, tetapi masih belum disadari. Menurut perumusannya pertentangan kelas harus dilihat sebagai “ kelompok-kelompok pertentangan yang berasal dari struktur kekuasaan asosiasi-asosiasi yang terkoordinir secara pasti”. Kelompok-kelompok itu ditetapkan sebagai kelompok kepentingan yang akan terlibat dalam pertentangan dan akan menimbulkan perubahan struktur sosial, pertentangan antara buruh dan manajemen yang merupakan permasalahan utama bagi Marx, misalnya, akan terlembaga lewat serikat-serikat buruh.

Dahrendorf berpendapat bahwa kekayaan, status ekonomi, dan status sosial walau bukan determinan kelas, ia mengatakan seperti berikut :” semakin rendah antara korelasi kedudukan kekuasaan dan aspek-aspek status sosial ekonomi lainnya semakin rendah intensitas pertentangan kelas dan sebaliknya.

Dahrendorf mempunyai gagasan bahwa berbagai posisi didalam masyarakat mempunyai kualitas otoritas (kekuasaan) yang berbeda. Hanya saja kekuatan otoritas itu tidak terletak didalam diri individu masyarakat melainkan dalam posisi. Ia tak hanya tertarik pada struktur posisi, tapi juga pada konflik antara berbagai struktur posisi itu: “ sumber struktur konflik harus dicari didalam


(29)

tatanan peranan sosial yang berpotensi untuk mendominasi atau ditundukkan”. Otoritas secara tersirat menyatakan superordinasi dan subordinasi, mereka yang menduduki posisi otoritas diharapkan mengendalikan bawahan, artinya mereka berkuasa karena harapan dari orang yang berada disekitar mereka bukan karena ciri-ciri psikologis mereka sendiri.

Otoritas dalam setiap asosiasi bersifat asosiasi karena hanya ada dua kelompok konflik yang dapat terbentuk didalam setiap asosiasi, kelompok yang memegang posisi otoritas dan kelompok subordinat yang mempunyai kepentingan tertentu. Disini dihadapkan pada konsep teori konflik Dahrendorf yakni

kepentingan, kelompok yang berada di atas dan yang berada dibawah

didefinisikan berdasarkan kepentingan bersama.

2.4. Teori Alienasi Manusia

Di dalam agama manusia mengalami alienasi (keterasingan). Karl Mark tidak menolak kritik agama yang dilontarkan pendahulunya yaitu Feuerbach. Namun, Karl Marx kini telah meninggalkan kritik agama dan menawarkan gagasan yang baru dalam kaitan keterasingan manusia dalam koridor masyarakat. Karl Marx melihat bahwa manusia memang mengalami keterasingan yaitu dalam uang, pekerjaaan dan dari orang lain.

Uang adalah tanda keterasingan manusia. Seseorang bisa membeli segala barang dengan uang. Nilai yang terutama hanya nilai uang dan bukannya kekhususan barang yang telah dibeli tersebut. Barang tersebut lantas kehilangan


(30)

nilai hakekatnya dan digantikan dengan nilai uang. Barang-barang alam kehilangan nilainya dan dengannya telah terasing dari manusia. Manusia membeli segala sesuatu demi uang. Relasi dengan sesama manusia pun banyak diukur dengan nilai uang. Uang mengasingkan manusia yang satu dengan yang lainnya. Manusia tidak lagi saling menghargai tetapi hanya saling mempergunakan. Hal demikian mengarahkan pada sikap egois, dimana orang lain dipandang sebagai saingan atau hanya sebagai alat untuk memenuhi kebutuhan kita.

Manusia juga terasing di dalam pekerjaannya. Meski manusia merealisasikan dirinya dalam pekerjaan dan pekerjaan itu bisa menggembirakan dan membuatnya bangga karena manusia dengannya menemukan kepuasan atas hasilnya, tetapi pada kenyataanya pekerjaan buat manusia telah menjadi pekerjaan paksa. Manusia bekerja karena itu satu-satunya jalan untuk menjamin nafkah hidupnya.

Keterasingan manusia dalam pekerjaaan dapat dilihat pada keterasingan manusia akan produknya. Hasil kerja manusia yang seharusnya menjadi kebanggaannya tidak dimilikinya. Produk itu milik orang lain yaitu si pemilik pabrik. Baru saja manusia membuatnya, produknya itu dirampas dari miliknya dan bahkan si pemilik pabrik menjualnya.

Di samping itu, manusia juga terasing dari tindakan pekerjaannya itu sendiri. Manusia (si buruh) tidak mempunyai kesempatan untuk memilih pekerjaan yang akan mampu merealisasikan dirinya sendiri dalam pekerjaaan. Kesempatan untuk itu tidak dimungkinkan karena ia hanya bisa bekerja dimana ada tempat kerja dan dia sendiri tidak menguasai tempat-tempat kerja. Tempat itu


(31)

dikuasai pemodal dan si buruh hanya menerima pekerjaan apa saja yang ditawarkan oleh pemodal itu. Dengan demikian pekerjaan kehilangan artinya. Kekhususan masing-masing pekerjaan sudah kehilangan arti baginya. Ia hanya bekerja sebagai alat untuk mencapai tujuan lain yaitu memenuhi kebutuhan hidupnya.

Manusia yang menurut Karl Marx pada dasarnya bebas dan universal itu kini semakin terasing karena manusia terjebak dalam pekerjaan. Manusia bekerja seperti binatang yaitu demi satu tujuan supaya ia bisa hidup. Manusia melihat alam hanya dalam perspektif manfaatnya untuk mendapat uang. Dengan demikian, manusia tersebut mengasingkan hakekatnya yang bebas dan universal. Pekerjaan yang menyebabkan keterasingan ini pada umumnya yaitu pekerjaan upahan. Pekerjaan upahan adalah pekerjaan yang dijalankan hanya demi upah saja.

Pekerjaan upahan telah mengasingkan manusia darí orang lain karena di dalam sistem yang demikian lantas muncul kelas-kelas yang saling berhadapan dan bertentangan dan lalu saling membenci satu dengan lainnya. Di samping itu, pekerjaan upahan mengasingkan buruh di antara mereka sendiri. Hal ini terjadi karena mereka harus bersaing berebut tempat kerja. Karena keterbatasan kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan, sesama lantas menjadi saingan. Hal demikian menimbulkan jarak antar manusia dan dengannya manusia semakin terasing dari sesamanya.


(32)

2.5. Teori Human Investment

Masyarakat dunia saat ini sudah dihadapkan pada situasi yang menggelobal, globalisasi demikian istilah yang sering didengar. Sehingga setiap individu harus mempersiapkan diri dengan sebaik-baiknya untuk menghadapi persaingan yang terjadi di tengah arus globalisasi ini.

Human Investment pada awalnya lahir karena adanya anggapan bahwa

investasi sumber daya manusia (human capital investment) dapat menunjang pertumbuhan ekonomi (economic growth), yang sebenarnya telah mulai dipikirkan sejak jaman Adam Smith (1776), Heinrich Von Thunen (1875) dan para teoritisi klasik lainya sebelum abad ke 19 yang menekankan pentingnya investasi keterampilan manusia.

Human Investment sendiri memiliki defenisi tentang pandangannya yang mengemukakan suatu bentuk investasi dalam bentuk modal manusia. Artinya di sini ialah manusia dianggap sebagai modal investasi yang sangat menguntungkan. Hal ini semakin didukung oleh perkembangan arus globalisasi yang semakin tidak dapat dibendung, yang memiliki konsekuensi terjadinya perubahan dalam segala tatanan kehidupan.

Semakin meningkatnya persaingan sumber daya manusia juga mau tidak mau harus dihadapi oleh semua individu yang ada di seluruh belahan dunia ini. Setiap individu dituntut untuk meningkatkan kualitas yang ada di dalam dirinya. Tentu saja peningkatan kualitas tersebut hanya akan terjadi melalui proses pendidikan.


(33)

Konsep pendidikan sebagai sebuah investasi (education as investement) saat ini telah berkembang secara pesat dan semakin diyakini oleh setiap negara bahwa pembangunan sektor pendidikan merupakan prasyarat kunci bagi pertumbuhan sektor-sektor pembangunan lainnya. Sektor pendidikan dengan manusia sebagai fokus intinya nantinya dipercaya akan dapat memberikan kontribusi langsung terhadap pertumbuhan ekonomi suatu negara, melalui peningkatan keterampilan dan kemampuan produksi dari tenaga kerja. Penemuan dan cara pandang ini telah mendorong ketertarikan sejumlah ahli untuk meneliti mengenai nilai ekonomi dari pendidikan.

Di negara-negara maju, pendidikan selain sebagai aspek konsumtif juga diyakini sebagai investasi modal manusia (human capital investement) dan menjadi leading sector atau salah satu sektor utama. Oleh karena itu pendidikan di negara maju merupakan perhatian utama bagi pemerintahnya. seperti anggaran sektor pendidikan yang ada tidak kalah dengan sektor lainnya, sehingga keberhasilan investasi pendidikan berkorelasi dengan kemajuan pembangunan makronya.

Investasi pendidikan dianggap memberikan nilai balik (rate of return) yang lebih tinggi dari pada investasi fisik di bidang lain. Nilai balik pendidikan adalah perbandingan antara total biaya yang dikeluarkan untuk membiayai pendidikan dengan total pendapatan yang akan diperoleh setelah seseorang lulus dan memasuki dunia kerja.

Sebagai contoh di negara-negara sedang berkembang umumnya menunjukkan nilai balik terhadap investasi pendidikan relatif lebih tinggi dari


(34)

pada investasi modal fisik yaitu 20 % dibanding 15 %. Sementara itu di negara-negara maju nilai balik investasi pendidikan lebih rendah dibanding investasi modal fisik yaitu 9 % dibanding 13 %. Keadaan ini dapat dijelaskan bahwa dengan jumlah tenaga kerja terdidik yang terampil dan ahli di negara berkembang relatif lebih terbatas jumlahnya dibandingkan dengan kebutuhan sehingga tingkat upah lebih tinggi dan akan menyebabkan nilai balik terhadap pendidikan juga tinggi (Suryadi: 1999, 247). Tingkat pendidikan seseorang yang semakin tinggi juga dapat memberikan manfaat social yang semakin besar pula.


(35)

BAB 3

METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Jenis Penelitian

Adapun jenis penelitian yang digunakan adalah pendekatan kualitatif. Pendakatan kualitatif dapat diartikan sebagai pendekatan yang menghasilkan data, tulisan,dan tingkah laku yang didapati dari apa yang diamati (Hadari, 1994 : 2003 ). Sedangkan metode yang dipakai dalam penelitian ini adalah deskriptif. Metode deskriptif adalah metode yang meneliti suatu objek, kondisi, ataupun sistem pemikiran yang dilakukan secara intensif, mendalam, mendetail, dan komprehensif..

Metode deskriptif digunakan untuk menggambarkan atau melukiskan tentang apa yang diteliti dan berusaha mendapatkan data sebanyak mungkin sehingga dapat memberikan suatu gambaran yang jelas dan tepat tentang apa yang menjadi pokok permasalahan penelitian.

Menurut Whitney, Metode Deskriptif adalah pencarian fakta interpretasi yang tepat. Yang digunakan untuk mempelajari masalah-masalah dalam masyarakat, serta tata cara yang berlaku dalam masyarakat serta situasi-situasi tertentu, termasuk hubungan-hubungan kegiatan, sikap-sikap, pandangan-pandangan, serta proses-proses yang sedang berlangsung dan pengaruh-pengaruh dari suatu fenomena.9

9Mohammad Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988. Hal. 64.

Karena pendekatan deskriptif bertujuan untuk menggambarkan secara terperinci suatu fenomena sosial. Dengan metode


(36)

deskriptif ini juga kita mampu melihat kedudukan (status) dari permasalahan yang diteliti serta melihat hubungan antar satu variabel dengan variabel yang lain.10

3.2. Lokasi Penelitian

Adapun lokasi penelitian ini adalah Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (FISIP-USU). Alasan pemilihan lokasi ini adalah karena penulis melihat FISIP USU merupakan salah satu fakutas yang masih memiliki banyak organisasi-organisasi mahasiswa baik organisasi ekstra maupun intranya. Organisasi-organisasi ini juga dianggap penulis masih memiliki basis gerakan dan yang masih konsen membahas tentang BHMN diantara organisasi organisasi mahasiswa lainnya yang ada di lingkungan fakultas yang terdapat di universitas sumatera utara

3.3. Unit Analisis dan Informan

Yang menjadi unit analisis atau subjek kajian dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang mengalami dampak dari kebijakan badan hokum milik Negara yang ada di universitas Sumatera utara pada umumnya dan fakultas ilmu sosial dan ilmu politik pada umumnya. Adapun yang menjadi informan dalam penelitian ini adalah mahasiswa yang memahami dampak dari kebijakan bhmn tersebut.

10Mohammad Nazir, Ibid, Hal. 64.


(37)

Informan dalam penelitian ini meliputi beberapa macam informan seperti informan kunci. Yaitu mereka yang mengetahui dan memiliki informasi pokok yang diperlukan dalam penelitian. Selain itu juga ada informan biasa, yaitu mereka yang terlibat langsung dalam interaksi social yang diteliti. Untuk menghindari kesulitan penulis di dalam menentukan informan, maka penulis menetapkan beberapa kriteria untuk informan kunci dan informan biasa. Untuk informan kunci penulis menetapkan kriteria sebagai berikut:

a. Pernah terdaftar sebagai mahasiswa FISIP USU

b. Pernah menjabat sebagai Gubernur Pemerintahan Mahasiswa Fisip Usu (Masa jabatan periodisasi diuatamakan antara 2004-2010).

Sementara untuk informan biasa penulis menetapkan kriteria sebagai berikut

a. Terdaftar sebagai mahasiswa FISIP USU

b. Masih melakukan kegiatan perkuliahan (belum terkena sanksi Drop Out dari kampus).

3.4. Teknik Pengumpulan Data

Untuk mengumpulkan data atau informasi, keterangan-keterangan fakta yang diperlukan dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan :

1. Penelitian kepustakaan (Library Research), yaitu dengan cara mengumpulkan data-data dari buku-buku, literatur, dokumen-dokumen,


(38)

artikel, jurnal ilmiah, buletin, undang-undang, peraturan-peraturan dan berbagai sumber lain yang berhubungan dengan penelitian ini.

2. Penelitian Lapangan (Field Research), yaitu pengumpulan data dengan dialog langsung dengan terjun kelokasi penelitian, dengan cara wawancara langsung baik wawancara biasa maupun wawancara mendalam dengan orang-orang yang dapat memberikan informasi atau keterangan yang berkaitan dengan penelitian ini.

3. Wawancara, menurut Lexy J Moleong wawancara adalah percakapan dengan maksud-maksud tertentu dimana peneliti dan responden berhadapan langsung (face to face) untuk mendapatkan informasi secara lisan dengan tujuan mendapatkan data yang dapat menjelaskan permasalahan penelitian. Teknik wawancara yang dipakai dalam penelitian ini adalah :

• Wawancara berstruktur adalah wawancara secara terencana yang berpedoman pada daftar pertanyaan yang telah dipersiapkan sebelumnya.

• Wawancara mendalam adalah alat pengumpul data yang berbentuk sejumlah pertanyaan lisan yang disajikan oleh mengumpul data sebagai informasi yang dijawab secara lisan oleh responden.


(39)

3.5. Interpretasi data

Interpretasi data adalah cara untuk mengorganisasikan dan mengurutkan data kedalam pola kategori dan satuan uraian dasar sehingga dapat ditentukan tema yang dapat dirumuskan hipotesis atau pemahaman dasar kerja seperti yang disarankan data.

Menganalisis data dalam penelitian ini adalah teknik analisis kualitatif. Teknik analisis ini dapat didefinisikan sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Data deskriptif ini dapat berupa ucapan atau tulisan dan perilaku yang diamati orang-orang.11 Kemudian menyusun data yang telah ada untuk kemudian diinterpretasikan secara kualitatif. Dalam penelitian kulitatif, peneliti tidak mencari kebenaran dan moralitas, tetapi lebih pada upaya mencari pemahaman (understanding).12

11 Arief Furchan, Metoda Penelitian Kualitatif, Surabaya : Usaha Nasional, 1992. hal. 21. 12 Lexy Maelong, Metode Penelitian Kualitatif, Bandung: Remaja Karya, 1990. hal. 108.


(40)

BAB 4

DESKRIPSI DAN INTERPRETASI DATA

4.1. Profil Universitas Sumatera Utara

Sejarah Universitas Sumatera Utara (USU) dimulai dengan berdirinya Yayasan Universitet Sumatera Utara pada tanggal 4 Juni 1952. Pendirian yayasan ini dipelopori oleh Gubernur Sumatera Utara untuk memenuhi keinginan masyarakat Sumatera Utara khususnya dan masyarakat Indonesia umumnya.

Yayasan ini diurus oleh suatu Dewan Pimpinan yang diketuai langsung oleh Gubernur Sumatera Utara, dengan susunan sebagai berikut: Abdul Hakim (Ketua); Dr. T. Mansoer (Wakil Ketua); Dr. Soemarsono (Sekretaris/Bendahara); Ir. R. S. Danunagoro, Drh. Sahar, Drg. Oh Tjie Lien, Anwar Abubakar, Madong Lubis, Dr. Maas, J. Pohan, Drg. Barlan, dan Soetan Pane Paruhum (Anggota).

Sebenarnya hasrat untuk mendirikan perguruan tinggi di Medan telah mulai sejak sebelum Perang Dunia-II, tetapi tidak disetujui oleh pemerintah Belanda pada waktu itu. Pada zaman pendudukan Jepang, beberapa orang terkemuka di Medan termasuk Dr. Pirngadi dan Dr. T. Mansoer membuat rancangan perguruan tinggi Kedokteran. Setelah kemerdekaan Indonesia, pemerintah mengangkat Dr. Mohd. Djamil di Bukit Tinggi sebagai ketua panitia. Setelah pemulihan kedaulatan akibat clash pada tahun 1947, Gubernur Abdul Hakim mengambil inisiatif menganjurkan kepada rakyat di seluruh Sumatera Utara mengumpulkan uang untuk pendirian sebuah universitas di daerah ini.


(41)

Pada tanggal 31 Desember 1951 dibentuk panitia persiapan pendirian perguruan tinggi yang diketuai oleh Dr. Soemarsono yang anggotanya terdiri dari Dr. Ahmad Sofian, Ir. Danunagoro, dan sekretaris Mr. Djaidin Purba. Selain Dewan Pimpinan Yayasan, Organisasi USU pada awal berdirinya terdiri dari: Dewan Kurator, Presiden Universitas, Majelis Presiden dan Asesor, Senat Universitas, dan Dewan Fakultet.

Sebagai hasil kerja sama dan bantuan moril dan material dari seluruh masyarakat Sumatera Utara yang pada waktu itu meliputi juga Daerah Istimewa Aceh, pada tanggal 20 Agustus 1952 berhasil didirikan Fakultas Kedokteran di Jalan Seram dengan dua puluh tujuh orang mahasiswa diantaranya dua orang wanita. Tanggal 20 Agustus 1952 telah ditetapkan sebagai hari jadi atau Dies Natalis USU yang diperingati setiap tahun. Kemudian 2 tahun berikutnya fakultas yang ada kemudian bertambah dengan berdirinya Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat (1954), Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (1956), dan Fakultas Pertanian (1956).

Pada tanggal 20 November 1957, USU diresmikan oleh Presiden Republik Indonesia Dr. Ir. Soekarno menjadi universitas negeri yang ketujuh di Indonesia. Dan seiring dengan berjalannya Universitas Sumatera Utara terus melakukan penambahan fakultas seperti Fakultas Kedokteran Gigi (1961), Fakultas Sastra (1965), Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (1965), Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik (1982), Sekolah Pascasarjana (1992), Fakultas Kesehatan Masyarakat (1993), Fakultas Farmasi (2007), Fakultas Psikologi (2008), dan Fakultas Keperawatan (2009).


(42)

Pada tahun 2003, USU berubah status dari suatu perguruan tinggi negeri (PTN) menjadi suatu perguruan tinggi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Perubahan status USU dari PTN menjadi BMHN merupakan yang kelima di Indonesia. Sebelumnya telah berubah status UI, UGM, ITB dan IPB pada tahun 2000. Setelah USU disusul perubahan status UPI (2004) dan UNAIR (2006).

Dalam perkembangannya, beberapa fakultas di lingkungan USU telah menjadi embrio berdirinya tiga perguruan tinggi negeri baru, yaitu Universitas Syiah Kuala di Banda Aceh, yang embrionya adalah Fakultas Ekonomi dan Fakultas Kedokteran Hewan dan Peternakan USU di Banda Aceh. Kemudian disusul berdirinya Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan (IKIP) Negeri Medan (1964), yang sekarang berubah menjadi Universitas Negeri Medan (UNIMED) yang embrionya adalah Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan USU. Setelah itu, berdiri Politeknik Negeri Medan (1999), yang semula adalah Politeknik USU.

4.2. Profil Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 1. Sejarah

Fakultas Ilmu sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Sumatera Utara merupakan fakultas kesembilan di lingkungan Universitas Sumatera Utara. Kelahiran Fakultas ini tidak jauh berbeda dengan fakultas lainnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara. Pada awal pendiriannya (1980), Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara masih merupakan Jurusan Pengetahuan Masyarakat pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara.


(43)

Setahun kemudian Jurusan Pengetahuan Masyarakat berubah menjadi Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial (IIS).

Pada tahun 1982, Jurusan Ilmu-Ilmu Sosial resmi menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, dengan menggunakan gedung perkuliahan di Fakultas Kedokteran Gigi (FKG) Universitas Sumatera Utara.

2. Visi

Visi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara adalah:

“Menjadi Pusat Pendidikan dan Rujukan Bidang-Bidang Ilmu Sosial dan Politik di Wilayah Barat.”

3. Misi

1. Menghasilkan Alumni dengan skala kualitas global dan menjadi pusat riset, kajian dalam studi ilmu sosial dan politik.

2. Menjalin kerja sama yang saling menguntungkan dengan seluruh stakeholders dan mitra pendidikan. Misi ini berhubungan dengan fungsi relasi yang harus dibangun oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara sebagi suatu organisasi profesional pendidikan. Bentuk kolaborasi dengan organisasi lain perlu dijajaki dengan sikap open minded dan profesional. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara harus mampu melihat peluang kerjasama yang ditawarkan atau malah mampu menawarkan kerjasama tersebut pada pihak lain.

3. Membentuk lingkungan kerja sehat, harmonis dan profesional bagi staf dan mitra kerja. Misi ini berhubungan dengan azas profesionalitas dalam


(44)

menjalankan pekerjaan. Lingkungan dan suasana kerja yang dibangun harus memperhatikan situasi fisik dan psikologis seluruh sivitas akademika. Harus ada mekanisme yang mampu membangun suasana tersebut. Prinsip Profesionalitas juga harus didukung dengan prinsip persaudaraan dan pertemanan (makna positif) dengan kemampuan bisa menempatkan dan menjalankan fungsi masing-masing. 4. Menjadi Institusi bagi kepentingan publik. Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara sangat potensial sebagai institusi pendidikan yang membawa misi di atas dengan melihat pengalaman-pengalaman yang telah dilalui oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara sendiri.

4. Akreditasi

Akreditasi berbagai jurusan yang ada di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Sumatera Utara (FISIP USU).

Fakultas Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Program Studi Peringkat SK BAN PT Masa

Akreditasi Tahun Berlaku

Antropologi Sosial A 2004 2009

Ilmu Administrasi Negara B 2004 2009

Ilmu Kesejahteraan Sosial A 2005 2010

Ilmu Komunikasi A 2004 2009


(45)

4.3. Profil Informan

1. Veni Judo Agustian Fatahillah

Mahasiswa yang tercatat di jurusan ilmu politik 2003 ini pernah menjabat sebagai gubernur Pemerintahan Mahasiswa FISIP USU untuk periode 2007-2008. Semasa perkuliahan pria yang lebih akrab dipanggil Veni ini boleh dikatakan sebagai mahasiswa yang cukup aktif berorganisasi. Hal ini dapat dilihat dari sejumlah organisasi yang pernah diikutinya seperti Forum Diskusi Ilmu Politik, Ikatan Mahasiswa Ilmu Politik, Himpunan Mahasiswa Islam dan terakhir Pemerintahan Mahasiswa. Sejumlah jabatan pun yang pernah didudukinya di dalam sejumlah organisasi seperti Humas Forum Diskusi Ilmu Politik (FORDIP) USU periode 2003-2005 dan Kabid Litbang HMI Koms FISIP USU 2005-2006.

“Organisasi sebenarnya sangat kita butuhkan untuk sebagai media penerapan ilmu yang kita dapatkan di dalam perkuliahan” begitu ujar pria ini ketika ditanya mengenai keaktifannya di dalam sejumlah organisasi. Sehingga bukan hal yang aneh pengetahuan pria ini sangat banyak mengenai Badan Hukum Milik Negara meskipun pria ini sendiri sudah menamatkan studinya di tahun 2008. Pengetahuan ini sendiri diakuinya banyak didapatnya dari diskusi-diskusi yang dilakukannya selama menjadi mahasiswa dan semakin bertambah ketika ia menduduki jabatan sebagai gubernur Pemerintahan Mahasiswa FISIP USU. “Sebagai mahasiswa kita dituntut untuk lebih kritis di dalam melihat segala sesuatu yang ada, begitu pula dengan BHMN ini, kita harus melihat sebenarnya BHMN ini membawa efek yang bagaimana bagi kita khususnya mahasiswa, dan


(46)

sebenarnya apakah USU sendiri sudah siap atau belum untuk menerapkan bentuk baru ini”ucapnya sembari mengakhiri wawancara yang ada.

2. Eko Rusadi

Tidak jauh berbeda dengan curriculum vitae informan yang pertama, informan yang satu ini juga memiliki catatan karier organisasi yang cukup banyak. Sejumlah organisasi pernah dia ikuti seperi Himpunan Mahasiswa Islam dan Pemerintahan Mahasiswa. Diskusi pun bukan hal yang aneh baginya, karena posisi yang didudukinya memang menuntutnya untuk selalu melakukan diskusi-diskusi seperti posisi ketua bidang PTKP di HMI FISIP USU dan ketua bidang kastrad FISIP USU. “Penambahan intelektualitas merupakan modal yang paling penting yang harus dimiliki seorang mahasiswa, dan dengan bertukar pikiran dengan yang lainnya merupakan salah satu cara yang paling maksimal untuk menambah intelektualitas dan pengetahuan kita”.

Pria ini memiliki prinsip bahwa mahasiswa di samping menuntut ilmu untuk bekal baginya kedepannya tetapi juga harus dapat menciptakan suatu solusi yang berkaitan dengan permasalahan yang sedang terjadi. Seperti yang dikemukakannya dalam wawancara “Sebaiknya mahasiswa bukan hanya berkutat dengan permasalahan mengkritisi suatu masalah, tetapi sudah harus dapat bergerak untuk menciptakan suatu solusi setelah mengkritisi”. Lebih lanjutnya ia mengungkapkan bahwa jika hal itu dapat dilakukan maka ke depannya pasti akan lebih banyak perubahan ke arah positif yang terjadi.


(47)

3. Ferdiansyah Putra

Pria yang berumur 22 tahun ini tercatat sebagai mahasiwa departemen kesejahteraan sosial 2006. Saat ini ia menjabat sebagai Gubernur Pemerintahan Mahasiswa FISIP USU untuk masa periode 2010-2011.

Sebelum menjabat sebagai Gubernur Pemerintahan Mahasiswa, pria ini juga mempunyai pengalaman organisasi yang cukup banyak diantaranya adalah Ketua Umum Forum Anak Negeri (FAN), Sekretaris KAM RAYA FISIP USU Periode 2009-2010 dan Wasekum PTKP HMI Kom’s FISIP USU Peride 2010-2011.

Sebagai seseorang yang menjabat posisi Gubernur Pemerintahan Mahasiswa di FISIP USU, pengetahuan pria ini tentang BHMN tentu lah boleh kita katakan cukup banyak. Hal ini dapa dilihat dari kemampuan pria dalam menguasai diskusi diskusi yang berhubungan dengan BHMN.

Ia sendiri mempunyai pendapat pribadi ketika disinggung mengenai konsep BHMN “Tanpa bersifat tendensius, menurut saya pribadi penerapan konsep BHMN dapat kita katakan telah mengangkangi UUD 45 tentang pendidikan adalah tanggung jawab negara” lebih lanjut ia menambahkan dengan tegas bahwa mahasiswa sekarang hanya berorientasikan cepat tamat dan kerja sehingga terasing dengan realitas social yang ada

4. M. Isman Hutabarat

Pria ini ketika masih berkuliah dulu mengenyam pendidikannya di departemen komunikasi dan tercatat sebagai mahasiswa stambuk 2002. Ia sendiri


(48)

merupakan sosok yang amat akrab dengan organisasi-organisasi mahasiswa di fisip usu. Selain pernah menjabat sebagai Gubernur di FISIP USU untuk periodisasi 2006-2007, beliau juga pernah menjabat sebagai ketua imajinasi di periode 2005-2006.

Pria ini mengatakan bahwa dengan adanya konsep BHMN mahasiswa secara tidak langsung diarahkan hanya berorientasikan nilai perkuliahan saja dan sering tidak memahami tri darma perguruan tinggi yang seharusnya menjadi tanggung jawab mahasiswa.

5. M. Zaky Sahreza

Tidak jauh berbeda dengan informan lainnya, pria ini sendiri pun dapat dikatakan aktif di dalam organisasi-organisasi kemahasiswaan, bahkan hingga sekarang pria ini sendiri masih aktif di dalam memberikan diskusi-diskusi bagi organisasi tempatnya bernaung dulu.

Pria ini dulu semasa kuliahnya terdaftar sebagai mahasiswa departemen sosiologi stambuk 1999 dan dikenal sangat menyukai filsafat. Dia juga sempat menjabat sebagai Gubernur Pemerintahan Mahasiswa FISIP USU periode 2004-2005.

Pengalaman organisasi yang cukup banyak pada masa kuliahnya juga membuat pria 29 tahun ini sedikit banyak memahami persoalan persoalan yang telah ditimbulkan oleh kebijakan BHMN tersebut.

Menurutnya dampak yang paling mengerikan dari BHMN bukan dari sisi fisiknya tetapi lebih kepada manipulasi kesadaran terhadap mahasiswa yang


(49)

membuat mahasiswa menjadi terasing dan jauh dari realita pendidikan yang sebenarnya.

6. Dika Yudistira

Pria ini sekarang menjabat sebagai pengurus pemerintahan mahasiswa sebagai ketua bidang kajian strategis untuk periodesasi 2010-2011. Sebelum bergabung dengan organisasi Pemerintahan Mahasiswa pria ini juga telah banyak mengecap organisasi-organisasi mahasiswa lainnya. Pria kelahiran Pangkalan Brandan ini merupakan mahasiswa departemen kesejahteraan social.

Dia mengakui bidang yang tengah dijabatinya di dalam Pemerintahan Mahasiswa sangat erat kaitannya dengan gerakan mahasiswa. Oleh karea itu, pembahasan tentang BHMN merupakan salah satu kajian yang penting bagi diskusi-diskusi mahasiswa yang ada.

Ia menyatakan bahwa dengan adanya BHMN telah mengakibatkan kenaikan spp sehingga semakin menyulitkan orang-orang memiliki keterbatasan dana untuk mengenyam pendidikan yang lebih tinggi lagi.

7. Roland Ahmadi

Pria ini semasa kuliahnya terdaftar sebagai mahasiswa jurusan ilmu politik stambuk 2003. Dia juga sempat menjabat sebagai salah satu pengurus inti Pemerintahan Mahasiswa yaitu sebagai Sekretaris Jenderal Pemerintahan Mahasiswa FISIP USU.

Selain itu ia juga pernah menjabat sebagai ketua bidang pembinaan anggota hmi komisariat fisip usu periode 2005-2006. Menurutnya ketika kita


(50)

membahas mengenai BHMN pasti kita harus membahas mengenai dampak positif dan juga dampak negatif yang ditimbulkannya. Akan tetapi untuk saat ini ia masih tetap meyakini bahwa dampak negatif yang ditimbulkan dari BHMN ini lebih banyak daripada dampak positif yang ditimbulkannya.

4.4. Dampak-Dampak yang Ditimbulkan Dari Penerapan Bentuk USU sebagai BHMN

4.4.1. Dampak Pola Pikir

Pendidikan hakekatnya memiliki fungsi sebagai sarana membentuk karakter bangsa. Dengan adanya suatu proses pendidikan yang dilalui oleh seorang individu maka diharapkan akan mampu melahirkan kaum-kaum intelektual yang nantinya bisa menopang keberlangsungan perjalanan bangsa yang bersandar pada kesejahteraan rakyat.

Akan tetapi keberadaan institusi pendidikan yang ada saat ini menjadi perdebatan sengit di berbagai kalangan pasca dirubahnya bentuk pendidikan menjadi badan hukum milik Negara. Pendidikan yang seharusnya menjadi tanggung jawab negara sesuai dengan yang tertuang di dalam undang-undang oleh beberapa kalangan malah menjadi institusi yang menghamba pada modal dan kekuasaan. Keberadaan pendidikan tidak lebih sebagai ruang legitimasi akademik yang dijadikan alat pembenar dalam penerapan kebijakan-kebijakan yang ada. Hegemoni bahkan terkadang tidak jarang dilakukan di dalam


(51)

penerapan-penerapan kebijakan yang ada, sebagai suatu upaya untuk menciptakan sebuah kestabilan dalam mencapai tujuannya.

Gramsci menyatakan bahwa hegemoni merupakan penguasaan dengan kepemimpinan moral dan intelektual secara konsensual. Titik pangkal dari hegemoni adalah konsensus yang pada hakekatnya adalah upaya menggiring sekelompok orang agar menilai dan memandang masalah dalam kerangka yang sudah ditentukan.

Kekurangan basis konseptual yang membentuk kesadaran menyebabkan sekelompok orang ini terkadang menjadi tidak efektif di dalam memahami realita sosial menjadi kurang efektif. Bagi Garamsci, ada dua hal yang seringkali menerapkan hegemoni di dalam pengeluaran kebijakannya dan mempengaruhi penilaian seseorang di dalam memandang masalah dan realitas yang ada yaitu pendidikan di satu pihak dan mekanisme kelembagaan di lain pihak.

Proses pendidikan yang dilakukan oleh seseorang pasti berpengaruh terhadap cara dan sudut pandang seseorang nantinya. Sehingga di beberapa teori-teori sosial yang ada tidak jarang kita temukan tingkat pendidikan seseorang sangat mempengaruhi perilaku dan tindakan yang ditunjukkannya. Sementara mekanisme kelembagaan di sisi lain merupakan suatu hal yang akan seringkali kita temukan di dalam kehidupan sosial. Kelembagaan pendidikan misalnya yang pasti akan kita temui ketika kita melakukan suatu proses pendidikan. Kebijakan-kebijakan yang dikeluarkan suatu lembaga pendidikan pasti akan berpengaruh


(52)

terhadap sistem pendidikan pula yang secara otomatis pasti akan mempengaruhi pola pikir yang kita miliki.

Seperti yang telah dijelaskan di atas sebelumnya sistem pendidikan kita saat ini sudah mengalami suatu babak baru yaitu babak badan hukum milik negara. Universitas Sumatera Utara merupakan salah satu universitas yang memutuskan untuk merubah bentuk menjadi Badan Hukum Milik Negara (BHMN). Merujuk kepada teori yang dikemukakan oleh Gramsci yang mengatakan bahwa kelembagaan dan pendidikan merupakan dua hal yang dapat mempengaruhi cara pandang suatu individu maka perubahan bentuk BHMN ini pun oleh sekelompok orang diyakini sedikit banyaknya pasti akan membawa pengaruh.

Dengan mengusung slogan university for industry USU pun terlihat semakin memantapkan langkahnya untuk menjadi Badan Hukum Milik Negara. Banyak kalangan yang menganggap bahwa sebenarnya dari slogan ini saja kita sudah dapat mengambil kesimpulan awal bahwa terjadi pergeseran konsep. Seperti yang dikatakan oleh Eko Rusadi dari hasil wawancara yang dilakukan ”Universitas yang pada awalnya berkonsep untuk memberikan suatu pendidikan bagi masyarakat telah mengalami perubahan konsep menjadi konsep pendidikan yang digunakan sebagai sebuah investasi (education as investement)”. Lebih lanjutnya ia mengemukakan “Dari slogan yang diusung USU ini sendiri kita sudah dapat langsung mengerti bahwa sektor pendidikan sekarang ini


(53)

memfokuskan manusia sebagai fokus intinya. Artinya di sini manusia dianggap sebagai modal investasi yang sangat menguntungkan.”.

Hal yang serupa juga ditambahkan oleh Veni Judo Agustian Fatahillah ”Bukan hal yang tidak mungkin sudah terjadi perubahan pola pikir mahasiswa sebagai suatu dampak yang mengiringi dari perubahan bentuk ini”. Hal ini disebabkan karena perubahan bentuk menjadi BHMN secara otomatis memberikan suatu wewenang kepada universitas untuk membuat kebijakan-kebijakan sendiri yang dianggap perlu. Tentu saja hal ini dapat menimbulkan adanya hegemoni kekuasaan yang terjadi seperti yang dikatakan oleh Veni Judo Agustian Fatahillah ”Mekanisme kelembagaan (dalam hal ini universitas), terkadang menjadikan kelompok yang berkuasa mampu menentukan serangkaian kebijakan-kebijakan yang akan dikeluarkan misal kenaikan uang kuliah, uang dana kelengkapan akademik bahkan uang pkl dan uang sidang dan bukan hal yang tidak mungkin pula mereka dapat melakukan suatu dominasi ideologi, contoh nyatanya adalah standar kelulusan 6 tahun bagi mahasiswa”.

Hal tersebut secara tidak langsung telah menciptakan sebuah manipulasi pemikiran yang telah merasuk kedalam pola fakir mahasiswa yang ada..senada dengan yang disampaikan zaky sahreza bahwa BHMN juga memberikan sebuah manipulasi pemikiran contoh nyatanya adalah perubahan pola pikir itu dapat kita lihat dari sikap-sikap yang ditunjukkan mahasiswa yang lebih keapada study

oriented, fobia terhadap organisasi organisasi mahasiswa yang dalam hal ini


(54)

kemampuan bersosialisasi yang rendah serta hilangnya nuansa kritis, dan apatisnya mahasiswa terhadap lingkungan sekitar. Zaky juga mengemukakan pernyataannya ”Pendidikan itu bukan hanya permasalahan mampu atau tidaknya kita beradaptasi dengan lingkungan setelah kita selesai dari bangku perkuliahan. Tetapi juga bagaimana cara untuk melahirkan ilmu pengetahuan dan teori. Teori tersebut bukanlah teori yang memanfaatkan keadaan, tetapi yang mengubah keadaan. Maka jika pendidikan diupayakan hendak membebaskan, tugas teori adalah membangun lebih kepada nilai. Sehingga bukan hanya berkutat terhadap permasalahan hasil dan nilai tetapi juga sejauh apa kita memahami ilmu yang telah kita dapat”.

Emile Durkheim menyatakan bahwa, pendidikan bermakna ganda, satu sisi berfungsi sebagai pencerahan dan pembebasan, tetapi di sisi lain yang berfungsi sebagai belenggu kesadaran.. Sehingga bukan hal yang tidak mungkin mahasiswa saat ini secara sadar maupun tidak telah masuk kedalam keterasingan yang dalam. Seperti yang dikatakan oleh Karl Marx bahwa manusia itu pada dasarnya bebas dan universal. Namun seiring dengan melihat alam maka terjadi perubahan sudut pandang untuk mendapat uang (pragmatis). Dengan demikian, manusia tersebut mengasingkan hakekatnya yang bebas dan universal. Manusia bekerja seperti binatang yaitu demi satu tujuan supaya ia bisa hidup. Yang demikian lantas muncul kelas-kelas yang saling berhadapan dan bertentangan. Hal ini terjadi sebagai upaya untuk memperebutkan suatu lahan demi kepentingan mereka. Hal yang demikian ini lah yang diyakini dapat menimbulkan jarak antar manusia dan dengannya manusia semakin terasing dari sesamanya.


(55)

Oleh karena penguasaan ideologi kelas dan konsep investasi manusia oleh penguasa ini lah yang diyakini dapat merubah sebuah pola fikir mahasiswa yang lebih mengedepankan hal hal yang pragmatis didalam mencapai tujuan pendidikannya. Seperti yang dikemukakan oleh ferdiansya putra ”Perubahan pola fikir ini telah mengakibatkan hilangnya makna hakikat pendidikan yang seharusnya.yaitu proses produksi kesadaran kritis, seperti menumbuhkan kesadaran kelas, kesadaran gender ataupun kesadaran lainnya”. Pendidikan seharusnya mampu menciptakan ruang untuk mengidentifikasi dan mengalanalisis secara bebas dan kritis untuk tranformasi sosial. Dengan kata lain, tugas pendidikan adalah memanusiakan manusia (humanisasi) yang telah mengalami proses dehumanisasi yang dikarenakan dari sistem dan struktur yang tidak adil.

4.4.2. Dampak-Dampak Positif

1. Meningkatnya Kualifikasi Dosen

Sampai Agustus Tahun 2010, jumlah dosen yang berjenjang pendidikan S-2 adalah sebanyak 6S-2,03% dan yang berjenjang pendidikan S-3 sebanyak 17,88%. Sementara untuk tenaga pendidik yang sedang melakukan studi lanjutan untuk strata pendidikan S2 berjumlah sebanyak 10,9% dan strata pendidikan S3 berjumlah sebanyak 19,2%. Bahkan untuk terus meningkatkan kualifikasi dosen, saat ini USU mengirim sekitar 800 dosen untuk mengikuti pendidikan pasca sarjana (S-2) dan doktoral (S-3). Sekitar 200 orang di antaranya menempuh pendidikan di luar negeri. Sebagian besar dana pendidikan para dosen dibiayai oleh USU sendiri, selain bantuan dari Pemerintah Provinsi Sumut, dewan


(56)

penyantun dan pihak lainnya. Melalui pendidikan itu maka diharapkan sekitar 85 persen dosen USU berjenjang pendidikan S-2 dan S-3.

Ferdiansyah Putra sendiri juga mengatakan bahwa peningkatan kualifikasi dosen merupakan salah satu dampak positif yang dapat kita ambil dari perubahan status USU menjadi BHMN. “Saya pikir hal ini memang salah satu dampak positif yang terjadi, karena USU kan sekarang ini dapat mengatur keuangan internalnya sendiri, sehingga memang tentu saja dana untuk membiayai dosen-dosen pengajarnya dapat dikelola USU sendiri”. Lebih lanjutnya lagi ia mengemukakan “Hal ini pasti akan dilakukan USU sendiri, pertama USU lebih leluasa di dalam mengatur keuangan pribadinya dan yang kedua USU pasti harus mempersiapkan diri di dalam menghadapi tuntutan salah satunya adalah kualitas tenaga pengajar”.

2. Adanya Peningkatan Fasilitas (Seperti internet, LCD dan Proyektor) Ketika ditanyakan kembali mengenai apa saja dampak-dampak positif yang ditimbulkan USU dengan perubahannya menjadi BHMN, salah satu informan biasa kita mengemukakan mengenai peningkatan fasilitas yang diberikan USU kepada mahasiswanya. Dika Yudhisira sendiri mengemukakan bahwa sekarang ini proses belajar-mengajar semakin dipermudah dengan adanya LCD dan Proyektor meskipun ia mengakui fasilitas yang diberikan itu belum maksimal. Seperti pernyataannya saat diwawancarai “Sekarang ini kegiatan belajar mengajar kita sudah difasilitasi oleh LCD dan proyektor meskipun saya pribadi menganggap bahwa jumlah LCD dan Proyektor khususnya di FISIP USU


(57)

ini masih sangat minim sekali. Tidak seimbang dengan kelas perkuliahan yang ada sehingga tidak semua kelas perkuliahan dapat menikmati fasilitas LCD dan Proyektor”. Lebih lanjutnya lagi ia mengemukakan “Dan saat ini fasilitas wie-fie saya rasa sudah dapat dinikmati oleh semua mahasiswa FISIP USU, bahkan hampir semua fakultas sekarang ini telah memiliki fasilitas wie-fie dan ini juga menurut saya salah satu dampak positif yang bisa dirasakan oleh kalangan mahasiswa seperti kita”.

Peningkatan fasilitas ini juga pasti salah satu upaya USU untuk memenuhi tuntutan yang ada, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, karena USU berhak mengatur keuangannya sendiri sehingga lebih leluasa di dalam melakukan pengeluaran yang terkait dengan perubahan ke arah yang lebih baik bagi USU sendiri.

3. Adanya Peningkatan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK)

Berdasarkan pidato rektor yang disampaikan pada Dies Natalis ke 52, rata-raa Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) ternyata mengalami peningkatan, sebagaimana yang dapat kita lihat pada tabel di bawah ini:

No Jurusan Tahun 1994-1995 Tahun 2003-2004

1 Sosiologi 2,82 3,16

2 Ilmu Kesejahteraan Sosial 2,89 3,18


(58)

4 Ilmu Komunikasi 2,90 3,21

5 Antropologi 2,84 2,98

Sumber: Pidato Rektor pada upacara peringatan Dies Natalis ke-52 Universita Sumatera Utara yang disampaikan pada 20 Agustus 2004.

Ketika ditanyakan mengenai tanggapannya terkait dengan adanya peningkatan IPK pasca berubahnya USU menjadi BHMN Eko Rusadi mengatakan “Hal ini mungkin disebabkan oleh diberlakukannya Sistem Kelas Simultan di USU, artinya tiap semester semua kelas terbuka baik untuk mata pelajaran pada semester ganjil maupun pada semester genap, dan diberlakukannya peraturan akademik di lingkungan USU untuk lama masa studi hanya diizinkan maksimal selama 6 tahun. Secara otomatis kesemua hal ini mengakibatkan terjadinya peningkatan IPK”.

Meskipun mengalami peningkatan dalam hal Indeks Prestasi Kumulatif namun ia lebih lanjut mengatakan bahwa hal itu sendiri haruslah dikaji lebih lanjut “Indikator apakah USU berhasil mencetak sumber daya manusia yang siap pakai saya pikir tidak hanya diukur dari IPK”, “meskipun demikian saya rasa peningkatan IPK ini memang dapat dikategorikan sebagai salah satu dampak positif yang ditimbulkan perubahan USU menjadi BHMN” ucapnya ketika ditanya salah satu dampak positif yang ditimbulkan USU pasca berubahnya USU menjadi BHMN.


(59)

4.4.3. Dampak-Dampak Negatif

1. Dibukanya Jalur Penerimaan Mahasiswa Reguler Mandiri

Sebagai dampak dari perubahan status USU sebagai BHMN secara otomatis mengharuskannya USU untuk mencari dana secara mandiri untuk pembiayaan penyelenggaraan pendidikan, salah satunya dengan mengeluarkan kebijakan untuk membuka penerimaan mahasiswa baru melalui jalur Reguler Mandiri. Penerimaan mahasiswa baru USU melalui jalur Reguler Mandiri sendiri mulai dibuka pada tahun 2004. Diberi nama Jalur Reguler Mandiri maksudnya adalah mahasiswa yang ingin masuk menjadi mahasiswa USU dari jalur ini tidak memperoleh subsidi dari pemerintah sehingga seluruh pembiayaan pembelajaran ditanggung sendiri oleh mahasiswa yang bersangkutan. Tak heran jika uang SPP yang ditetapkan untuk Jalur Reguler Mandiri ini lebih tinggi dibanding uang SPP jalur SPMB, yaitu mencapai sepuluh kali lipat lebih mahal dibanding uang SPP mahasiswa yang masuk melalui jalur SPMB.

Veni Judo Agustian Fatahillah sendiri memberikan pendapatnya “Jalur Reguler ini dari tahun ke tahun jumlah peminatnya akan semakin besar karena jumlah kursi untuk mahasiswa dari Jalur Reguler Mandiri ini juga tidak dibatasi, sehingga kehadiran Jalur Reguler Mandiri ini pasti nantinya akan semakin memperkecil jumlah kursi yang diperebutkan dalam ujian jalur SPMB. Dapat diprediksi bahwa beberapa tahun kedepan jumlah mahasiswa yang diterima dari Jalur Reguler Mandiri akan semakin besar dan terus memperkecil jumlah mahasiswa yang diterima dari jalur SPMB maupun dari jalur PMP.”


(60)

Ketika ditanyai mengenai jumlah uang kuliah yang dibebankan untuk mahasiswa regular yang ada di FISIP USU, Ferdiansyah Putra yang saat ini menjabat sebagai Gubernut PEMA FISIP USU mengemukakan “Untuk program studi Ilmu Komunikasi dan Administrasi Negara, mahasiswa yang masuk melalui Jalur Reguler Mandiri dikenakan uang SPP sebesar Rp 7.500.000- setiap tahunnya. Sedangkan untuk program studi Ilmu Kesejahteraan Sosial, Sosiologi, Antropologi, dan Ilmu Politik jumlah uang SPP yang harus dibayarkan setiap tahunnya adalah sebesar Rp 5.000.000,-“.

Mengenai tanggapannya tentang efek dari jalur regular mandiri ini Ferdiansyah Putra memberikan pendapatnya “Semakin lama saya pikir bukan hal yang tidak mungkin nantinya slogan-slogan yang miskin dilarang sekolah itu menjadi kenyataan soalnya kursi regular mandiri ini selalu mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dan secara otomatis mengurangi jumlah kursi SPMB dan PMP, dan sekarang ini memang yang dapat menjadi mahasiswa di USU itu bukan hanya yang memiliki kemampuan secara intelektual saja, namun harus memiliki kemampuan secara finansial juga”.

2. Kenaikan Uang SPP Program Sarjana dan Diploma 3

Perubahan status USU menjadi BHMN sebenarnya hanya sekedar pemindahan kekuasaan dari pusat ke tingkat lokal. Walaupun ada kata “Milik Negara” tetapi sebenarnya peran Negara ataupun pemerintah pusat sudah semakin kecil. Hal ini dapat kita lihat dari berhentinya tanggung jawab pusat dalam hal


(61)

pembiayaan kepada USU serta berkurangnya pengalokasian anggaran daerah untuk pembiayaan jalannya proses pendidikan di USU.

Dengan kata lain USU didorong untuk mencari pembiayaan sendiri dalam menyelenggarakan pendidikan antara lain yang berasal dari pemerintah, masyarakat, pihak luar negeri yang tidak mengikat, serta dari usaha dan tabungan USU. Walaupun masih ada biaya yang berasal dari APBD namun jumlahnya tidak mencukupi untuk melaksanakan penyelenggaraan pendidikan secara keseluruhan. “Saya pikir jika berbicara dampak negatif yang ditimbulkan dari perubahan USU menjadi BHMN, dampak utama yang dapat dilihat adalah dengan naiknya uang SPP mahasiswa” ucap Eko Rusadi saat ia memaparkan dampak negatif yang ditimbulkan dari perubahan USU menjadi BHMN. Lebih lanjutnya ia mengemukakan “Sekarang kita lihat saja fakta di lapangan langsung, uang SPP mahasiswa baru Program Diploma (D3) pada mengalami kenaikan semenjak Tahun Ajaran 2007-2008. bahkan tidak tangung-tanggung kenaikan SPP bahkan sampai 200% lebih”.

Hampir senada dengan yang disampaikan oleh Eko Rusadi Dika Yudhistira menyampaikan “Uang SPP program studi Administrasi Perpajakan saja yang awalnya hanya Rp 1.000.000,- mengalami kenaikan menjadi Rp 3.000.000-, dan bahkan akibat dari kebijakan itu ada beberapa teman-teman yang mengurungkan niatnya untuk kuliah”.

Kenaikan uang kuliah ini sendiri pun lagi-lagi mengalami kenaikan kembali untuk mahasiswa baru periode 2010-2011. USU mengeluarkan kebijakan


(62)

baru unttuk menaikkan uang kuliah bagi setiap program studi. Program studi IPA (eksakta) seperti Kedokteran, Pertanian, Teknik, Kedokteran Gigi, Matematika dan Ilmu Pengertahuan Alam, Farmasi, Keperawatan dan Psikologi yang awalnya hanya dikenakan uang kuliah sebesar Rp 1.000.000,- setiap tahunnya sekarang naik menjadi Rp 2.000.000,- setiap tahunnya. Sedangkan untuk program studi IPS (sosial) seperti Ekonomi, Sastra, Ilmu-ilmu Sosial dan Ilmu Politik, dan Hukum yang pada awalnya dikenakan uang kuliah sebesar Rp 750.000,- setiap tahunnya sekarang menjadi Rp 1.500.000,- setiap tahunnya.

Ketika ditanya tanggapannya dengan kenaikan uang SPP ini bagi mahasiswa baru Ferdiansyah Putra mengatakan “Jelas kebijakan ini menurut saya pribadi terlalu membebankan kawan-kawan mahasiswa apalagi kenaikan ini belum patut dilakukan USU karena dari beberapa contoh kasus kenaikan uang kuliah ini tidak diikuti dengan peningkatan fasilitas yang ada bagi mahasiswa. Lebih lanjut lagi dia menambahkan “Meskipun kenaikan uang kuliah ini diakui pihak rektorat hanya dikenakan kepada mahasiswa baru periode 2010-2011 akan tetapi tentu saja kebijakan ini tetap memberatkan masyarakat kurang mampu yang ingin menimba ilmu di USU”.

Kebijakan pemerintah yang merubah status USU menjadi BHMN menurut Eko Rusadi secara langsung telah mendorong petinggi-petinggi USU untuk melahirkan kebijakan menaikkan uang SPP hingga mencapai 200% untuk program studi diploma dan 100% untuk program studi sarjana. Tentu saja ini sama artinya dengan menutup akses bagi masyarakat miskin (yang tidak memiliki kemampuan finansial) untuk menimba ilmu di USU.


(63)

Disisi lain, kenaikan uang kuliah yang dilakukan oleh pihak rektorat ternyata berbanding terbalik dengan penyediaan fasilitas yang ada di tiap universitas seperti yang dikatakan oleh Ferdiansyah Putra pada halaman sebelumnya. Karena ternyata tidak mengalami peningkatan fasilitas dalam rangka penunjang kegiatan belajar mengajar juga tidak cukup signifikan.

3. Kenaikan Biaya Pendaftaran dan Dana Kelengkapan

Mahasiswa(DKM) periode 2010-2011

Bersamaan dengan kebijakan menaikkan uang kuliah bagi mahasiswa baru periode 2010-2011, pihak rektorat USU juga kembali mengeluarkan kebijakan bagi mahasiswa baru periode 2010-2011 yaitu dengan menaikkan Dana Kelengkapan Akademik (DKA).

Dana Kelengkapan Akademik yang pada awalnya sebesar Rp 1.925.000,-kini naik menjadi Rp. 3.850.000,- atau mengalami kenaikan sebesar hampir 100%. Tentu saja hal ini semakin memberatkan mahasiswa baru yang ingin mengenyam pendidikan di bangku perkuliahan USU. Karena seperti yang telah dipaparkan di atas, di samping permasalahan uang kuliah yang telah naik sebesar 100% mereka juga harus kembali dihadapkan pada kewajiban membayar Dana Kelengkapan Akademik (DKA) yang juga telah dinaikkan sebesar 100%.

Tidak berbeda jauh dengan mahasiswa baru yang diterima melalui jalur SNMPTN, UMB dan SPMPD, mahasiswa baru jalur penerimaan Pembinaan Minat dan Pretasi (PMP) juga dihadapkan pada permasalahan yang serupa malah


(64)

lebih kompleks. Karena selain diwajibkan untuk membayar Dana Kelengkapan Awal (DKA) dan uang SPP, mahasiswa dari jalur ini juga dikenakan biaya tambahan yakni biaya matrikulasi dan sumbangan ikhlas/sukarela. biaya matrikulasi ini dulunya pada tahun 2004 hanya dikenakan sebesar Rp 150.000’- dan Sumbangan Ikhlas/sukarela tidak ditetapkan, sesuai dengan kemampuan calon mahasiswa baru tersebut.

Yang menjadi perdebatan adalah Sumbangan Ikhlas/Sukarela yang dulunya tidak pernah ditetapkan besar jumlahnya kini telah ditetapkan oleh pihak USU semenjak tahun 2008 ini. Calon mahasiswa baru yang lulus dari jalur PMP semenjak tahun 2008 ini diwajibkan untuk memberikan Sumbangan Ikhlas/Sukarela yang sudah ditetapkan oleh pihak USU minimal sebesar Rp 2.000.000’-.

“Saya pribadi heran kenapa Sumbangan Ikhlas/Sukarela yang pada tahun sebelumnya ditentukan sesuai dengan kemampuan calon mahasiswa baru tiba-tiba berubah menjadi Sumbangan Wajib” ucap Eko Rusadi saat ia mencoba memberikan pandangannya terhadap faktor negatif USU menjadi BHMN.

Lanjutnya ia menambahkan bahwa “orang tua dari calon mahasiswa baru jalur PMP yang awalnya merasa senang dan bangga pada anaknya karena lulus menjadi calon mahasiswa baru USU tanpa harus mengikuti ujian SPMB atau SPMPD akhirnya harus merasa kecewa karena kebijakan yang cukup merugikan ini.


(1)

lebih kompleks. Karena selain diwajibkan untuk membayar Dana Kelengkapan Awal (DKA) dan uang SPP, mahasiswa dari jalur ini juga dikenakan biaya tambahan yakni biaya matrikulasi dan sumbangan ikhlas/sukarela. biaya matrikulasi ini dulunya pada tahun 2004 hanya dikenakan sebesar Rp 150.000’- dan Sumbangan Ikhlas/sukarela tidak ditetapkan, sesuai dengan kemampuan calon mahasiswa baru tersebut.

Yang menjadi perdebatan adalah Sumbangan Ikhlas/Sukarela yang dulunya tidak pernah ditetapkan besar jumlahnya kini telah ditetapkan oleh pihak USU semenjak tahun 2008 ini. Calon mahasiswa baru yang lulus dari jalur PMP semenjak tahun 2008 ini diwajibkan untuk memberikan Sumbangan Ikhlas/Sukarela yang sudah ditetapkan oleh pihak USU minimal sebesar Rp 2.000.000’-.

“Saya pribadi heran kenapa Sumbangan Ikhlas/Sukarela yang pada tahun sebelumnya ditentukan sesuai dengan kemampuan calon mahasiswa baru tiba-tiba berubah menjadi Sumbangan Wajib” ucap Eko Rusadi saat ia mencoba memberikan pandangannya terhadap faktor negatif USU menjadi BHMN.

Lanjutnya ia menambahkan bahwa “orang tua dari calon mahasiswa baru jalur PMP yang awalnya merasa senang dan bangga pada anaknya karena lulus menjadi calon mahasiswa baru USU tanpa harus mengikuti ujian SPMB atau SPMPD akhirnya harus merasa kecewa karena kebijakan yang cukup merugikan ini.


(2)

4. Dibukanya Departemen Baru

Semenjak tahun 2009 lalu Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik secara resmi telah membuka 1 program studi baru. Fakultas Ilmu Sosial Ilmu Politik yang pada awalnya memiliki 7 program studi sekarang telah bertambah menjadi 8 program studi dengan ditambahnya program studi Administrasi Bisnis.

Penerimaan mahasiswa baru Administrasi Bisnis ini pada awalnya tidak dilakukan melalui jalur UMB dan SNMPTN, tetapi hanya dilakukan secara sendiri oleh Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik. Barulah pada seleksi jalur UMB dan SNMPTN tahun 2010 ini Administrasi Bisnis secara resmi ditambahkan menjadi program studi yang dipilih.

“Kalau saya pribadi melihat program ini sendiri masih banyak hal yang masih perlu dikaji karena program studi ini seperti terpisah dari program lainnya yang ada, selain kegiatan belajar mengajar yang dilakukan di gedung yang terpisah uang kuliah yang dibebankan juga berbeda” ucap Ferdiansyah Putra.

Dan memang program studi ini mengalami perbedaan uang kuliah yang dibebankan, jika mahasiswa program studi lain yang diterima melalui jalur SNMPTN, UMB dan PMP diwajibkan membayar uang SPP sebesar Rp 2.000.000 (setelah mengalami kenaikan),- setiap tahunnya, program studi Administrasi Bisnis ini diwajibkan untuk membayar uang SPP sebesar Rp 3.500.000,- setiap tahunnya.


(3)

BAB V

KESIMPULAN

1. Berbicara mengenai bentuk baru USU sebagai BHMN dapat kita ibaratkan dengan dua sisi mata uang yang saling berhadap-hadapan. Artinya kita tidak dapat membiacarakan USU sebagai BHMN tanpa membahas dampak posotif dan negatif yang ditimbulkannya.

2. Dampak Positif yang didapat dari perubahan USU menjadi BHMN adalah peningkatan sarana dan prasarana USU. Dengan adanya keistimewaan yang diberikan untuk mengatur keuangan pribadinya maka secara otomatis menjadikan USU dapat memfokuskan untuk peningkatan sarana jika hal itu dianggap perlu.

3. Dampak Negatif yang ditimbulkan USU menjadi BHMN adalah perubahan pola pikir di kalangan mahasiswa dan seringnya kenaikan-kenaikan biaya prosedural akademis terjadi.

4. Perubahan pola pikir ini dianggap yang paling menarik untuk diteliti oleh penulis, karena adanya fakta di lapangan yang menunjukkan bahwa dengan adanya kebijakan menaikkan biaya akademis, dan masa wajib untuk menyelesaikan perkuliahan ternyata membuat banyak mahasiswa yang mengalami perubahan pola pikir lebih kepada kewajiban mereka menyelesaikan studi dan bukan kepada menimba ilmu sebanyak-banyaknya.


(4)

5. BHMN bukan hanya selalu harus diartikan dengan konotasi yang buruk, akan tetapi sudah seharusnya USU melakukan koreksi-koreksi pribadi sebagai wujud komitmen pilihannya merubah status menjadi BHMN dan bukan hanya mengeluarkan kebijakan-kebijakan yang merugikan sepihak.

6. Penulis merasa masih banyak kekurangan-kekurangan USU pasca perubahannya menjadi BHMN dan saat ini masih banyak dampak negatif yang ditimbulkan USU menjadi BHMN dan hal ini disebabkan dari ketidaksiapan USU sendiri merubah bentuk.


(5)

DAFTAR PUSTAKA

Arief Furchan, Metoda Penelitian Kualitatif, Surabaya : Usaha Nasional, 1992 Blue print lokakarya nasional “meninjau kembali persepsi dan praktek badan

hukum milik Negara (BHMN) dalam perguruan tinggi negri (PTN) di Indonesia”.

Djumransjah, Pengantar Filsafat Pendidikan. Malang: Bayu Media Publishing, 2004.

Dunn, William, Pengantar Analisa Kebijakan Publik (Edisi II), Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 1999

Fakih, Mansour, Bebas Dari Neoliberalisme, Yogyakarta: Insist Press, 2003. Freire, Paulo, Politik Pendidikan, Kebudayaan, Kekuasaan, dan Pembebasan.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, Cetakan V 2004.

Harian Suara Pembaruan, Tanggal 15 Maret 2007. Tulisan Prof HAR Tilaar, BHMN, Neoliberalisme Pendidikan.

Harian Suara Pembaruan, Tanggal 15 Maret 2007. Tulisan Puskur, Neoliberalisme Dunia Pendidikan.

Mohammad Nazir, Metode Penelitian, Jakarta: Ghalia Indonesia, 1988.

Maelong, Lexy, Metode Penelitian Kulaitatif, Bandung: Remaja Karya, 1990. Ritxer, George dan Goodman J, Douglas.2004. Teori Sosiologi Modren, Prenada

Media, Jakarta.

Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945.


(6)

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 1999 Tentang Penetapan Perguruan Tinggi Negeri Sebagai Badan Hukum.

Peraturan Pemerintah Nomor 56 Tahun 2003 Tentang Penetapan USU sebagai BHMN.

.

Soekanto, Soerdjono, 1990. sosiologi suatu pengantar. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta.