Zakat sebagai instrumen Ekonomi Islam dalam Peningkatan Kesejahteraan Umat
B. Zakat sebagai instrumen Ekonomi Islam dalam Peningkatan Kesejahteraan Umat
Sub bab ini akan menjelaskan bahwa peningkatan kesejahteraan umat berpeluang dicapai dengan menjadikan zakat sebagai sumber ekonomi. Dalam pandangan ekonomi Islam, zakat dijadikan sebagai sumber ekonomi dan karenanya membutuhkan pendayagunaan yang berbasis pada pengelolaan tertetu. Amil dalam zakat mengandung konsep institusional dan dalam konteks kesejahteraan umat, konsep instutusional ini dapat ditelaah lebih jauh untuk dinyatakan sebagai institusi kesejahteraan.
1. Penger an dan Prinsip‐Prinsip Ekonomi Islam
a. Pengertian Ekonomi Islam Kata Iqtisâd telah direlevankan dengan kata ekonomi dan mengandung arti
perilaku 136 antara kikir dan boros Iqtisâd pada awalnya tersusun dari huruf qaf, sad dan dâl serta mempunyai makna dasar salah satu di antaranya adalah melakukan
penabungan. 138 Dalam QS. Fâtir/35: 32. terungkap tiga perilaku dan salah satu perilaku adalah “pertengahan”.
136 Dalam bahasa Arab istilah yang dipandang relevan dengan ekonomi diungkapkan dengan al-iqtisad. Secara bahasa Arab ia diartikan dengan kesederhanaan, penghematan. Ahmad
Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, (Surabaya: Pustaka Progressif, 1997) ,
h. 1124. Pandangan dengan perilaku di atas dikemukakan oleh al-Ragib al-Asfahany, Mufradât al-Fâz al-Qurân, (Damsyiq: Dâr al-Qalam, 1992), h. 672.Terkait dengan kata ini mengenai ekonomi dapat dilihat dalam ’Ali ibn Muhammad al-Jam’at, Mu’jam al-Mustalahât al- Iqtisadiyyah wa al-Islâmiyyah, (Riyâd: Maktabah al- ’Ibkân, 2000, cet I), h. 69. Muhammad Jalâl Sulaiman Sîdiq. Dawr al-Qîm fî Najâh al-Bunûk al-Islâmiyyah, (Qâhirah: al-Ma’had al-’ Ăli li l-Fikr al-Islâmî, 1996, cet.I), h. 11.
137 Abu Husain Ahmd ibn Fâris ibn Zakariyâ, Maqâyîs al-Lughah, Juz V, (t.tp.: Dâr al- Fikr, 1979), h. 95. Menurut kitab ini terdapat tiga makna dasar kata yang tersusun dari huruf-
huruf dimaksud yaitu, mendatangi ssuatu dan induk sesuatu, memotong. 138
Al-Fanjâri memberikan definisi tentang ekonomi Islam yaitu sebagai ilmu
yang menjadikan pertumbuhan dan mengatur aktifitas ekonomi Islam yang bersumber dari pokok Islam.” 139 al-’Assâl menyatakan bahwa sebahagin ahli memberikan
pengertian ekonomi Islam yakni sekumpulan dasar‐dasar umum ekonomi yang dipahami dari al‐Qur’an dan Sunnah serta dibangun dengan memperhatikan nilai yang terkandung dalam 140 dasar‐dasar tersebut sesuai dengan perkembangan lingkungan dan zaman.. MM. Metwally menyatakan bahwa ekonomi Islam merupakan “ilmu yang mempelajari perilaku muslim dalam suatu masyarakat yang mengikuti al‐Qur’an, Hadits Nabi (Muhammad), Ijma dan
Qiyas.” 141
b. Prinsip‐Prinsip Ekonomi Islam Kata Prinsip secara etimologis adalah dasar; asas (kebenaran yang menjadi pokok dasar
dalam berfikir, atau bertindak. 142 Kata asl dan asâs yang direlevankan dengan prinsip, telah dipergunakan oleh al-Qur’an. Kata yang pertama dipergunakan oleh Q.S. al-saffât 37/56: 64 yang menjelaskan bahwa pohon zaqq ūm berasal dari dasar neraka. Q.S. Ibrâhīm 14/72: 24 yang menjelaskan mengenai perumpamaan kalimat yang tayyib "baik" seperti pohon yang akarnya tsâbit "teguh" dan cabangnya menjulang ke langit; Q.S. al-Hasyr 59/101: 5 berkaitan dengan pohon kurma orang
“Kemudian Kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih di antara hamba-hamba kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan[1260] dengan izin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang amat besar”. [1260] yang dimaksud dengan orang yang menganiaya dirinya sendiri ialah orang yang lebih banyak kesalahannya daripada kebaikannya, dan pertengahan ialah orang-orang yang kebaikannya berbanding dengan kesalahannya, sedang yang dimaksud dengan orang-orang yang lebih dahulu dalam berbuat kebaikan ialah orang-orang yang kebaikannya amat banyak dan amat jarang berbuat kesalahan.
139 Muhammad Syaufî al-Fanjâri, Nahwu al-Iqtisâd al-Islâmi dalam Hamid Mahmûd dan Abd Allah Abd Husain, al-Iqtisâd al-Islâm. Penerjemah M. Irfan Syafwani, (Yogyakarta:
Megistra Insani Pres, 2004), h. 14. 140 Ahmad Muhammad al-'Assâl dan Fati Ahmad ‘Abd al-Kar³m, al-Nidhâm al-Iqtisâd Fi
al-Islâm Mabâdi’uh wa daf’uh, (Qâhirah: Maktabah Wahbah, 1977), h. 13-14. 141 MM. Metwally, Teori dan Model Ekonomi Islam, Penerjemah M.Husein Sawit,
(Jakarta: Bangkit Daya Insani, 1995), h. 1. 142 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar
Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Putaka, 1990), h. 701. Dalam bahasa Inggeris Principle yang berarti asas atau dasar. Lihat John M. Echols, Kamus Inggeris Indonesia, (Jakarta: Grmaedia, 1995), h. 447. Dalam bahasa Arab, prinsip diterjemahkan dengan al-mabâdi’ yang tunggalnya adalah al-mabda`, ia diartikan dengan asas atau dasar. Sedangkan kata al-asl diartikan dengan
pangkal. Ahmad Warson, al-Munawwir Kamus Arab… h. 63, 28. Kata al-asl tersusun dari huruf al-hamzah, sâd dan lam yang mempunyai arti dasar pangkal sesuatu. Ab ī Husain ibn Fâris ibn Zakarîyâ , (t.tp.: Dâr al-Fikr, 1979, Juz I), h. 109.
kafir baik yang ditebang maupun yang dibiarkan hidup oleh orang Islam. Dari penggunaan al- Qur’an atas kata yang berakar dari huruf hamzah, sâd dan lam diketahui bahwa semuanya terkait dengan pohon. Baik pohon di dunia maupun pohon di akhirat. Selanjutnya diketahui bahwa salah satu fungsi "asl" pada pohon adalah tsâbit. Kata ”tsâbit” dalam al-Qur’an dipergunakan sebanyak
19 kali dengan segala bentuknya. 143 Kata asâs telah dipergunakan dalam al-Quran sebanyak 3 kali. 144 Q.S. al-Taubah 9/113:
109. Penggunaan assasa ditemukan dua kali yakni pada keterkaitannya dengan taqwa dalam membangun masjid dan orang yang membangun dengan dasar syafâ jurufin hâr di tepi jurang yang runtuh. Kata ussisa ditemukan pada Surah yang sama 9/113: 108 masjid yang dibangun di atas landasan taqwa adalah lebih berhak ditempati oleh kaum muslimin.
Dengan kata lain bahwa ketiga kata yang berasal dari asâs dalam al-Qur’an diungkap dalam konteks pembangunan masjid baik yang dilaksanakan oleh orang munafik maupun orang mukminin. Terdapat hal lain yang menarik di sini bahwa dalam kaitannya dengan pembangunan masjid yang dilaksanakan oleh orang munafik, maka Allah memberikan pilihan kepada orang mukmin untuk mendirikan salat dalam masjid yang dibangun di atas landasan taqwa ahaqqu ‘an taq ūma fīh. Atas dasar ini dipahami bahwa kata assasa lebih berisifat aplikatif, sehingga kata ini merupakan perilaku sedang kata "asl" mengandung konsep paradigma atau landasan berfikir. Tegasnya bahwa, kata "asl" menggambarkan landasan berfikir, sedang kata "assasa" lebih bersifat pengambilan kebijaksanaan.
Dalam kaitan dengan pembahasan ini, maka nampak yang lebih relevan adalah kata asl. Yakni sebagai landasan berfikir dalam ekonomi. Dalam wacana ekonomi Islam, tampaknya ulama dan cendekiwan muslim telah memberikan prinsip-prinsip mengenai ekonomi. Di antaranya uraian Quraish Shihab yang menetapkan empat prinsip dalam ekonomi: tauhid, keseimbangan, kehendak bebas dan tanggungjawab. 145 Selanjutnya, dalam menetapkan etika bisnis ia merincinya: (a) Kejujuran, (b) Keramahtamahan; (c) Penawaran yang jujur; (d) Pelanggan yang tidak sanggup membayar diberi waktu; (e) Penjual hendaknya tidak memaksa pembeli dan tidak bersumpah dalam menjual; (f) Tegas dan adil dalam timbangan dan takaran; (g) Tidak dibenarkan monopoli; (h) Tidak dibenarkan adanya harga komoditi yang boleh dibatasi; (i) Kesukarelaan. 146
Selanjutnya Abd.Muin Salim memberikan uraian mengenai prinsip-prinsip filosofis ekonomi Qurani yaitu: (a) Tauhid; (b) Istikmâr atau istikhlâf; (c) Kemaslahatan (al-silâh) dan keserasian (al-‘adâlah); (d) Keadilan (al-qist); (e) Kehidupan sejahtera dan kesentosaan dunia akhirat. 147 Menurut Taqiy al-D īn al-Nabhânī bahwa asas sistem ekonomi Islam adalah : (a)
143 Fu’âd Abd. Al-Bâq ī, al-Mu’jam al-Mufahras li al-Fâz al-Qur’ân al-Karīm, (Qâhirah: Dâr al-Had
īts, 2001), h. 201-2. Fu’âd Abd. Al-Bâq ī, al-Mu’jam al-Mufahras, h. 43.
145 M. Quraish Shihab, Wawasan al-Quran, (Bandung: Mizan, 1998), h. 409. 146 M. Quraish Shihab, “Etika Bisnis dalam Wawasan Alquran” dalam Jurnal Ulum
Alquran, No.3 VII/1997, h. 5-9. 147 Abd. Muin Salim, “Ekonomi dalam Perspektif Alquran”.Makalah pada seminar Tafsir
Hadis Fak. Syari’ah IAIN Ujungpandang, 1994. , h. 1-4.
kepemilikan (property); (b) Pengelolaan (tasarruf); (c) pendistribusian kekayaan ke tengah manusia. 148 Ahmad M. Saefuddin menetapkan tiga asas pokok filsafat ekonomi Islam, yaitu: (a)
Sumber kekayaan adalah Allah; (b) Allah Esa dalam mencipta makhluk dan semua makhluk-Nya tunduk kepada-Nya; (c) Kesinambungan kehidupan dunia dan akhirat. 149
Ahmad Muhammad 'Assâl memberikan uraian mengenai prinsip-prinsip ekonomi dengan memperhatikan ayat dan hadis di antaranya : (a) Segala usaha adalah asalnya boleh; (b) Kehalalan jual beli dan keharaman riba; (c) Hasil pekerjaan adalah untuk yang bekerja dan tak ada berbedaan dalam hal upah mengenai laki-laki dan perempuan; (d) Pemimpin harus dapat mengembalikan distribusi kekayaan ke dalam masyarakat jika terjadi ketidakseimbangan di
dalam masyarakat; (e) Keharaman penganiayaan dalam Islam. 150 Uraian yang diberikan olehnya adalah memberikan contoh atas ayat dan hadis yang berkaitan dengan ekonomi dan selanjutnya
memahaminya untuk merumuskan prinsip ekonomi. Uraian yang diberikan sebagaimana dalam buku dimaksud tampaknya tidak mencakup seluruh prinsip yang dikehendaki oleh al- Qur’an dan hadis sebab, uraiannya hanya terbatas pada ayat-ayat dan hadis yang diangkat sebagai contoh.
Al-Sal ūsi mempergunakan kata mabâdi’ untuk menggambarkan prinsip ekonomi Islam. Menurutnya terdapat tiga prinsip ekonomi Islam yaitu: (a) kepemilikan yang dualisme yakni
umum dan khusus; (b) mengandung jaminan sosial serta; (c) menganut kebebasan terikat. 151 MM. Metwalliy menetapkan prinsip ekonomi Islam pada 6 pilar yaitu: (a) Semua jenis sumber daya
merupakan titipan Allah kepada manusia; (b) kepemilikan manusia dibatasi oleh hak yang bersifat umum serta pemanfataan sumber daya harus pada batas yang dibenarkan agama Islam; (c) Kekuatan penggerak ekonomi adalah kerjasama; (d) Fungsi kepemilikan manusia akan mendorong kesejahteraan individual dan masyarakat secara luas; (e) Kepemilikan umum diperuntukan bagi kesejahteraan masyarakat secara luas; (f) Dalam kegiatan ekonomi, harus didorong ketaqwaan kepada Allah. 152
Dengan memperhatikan pandangan tersebut, tampak pandangan itu tidak saling bertentangan. Walaupun demikian, untuk keperluan pembahasan ini, maka pembahasan akan mengacu pada pandangan Abd. Muin Salim dengan memberikan formulasi berupa penambahan uraian.
Pertimbangan pemilihan pandangan ini, karena pandangan M. Quraish Shihab sebahagian dapat dimodifikasi ulang untuk dimasukkan dalam pandangan Abd. Muin Salim. Demikian juga
148 Taqiy al-D īn Al-Nabhânī, Al-Nizâm al-Iqtisâd fī al-Islâm, diterjemahkan oleh M. Maghfur Wachid, (Surabaya: Risalah Gusti, 1996), h. 50.
149 Ahmad M. Saefuddin, Studi Nilai-Nilai Sistem Ekonomi Islam, (Jakarta: Media Da'wah, 1984), h. 19-35.
150 Ahmad Muhammad Al-'Assâl dan Fati Ahmad ‘Abd al-Kar³m, al-Nidhâm al-Iqtisâd Fi al-Islâm Mabâdi’uh wa daf’uh, diterjemahkan oleh Abu Ahmad dan Anshar Sitanggal, “Sistem
Ekonomi Islam Prinsip-Prinsip dan Tujuan-Tujuannya”, (Surabaya: Bina Ilmu, 1980), h. 11-13. 151 ‘Al ī Ahmad al-Salūsi, Mausu’ah al-Qadâya al-Fiqhiyyah al-Mu’ashirah wa al-Iqtisâdi
al-Islâm ī, (Mesir: Dâr al-Qur’an, 2002, cet. VII), h. 36. 152 MM. Metwallly, Teori dan Model Ekonomi Islam, M.Husen Sawit Penerjemah.
(Jakarta: Bangkit Daya Insani, 1995), h. 5-6.
pandangan A.M. Saefuddin, Taqiy al-D īn al-Salūsi, Metwally kelihatannya dapat saja diakomodir pada pandangan Abd. Muin
1) Tauhid Dalam kaitannya dengan keesaan Allah SWT, Ibn Taymiyah menyatakan bahwa semua makhluk Allah adalah fakir dan membutuhkan kepada apa yang bermanfaat padanya serta menghindarkan diri apa yang membahakannya. Oleh karena Dia merupakan tempat meminta dan bermaksud kepada-Nya bagi seluruh makluk-Nya. 153
Dalam al-Qur’an ditegaskan mengenai keesaan Allah QS al-Ikhlâs 112/22: 1-4. Di sana disebutkan mengenai keesaan Allah dalam arti esa sebagai satu-satunya yang harus dijadikan objek mengharap (dalam segala hal); tidak beranak dan tidak diperanakkan; serta tak satu pun makhluk yang setara dengan-Nya. Menurut Quraish Shihab, tauhid bahwa mengantar manusia untuk mengakui bahwa keesaan Allah merupakan sumber atas segala sesuatu. Dari sini diyakini oleh seorang muslim bahwa harta benda yang sedang dan akan dimilikinya merupakan milik Allah. 154
Al-Qur’an berbicara mengenai rezki, antara lain Q.S. al-Saba 34/58: 36. Dalam ayat ini Allah memerintahkan kepada Nabi-Nya (Muhammad) untuk mengatakan bahwa dalam kekuasaan Rab mengenai kelapangan dan penyempitan rezki. Selain itu, Q.S. Ibrâh īm 14/72: 35-37, Doa Nabi Ibrâh īm kepada Rab agar Mekah dijadikan sebagai kota yang aman, yang merupakan lokasi anaknya ditempatkan, serta anaknya dianugerahkan rezki dari buah-buahan.
Menarik untuk dikaji mengenai apa yang dimaksud dengan rezki sebagai kata yang terkait secara langsung dengan ekonomi. Kata razaqa berakar dari huruf ra, zai dan qaf yang mempunyai arti dasar pemberian yang terkait dengan waktu dan kemudian mengalami perkembangan tidak lagi terkait dengan waktu. 155
Dilihat dari sisi kronologis surah, maka Q.S. al-Fajr 89/10: 15 memuat kata "rizq" sebagai yang pertama disebut dalam al-Qur’an. Dilihat dari sisi konteks ayat tersebut merupakan sanggahan Allah kepada orang yang menyangka bahwa rezki merupakan kemuliaan dan kemiskinan adalah kehinaan. Padahal sesunguhnya rezki adalah ujian dari Allah SWT. Di sini frasa faqaddara alaihi rizqah- "membatasai rezki" berhadapan dengan frasa fa akramah- wa na'amah- "dimuliakan-Nya dan diberi-Nya kesenangan". Perbedaan dua keadaan tersebut, merupakan indikasi yang dipergunakan seseorang dalam melihat rahmat Allah.
Pola pikir mereka adalah terkait dengan sikap hedonistik yang mereka miliki yang sejalan filsafat materialistik. Bahwa segala sesuatu harus diukur dengan materi sehingga kebahagiaan dan kesusahan harus diukur dari sisi harta. Dilihat dari sisi konteks ayat ini, tampaknya ayat sebelumnya (pada surah yang sama ayat 7-13) berkaitan dengan pola pikir Kaum ‘ Ăd, Tsamûd dan
153 Abd.Rahmân ibn Muhammad ibn Qâsim, Majmu’ Fatawâ Syaikh Islam Ibn al- Taymiyah, Jilid I, (t.tp.:tp.,t.th.), h.22.
154 Abd.Rahmân ibn Muhammad ibn Qâsim, Majmu’ Fatawâ Syaikh… Jilid I, h. 409- 410.
155 Abû Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyâ, Maqâyîs … Juz IV, h. 388.
Fir'aun yang kesemuanya hidup dalam keadaan megah dan berbuat sewenang-wenang. 156 Apa yang dapat dipahami dari uraian tersebut dalam kaitannya dengan ketauhidan dalam prinsip ekonomi Islam memberikan implikasi bahwa sumber ekonomi adalah Rab al-‘ Ălamîn dan bukan dari manusia itu sendiri terlebih lagi bukan pada alam. Di sini secara tegas tertolak falsafah kaum sosialis yang menyatakan bahwa hidup adalah materi dan materilah yang menggerakkan
kehidupan dan agama hanyalah takhayyul. 157 Penggunaan sumber daya manusia dan alam dalam kaitannya dengan pelaksanaan
kegiatan ekonomi pada hakekatnya merupakan suatau upaya untuk memperoleh rezki dari Allah. Pemberian rezki sebagai hasil kegiatan ekonomi oleh Allah kepada manusia, merupakan perwujudan sifat Rab Tuhan.
Dilihat dari kronologis penggunaan kata rab, Q.S. al-‘Alaq 96/01 merupakan yang pertama dalam Al-Qur’an. Perintah membaca dalam ayat pertama surat ini dan sekaligus perintah pertama dalam sejarah agama Islam, terkait dengan penyebutan nama Tuhan. Quraish Shihab
menyatakan bahwa ayat tersebut dimaksudkan bahwa bacalah atas nama Tuhanmu. 158 Selanjutnya oleh ‘Abd al-Halîm Mahmûd sebagai dinyatakan Quraish bahwa kata Iqra’ diartikan
secara luas olehnya sehingga berarti tidak sekedar memerintah membaca tetapi membaca adalah lambang dari segala apa yang dilakukan oleh manusia. 159
Pernyataan ini dapat saja diterima, mengingat secara etimologis kata iqra’ berasal qara’a yang hurufnya tersusun dari huruf qaf, ra dan mu'tal yang mempunyai arti pokok menghimpun. Dari kata ini lahir qarya yang diartikan sebagai desa atau kampung, sebab di dalamnya terjadi kegiatan penghimpunan orang. 160
Selain menggambarkan perintah untuk melaksanakan aktifitas manusia dengan atas nama Tuhan "Rab" pada ayat 2 ditemukan pernyataan Tuhan bahwa manusia diciptakan dari al-‘Alaq. Kata al-‘Alaq tersusun dari huruf ‘ain, lam dan qaf mempunyai arti dasar yang mengacu pada "bergantungnya sesuatu pada yang tinggi". 161
Dalam hal yang pertama manusia tidak dapat hidup dengan sendirinya ia banyak terkait dengan manusia lainnya. Dalam arti yang lebih luas manusia melakukan interaksi dengan lingkungan di mana mereka berada. Dengan pandangan ini, maka dipahami bahwa hubungan manusia dengan sesama manusia bahkan makhluk lainnya yang merupakan sumber-sumber
156 Istilah ’ Ăd dalam bahasa Ibrânî merupakan bahasa Semit tertua "artinya tinggi dan masyhur". Diperkirakan mereka hidup sebelum 300 tahun sebelum masehi. Mereka adalah bangsa
yang berjaya pada masanya mereka dinilai sebagai pendiri kebudayaan yang tertua di dunia. Asia dan Afrika merupakan pusat kegiatan mereka yang ditandai dengan pembangunan gedung dan arsitektur mereka. Lihat Sayid Muzaffaruddin Nadvi, A Geografhical History of The Qur'an, diterjemahkan Jum'an Basalim "Sejarah Geografi Qur'an" (t.tp.: Pustaka Firdaus, 1997), h. 96, 116-117.
157 Tahir Abd al-Muhsini Sulaiman, ‘Ilaj al-Iqtisdiyyah fi al-Islâm, diterjemahkan oleh Anshori Umar Sitanggal "Menanggulangi Krisis Ekonomi Secara Islam" (Bandung: Al-Maarif,
t.th), h. 40. 158 M. Quraish Shihab, Tafsir Amanah, (Jakarta: Pustaka Kartini, 1992), h. 14. 159 M. Quraish Shihab, Tafsir Amanah, h. 14. 160 Abû Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyâ, Maqâyîs... Juz V h. 78. Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia h. 1115.
161 Abû Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyâ, Maqâyîs... Juz IV h. 125.
ekonomi adalah hubungan dalam arti sosio ekonomi. Dalam arti yang kedua bahwa, manusia mempunyai potensi dan sikap keterkaitan yang sangat erat dan bahkan menentukan eksistensinya dengan keterkaitannya dengan taturan-aturan agama. Dengan demikian manusia sebagai makhluk sosio-ekonomi hanya dapat berjalan dengan baik dan eksis jika makhluk ini diatur dengan aturan yang menempatkan rab sebagai sumber dalam pelaksanaan fungsi manusia sebagai makhluk sosio ekonomik, yang secara implisit menolak anggapan bahwa sumber asasi kehidupan adalah alam dan manusia serta makhluk lainnya. Oleh Didin menyatakan bahwa aktifitas ekonomi yang dikembangkan selain harus dalam kerangka kepatuhan kepada-Nya yang meliputi mekanistik dalam alam dan kehidupan sosial
tetapi juga etis dan moral. 162
2) Istikhlâf Q.S. Sâd 38/38: 26 163 Ayat ini memberikan informasi mengenaii pengangkatan khalifah bagi nabi Daud. Selanjutnya kepadanya diperintahkan oleh Allah untuk memutuskan perkara dengan adil di kalangan manusia. Selanjutnya ia dilarang untuk mengikuti hawa nafsu. Sebab sikap mengikuti hawa nafsu akan mengantar pada kesesatan atas petunjuk Allah dan akibatnya akan memperoleh siksaan di hari kemudiaan.
Klausa pertama dalam ayat tersebut berbicara mengenai pengangkatan khalifah nabi Daud dan konsekwensi logis jabatan tersebut untuk memutuskan perkara secara adil. 164 Di sini
nampaknya terdapat hubungan yang logis antara jabatan dan pembuatan keputusan dengan kata al- Haq. Huruf fa dalam fahkum baina al-nâs, 165 yang merupakan huruf fa sababiyah menunjukkan adanya hubungan pengangkatan kahalifah dengan pemutusan perkara.
Kata khalifah berakar dari kata khalafa yang hurufnya tersusun dari kha, lam dan fa serta mempunyai tiga arti dasar : mengganti, belakang, dan perubahan. Dan yang diuraikan di sini, arti sebagai "pengganti". 166
Dilihat dari sisi kronologis, kata khalifah dalam ayat ini merupakan ayat yang pertama yang berbicara dengan khalifah dibanding dengan pembicaraan khalifah dalam konteks dialog Allah dengan malaikat. Ini mengisyaratkan bahwa penegakan aturan Allah diberikan wewenang
162 Didin Hafidhuddin Ma’turidi, Peran Pembiyaan Syari’ah dalam Pembangunan Pertanian di Indonesia, Orasi Pengukuhan Guru Besar ( Bogor: IPB, 2007), h. 16.
“Hai Daud, Sesungguhnya kami menjadikan kamu khalifah (penguasa) di muka bumi, Maka berilah Keputusan (perkara) di antara manusia dengan adil dan janganlah kamu mengikuti hawa nafsu, Karena ia akan menyesatkan kamu dari jalan Allah. Sesungguhnya orang-orang yang sesat darin jalan Allah akan mendapat azab yang berat, Karena mereka melupakan hari perhitungan.”
164 Muhammad ibn Ahmad al-Ansâry al-Qurtuby, al-Jâmi’li Ahkâm al-Quran Juz
XV, (t.tp.:t.p. t.t), h 188-189. 165 Huruf fa mempunyai makna kausal, lihat Abd. Muin Salim, Konsepsi Kekuasaan
Politik Dalam Al-Quran(Jakarta: Grafindo Persada, 1995), h. 116. Badr al-Din Muhammad bin ‘Abd Allah Al-Zarkasy, Al-Burhân fi ‘Ulûm Al-Qur’ân, Juz IV, (Mesir: Dar Ihya al-Kutub al- Araby, t.th.), h. 298.
166 Abû Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyâ, Maqâyîs, Juz I, h. 210.
kepada jabatan khalifah untuk melaksanakannya. Tegasnya bahwa tugas kehalifahan sebagai "pengganti" adalah melaksanakan aturan-aturan yang dikehedaki oleh Allah SWT. Dalam konteks sebagai prinsip ekonomi Islam, Istikhlaf atau kekhalifahan merupakan kewenangan bagi manusia untuk mengembangkan kegiatan ekonomi sesuai dengan perintah Allah SWT. Selanjutnya, dalam ayat di atas, terdapat larangan untuk mengkuti hawa hafsu, dalam mengambil sebuah keputusan. Ini menunjukkan bahwa dalam mengemban kekhalifahan dalam bidang ekonomi, kiranya aturan-aturan ini tidak bersumber dari hawa nafsu tetapi harus didasarkan pada wahyu. Penyimpangan dari pandangan ini akan membawa akibat buruk dalam kehidupan manusia.
Posisi manusia sebagai khalifah dalam konteks ekonomi, kiranya menolak pandangan yang menempatkannya sebagai objek ekonomi, 167 karena dengan pandangan ini akan mengantar pada jatuhnya martabat manusia sebagai mahluk yang paling mulia.
Dalam konteks menjaga martabat ini, al-Qur’an melarang untuk melakukan pembunuhan kepada manusia dengan alasan ekonomi. QS al-Isra’ 17/50: 31 dan QS. Al-An’am 6/55: 151 168
3) Kemaslahatan (al-Salâh) Ayat al-Qur’an yang berkaitan dengan kemaslahatan adalah QS. Al-A'raf 7/39: 56. 169 Ayat ini mengandung larangan Allah kepada manusia untuk tidak melaksanakan kerusakan setelah Allah melaksanakan perbaikan di atas dunia. Al-Tabary, menafsirkannya dengan larangan
167 Dalam tradisi perbudakan manusia, ditempatakan sebagai barang komoditas, dan tuannya memilik hak ekonomi untuk melakukan transaski dengan orang lain. Demikian juga
dalam tradisi penjualan manusia. 168
”Dan janganlah kamu membunuh anak-anakmu Karena takut kemiskinan. kamilah yang akan memberi rezki kepada mereka dan juga kepadamu. Sesungguhnya membunuh mereka adalah suatu dosa yang besar.”
”Katakanlah: "Marilah kubacakan apa yang diharamkan atas kamu oleh Tuhanmu yaitu: janganlah kamu mempersekutukan sesuatu dengan Dia, berbuat baiklah terhadap kedua orang ibu bapa, dan janganlah kamu membunuh anak-anak kamu Karena takut kemiskinan, kami akan memberi rezki kepadamu dan kepada mereka, dan janganlah kamu mendekati perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang nampak di antaranya maupun yang tersembunyi, dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) melainkan dengan sesuatu (sebab) yang benar. demikian itu yang diperintahkan kepadamu supaya kamu memahami(nya).”
”Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.” ”Dan janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi, sesudah (Allah) memperbaikinya dan berdoalah kepada-Nya dengan rasa takut (Tidak akan diterima) dan harapan (akan dikabulkan). Sesungguhnya rahmat Allah amat dekat kepada orang-orang yang berbuat baik.”
Dua pendapat tersebut mempunyai perbedaan pendekatan. Pedekatan al- Tabary secara teologis, berimplikasi pada adanya perbuatan merusak di bumi ini jika manusia mengembangkan kehidupan yang berdasarkan kekufuran baik dalam bentuk kemusyrikan maupun mendurhakai Tuhan. Sebaliknya Rasyd Rida dengan pendekatan yuridisnya melarang untuk mengembangkan suatu hukum yang dapat menghalangi manusia sebagai mahluk sosial ekonomik.
Dua pendekatan tersebut, kelihatannya belum mengungkap makna yang terkandung dari dua kata sebagai obyek kajian yaitu tufsidû dan Islâhihâ Kata pertama berakar dari huruf fa, sin dan dal mempunyai arti merusak. 172 Al-Râgib menyatakannya sebagai perbuatan yang menyimpang dari keadilan baik secara maksimal maupun minimal serta diantonimkan dengan al- silâh. 173 Menurutnya bahwa pemanfaatan terma tersebut ditemukan dalam dimensi perbuatan yang berkaitan jiwa, negeri, hal-hal yang terkait dengan penyimpangan pada sikap istiqâmah atau inkonsistensi (al-Asyyâ a l-khârijah ‘an al- Istiqâmah) . 174
Kata yang berasal dari fasada berlawanan dengan al-sâlihât ditemukan pada Q.S. Sâd 38/38: 28 dalam ayat ini Allah berfirman bahwa patutkah kami mempersamakan orang-orang yang beriman dan berbuat amal saleh (‘âmil- al-sâlihât) dengan orang yang melaksanakan kerusakan (al-mufsidîn) dan orang yang muttaqîn (al-muttaqîn) dengan orang yang al-fujjâr (ka al-fujjâr). 175 Dari sini diketahui bahwa kata âmanû wa ‘amilu al-salihat diperhadapkan dengan al- mufsidîn. Dan al-muttaqîn dengan al-Fujjâr.
Dengan mengikuti pandangan Rasyid Ridâ yang cenderung pada pemanfaatan alam untuk memperoleh kemaslahatan dan bukan kemudaratan, dikaitkan dengan aktifitas ekonomi, maka hubungan manusia dengan alam perlu dielaborasi.
Dua ayat yang dikemukakan yaitu QS. al-Jâtsiyah/45: 12-13 176 berbicara akan keterlibatan Allah dalam menundukkan sumber daya alam untuk kepentingan manusia. Menarik
170 Abû Ja’far ibn Muhammad ibn Jarîr al-Tabary, Jâmi al-Bayân ’an Ta’wîl Ăyât al- Qur’ân, Jilid V, (t.tp.: t.p., t.th), h. 515.
171 Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Qur’ân al-Hakîm al-Masyhûr al-Manâr Juz VIII, (Refrint, Bairut: Dâr al-Kutub al-’Ilmiyah, 2005), h. 470.
172 Abû Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyâ, Maqâyîs... Juz IV, h. 503. 173 Al-Ragib al-Asfahany, Mufradât al-Fâz... h. 636. 174 Al-Râgib al-Asfahany, Mufradat al-Fâz… h. 636.
175 Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, h. 736. 176
”Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya dan supaya kamu dapat mencari karunia -Nya dan Mudah-mudahan kamu bersyukur.” ”Allah-lah yang menundukkan lautan untukmu supaya kapal-kapal dapat berlayar padanya dengan seizin-Nya dan supaya kamu dapat mencari karunia -Nya dan Mudah-mudahan kamu bersyukur.”
Al-Râgib menyatakan mengadung hubungan pemaksaan. 178 Kandungan kata sakhar itu yang lebih menekankan pada aspek pemaksaan yang didasarkan sikap memandang rendah merupakan bagian dari kekuasaan Allah. Ini menunjukkan bahwa secara teologis sifat bagi objek yang ditundukkan itu jauh lebih rendah dibanding dengan yang menundukkannya. Dari sisi ini dapat dipahami bahwa pandangan dari sisi teologis dipahami jika pola hubungan antara sumber daya alam dengan Allah merupakan pola ketundukan. Dengan kata lain, pemanfaatan oleh manusia terhadap sumber daya alam, tidak dapat didasarkan sebagai bagian dari kekuasaan manusia, tetapi justru karena Allah yang menundukkan alam itu.
Pandangan yang menetapkan pola hubungan sumber daya alam dengan manusia sebagai pola penguasaan merupakan suatu pandangan yang secara teologis bertentangan dengan Islam dan dengan demikian dipandang bertentangan dengan prinsip ekonomi Islam. Implikasi pola hubungan pengusaan antara alam dan manusia, membawa implikasi pada kecenderungan manusia untuk memanfaatkan sumber daya alam dengan sebanyak-banyaknya dengan didorong oleh rasa kepemilikan. Pada hal pemanfaatan sumber daya alam bagi manusia harus didasarkan pada pola anugerah Allah kepada manusia. QS. Al-Baqarah /2: 29 179
Dalam ayat ini Allah menjelaskan bahwa segala yang ada di bumi ini diciptakan untuk manusia. Pemberian kewenangan kepada manusia untuk dimanfaatkan olehnya, dipandang sebagai anugerah yang diberikan oleh-Nya kepada manusia.
4) Distribusi Pendapatan Dalam Islam, kekayaan dilarang untuk bertumpuk pada kelompok tertentu sebagaimana dalam QS. Al-Hasyr 59/101: 7 180
”Dan dia Telah menundukkan untukmu apa yang di langit dan apa yang di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berfikir.”
177 Abu Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyâ, Juz III, h. 144. 178 Al-Râgib al-Asfahâny, Mufaradât al-Fâd … h. 402. Quraish menyatakan bahwa "Allahmenundukkan semua untuk manusia,agar dia tunduk kepada yang ditundukkan itu, tetapi hanya kepada yang menundukkan. Sungguh buruk nda tunduk kepada siapa yangditundukkan buat Anda. Demikian komentar sementara ulama". M.Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Volume 13 (Jakarta: PSQ, 2003), h. 41
”Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan dia berkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan dia Maha mengetahui segala sesuatu.”
Menurut Didin salah satu faktor yang menyebabkan timbulnya kesenjangan dalam kehidupan sosial ekonomi, karena tidak adanya distribusi yang jelas. Islam menetapkan zakat, infak dan sedekah sebagai bagian dari instrumen distribusi. 181 Prosedur instrumen ini, telah diatur dalam Islam. Satu dari instrumen itu yakni zakat merupakan salah satu rukun Islam yang wajib dilaksanakan bagi pemilik harta yang telah memenuhi ketentuan agama. Instrumen lainya merupakan pilihan bagi pemilik harta untuk menggunakannya.
Dilihat dari sisi fungsional, instrumen ini merupakan pengembangan dari tanggungjawab sosial. 182 pemilik harta kepada masyarakat tertentu. Pengembangan tanggungjawab ini penting, karena dua hal: Pertama ekonomi Islam menganut konsep ketidakpastian. Konsep ketidakpastian ini mengandung arti bahwa Allah sebagai pemilik waktu dan irâdat (kemauan) dan manusia diberikan waktu (kesempatan) oleh-Nya. 183 Kemampuan secara potensial untuk berusaha secara ekonomi maka secara empirik menunjukkan bahwa, manusia dalam berusaha memiliki peluang untuk mengalami kegagalan.
Jaminan sosial dalam Islam, tidak dapat dipandang sebagai bagian untuk mereka yang dilanda masalah sosial ekonomi, tetapi merupakan persiapan pemilik harta dalam mengarungi ketidakpastian ini.
Kedua, mengembangkan kesetiakawanan sosial. Pengembangan ini penting karena, selain karena secara kodrati manusia merupakan makhluk sosial dan ekonomi, 184 dan dengan
”Apa saja harta rampasan (fai-i) yang diberikan Allah kepada RasulNya (dari harta benda) yang berasal dari penduduk kota-kota Maka adalah untuk Allah, untuk rasul, kaum kerabat, anak-anak yatim, orang-orang miskin dan orang-orang yang dalam perjalanan, supaya harta itu jangan beredar di antara orang-orang Kaya saja di antara kamu. apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya.” 181 Didin Hafiduddin Ma’turidi, Peran Pembiyaan Syari’ah dalm Penbangunan Pertanian
di Indonesia, h. 16. 182 Muhammad Amin al-Sya’râni menyatakan bahwa sistem jaminan sosial dalam Islam
berbeda dengan jamina sosial dalam era kontemporer. Islam mengembangkan hal-hal yang bersifat material sebagaimana yang dikembangkan dalam jaminan sosial kontemporer, namun ia juga merupakan upaya untuk mendekatkan kepada Tuhan. Muhammad Amin al-Sya’râni. Al-Damân al-Ijtimâ’iy fî al-Islâm, (Riyâd: t.tp., 1975), h. 11.
183 QS.al-Kahfi 18/69 : 23-24, melarang orang Islam untuk menyatakan sesuatu yang akan dikerjakan besok tanpa menyebut kata Insya Allah.
اﺪ ﻚ ذ ﺎ إ ء ﻮو ”Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu: "Sesungguhnya Aku akan mengerjakan Ini besok pagi,”
اذإ ﻚ ر ﺮآذاو ﷲا ء نأ إ ”Kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah"[879]. dan ingatlah kepada Tuhanmu jika
kamu lupa dan Katakanlah: "Mudah-mudahan Tuhanku akan memberiku petunjuk kepada yang lebih dekat kebenarannya dari pada ini". [879] menurut riwayat, ada beberapa orang Quraisy bertanya kepada nabi Muhammad s.a.w. tentang roh, kisah ashhabul kahfi (penghuni gua) dan kisah Dzulqarnain lalu beliau menjawab, datanglah besok pagi kepadaku agar Aku ceritakan. dan beliau tidak mengucapkan Insya Allah (artinya jika Allah menghendaki). tapi kiranya sampai besok harinya wahyu terlambat datang untuk menceritakan hal-hal tersebut dan nabi tidak dapat menjawabnya. Maka turunlah ayat 23-24 di atas, sebagai pelajaran kepada Nabi; Allah mengingatkan pula bilamana nabi lupa menyebut Insya Allah haruslah segera menyebutkannya kemudian.
184 Manusia sebagai makhluk dipahami dari QS. Al-Mâidah 5/112: 2 tentang ”perntah tolong menolong dalam kebaikan”. Sebagai makhluk ekonomi dipahami dari QS. al-Nisa 4/92: 29 184 Manusia sebagai makhluk dipahami dari QS. Al-Mâidah 5/112: 2 tentang ”perntah tolong menolong dalam kebaikan”. Sebagai makhluk ekonomi dipahami dari QS. al-Nisa 4/92: 29
5) Kehidupan Sejahtera Dunia-Akhirat Ayat yang relevan dengan pembahasan ini antara lain adalah QS. Al-Baqarah 2/87:
201 186 Ayat ini dan ayat sebelumnya, mengemukakan dua kelompok yang berbeda mengenai orientasi dalam kehidupan ini. Pada ayat sebelumnya kelompok tertentu, menghendaki orientasi
kehidupan hanya terbatas pada perolehan kebahagiaan untuk kepentingan dunia semata dan pada ayat di atas, kelompok lainnya menginginkan perolehan kebahagian diorientasikan pada kehidupan dunia dan akhirat.
Ayat ini merupakan landasan orientasi seorang muslim dalam melaksanakan aktifitas termasuk di dalamnya aktifitas dalam bidang ekonomi. Dalam aktifitas ekonomi orientasi tidak ditujukan untuk memperoleh harta atau penambahan modal semata, tetapi kegiatan ekonomi harus mendorong seseorang untuk memperoleh kebahagian di dunia dan akhirat.
Karakteristik orientasi ini akan membawa konsekuensi bagi seorang dalam melaksanakan aktifitas ekonomi dalam proses pencarian, pemanfaatan hasil termasuk di dalamnya pelbagai kewajiban yang melekat dalam hasil aktifitas ekonomi seperti zakat, infaq dan sadaqah. Untuk proses dan pemanfataan, maka aspek kehahalan dalam perspektif syar’iy mutlak diperlukan dan dukungan terhadap legalitas dari sisi negara.
Dengan demikian, pandangan yang berorientasi pada penambahan modal semata adalah bertengan dengan prinsip ekonomi Islam.
2. Zakat sebagai Instrumen Ekonomi
a. Pengertian Zakat Menurut bahasa Arab, kata zakat tersusun dari huruf z, kaf dan ya, mengandung
arti 187 pengembangan dan bertambah. Menurut Rayyân zakat secara bahasa mengandung 188 arti al‐silâh, al‐taqwâ, al‐tathīr, al‐ziyâdah, al‐Namâ’. Menurutnya,
”yang melarang manusia untuk memperoleh harta dengan cara yang batil...” Upaya perolehan harta oleh manusia di sini digolongkan ia sebagai makhluk ekonomi 185 Menurut Lapoe dan Calon serta George dalam Didin bahwa, ”penyebab utama
kemiskinan adalah ketimpangan sosial ekonomi akibat adanya sekolompok kecil orang yang hidup mewah di atas penderitaan orang banyak, dan bukannya disebabkan oleh semata-mata kelebihan jumlah penduduk (over population)” Didin Hafiduddin Ma’turidi, Peran Pembiyaan Syari’ah... h. 17.
”Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka"
187 Ab ī Husain ibn Faris ibn Zakariya, “Maqâyīs…Juz III, h. 17. 188 Ahmad ‘Ali Taha Rayyân, al-Maus ū’ah al-Islâmiyah al-‘Âmah, (al-Qâhirah: Wizârat al-Auqâf al-Majlis al-A’lâ li al-Syu ūn al-Islâmiyah, 2002), h. 768. Menurut al- Mâwardi sebagai dinyatakan Hammâd, ia merupakan nama untuk menmgambil harta tertentu 187 Ab ī Husain ibn Faris ibn Zakariya, “Maqâyīs…Juz III, h. 17. 188 Ahmad ‘Ali Taha Rayyân, al-Maus ū’ah al-Islâmiyah al-‘Âmah, (al-Qâhirah: Wizârat al-Auqâf al-Majlis al-A’lâ li al-Syu ūn al-Islâmiyah, 2002), h. 768. Menurut al- Mâwardi sebagai dinyatakan Hammâd, ia merupakan nama untuk menmgambil harta tertentu
bersifat material yang diwajibkan kepada pemilik harta terhadap yang bersifat berkembang baik secara aktual maupun potensial yang telah mencapai senisab dan haul. 190 Hanâbilah (pengikut imam Hanbal) menyatakan bahwa zakat merupakan suatu kewajiban yang bersifat harta tertentu yang diberikan kepada kelompok tertentu dengan
waktu tertentu. 191 Oleh Didin Hafidhuddin menyatakan bahwa terdapat perbedaan di kalangan ulama mengenai pengertian zakat, namun perbedaan itu hanya
bersifat redaksional dan tidak menyangkut substantif, karenanya, ia memberikan pengertian dengan mengutip pendapat dalam mu’jam al‐wasit, bahwa “… zakat itu adalah bagian dari harta dengan persyaratan tertentu, yang Allah SWT wajibkan kepada pemiliknya, untuk diserahkan kepada yang berhak menerimanya, dengan persyaratan tertentu 192 pula.”
Mencermati pengertian zakat, maka dapat dkemukakan unsur‐unsur yang membangun pengertian zakat yang telah dikemukakan, yang unsur itu meliputi :
Pertama, sebagai suatu kewajiban agama (Islam). Zakat merupakan salah satu rukun 193 Islam. Sebagaimana hadis yang diriwayatkan oleh ibn Abbas. Kedua, bersifat
dengan sifat tertentu serta kelompok penerima tertentu. Naz īh Hammâd, Mu’jam al-mustalahât al-Iqtisâdiyyah f ī al-Lugah al-Fuqahâ’ (Herndon USA: al-Ma’had al-‘Âlamī li al-Fikr al-Islâmī, 1993), h. 149. Pandangan yang sama baik bahasa maupun istilah terdapat juga dalam, ‘Al ī ibn Muhammad al-Jam’at , Mu’jam al-Mustalahât al-Iqtisâdiyah wa al-Islâmiyah, h. 293.
189 Ahmad ‘Ali Taha Rayyân, al-Maus
ū’ah al-Islâmiyah… h. 768. Muhammad Rawwâs Qal’aji, Mabâhits f ī al-Iqtisâd… h. 118.
191 Wahbah al-Zuhail ī, al-Fiqh al-Islamī Wa adillatuhu, Juz III, (Damsyiq: Dâr al-Fikr, 1997), h. 1789.
192 Didin Hafidhuddin Ma’turidi, “Anda Bertanya tentang Zakat Infak dan Sedekah”, (Jakarta: Badan Amil Zakat Nasional, 2005), h. 17, Abd. Allah ibn Sulaiman al-Manî’,
Buhutsun fi al-Iqtisad al-Islâmi ( Makkah: al-Maktab al-Islâmi, 1416 H), h. 19 193
”Dari ibn Abbas r.a telah berkata: Rasûl Allah bersabda sewaktu mengutus Muadz ibn Jabal ke negeri Yaman: Engkau datang kepada kaum ahli kitab ajaklah mereka kepada syahadat, bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya nabi Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka telah taat untuk itu, beritahukanlah kepada mereka,. bahwa Allah mewajibkan kepada mereka melakukan ”Dari ibn Abbas r.a telah berkata: Rasûl Allah bersabda sewaktu mengutus Muadz ibn Jabal ke negeri Yaman: Engkau datang kepada kaum ahli kitab ajaklah mereka kepada syahadat, bersaksi bahwa sesungguhnya tidak ada Tuhan selain Allah dan sesungguhnya nabi Muhammad adalah utusan Allah. Jika mereka telah taat untuk itu, beritahukanlah kepada mereka,. bahwa Allah mewajibkan kepada mereka melakukan
dilaksanakan shalat idul fitri. Sedang zakat harta, merupakan kewajiban yang bersifat material untuk seluruh pendapatan yang memenuhi syarat untuk setiap umat Islam.
Ketiga, memiliki syarat tertentu. Syarat tertentu di sini mencakup kepemilikan harta dalam satu tahun yang disebut dengan haul, jumlah harta dalam bentuk minimal yang disebut dengan nisab.
Keempat, diberikan kepada kelompok tertentu yang dikenal dengan mustahik. Mustahik sebagai kelompok penerima zakat harta, hanya berjumlah delapan kelompok yang didasarkan pada QS. al‐Taubah 9/113: 60.
b. Manfaat Zakat Bebagai manfaat yang berkembang pada zakat baik untuk kepentingan muzakki
(orang yang mengeluarkan zakat) untuk penerima zakat (mustahik) maupun untuk amil. Manfaat untuk muzakki: Pertama, instrumen untuk menunaikan rukun Islam. Menurut pandangan Abu Bakar, khalifah kedua dalam Islam orang yang tidak membayar zakat, maka wajib diperangi. Alasan yang mendasar bagi Abu Bakar adalah, karena muzakki dimaksud, 194 memisahkan antara salat dan zakat. Kedua, instrumen memperoleh nilai spritualitas 195 dalam bekerja. QS. Al‐Taubah 9/113: 103
shalat lima waktu sehari semalam. Jika mereka telah taat untuk itu, beritahunkanlah kepada mereka bahwa Allah mewajibkan zakat atas mereka. Zakat itu diambil dari orang yang kaya dan dibagikan kepada fakir. Jika mereka telah taat untuk itu, maka berhati- hatilah (janganlah) mengambil yang baik-baik saja (bila kekayaan itu bernilai tinggi, sedang dan rendah, maka zakatnya harus meliputi nilai-nilai itu) hindari doanya orang yang madhlum (teraniaya) karena tidak ada penghalang antara mereka dengan Allah (pasti dikabulkan).” Imam Bukhâry, Shahih Bukhâry, juz VI, h. 12 No. 1496 dalam CD.
194 Menurut riwayat, Abu Bakar menyatakan bahwa “Demi Allah , aku akan memerangi mereka sampai aku sendiri menghunus pedang di tangan walaupun mereka menolak memberikan
seutas tali.” Ali Abd. al-Wâhid Wâf ī, Huq ūq al-Insân fī al-Islâm, (Qâhirah: Dâr al-Nahdah, 1979), cet.V, h . 74. Pernyataan yang sama terapat dalam Yasin Ibrahim, Zakât, The Third Pilar of Islam, terjemahan, Syarif Hidayat, (Bandung: Pustaka Madani, 1997), cet. I, h. 134.
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka.
Kata tutahhiruhum (membersihkan) dalam terjemahan Departemen Agama dijelaskan “zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih‐
lebihan kepada harta benda” sedang tuzakkīhim diartikan “zakat itu menyuburkan sifat‐ sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.” Selanjutnya kata sakanun lahum (ketenteraman bagi mereka) ada yang mengartikannya
dengan 197 membawa, ketenteraman jiwa dan kedamaian hati, sebagai rahmat, ketenteraman
hati dan sikap gembira. 198 Dari pengertian‐pengertian ini memberikan gambaran secara umum adanya nilai
spritualitas yang diterima oleh muzakki dalam kaitannya dengan penunaian ibadah zakat. Dilihat dari sisi teologis dapat diyakini bahwa manfaat ibadah itu sendiri berlaku juga untuk kepentingan langsung dengan kesuksesan dalam menjalankan instrumen ibadah. 199 Dengan kata lain, muzakki dalam bekerja diharapkan akan memperoleh ketenangan batin, yang mengantarnya untuk bekerja keras dan dengan demikian berpeluang untuk memperoleh manfaat material sebagai hasil usaha.
Manfaat zakat untuk mustahik. Pertama, bantuan bersifat ekonomis, yakni sebagai nilai material dari zakat itu sendiri dan dengannya mustahik dapat memenuhi kebutuhannya. Kedua, mendorong untuk mandiri. Bagi mustahik, zakat yang diterima tidak seharusnya mendorongnya untuk bermalas‐malasan tetapi dengan zakat itu, ia harus terdorong untuk bekerja sesuai dengan peruntukan perolehan zakat. Peruntukan yang dimaksud di sini adalah kondisi yang menjadikan mustahik dipandang berpeluang menerima zakat‐ sebagai contoh bagi gârim, ia harus berupaya secara ekonomis agar dapat bangkit kembali dari keterpurukan usaha sebagai kondisi yang membuatnya menerima zakat‐. Dalam hal ini Chapra menyatakan seperti ditulis Basri “… akankah pembayaran zakat mendorong konsumsi berlebihan untuk menghindari zakat atau
Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.”
196 Nasir ibn Nasir al-D īn Abū Sa’īd ‘Abd Allah ibn ‘Umar, Anwâr al-Tanzīl, Juz III dalam CD. h. 180.
197 Abd Al-Rahmân Jalal al-D īn al-Syuyutī, al-Dūr al-Mantsūr fī Tafsīr al-Ma’tsūr, Juz
IV, dalam CD. H. 275. 198 Ab ū ‘Abd Allah ibn Muhammad al-Qurtubī, al-Jâmi’ li Ahkâm al-Qur’ân, Juz
VIII,dalam CD. H. 250. 199 Panalaran ini, didasarkan pada rangkaian ayat ini dengan ayat berikutnya
mengandung perintah kepada Nabi untuk menyuruh umat Islam bekerja dan kelak Allah, Rasul dan orang mukmin akan menilai pekerjaaan itu. QS. Attaubah/9: 105.
kemalasan, agar dapat menerima dana zakat? Hal ini tidak akan terjadi dalam suatu masyarakat yang 200 menjadikan hidup sederhana sebagai perilaku ideal….”
Manfaat untuk amil mengandung arti sebagai instrumen pengembangan sosial ekonomi relegius mustahik. Pandangan ini terkait dengan fungsi amil yang dengan kinerja yang diberikan dapat memperoleh bagian dari zakat.
Selan manfaat zakat yang dikemukakan di atas, dalam buku yang diterbitkan Badan Amil Zakat Nasional disebutkan dengan mengaitkan hikmah zakat antara lain: Pertama. “Perwujudan keimanan kepada Allah SWT, mensyukuri nikma‐Nya, menumbukan akhlak mulia yang didasarkan pada kemanusiaan yang tinggi, menghilangkan sifat kikir, rakus dan materialisme, menumbuhkan ketenangan hidup, sekaligus membersihkan dan mengembangkan harta yang dimiliki. Kedua, “karena zakat merupakan hak mustahik, maka zakat berfungsi untuk menolong, membantu mereka, terutama fakir miskin, ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidupnya dengan layak, dapat beribadah kepada Allah SWT, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus menghilangkan sifat iri,dengki dan hasad yang mungkin timbul dari kalangan mereka, ketika mereka melihat orang kaya yang memiliki harta cukup banyak”. Ketiga. Sebagai pilar amal bersama (jama’i) anatara orang kaya yang berkecukupan hidupnya dan para mujahid yang seluruh waktunya digunakan untuk berjihad di jalan Allah, yang dengan kesibukaannya ia tidak memiliki kesempatan untuk berusaha guna memenuhi kepentingan diri dan keluarga. Keempat. “Sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang harus 201 dimiliki umat Islam, seperti sarana ibadah, pendidikan, kesehatan….” , ”pembangunan sarana maupun prasarana yang harus dimiliki umat Islam, seperti sarana ibadah, 202 pendidikan, kesehatan….”
3. Kesejahteraan Umat melalui Instrumen Ekonomi Zakat
a. Pengertian Kesejahteraan Umat Dalam UU No. 6 tahun 1974 tentang ketentuan‐ketentuan Pokok Kesejah
200 M. Umar Chapra, Islam and the Economic Challenge diterjemahkan Ikhwan Abidin Basri, (Jakarta: Tazkia Institute, 1995), h. 275.
201 Didin Hafidhuddin Ma’turidi, Anda Bertanya... h. 20-23. 202 Didin Hafidhuddin Ma’turidi, Anda Bertanya... h. 20-23.
203 teraan Sosial, ditemukan pandangan mengenai kesejahteraan sosial. Terdapat unsu‐
unsur kesejahteraan sosial yang dipahami dalam UU ini yaitu: (a) Kriteria kondisi yang diinginkan (b). pelaku kesejahteraan sosial (c) Manfaat kondisi yang diinginkan (d) ruang kesejahteraan sosial (e) landasan filosofis kesejahteraan sosial.
Menurut Edi Suharto, kesejahteraan sosial akan tercipta jika terpenuhi tiga hal yaitu: (a) Kondisi statis atau keadaan sejahtera yang ditandai dengan terpenuhinya kebutuhan ‐kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial; (b) Kondisi dinamis, yakni tersedianya usaha atau kegiatan yang terorganisir untuk mecapai kondisi statis tersebut; (c) Adanya institusi atau bidang kegiatan yang melibatkan lembaga kesejahteraan sosial. 204
Gagasan kesejahteraan sosial memberikan jawaban atas tiga pertanyaan mendasar yaitu, sejauhmana masalah sosial dapat diatur, sejauhmana kebutuhan‐ kebutuhan dipenuhi dan sejauhmana kesempatan untuk meningkatkan taraf
kesejahteraan
hidup disediakan. 205 Dari pengertian yang dikemukakan di atas tampaknya kesejahteraan sosial
memberikan peluang untuk dibahas dalam perspektif yang berbeda‐beda. Tegasnya bahwa kesejahteraan sosial dapat dilihat dari perspektif (a) kebijakan dalam arti hubungan pemerntah dan warga negara dengan demikian dapat dikaitkan dengan kesejahteraan sosial, (b) ajaran agama dalam arti bahwa bagaimana hubungan ajaran agama dengan kehidupan umat (c) pendidikan dalam arti bagaimana hubungan pembentukan sumber daya manusia dengan pencapaian peserta didik sebagai subjek dalam memenuhi hak‐hak sebagai makhluk sosio‐kultural.
203 Pengertian tentang kesejahteraan sosial. Yaitu terciptanya suatu kehidupan dan penghidupan sosial, material maupun spritual yang diliputi rasa keselamatan, kesusilaan, dan
ketenteraman lahir dan batin, yang memungkinkan bagi setiap warga negara untuk mengadakan usaha pemenuhan kebutuhan-kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial yang sebaik-baiknya bagi diri, keluarga, serta masyarakat dengan menjunjung tinggi hak-hak atau kewajiban manusia sesuai dengan Pancasila.”
204 Edi Suharto, Analisis Kebijakan Publik, Bandung: Alfabeta, 2006), h. 34. 205 James Midgley, Social Development, diterjemahkan oleh Sirajuddin dll., “Pembangunan
Sosial Perspektif Pembangunan dalam Kesejahteraan Sosial” (Jakarta: Depag RI, 2005), h. 21.
Atas dasar pembagian perspektif tersebut, maka istilah kesejahteraan umat, didasarkan atas gambaran atmosfir keagamaan yakni dari sisi hubungan ajaran agama
dengan kehidupan umat dalam hal ini hubungan ajaran Islam dengan umat Islam. Namun demikian perbedaaan pembahasan pada suatu perspektif tertentu pada satu sisi akan menimbulkan perbedaan baik dari sisi substantif maupun proses pencapaian kesejahteraan sesuai denga karakteristik bangunan perspektifnya dan pada saat yang sama, tentu saja masih memiliki persamaan. Persamaan itu terletak dalam pemenuhan‐ pemenuhan aspek kebutuhan subjek, dalam arti sebagai makhluk sosial.
Dengan demikian, istilah kesejahteraan umat di sini, didasarkan karena atmosfir keagamaan yang sangat kental dalam pembahasan ini, sekaligus menyesuaikan
baik subjek maupun objek kesejahteraan itu yakni umat Islam Sebagai diuraikan sebelumnya bahwa perbedaaan perspektif pembahasan akan melahirkan perbedaan dan persamaan sesuai dengan karakteristik pembahasan mengena objek dan subjkek pembahasan
Dengan demikian, kesejahteraan umat dapat dilihat dari sisi manusia sebagai komunitas keagamaan yang memiliki kebutuhan‐kebutuhan sosial ekonomi dan politik dalam arti sebagai manusia dalam melakukan interaksi dengan lingkungan sosialnya pada satu sisi dan penciptaan hubungan dengan
Tuhan sebagai konsekwensi sebagai makhluk yang beragama. Dengan pandangan di atas, maka dari definisi pengertian kesejahteraan sosial
yang dikemukakan di atas, maka dikaitkan dengan kesejahteraan umat maka unsur‐ unsurnya meliputi: a. Terpenuhinya suatu kondisi kehidupan yang mendukung terwujudnya pemenuhan sosial, ekonomi dan religius umat Islam; b. Kondisi itu didukung partisipasi umat untuk memenuhi kebutuhan mereka; c. Adanya institusi keagamaan yang lebih dinamis untuk mendorong pencapaian kesejahteraan sosial.
b. Faktor Berpengaruh terhadap Kesejahteraan Umat Memperhatikan unsur‐unsur dalam pengertian kesejahteraan umat yang telah
dikemukakan maka, darinya dapat dikemukakan faktor berpengaruh terhadap kesejahteraan umat. Faktor itu bersifat internal dan eksternal. Pertama, internal. Semangat komunal umat Islam yang berbasis kesejahteraan. Dalam agama Islam, dikemukakan maka, darinya dapat dikemukakan faktor berpengaruh terhadap kesejahteraan umat. Faktor itu bersifat internal dan eksternal. Pertama, internal. Semangat komunal umat Islam yang berbasis kesejahteraan. Dalam agama Islam,
Orientasi kehidupan ini telah dikemukakan dalam pembahasan tentang perinsip ekonomi Islam pada bahagan e. Dengan demikian, dari sisi ajaran Islam maka khususnya yang berkaitan dengan ekonomi, telah mendorong umat untuk
mencapai kesejahteraan. Tetapi pertanyaannya, adalah mengapa ajaran kesejahteraan ini secara aktual tidak berpihak sepenuhnya kepada umat Islam khususnya di Indonesia.
Menurut data perkembangan kemiskinan di Indonesia, sesuai dengan tabel yang dikemukakan pada tahun 2006 mencapai 39.05 juta jiwa. Jika angka ini, dikaitkan dengan asumsi jumlah umat Islam sebanyak 75 % maka menunjukkan bahwa 29.625.000 umat Islam berada dalam kemiskinan. Kalau saja diasumsikan bahwa jumlah umat Islam yang menunaikan ibadah haji di Indonesia dalam setahun berdasarkan kouta haji sebanyak 200000 jiwa, maka perbandingannya adalah 1: 148,13. Dengan kata lain se ap jamaah haji Indonesia memiliki tanggungan orang miskin sebanyak 148 orang.
Dengan hasil asumsi di atas menunjukkan bahwa dari sisi sosio‐ekonomi, tampaknya setiap umat Islam yang sudah menunaikan ibadah haji, memiliki beban kultural sebanyak 148 orang miskin se ap tahun. Perbandingan ini, mengasumsikan umat Islam yang telah menunaikan ibadah haji sebagai angka pembanding karena, mereka inilah secara ekonomi memiliki kemampuan untuk menunaikan ibadah dan secara kultural mereka diterima sebagai sebagai tokoh dalam kehidupan non formal masyarakat muslim Indonesia.
Pemilihan pembanding bagi jamaah haji, tidak berarti bahwa masalah kesejahteraan telah dibebankan kepada mereka, tetapi hal ini hanya untuk menunjukkan bahwa tingkat kesadaran beragama untuk menunaikan ibadah haji di Indonesia, tidak sebanding dengan jumlah angka kemiskinan. Dengan kata lain, terdapat peluang bagi umat Islam di Indonesia untuk mengembangkan semangat
206 QS. al-Baqarah 2/87: 201
. Dan di antara mereka ada orang yang bendoa: "Ya Tuhan kami, berilah kami kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat dan peliharalah kami dari siksa neraka"[127]. inilah doa yang sebaik-baiknya bagi seorang muslim.
menunaian ibadah haji seimbang dengan semangat menyelesaikan problema kemiskinan umat Islam.
Kesenjangan di atas, jika dilihat dari sisi ruang lingkup pelaksanan ibadah dalam Islam, maka tampaknya ibadah individual (yang disimbolkan dengan ibadah haji) dan penyelesaian masalah‐masalah kemiskinan, sebagai ibadah sosial
masih menyisakan jurang pemisah yang tajam. Dengan demikian, semangat komunal umat Islam yang berbasis kesejahtraan
memiliki pengaruh terhadap pencapaian kesejahteraan umat. Dengan kata lain semakin tinggi semangat komunal umat Islam, maka memberikan peluang untuk terciptanya kesejahteraan bagi umat Islam dan demikian pula sebaliknya.
Semangat komunal dimaksud mengandung dua unsur : (a) Sebagai agama yang memberikan orientasi kehidupan yang pro kesejahteraan, maka tolong menolong merupakan suatu instrumen untuk membagi sumber‐sumber kesejahteraan, seperti zakat, infak dan sedekah pada satu sisi dan sikap ingin membagi justru mendorong umat Islam untuk bekerja keras.
(b) Mempertegas bahwa masalah kesejahteraan umat yang diawali dengan penyelesaian masalah‐masalah kemiskinan, harus dilihat sebagai masalah komunal dan dalam bingkai ibadah ditempatkan sebagai ibadah sosial. Dengan demikian, penanganan masalah kemiskinan tidak dilakukan secara individual tetapi dilakuan secara komunal melalui sumber‐sumber kesejahteraan yang telah terinstitusi.
Unsur yang kedua dalam konsep kesejahteraan komunal di atas, merespon hasil peneli an PIRAC (2001) bahwa sumbangan material masyarakat Indonesia masih diakui bersifat 207 individual, religius, berjangka pendek dan berkarakter interpersonal.
Kedua.(1) Ekternal peran pemberdayaan oleh Institusi Kesejahteraan Umat. Institusi keagamaan yang berkaitan dengan kesejahteraan umat seperti badan amil zakat dan lembaga amil zakat dan masjid. Lembaga ini memegang peran yang sangat strategis, karena institusi ini secara sosiologis bersentuhan langsung dengan kehidupan umat Islam.
207 Andi Agung Prihatna, Filantropi dan Keadilan sosial di Indonesia, dalam Revitalisasi Filantripo Islam, (Jakarta: Pusat Bahasa dan Budaya UIN Jakarta, 2005), h. 18.
Dilihat dari sisi fungsi baik masjid maupun institusi pengelola zakat, selain keduanya mempunyai persamaan yakni keduanya diharapkan memberikan pencerahan
kepada kehidupan sosio‐ekonomi religius umat Islam, namun masing‐masing memiliki karakteristik yang berbeda. Institusi yang bergerak dalam bidang perzakatan diharapkan berfungsi untuk memberikan pemberdayaan kepada mustahik agar dana zakat, infak dan sedekah umat Islam dapat memberian manfaat yang semaksimal mungkin kepada mustahik dan kepada muzakki mememandang zakat sebagai suatu kewajiban yang wajib ditunaikan.
Selanjutnya masjid dengan fungsi khususnya sebagai intitusi keagamaan yang bergerak dalam transformasi nilai‐nilai sosial kultural dan ekonomi Islam, harus mendorong agar memberikan pemberdayaan dalam arti seluas‐luasnya. Produk jasa yang ditawarkan oleh masjid seperti penyediaan dai, penyelenggaran pengajian, majelis taklim, dan penyediaan fasilitas tempat ibadah, kesemuanya diarahkan agar mendukung kominitas yang pro kepada kesejahteraan. Dengan demikian, baik masjid maupun institusi pengelola zakat akan berfungsi sebagai institusi kesejahteraan umat.
c. Tujuan dan Peningkatan Kesejahteraan Umat melalui Instrumen EkonomiZakat
1) Tujuan Peningkatan Kesejahteaan Umat 208 Dengan mengikitu pandangan Edi Suharto maka tujuan peningkatan
kesejahteraan umat dapat dirumuskan:
a) Tujuan bersifat statis, yaitu terciptanya kondisi umat baik sebagai makhluk sosial ekonomi dan kultural maupun sebagai individual. Sebagai makhluk sosial ekonomi yaitu tercitanya kondisi yang memungkinkan umat Islam menikmati hak‐hak mereka secara normal dan sesuai dengan ajaran Islam, seperti hak‐hak ekonomi, hak atas kesehatan hak atas perumahan. Sebagai makhluk kultural yaitu terpenuhinya hak mengeluarkan pendapat, 209 hak memperoleh pendidikan, hak menunaikan ibadah dalam kehidupan sosial. Hak‐hak dalam kehidupan sosial ini
208 a) Kondisi statis atau keadaan sejahtera yang ditandai dengan terpenuhinya kebutuhan- kebutuhan jasmaniah, rohaniah dan sosial; (b) Kondisi dinamis, yakni tersedianya usaha atau
kegiatan yang terorganisir untuk mecapai kondisi statis tersebut; (c) Adanya institusi atau bidang kegiatan yang melibatkan lembaga kesejahteraan sosial 209 Asbon Eide, Meletakkan Sudut Pandang Hak-Hak Ekonomi, Sosial dan Bidya sebagai
Hak Asasi Manusia, dalam Ifdhal Kasim (ed.) Hak Ekonomi Sosial Budaya, (Jakarta: Elsam, 2001), h. 3.
dalam Islam disebut dengan muamalah. 210 Sebagai individu, maka ia memiliki hak‐hak individual sebagai pemenuhan kewajiban sebagai umat Islam. Kewajiban itu seperti
kewajiban mengeluarkan zakat, melaksanakan ibadah lainnya.
b) Tujuan bersifat dinamis, yaitu tersedianya usaha yang terorganaisir dan berkesinambungan untuk mencapai tujuan yang bersifat statis itu. Usaha yang
terorganisir dimaksud selain dari institusi umat Islam seperti ormas Islam, BAZ dan LAZ, juga keterlibatan pemerintah. Menurut Juwono keterlibatan pemerintah hanya terbatas untuk memberikan kebijakan ekonomi yang mendorong kesejahteraan sosial merupakan 211 suatu keniscayaan.
2) Peningkatan Kesejahteraan Umat melalui Instrumen Ekonomi Zakat Menurut Yusuf Qardâwi zakat adalah termasuk kelompok mâliyah
ijtimâ’iyyah. 212 Pandangan ini mengaduung arti bahwa zakat memberikan fungsi pada peningkatan kehidupan sosial ekonomi umat Islam. Pandangan ini kemudian oleh
Badan Amil Zakat Nasional diadopsi dalam memberikan pengertian tentang zakat. 213 Dengan demikian, dikaitkan dengan pengelola zakat sebagai institusi yang
dibutuhkan dengan peningkatan kesejahteraan umat, maka dapat dinyatakan bahwa kebutuhan zakat tidak hanya sebagai sumber keuangan dalam mendorong pencapaian kesejahteraan dalam bidang ekonomi dan sosial umat Islam, tetapi secara institusional zakat sangat diperlukan karena merupakan bagian dari sistem kesejahteraan umat.
Sebagai diketahui bahwa terciptanya sistem kesejahteraan umat, tidak dapat dilakukan dengan hanya mengandalkan ketersediaan dana zakat, tetapi dana ini akan dikelola secara intitusional untuk mendorong pencapaian kesejahteraan
210 Didin Hafidhuddin, Manajemen Syari’ah, (Jakarta: GemaInsani, 2003), h. 67. 211 Juwonos Sudarsono, Reformasi Ssial Budaya dalam Era Globalisasi, (Jakarta: Wacha
Widia Perdana, 1999), h. 307 212 Yusuf Qardâwi, Fiqh al-Zakat, Juz II, (al-Qâhirah: Wahbah, 1994), cet. XXI), h. 621.
213 ”Zakat adalah ibadah maaliyah ijtmiyyah yang memiliki posisi sangat penting, strategis dan menentukan, baik dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Sebagai ibadah pokok, zakat termasuk salah satu rukun (rukun ketiga) dari rukun Islam yang lima, sehingga keberadaannya dianggap sebagai ma’luum minad diin bidhdharuurah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman seseorang.”Didin Hafidhuddin, Anda Bertanya tentang Zakat Infak dan Sedekah Kami Menjawab h. 11.
umat secara terencana, terpadu dan berkelanjutan.
Pencapaian ketiga pola dimaksud yang dikembangkan oleh pengelola zakat, maka secara substansial mengembangkan gagasan yang manajerial. Dengan demikian, pengelola zakat dapat dipandang sebagai institusi kesejahteraan umat.
BAB III