Kendala Lingkungan Eksternal Struktural

A. Kendala Lingkungan Eksternal Struktural

Menurut Schermerhorn, terdapat isu‐isu yang akan menjadi perhatian bagi seorang manajer dalam melakukan persaingan menuju kemajuan organisasi. Di antaranya 537 adalah perhatian pada kebijakan politik. Analisis dalam lingkungan eksternal struktural kelembagaan dititikberatkan pada aspek kebijakan pemerintah terhadap pengelolaan zakat di Indonesia dan implikasinya pada Badan Amil Zakat Nasional. Pembahasan dari sisi struktural ini penting karena Badan Amil Zakat Nasional merupakan perwujudan dari UU No.38/1999 tentang Pengelolaan Zakat dan dibentuk berdasarkan surat Keputusan Presiden No. 8/ 2001 tentang Badan Amil Zakat Nasional.

1. Model Kelembagaan Dalam UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat dan Keputusan Presiden

tentang Badan Amil Zakat Nasional tampaknya terdapat kendala‐kendala berkaitan dengan model kelemba

gaan Badan ini dalam pendayagunaan zakat untuk kepentingan kesejahteraan umat. Kendala ‐kendala itu mencakup status hukum kelembagaan, status aparatur serta pola promosi aparatur.

a. Status Hukum Kelembagaan Baik dalam UU dan Kepres dimaksud tidak ditemukan status hukum Badan Amil

Zakat Nasional dalam arti bahwa siapa dan mewakili apa Badan ini. Dua pertanyaan ini menjadi penting untuk diajukan dalam rangka melihat aspek kepemilikan Badan ini dalam mengelola dana zakat.

Kendala status hukum ini akan terasa dikaitkan dengan ilmu manajemen berkaitan dengan organisasi dan dalam kondisi Indonesia yang mengeal sejumlah model organisasi baik dari sisi formal dan non formal, maupun institusi dilihat dari sisi ruang geraknya 538 yakni sosial atau bisnis serta jens usaha yang dikembangkan.

539 Pertama, formal dan non formal. Badan Amil Zakat Nasional dilihat

537 John R. Schermerhorn, JR. Manajemen, (New York: John Wiley & Sons, Inc, 1996),

h. 60. 538 J. Salusu , Pengambilan Keputusan Stratejik, (Jakartra: Grasindo, 2006), h. 1.

539 Istilah organisasi formal dan non formal, dimaksudkan untuk membedakan organisasi pemerintah dan non pemerintah.

dari yuridis, Badan ini dikategorikan sebagai organisasi formal, karena keberadaannya didukung oleh UU dan Keputusan Presiden serta dilihat dari sumber pendanaan non

zakat berupa subsisdi tetap APBN yang berasal dari alokasi Departemen Agama. Dalam UU No. 33/1999 tentang Pengelolaan Zakat pasal 6 (1) dinyatakan bahwa ” Pengelolaan zakat dilakukan oleh badan amil zakat yang dibentuk oleh pemerintah.” Dengan demikian secara tegas UU ini menyatakan bahwa Badan ini merupakan organisasi yang dibentuk pemerintah dalam arti organisasi formal. Karena itu dari sisi karakteristiknya dapat diidentifikasi : (a) Karakteritik Badan ini menunjukkan bahwa Badan Amil Zakat Nasional secara yuridis formal, sebanding dengan badan‐badan dan lembaga yang dibentuk oleh pemerintah, seperti Badan Intelejen Negara (BIN), Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Komisi Penyiaran Indonesia (KPI). (b) sisi peran lembaga. Dengan dukungan yuridis formal, maka peran Badan Amil Zakat Nasional akan memberikan karakteristik tersendiri dibanding dengan pengelola zakat lainnya. Dengan begitu Badan Amil Zakat Nasional telah menetapkan peran‐peran strategis di antaranya sebagai kordinator pengelola zakat tingkat nasional bagi pengelola zakat, sebagaimana yang diatur 540 dalam misi organisasinya dan Kepres pasal 16

Sebagaimana dikemukakan tentang relevansi Badan Amil Zakat Nasional sebagai amil dengan kebijakan Rasul, pada pembahasan bab IV, dan karenanya dapat dinyatakan bahwa relevansi implementasi itu hanya terbatas pada proses penetapan Badan ini sebagai amil. Namun demikian dari sisi eksistensi Badan ini sebagai lembaga formal dalam arti bagian dari lembaga pemerintah belum ditemukan kebijakan formal baik dari sisi dokumen negara maupun dari Badan Amil Zakat Nasional. .

Dengan kondisi lembaga yang demikian, yang status kelembagaan yang “dualisme” atau semi pemerintah, maka Badan ini tidak akan efektif untuk menjadikan dirinya sebagai instrumen dalam menciptakan kesejahteraan umat melalui

pendayagunaan zakat.. Jika sekiranya Badan ini dibandingkan dengan lembaga amil zakat (LAZ) yang menurut UU dimakud dibentuk sepenuhnya oleh masyarakat, maka

540 Visi Badan Amil Zakat Nasional di antaranya: Menjadi regulator zakat nasional; menjadi koordinator Badan Amil Zakat dan Lembaga Zakat melalui upaya sinergitas yang efektif.

Annual Report 2006. h. 18. Dalam Kepres pasal 16 disebutkan bahwa : (1) Untuk mensinkronkan penyelenggaraan pengelolaan zakat secara nasional agar lebih berdaya guna dan berhasil guna Badan Amil Zakat Nasional melaksanakan hubungan kerja dengan Badan Amil Zakat Daerah di semua tingkatan; (2) Hubungan kerja dengan Badan Amil Zakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) bersifat koordinatif, konsultif, dan informatf.

tampaknya, eksistensi dan proses pembentukannya, menjadikan LAZ memiliki status hukum kelembagaan yang jelas dan dalam perspektif ini lembaga amil zakat ini

berpeluang untuk melakukan peningkatan kesejahteraan umat. Hemat penulis kendala eksistensi dari sisi hukum kelembagaan merupakan

permasalahan utama yang dihadapi Badan Amil Zakat Nasional dan tampaknya dengan kendala ini akan melahirkan sejumlah implikasi‐implikasi sebagaimana yang akan dikemukakan pada bab ini.

Kedua ruang gerak. Dalam visi Badan Amil Zakat Nasional telah tergambar ruang gerak yang akan dibangun oleh Badan ini yakni pengentasan kemiskinan dan peningkatan 541 kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian secara tegas dapat dinyatakan bahwa Badan ini merupakan badan yang bergerak dalam bidang kesejahteraan umat melalui dana zakat.

Pada konsideran UU dimaksud pada point b dinyatakan bahwa : penunaian zakat merupakan kewajiban umat Islam Indonesia yang mampu dan hasil pengumpulan zakat merupkan sumber dana yang potensial bagi mewujudkan kesejahteraan

masyarakat;

c. “bahwa zakat merupakan pranata keagamaan untuk mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia dengan memperhatikan masyarakat yang kurang mampu; d. Bahwa upaya penyempurnaan sistem pengelolaan zakat perlu terus ditingkatkan agar pelaksanan zakat lebih berhasil guna dan berdaya guna serta dapat

dipertanggungjawabkan.”

Dari konsideran UU ini terlihat bahwa gagasan untuk menjadikan zakat sebagai instrumen kesejahteraan masyarakat atau kesejahteraan umat merupakan

sebuah cita‐cita. Karena itu, badan amil zakat (BAZ) dan lembaga amil zakat (LAZ) termasuk dalam hal Badan Amil Zakat Nasional secara yuridis formal harus dipandang sebagai sebagai lembaga kesejahteraan umat.

541 Visi Badan Amil Zakat Nasional Menjadi Pusat Zakat Nasional yang memiliki peran dan posisi yang strategis di dalam upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan

masyararakat secara keseluruhan melalui pengelolaan zakat nasional yang amanah, profesional, efisien dan efektif berdasarkan syariat Islam dan aturan perundang-undangan yang berlaku. Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 17. .

Dengan perspektif yuridis formal ini serta manajemen organisasi yang dikembangkan oleh Badan Amil Zakat Nasional, dalam konteks sebagai lembaga

kesejahteraan umat, fungsi kelembagaan seperti ini tidak dapat optimal. Secara fungsional visi dan program yang diemban Badan ini telah menunjukkan dirinya sebagai lembaga kesejahteraan umat, namun dengan fungsi ini, secara tersurat belum ditemukan dukungan yuridis formal.

Pernyataan secara tersurat dari sisi yuridis formal maupun dari dukungan kebijakan pemerintah, hemat penulis sangat strategis dengan pertimbangan: a. Indonesia dewasa ini sedang memasuki masa kebangkitan dari sisi krinis ekonomi dan masih menyisakan penduduk miskin sebagaimana dikemukakan dalam tabel pertama (1) tentang perkembangan kemiskian. b. Pembangunan keagamaan di Indonesia, tidak dapat dipisahkan dengan peran zakat sebagai sumber pendanaan pada satu sisi – sebagaimana yang dipahami dari dasar pertimbangan UU ini ‐ dan sisi lain dinamisasi amil perorangan menuju kolektifitas organisatoris merupakan dua hal yang diusung oleh UU ini.

Berkaitan dengan dukungan yuridis formal terhadap Badan Amil Zakat Nasional, maka dukungan politis dari elit polik juga memberikan nuansa baru bagi perkembangan Badan Amil Zakat Nasional. Pengakuan elit politik terhadap publik mengenai Badan ini, terlihat pada kehadiran Presiden RI Megawati Soekarnoputri membuka dan memberikan pengarahan pada silaturahmi pengurus Badan Amil Zakat se‐ Indonesia

I pada tahun 2002. 542 Namun, yang perlu mendapat pertanyaan dalam konteks ini adalah pengakuan secara politis peran Sosio‐ekonomi‐Religius Badan Amil

Zakat Nasional. Jawaban peran ini terlihat pada kehadiran Susilo Bambang Yudhoyono sebagai Presiden RI dalam peresmian Rumah Sehat Masjid Agung Sunda Kelapa (RSMASK) yang berlokasi di kompleks Masjid Agung Sunda Kelapa Jakarta hasil kerjasama Pengurus Masjid, Badan Amil Zakat Nasional, Dompet Dhuafa dan Pengurus

542 Wacana yang dikembangkan dalam sambutan Presiden RI pada perhelatan itu, adalah “… apabila zakat dapat kita kelola dengan prinsip manajemen modern dan organisasi yang sehat,

saya yakin hal itu akan berdampak positif bagi perekonomian kita. Banyak yang akan dapat kita perbuat dalam upaya penanggulangan kemiskinan, pengangguran, serta meningkatkan pemerataan kesempatan khususnya dalam berusaha…. masalahnya adalah bagimana kita dapat menampilkan bentuk dan cara pengelolaan zakat secara baik dan modern, dan menyempurnakannya agar dapat berjalan serasi dengan berbagai sistem dalam kehidupan sekarang, termasuk misalnya sistem perbankan, perpajakan, dan penghasilan profesi. Pidato Presiden 29 Mei 2002. dalam Pedoman Zakat, h. 331.

Baitul Mal Masjid sunda Kelapa.” 543 Presiden dalam sambutannya menyatakan ”... jika semua orang mampu dan kaya di Indonesia menunaikan zakatnya, maka akan

mengurangi kemiskinan dan meningkatkan kesejahteraan rakyat Indonesia. Program yang dilakukan atas inisiatif masyarakat itu ternyata sangat membantu, sangat meringankan beban, bagi mereka yang memerlukan dan sebagai pendamping dan pendukung 544 dari program‐program yang dilaksanakan pemerintah....”

Dari pandangan Presiden di atas terlihat. Pertama, zakat dipandang sebagai instrumen dalam mengurangi kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan rakyat. Dari sisi substansi gagasan ini tampaknya, sesuai dengan pandangan para pakar tentang fungsi zakat ‐sebagaimana yang diuraikan bab II, namun nunasa politiknya sangat mendasar. Karena dari sisi terakhir ini pemerintah telah menyatakan fungsi zakat dalam perspektif kesejahteraan sosial. Oleh pengamat tertentu menilai, pandangan Presiden itu mengandung advokasi dalam pendayagunaan zakat. Karena zakat selama ini hanya dipandang

sebagai sebuah konsep yang tidak dapat mengemban fungsi dimaksud. 545 Kedua, zakat menjadi pendamping program pemerintah. Secara politis, zakat

yang didayagunakan berfungsi untuk mendampingi program‐program pemerintah dalam upaya peningkatan upaya kesejahteraan rakyat.

Pada bagian lain Presiden menyatakan bahwa zakat dapat menjadi solusi efektif dalam menjalin hubungan antara muzakki dan orang miskin dengan memberikan apresiasi terhadap masyarakat Indonesia yang telah menyalurkan zakatnya melalui lembaga. 546 Pandangan ini mengandung arti bahwa dengan zakat dapat membangun aspek religius yakni jalinan kasih sayang antara muzakki dan mustahik.

Berkaitan kehadiran presiden dalam berbagai forum yang diadakan oleh Badan Amil Zakat Nasional memberikan bukti bahwa secara politis kepala negara telah memberikan perhatian yang cukup signifikan bagi pengembangan Badan Amil Zakat Nasional. Keterlibatan presiden pada kegiatan yang dilakukan oleh Badan Amil Zakat

543 “Presiden Resmikan Rumah Sehat Masjid Sunda Kelapa,” Republika, 15 September 2007, h. 2. 544 “Tak Ada Keraguan Presiden pada Zakat,” Republika, 21 September 2007, h. 11.

545 ”Tak Ada Keraguan Presiden pada Zakat,” Republika, 21 September 2007, h. 11. 546 “Tak Ada Keraguan Presiden pada Zakat,” Republika, 21 September 2007, h. 11.

Nasional di antaranya, pencanangan gerakan sadar zakat oleh presiden, 547 penyerahan zakat pribadi presiden kepada Badan Amil Zakat Nasional dan sejumlah pejabat

negera. 548 Uraian di atas berkaitan dengan hubungan antara Badan Amil Zakat Nasional

dengan elit politik dan mendorong Badan ini memiliki kekuatan politis yang tinggi dalam mengemban fungsinya sebagai badan yang bergerak dalam peningkatan kesejahteraan umat. Namun kendala yang ditemukan sebagaimana diuraikan sebelumnya karena tidak adanya kebijakan yang menjadikan Badan ini sebagai institusi kesejahteraan umat.

Hemat penulis jika sekiranya terdapat kebijakan berkaitan dengan status Badan ini sebagai badan kesejahteraan umat, maka selain mengangkat dana zakat sebagai instrumen kesejahteraan umat secara politis pada satu sisi juga akan mendorong dinamika untuk bermitra dengan instansi pemerintah dalam menanggulangi masalah‐ masalah sosial.

b. Status Pengurus Sumber daya manusia merupakan salah satu unsur dalam internal organisasi

yang 549 dalam pembahasan ini disebut dengan pengurus . Pengurus atau dalam istilah birokrasi disebut dengan aparatur dapat menunjukkan kinerjanya dalam organisasai jika

didukung oleh lingkungan internal organisasi. Berkaitan dengan pengurus organisasi mereka dipengaruhi oleh aspek perilaku, sedang ini merupakan refleksi atas citra

perusahaan. 550 Secara internal, hubungan pengurus atau karyawan dengan organisasi diatur dengan hukum ketenagakerjaan. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kondisi

547 Achmad Subianto, Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional 2001-2004 Pidato Serah Terima, h. 4.

548 Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 28-30. 549 Teradapat sejumlah faktor dalam organisasi berkaitan dengan sumber daya dan

personal yaitu: citra dan prestasi perusahaan, efektivitas struktur danbudaya organsasi, kapasitas perusahaan dalam membangun hubungan dunia industri, penggunaan tehnologi informasi. Lawrence R. Jauuch & William F. Glueck, Business Policy anda Strategic Management, (Singapore: McGraw-Hill Book Co., 1988), h. 166.

550 Prestasi sumber daya manusia dalam organisasai dapat tercapai jika didukung oleh tiga unsur yaitu teknis, sistem perilaku. FX. Soedjadi, Analisis Manajemen Moderen, (Jakarta: Gunung

Agung, 1997), h. 38-38.

psikologis karyawan yang dapat mendukung produktifitas kerja sesuai dengan misi 551 perusahaan.

Pembentukan citra organisasi untuk mendukung kinerja pengurus, kepastian status merupakan unsur yang sangat menentukan. Dengan kepastian status akan memberikan reaksi positif dan negatif bagi sumber daya manusia dalam berkinerja pada organisasi.

Pengurus Badan Amil Zakat Nasional, secara yuridis formal tidak diakui sebagai aparatur negara. Walaupun penetapan mereka sebagai pengurus terhadap Badan ini didasarkan atas Keputusan Presiden. Berkaitan dengan motivasi pengurus Badan Amil Zakat Nasional, mereka hanya didasarkan atas pengabdian atau dalam bahasa agama dikenal dengan ikhlas. Sikap ikhlas ini mendasari mereka dalam melakukan aktivitas pada Badan Amil Zakat Nasional. Menurut data yang dihimpun, diketahui pandangan bahwa zakat merupakan salah satu rukun Islam dan karenanya mereka bergabung pada Badan Amil Zakat yang merupakan lembaga untuk mengembangkan aktifitas perzakatan

dengan cara mereka beribadah secara ihklas kepada‐Nya. 552 Secara teologis motivasi pengabdian seorang muslim merupakan suatu

kewajiban. 553 Penelitian ini tidak dimaksudkan untuk melihat hubungan antara kinerja aparatur dengan motivasi keihkhlasan mereka. Namun demikian, dilihat dari sisi

ukuran ‐ukuran yang terpakai dalam keikhlasan merupakan suatu hal yang abstrak dan dengan demikian, walaupun diakui bahwa keikhlasan dapat mendorong pengurus untuk berkinerja dalam suatu lembaga termasuk di dalamnya pada Badan Amil Zakat Nasional.

551 Barry Cushway, Human Resource Management, (London: the Association for Manage ment Education and Development, 1994), h. 195.

552 Wawancara Pribadi, Achmad Subiyanto, Ketua Umum Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional 2001-2004) di Jakarta, 6 Pebruari 2008.

553 Sebagai muslim, Alquran memberikan tuntunan berkaitan dengan aktfitas seseorang: t $  t s

 tu 

y su n 4 x

$ ( u n4n $ (  u u !x u

s $

”Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus[1595], dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus.” [1595] Lurus berarti jauh dari syirik (mempersekutukan Allah) dan jauh dari kesesatan.

Secara realitas, keaktifan pengurus Badan Amil Zakat Nasional untuk mengikuti pertemuan ‐pertemuan secara umum dak mencapai 100 %. Hal ini dak ditemukan

jawaban pasti tentangnya. Namun terdapat argumen logis bahwa mereka secara umum termasuk orang yang sibuk. Argumen logis ini diperkuat dengan dibentuknya, Badan Pelaksana 554 Harian. Selain itu, dengan dasar kesibukan ini akan menjadi pemicu ketidak ‐aktifan mereka dalam pertemuan‐pertemuan yang diadakan oleh pengurus Badan

Amil Zakat Nasional. 555 Secara teoritis dari sisi kinerja Badan Amil Zakat Nasional, ketidak‐aktifan

mereka akan memberikan dampak bagi kualitas suatu keputusan. Dengan demikian, ukuran ‐ukuran aktifitas dalam hal ini merupakan suatu keniscayaan.

Status pengurus, dalam suatu organisasi merupakan suatu keniscayaan sebagaimana diuraiakan di atas. Dengan demikian ketidakpastian status ini patut diduga memiliki keterkaitan yang erat dengan ketidak‐aktifan pengurus Badan Amil Zakat Nasional dalam berikinerja secara maksimal.

Berkaitan dengan pengurus pelaksana harian, maka dilihat dari sisi status mereka, data menunjukkan bahwa ”diharapkan berfungsi sebagai aparatur sekretariat, sehingga penggantian pengurus tidak akan mempengaruhi eksistensi personil badan pelaksana 556 pengurus harian.” Data ini menunjukkan bahwa fungsi pengurus pelaksana harian diharapkan memeliki keaktifan yang tinggi dan bersifat permanen.

Selain data yang dikemukakan di atas, jika dihubungkan dengan kinerja pengelola zakat di Indonesia, maka menurut Didin, faktor pengelolaan yang sambilan yakni tidak profesional memiliki hubungan dengan tingkat kepercayaan

masyarakat 557 dan kinerja pengelolaan zakat di Indonesia. Pengelolaan zakat yang cenderung ”sambilan” secara manajemen merupakan

cerminan dari pengelolaan dalam suatu lembaga sosial kemasyarakatan. Menurut

554 Wawancara Pribadi, Achmad Subiyanto, Ketua Umum Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional 2001-2004) di Jakarta, 6 Pebruari 2008.

555 Wawancara Pribadi Broto Santoso, Supervisi HRD Pengurus Pelaksana Harian Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 10 Oktober 2007. 556 Wawancara Pribadi Broto Santoso, Supervisi HRD Pengurus Pelaksana Harian Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 10 Oktober 2007.

557 Didin Hafidhuddin, Zakat dalam Perekonomian Moderen , (Jakarta: Gema Insani , 2002), h. 127.

Salusu bahwa terdapat hal‐hal yang tidal diinginkan dapat terjadi bagi organisasi nonprofit termasuk organisasai kemasyarakatan, yakni manajemen profesional tidak

diindahkan. 558 Berkaitan dengan kondisi status hukum pengelola zakat di Indonesia, maka pada

Badan Amil Zakat tertentu seperti provinsi DI. Yogyakarta, masih belum memberikan hasil optimal pada Badan ini. Hal ini dikarenakan, kendalanya kebanyakan pengurus adalah

pejabat yang sibuk 559 Dengan kejelasan status hukum bagi pengelola zakat termasuk Badan Amil Zakat Nasional maka memungkinkan penegasan disiplin kerja

akan ditegakkan.

c. Promosi Karier Dalam manajemen, promosi karier merupakan bagian dari pembinaan sumber

daya 560 manusia. Promosi karier merupakan bahagian dari imbalan yang harus diterima oleh karyawan dalam suatu organisasi dan secara psikologis memberikan pengaruh bagi

kinerja yang diberikan oleh mereka kepada lembaga. Data menunjukkan bahwa mengenai jenjang karier masih merupakan kendala

bagi aparatur Badan Amil Zakat Nasional. Pernyataan ini setidaknya ter lihat pada harapan untuk menjadikan pengurus pelaksana harian memiliki eksistensi sebagai pengurus sekretariat tetap sebagaimana dikemukakan oleh Supervisi HRD di atas. Pandangan ini menunjukkan bahwa secara internal pada Badan Amil Zakat Nasional terdapat persoalan unsur sistem yang belum terselesaikan. Pengurus yang bekerja pada badan pengurus pelaksana harian yang diangkat oleh pengurus harian, adalah secara umum merupakan status kontrak, walaupunm sebagian di antara mereka adalah berstatus 561 pegawai negeri sipil yang diperbantukan dari departemen agama.

558 J. Salusu , Pengambilan Keputusan Stratejik, (Jakartra: Grasindo, 2006), h. 26. . 559 Wawancara Pribadi via Internet April Purwanto, devisi Pendayagunaan Zakat Bazda

DI Yogyakarta tgl. 30 April 2008 560 Terdapat tujuh hal yang mempengaruhi kesuksesan pejualan dalam suatu perusahaan: strategi, struktur organisasi, staf yakni kategori dan demografisnya, gaya kepemimpinan

manajer, keahlian yang dimiliki oleh sumber daya oragnisasi, tujuan yang ingin dicapai oganisasi. Sistem yang menggambarkan di antaranya: tentang prosedur pelaporan, pertemuan, pengambilan kebijakan serta pemberian imbalan. Grant Stewart, Successful Sales Management, (Singapore: The Institute of Management, 1994), h. 30.

561 Wawancara Pribadi Broto Santoso, Supervisi HRD Pengurus Pelaksana Harian Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 10 Oktober 2007.

Dengan status kontrak terhadap pengurus pada pelaksana harian Badan Amil Zakat Nasional menunjukkan bahwa sistem pengembangan sumber daya manusia belum

dapat dilakukan dengan pola pembinaan jangka menengah dan jangka panjang. Artinya untuk menciptakan sumber daya pengurus pengelolaan zakat yang profesional masih memiliki kendala struktural mengenai promosi karier pengurus lembaga.

2. Sumber Pendanaan Non Zakat Infak dan Sedekah (ZIS) Yang Belum Memadai Terdapat tiga sumber dana non ZIS yang diterima oleh Badan Amil Zakat

Nasional dalam mengembangan misinya termasuk dalam peningkatan kesejahteraan umat yaitu subsidi APBN dan dana yang berasal dari Badan Usaha Milik Negara dan Swasta. Dalam pembahasan ini hanya akan disederhanakan menjadi dua yakni APBN dan dana dari sektor tanggungjawa sosial perusahaan baik negeri maupun swasta.

a. Subsidi APBN yang kurang Dana yang diharapakan berasal dari APBN sebagaimana yang dipahami dari UU

No., 38/ 1999 tentang Pengelolaan Zakat, ”Dalam menunjang pelaksanaan tugas badan amil zakat sebagaimana dimaksud pasal 8, pemerintah wajib membantu biaya operasional badan amil zakat. (Psl 22). Keinginan untuk disudsidi dari APBN, mengemuka pada 562 kepengurusan Badan Amil Zakat Nasional 2001‐2004, dan tampaknya, sesuai dengan Kepres mengenai pendirian Badan Amil Zakat Nasional, lembaga ini menerima bantuan operasional dari Departemen Agama. Kebijakan bantuan yang menggandeng kepada departemen Agama dan tidak langsung ke APBN memberikan implikasi penerimaan Badan Amil Zakat Nasional yang rendah terhadap bantuan secara material.

Tabel 13: tentang Subsidi Departemen Agam RI Terhadap Badan Amil Zakast Nasional 2001‐2006 (dalam Rupiah)

2001-2002 2003 2004 2005 2006 131.005.00 352.325.00 119.836.00 100.000.00 1.550.000.00 Sumber : Annual Report 2006, h. 32.

562 Achmad Subianto, Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional 2001-2004 Pidato Serah Terima Pengurus Badan Amil Zakat Nasional, tertanggal 17 Juni 2005, h. 5.

Dari tabel di atas memperlihatkan bahwa subsidi APBN yang diberikan oleh Departemen Agama kepada Badan Amil Zakat Nasional bersifat fluktuatif. Pada tahun

2004 telah terjadi penurunan yang sangat dras s sekitar 60 %. Selanjutnya dari tahun 2005 ke 2006 mengalami peningkatan yang sangat signifikan yaitu mencapai 1500 %.

Menurut Subroto, secara administrasit, setiap tahun Badan Amil Zakat Nasional mengajukan proposal pembiayaan anggaran kepada Departemen Agama untuk diusulkan

ke APBN.“ 563 Penggunaan dana subsidi APBN dimaksud secara bersama‐sama dengan dana

sektor amil dipergunakan oleh Badan Amil Zakat Nasional untuk membiayai dana operasional 564 organisasi, pembinaan SDM dan sosialisasi program

Dilihat dari sisi jumlah anggaran, subsidi APBN yang diterima ternyata Badan Amil 565 Zakat Nasional belum dapat menunjang maksimalisasi program. Kendala ini

disebabkan karena prosedur administrasi pengajuan yang masih berinduk pada Departemen Agama, sehingga penjatahan subsidi sangat ditentukan oleh kebijakan anggaran internal departemen.

Penetapan subsidi APBN bagi Badan Amil zakat Nasional, dapat ditelaah lebih lanjut karena UU No. 38 / 1999 tentang Pengelolaan Zakat telah menjadikan pasal 29 dan 34 UUD sebagai konsideran. Dalam kaitan ini, terlihat bahwa UU ini menjadikan semangat pelaksanaan kehidupan beragama (pasal 29 UUD) dan semangat tanggungjawab negara terhadap fakir misikin atau jaminan sosial negara (pasal 34 UUD). Dengan demikian, kebijakan pemerintah dilihat dari sisi pembinaan finansial, terhadap Badan Amil Zakat Nasional masih membebankan pada anggaran departemen agama dan hal ini menunjukkan bahwa zakat masih merupakan wilayah keagamaan dan dari sisi fungsional tampaknya, terdapat keinginan kuat untuk menjadikan Baan Amil Zakat sebagai lembaga pelaksana jaminan sosial bagi warga negara yang belum mampu.

Dengan memperhatikan semangat fungsional yang diharapkan dalam UU ini, maka subsidi APBN yang hanya dibebankan kepada anggaran departemen Agama,

563 Wawancara Pribadi Broto, Kepala Devisi Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Amil Zakat Nasional. Jakarta, 4 Mei 2007. 564 Wawancara Pribadi Broto, Kepala Devisi Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Amil Zakat Nasional. Jakarta, 4 Mei 2007.

565 Wawancara Pribadi Broto, Kepala Devisi Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Amil Zakat Nasional. Jakarta, 4 Mei 2007.

mengandung kekeliruan logika ekonomi. Kekeliruan ini terletak pada harapan fungsional pemerintah pada UU ini yang memberikan beban berat bagi zakat sebagai

instrumen jaminan sosial negara yang tidak diimbangi dengan kebijakan anggaran dari departemen terkait. Atas dasar semangat fungsional dimaksud, maka ekstensifikasi (perluasan) sumber anggaran dan intensifikasi (penambahan) subsidi APBN bagi Badan Amil Zakat Nasional sangat berpeluang untuk menjadikannya bertambah baik dari sisi sumber pendanaan maupun dari sisi jumlah anggaran.

Dari sisi anggaran, maka selain departemen agama, maka departemen terkaitpun berpeluang dijadikan sebagai sumber anggaran. Dari sisi besaran subsidi, memungkinkan ditambah, mengingat pertimbangan fungsional sebagai instrumen jaminan sosial.

b. Subsidi Dana dari sektor Tanggungjawab Sosial Perusahaan BUMN dan Swasta Keterlibatan perusahaan terhadap pembinaan masyarakat sekitar, telah

mengalami perkembangan menjadi dua model yaitu model ekonomi dan model sosioekonomi. Yang pertama berkaitan dengan pembinaan perusahaan dalam bidang pemenuhan kebutuhan ekonomi masyarakat sekitar sedang model kedua berkaitan dengan pembinaan perusahaan kepada msyarakat dengan penyediaan fasilitas sosial ekonomi. 566 Pada model kedua ini seperti perusahaan melakukan aktivits sosial dalam bidang 567 pendidikan, kesehatan dan pemberdayan ekonomi.

Kebijakan Badan Amil Zaat Nasional untuk mengembangkan program kerjasama dengan sejumlah perusahaan dari BUMN dan perbankan Syari’ah, hemat penulis, responsi perusahaan dimaksud tidak dapat dilepaskan dari perwujudan dari tanggungjawab sosial perusahaan. Realisasi tanggungjawab sosial perusahaan itu, menjadikan sejumlah program dapat dikembangkan oleh Badan Amil Zakat Nasional.

Tabel 14: tentang Anggaran Program Kerjasama Terhadap Badan Amil Zakast Nasional 2001‐2006 ( dalam Rupiah)

566 William M. Pride, at. all., Business (Boston: Houghton Mifflin Company, 1988), h.

41. 567 Muslimin Nasution, Mewujudkan Demokrasi Ekonomi, (Jakarta: PIP Publishingm

2007), h 19.

Sumber : Annual Report BAZNAS 2006, h. 32. Dari tabel di atas terlihat bahwa dana dari sektor kerjasama telah mengalami

peningkatan dari tahun ke tahun. Dari tahun 2005‐2006 telah mengalami peningkatan dengan menembus angka puluhan milyar rupiah.

Untuk melihat posisi dana zakat dalam pelaksanan program‐program Badan Amil Zakat Nasional akan dikemukakan tentang pengumpulan dana zakat.

Tabel 15: tentang Dana Zakat yang dihimpun Badan Amil Zakast Nasional 2005‐2006 (dalam Rupiah)

4.825.501.587 Sumber : Annual Report BAZNAS 2006, h. 65.

Dengan tabel di atas memperlihatkan bahwa dana zakat dalam tahun 2005‐ 2006 belum menembus angka lima milyar rupiah. Dibanding dengan dana kerjasama yang menembus angka puluhan milyar, menunjukkan secara potensial dana kerjasama memiliki peluang untuk dikembangkan sebagai dana pendamping

zakat dalam kegiatan peningkatan kesejahteraan umat. Uraian perbandingan ini menunjukkan bahwa betapa besar kendala yanag

dihadapi Badan Amil Zakat Nasional, jika sekiranya sektor kerjasama tidak dikembangkan. Kalau diperhatikan dari sisi besaran dana kemitraan dibanding dengan dana zakat, tampaknya, telah terjadi perubahan kerangka keuangan. Artinya, dari sisi aspek besaran dana, maka dana zakat yang menjadi perhatian utama Badan Amil Zakat Nasional, telah digeser posisinya menjadi dana pendamping oleh dana kerjasama.

Jika sekiranya, kerangka keuangan ini akan bertahan pada masa yang akan datang, yang berarti bahwa dana zakat akan menjadi dana pendamping, maka akan mempengaruhi citra Badan Amil Zakat Nasional sebagai lembaga perzakatan. Dengan melihat kondisi ini dari sisi kendala struktural, maka terdapat dua kebijakan yang perlu Jika sekiranya, kerangka keuangan ini akan bertahan pada masa yang akan datang, yang berarti bahwa dana zakat akan menjadi dana pendamping, maka akan mempengaruhi citra Badan Amil Zakat Nasional sebagai lembaga perzakatan. Dengan melihat kondisi ini dari sisi kendala struktural, maka terdapat dua kebijakan yang perlu

optimal.

3. Belum Terbit Kebijakan Pemerintah tentang Zakat sebagai pengganti Pajak Penghasilan

Menurut UU No., 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat pasal 14 (3) zakat yang dibayarkan oleh muzakki dapat diperhitungkan sebagai pengurang terhadap laba / pendapatan sisa kena pajak. Selanjutnya, dalam naskah penjelasan pasal ini menginginkan agar wajib pajak tidak terkena beban ganda, yakni membayar zakat dan pajak. Hemat penulis UU ini menghendaki agar tercipta suatu kesadaran masyarakat yakni muzaki untuk membayar zakat agar dapat memacu kesadarannya dalam membayar pajak.

Jika ditelaah lebih lanjut harapan UU ini berkaitan dengan pasal 14 (3), maka memberikan penalaran bahwa, UU menghendaki pendekatan keagamaan untuk mendorong masyarakat (umat Islam) untuk membayar pajak.

Apabila pendekatan ini dilihat dari perspektif konstitusional, maka sebenarnya sejalan dengan pembukaan UUD 1945 yang menempatkan pada alinea ke ga ”Atas berkat rakhmat Allah Yang Maha Kuasa dan dengan didorongkan oleh keinginan luhur, supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, maka rakyat Indonesia menyatakan dengan ini kemerdekaannya”. Selanjutnya, Ahmad Sukarja, menyatakan bahwa banyak hal yang dapat disumbangkan oleh

agama dan umat Islam untuk bangsa Indonesia. 568 Dengan uraian ini, maka peningkatan kesejahteraan umat melalui Badan Amil

Zakat Nasional, dapat diaktualisasikan melalui berbagai kebijakan. Sejalan dengan pendekatan keagamaan sebagaimana yang dipahami dari UU No. 38/ 1999 tentang Pengelolaan Zakat pasal 14 (3), maka menjadikan zakat sebagai pengganti pajak

568 Dalam orasi guu besar berjudul “Kontribusi Islam Bagi Demokrasi Pancasila, tinjauan Ilmu Fikih Siyasah” mengemukakan dalil bahwa banyak hal yang dapat disumbangkan oleh

agama dan umat Islam bagi demokrasi dan demokratisasi Pancasilan. Tentunya disertai dengan wawasan yang moderen, luas dan luwes dengan memperhatikan lingkungan dan kondisi keindonesiaan. Hubungan antara agama dan negara perlu terus dipelihara. Upaya yang ditawarkan di antaranya, reinterpretasi, reaktualisasi, objektivikasi. Ahmad Sukarja, Orasi Pengukuhan guru besaer dalam ilmu Fikih Siyasah Fgakultas Syari’ah IAIN Jakarta, 1997, h. 38.

penghasilan merupakan suatu hal yang patut dipertimbangkan dan memiliki landasan konstitusional dan realistis.

Dari sisi konstitusional sebagaimana yang diuraikan di atas dan dari sisi realistis menunjukkan bahwa: (a). Dana zakat yang merupakan kewajiban umat Islam dan berfungsi sebagai instrumen peningkatan kesejahteraan umat melalui Badan Amil Zakat Nasional dapat lebih optimal jika didukung oleh subsidi dari APBN dan dana kerjasama. (b) Pajak sebagai pemasuk keuangan terbesar dalam APBN, tidak hanya bersumber dari pajak penghasilan, pajak bumi dan bangunan, serta pajak pertambahan nilai.

Dari sisi struktur keuangan pajak, maka pajak penghasilan merupakan salah satu di antaranya dan dampak yang ditimbulkan bagi dunia perzakatan dalam kaitan dengan kebijakan tentang penggantian pajak penghasilan dengan dana zakat berpeluang untuk menciptakan kesadaran kepada muzaki untuk menunaikan ibadah terhadap zakat mereka pada satu sisi dan akan mendorong umat Islam untuk membayar beban pajak yang lainnya.

4. Belum ada ketentuan yang mewajibkan unit pengumpul zakat (UPZ) bagi departemen, lembaga, BUMN dan perwakilan di luar negeri, untuk menyetorkan zakatnya 569 ke Badan Amil Zakat Nasional .

5. Lemahnya UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat yang berbasis Sosio Ekonomi Religius. Karena UU ini tidak memberikan nuansa pendayagunaan zakat yang optimal, maka kondisi ini merupakan kendala dalam pendayagunaan zakat bagi Badan Amil Zakat Nasional.. Pertimbangan atas perlunya amandemen UU ini didasarkan karena ia:

a. Tidak berbasis Pada Pendekatan Sosio Ekonomi; b. Aspek Pendayagunaan hanya bersifat alternatif dan tidak bersifat keniscayaan; c. Lemahnya pertanggungjawaban hasil pendayaguaan zakat.

Pertama. Tidak Berbasis Pada Pendekatan Sosio Ekonomi Salah satu dasar pertimbangan UU No. 39/1999 tentang Pengelolaan Zakat, mengakui bahwa dana zakat memiliki 570 potensi untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Dari sisi filosofis,

569 Achmad Subianto, Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional 2001-2004 Pidato Serah Terima, h. 6. 570 ”bahwa penunaian zakat merupakan kewajiban umat Islam Indonesia yang mampu dan

hasil pengumpulan zakat merupakan sumber dana yang potensial bagi upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat hasil pengumpulan zakat merupakan sumber dana yang potensial bagi upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat

umat ‐ sebagaimana diuraikan pada bab II Disertasi ini‐. Namun, jika diperhatikan penjabaran konsideran tersebut ke dalam pasal‐pasal UU ini tampaknya tidak terdapat konsistensi. Padal pasal 4 dinyatakan: ”Pengelolaan zakat berdasarkan iman dan takwa, keterbukaan, dan kepastian hukum sesuai dengan Pancasila dan Undang‐Undang Dasar 1945”, menurut hemat penulis pandangan ini dak mencerminkan adanya gagasan untuk melakukan pendayagunaan zakat. Kata keterbukaan, lebih mengarah pada dimensi kejujuran pengelola zakat dari pada dimensi manajemen. Seharusnya, dalam klausul tersebut disebutkan kata ”profesionalisme” untuk memberikan penekanan pada nilai ‐nilai pendayagunaan zakat yang tentunya tercakup makna sosial ekonomi.

Kata profesionalisme yang diharapkan ditambahkan ke dalam klausul asas ini selain sejalan dengan fungsi amil sebagaimana yang dikemukakan pada pembahasan sebelumnya ‐ bab II Disertasi ini – juga sekaligus mengakui eksistensi amil sebagai mustahik dalam zakat. Untuk yang terakhir ini menunjukkan bahwa hasil usaha amil dalam pengelolaan zakat yang dikembangkan secara profesional, secara syar’iy layak untuk memperoleh konpensasi sebagai balas jasa atas usaha yang diberikannya secara profesional.

Implikasi dimasukkannya kata ‘profesionalisme’ ke dalam asas pengelolaan dalam UU ini, diperlukan penambahan pasal yang secara khusus mengakui eksistensi amil sebagai mustahik Kedua. Aspek Pendayagunaan secara Sosial‐Ekonomis Religius Bersifat Alternatif dan Tidak Bersifat Keniscayaan

Dalam pasal 16 ayat (20) UU ini dinyatakan, ”...pendayagunaan hasil pengumpulan zakat berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahik dan dapat dimanfaatkan untuk usaha yang produktif....” Pandangan ini menempatkan pendayagunaan sebagai model yang dipilih setelah kebutuhan mustahik yang non ekonomi dan ekonomi ”darurat” –seperti bagi fakir dan miskin‐ dapat terpenuhi. Pendayagunaan yang non ekonomi misalnya kesehatan, pengembangan agama, harus didahulukan sebelum dilakukan pendayagunaan ekonomi.

Berkaitan dengan pasal ini, 571 Kepmenag No, 581/ 1999 tentang Pelaksanaan UU Pengelolaan Zakat, Pasal 28 ditemukan dua model pendayagunaan zakat yakni

pemenuhan kebutuhan dasar dan pendayagunaan untuk usaha produktif bagi mustahik. Keputusan Menag tersebut tetap menempatkan pendayagunaan yang bersifat

ekonomi sebagai pilihan dan bukan sebagai keniscayaan yang berpeluang untuk dilakukan setelah terdapat kelebihan zakat dari penggunaan untuk kepentingan mustahik dalam konteks yang tidak berdaya.

Sebagai instrumen ekonomi yang dibangun dari pelaksanaan rukun Islam bagi muzakki, maka seyogianya zakat ditempatkan dalam konteks pendayagunaan secara sosial ekonomi religius. Secara subtantif pendekatan zakat yang dianut oleh UU dan Kepemenag di atas, tidak mensinergikan dimensi‐dimensi yang terkandung dalam aspek pendayagunaan zakat. Akibatnya, zakat akan berfungsi sebagai sarana pemenuhan kebutuhan mustahik yang bersifat insidentil dan tidak saling komplementer antar dimensi. Akibat pandangan ini, menjadikan mustahik dari kelompok miskin hanya menikmati zakat sebagai upaya pemenuhan kebutuhan dasar mereka terlepas dari pemenuhan nilai‐nilai religius; sebaliknya ibn al‐sabîl menerima zakat sebagai bagian dari pengembangan nilai religius terlepas dari nilai ekonomi.

Dari uraian yang didasarkan pada UU dan Kepmenag di atas, menunjukkan adanya pertentangan dengan rumusan fikih zakat yang telah dirumuskan Badan Amil Zakat Nasional. Menurut rumusan fikih Badan Amil Zakat Nasional, menunjukkan adanya keinginan untuk menjadikan zakat berfungsi untuk mengangkat mustahik dari kemiskinan dan perlunya ”telaah faktor‐faktor” dari kemiskinan itu. Tentu saja ”telaah faktor” dari kemiskinan mustahik, merupakan bagian dari upaya pendayagunaan zakat. 572

571 Kepmenag No, 581/ 1999 tentang Pelaksanaan UU Pengelolaan Zakat, Pasal 28: 1. Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat untuk mustahiq dilakukan berdasarkan persyaratan

sebagai berikut: a. hasil pendataan dan penelitian kebenaran mustahiq delapan asnaf yaitu fakir, miskin, amil, muallaf, riqab, gharim, sabilillah, dan ibnu sabil. b. Mendahulukan orang-orang yang paling tidak berdaya memenuhi kebutuhan dasar secara ekonomi dan sangat memerlukan bantuan.

2. Pen-dayagunaan hasil pengumpulan zakat untuk usaha yang produktif dilakukan berdasarkan persyaratan sebagai berikut: a. apabila pendayagunaan zakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sudah terpenuhi dan ternyata masih terdapat kelebihan.

572 ”Besarnya dana zakat yang diberikan kepada masing-masing asnaf adalah dalam ukuran yang dapat mengangkatkanya dari kemiskinan, menghilangkan segala faktor yang

Selanjutnya, pandangan fikih zakat ini, tidak memberikan kesan pendayagunaan sebagai alternatif sebagaimana yang terkesan pada UU dan Kepmenag di atas.

Ketiga. Pertanggungjawaban Aspek Pendayagunan Zakat yang lemah. UU ini, yang menganut dua jenis pertanggungjawaban yaitu internal dan eksternal. Internal menyangkut pengawasan yang dilakukan oleh Badan Pengawas yang dalam melaksanakan tugasnya memungkinkan meminta bantuan akuntan publik (pasal 18). Sedang eksternal, Badan ini berkewajiban memberikan laporan tahunan kepada Dewan Pewakilan Rakyat Republik Indonesia (pasal 19) dan juga masyarakat secara luas berpeluang dalam pengawasan badan amil zakat dan lembaga amil zakat (pasal 20). UU ini pada pasal 21 memberikan penjelasan tentang jenis sanksi yang diberikan kepada pengurus badan amil zakat yang melakukan pelanggaran berupa, kelalaian tidak mencatat atau mencatat dengan tidak benar harta zakat. Dari sisi pertanggungjawaban, tampaknya kesalahan dalam hal pemilihan kebijakan dalam pendayagunaan zakat tidak terakomodir

dalam sanksi di atas. Dilihat dari sisi ruang lingkup kesalahan (pasal 21) hanya bersifat administrasi semata, pada hal dalam tugas amil menurut Islam tidak sekedar mencatat tetapi berbagai multi tugas yang pro kepada pendayagunaan terhadap mustahik – sebagaimana dikemukakan pada bab dua penelitian ini‐.

Dalam hal pelaporan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang dilakukan oleh Badan Amil Zakat pada akhir tahun pelaksanaan tugasnya (pasal 19) dipahami sebagai laporan tahunan dan seharusnya laporan itu dilakukan sebelum melaksanakan pendayagunaan zakat sebagai laporan awal dan dilakukan evaluasi pada laporan akhir tahun. Model laporan yang diamanahkan pasal 19 ini dak memberikan nilai evaluasi atas pelaksanaan pengelolaan zakat untuk dipergunakan pada tahun berjalan, tetapi nilai itu berlaku untuk tahun berikutnya. Berkaitan dengan model laporan ini – laporang awal dan akhir‐ memungkinkan dilakukan koreksi oleh Dewan Perwakilan Rakyat dalam tahun berjalan terhadap pendayagunaan zakat yang dilakukan oleh Badan Amil Nasional. Dengan demikian, Dewan Perwakilan Rakyat tidak sekedar mengetahui

membuatnya melarat, dan bisa menanggulangi kesulitan yang sedang dihadapinya pada waktu itu. Tujuan zakat adalah untuk memberikan kecukupan buat selama hidupnya”Badan Amil Zakat Nasional, Fiqih Zakat di Indonesia, t.th., h. 38. Buku ini masih merupakan draft, tetapi secara internal kelembagaan telah dipergunakan. Menurut rencana buku ini akan dipergunakan secara nasional sebagai buku fikih untuk bidang zakat di Indonesia.

penggunaan zakat, tetapi secara langsung berpeluang untuk menyentuh aspek pendayagunaan zakat.

6. Belum terbit Peraturan Pemerintah tentang pola koordinasi antara Badan Amil Zakat Nasional dan lembaga pengelola zakat.

Sebaga akibat tidak terbitnya PP terkait dengan pola koordinasi dimaksud maka lembaga ‐lembaga tersebut kurang bersedia untuk berada di bawah koordinasi Badan Amil

Zakat Nasional. 573 Secara yuridis formal, pemahaman terhadap koordinasi ini hanya berdasar Kepres mengenai Badan Amil Zakat Nasional. Dengan Kepres itu, Badan

Amil Zakat Nasional menetapkan kebijakan dalam bentuk misi kelembagaan. Secara potensial, dengan tidak terbitnya PP ini maka beberapa hal yang diduga

kuat untuk mendorong kesejahteraan umat tidak dapat diwujudkan di antaranya. Badan Amil Zakat Nasional tidak dapat membangun secara

komprehenshif pola kemitraan dengan badan amil zakat daerah. Hal ini dikarenakan tidak ada landasan yuridis sebagai kerangka teknis. Secara aktual, potensi manajemen yang dimiliki oleh Badan Amil Zakat Nasional dapat ditranformasikan terhadap badan amil zakat daerah. Transformasi ini bagi kepentingan badan amil daerah sangat strategis dengan argumen: (a) Badan amil zakat daerah sedang berada dalam era otonomi daerah yang secara substantif berpeluang untuk membangun kemandirian dengan mengembangkan potensi daerah baik untuk aspek penghimpunan dana maupun untuk aspek pendayagunaan. Untuk pengembangan kedua hal ini, maka transformasi manajemen dari Badan Amil Zakat Nasional menjadi sangat penting.

Berkaitan dengan kebutuhan transformasi manajemen badan amil zakat daerah terhadap Badan Amil Zakat Nasional didukung oleh data ”Permintaan khusus BAZDA kepada BAZNAS. Dalam hal ini BAZDA tertentu meminta pendapat kepada BAZNAS berkenaan dengan pendayagunaan zakat. Sebagai contoh permintaaan tertulis BAZDA Provinsi Nanggro Aceh Darussalam dalam rangka menyongsong lahiranya Baitul Mal Provinsi 574 Naggro Aceh yang lembaga ini telah mengambil alih fungsi BAZDA provinsi.”

573 Achmad Subianto, Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional 2001-2004 Pidato Serah Terima, h. 5.

574 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana BAZNAS, Jakarta, 19 Mei 2008.

(b) Secara realitas, umat Islam memiliki tingkat kualitas dan kuantitas yang bervariasi dari sisi sosial ekonomi dan religius, yang secara desentralistik merupakan

daerah kerja Badan Amil Zakat Darah tertentu. Kondisi sosial ekonomi religius yang demikian bagi Badan Amil Zakat Daerah, baik dari sisi muzaki maupun mustahik memerlukan tranformasi manajemen dari Badan Amil Zakat Nasional. Jika sekirnya hal‐ hal dimaksud tidak dapat terwujud, distribusi keadilan antar daerah ”minus” dan daerah ”surplus” antar badan amil zakat daerah tidak dapat terwujud.

(c) Secara nasional di kalangan pengelola zakat, belum terjadi kesepakatan mengenai bukti sektor zakat ( BSZ) yang dikeluarkan oleh Badan Amil Zakat Nasional sebagai satunya‐satunya BSZ dan diakui oleh Dirjen Pajak sebagai pengurang penghasilan kena pajak. Akibatnya realisasi dari zakat pengurang penghasilan kena pajak belum dilaksankaan secara optimal. Selain berkaitan dengan pajak, BSZ merupakan instrumen yang dapat dijadikan sebagai sumber informasi mengenai perkembangan pengumpulan dana zakat yang dilakukan oleh BAZ dan LAZ secara nasional. Akibat kondisi tersebut, maka informasi secara nasional mengenai dana zakat yang 575 terkumpul secara nasional masih sulit untuk diperoleh secara akurat. Diharapkan dengan terbitnya peraturan berkaitan dengan hubungan antar Badan Amil Zakat Nasional dan daerah, keseragaman BSZ dapat terwujud.