Pendayagunaan Zakat sebagai implementasi Manajemen Pada Masa Rasul
A.Pendayagunaan Zakat sebagai implementasi Manajemen Pada Masa Rasul
Sub bab ini bermaksud untuk membahas akativitas pendayagunaan zakat pada masa Rasul. Pembatasan masa itu dimaksudkan untuk menggali informasi berkaitan dengan pola‐pola yang dibangun oleh Rasul dalam kapasitasnya sebagai pemimpin politik umat Islam yang tentu saja didasarkan pada wahyu yang diterimanya dalam mengatur umat Islam dengan menjadikan zakat sebagai instrumen ekonomi.
Dilihat dari sisi landasan pendayagunaan zakat bagi Rasul maka tentu saja mencakup ayat‐ayat Al‐Quran dan Hadis. Karena itu, dapat dipastikan bahwa pendayagunaan zakat bagi Rasul merupakan implementasi dari kedua sumber dasar ajaran Islam. Dengan demikian, dalam pembahasan tertentu, penggalian konsep terkait dengan pendayagunaan zakat dari Al‐Quran tidak dapat dihindari seperti analisis tentang fungsi‐fungsi amil. Hal ini dilakukan karena bagi penulis tidak menemukan dalam peraktek atau hadis Rasul.
Dilihat dari sisi struktur sumber keilmuan pembahasan ini, tampaknya terbagi dua yaitu pada ilmu ekonom Islam dan ilmu manajemen. Khusus yang terakhir ini penting karena dengannya akan memberikan landasan teoritis terhadap pemahaman mengenai pengertian dan fungsi‐fungsi manajemen. Fungsi‐fungsi dimaksud kelak menjadi landasan analisis pada bab V penelitian ini.
Selain peruntukan bab ini seperti tersebut, karenanya menjadi penting sebab menjadi sumber analisis terhadap indikator‐indikator evaluasi penelitian ini yang telah dirumuskan pada bab metodologi.
1. Penger an dan Fungsi‐fungsi Manajemen
a. Pengertian Manajemen Manajemen menurut istilah merupakan proses dalam perencanaan,
pengorganisasian, kepemimpinan dan pengontrolan terhadap penggunaan sumber daya dalam 58 mencapai tujuan. Dalam pandangan yang lain seperti dikemukan Martin yang
menyatakan bahwa manajemen merupakan proses dalam mendorong pencapaian tujuan organisasi melalui penerapan empat fungsi manajemen yaitu, perencaaan,
58 John R. Schermerhon, Jr. Management, ( New York: John Wiley & Sons, Inc. 1996),
h. 4 h. 4
pengorganisasian, 60 pengarahan, pengendalian. Kata manajemen dapat dilihat dalam tiga perspek. Pertama, manajemen
sebagai proses. Menurutnya, manajemen berdimensi waktu, yakni kegiatan seorang manajer terkait dengan waktu. Dari sisi ini menurutnya terkadang disebut dengan istilah siklus manajemen. Menurutnya sebuah proses mengandung arti bahwa suatu kegiatan yang
dilaksanakan secara sistematik dan karenanya memiliki saling keterkaitan. 61 Kedua, manajemen sebagai kumpulan orang yang melakukan aktivitas
manajemen. Menurutnya, segenap orang yang melakukan aktivitas manajemen dalam suatu 62 badan tertentu disebut manajemen. Ketiga, manajemen sebagai seni dan juga
sebagai ilmu. Sebagai seni dikemukakan oleh Follet (1868‐1933) yang mengandung ar seni 63 untuk lakukan suatu pekerjaan melalui orang lain. Sebagai ilmu, menurut Davis
cenderung menggunakan keriteria ekonomis dibanding dengan perilaku. 64 Ketiga perspektif tentang manajemen di atas, tampaknya dapat terako ‐
dir pada pengertian yang diberikan oleh Kapoor bahwa manajemen merupakan proses pengkordinasian 65 sumber daya untuk mencapai tujuan utama organisasi.
b. Perkembangan Pendekatan dalam Pemikiran Manajemen Dalam perkembangan pemikiran manajemen terdapat tiga pendekatan yaitu
pendekatan 66 klasikal, perilaku dan ilmu manajemen. Pertama, pendekatan klasikal. Aliran ini memiliki dua cabang yakni manajemen ilmiah dan teori organisasi klasik.
Manajemen ilmiah dipelopori oleh Charles Babbage (1792‐1871). Dalam tulisannya pada buku ”On the Division of labor” (1832), sebagaimana yang dinyatakan oleh Merrill bahwa ia menekankan perlunya pembagian kerja, menurutnya dengan pola seperti ini
59 Kathryn M. Bartol & David C. Martin, Management, (New York: McGraw-Hill, Inc, 1991), h. 6.
60 Richard L. Daft, Management, Singapore: Thomson Asia Pte.Ltd., 2003), h. 6.
61 J. Winardi, ManajemenPerilaku Organisasi, (Jakarta: Kencana, 2007), cet.II, h. 3.
62 Winardi, Manajemen..., h. 2.
63 Follet dalam Kadarman, Am, et. al., Pengantar Ilmu Manajemen, (Jakarta: Gramedia, 1996), h. 5.
64 Gordon B. Davis, Management Information System, diterjemahkan Andreans Adiwardana, Sistem Informasi Manajemen, (Jakarta: Grafindo, 1993), h. 10.
65 Kapoor, et. al.. Business, (Boston: Houghton Mifflin Company, 1988), h. 132.
66 J. Winardi, Manajemen ..., h. 26.
maka produktifitas dan efisiensi dapat tecapai. Perlunya pembahagian kerja, karena
67 setiap orang hanya berkepentingan untuk memahami suatu tugas tertentu. Robert Owen (1771‐1858), telah mencurahkan perha annya dalam dunia
produksi mesin dan faktor tenaga kerja. Karenanya ia dijuluki sebagai bapak manajemen personalia moderen. Menurutnya, kwalitasdan kuantitas karyawan sangat dipengaruhi oleh lingkungan kerja. Karenanya ia membuat gagasan untuk mengurangi jam kerja mereka, menyediakan makanan bagi mereka, mendirikan toko untuk menyediakan kebutuhan hidup mereka serta menaikkan usia minimum kerja bagi anak‐anak Sebagai manajer yang memiliki kepedulian kepada karyawan, maka ia memperbaiki lingkungan tempat 68 tinggal karyawan dan lingkungan kerja mereka.
Frederich Wislow Taylor (1856‐1915) pada awal abd XX dan mendapat julukan sebagai 69 bapak manajemen ilmiah. Kontribusi Taylor dalam perkem‐bangan manajemen
ilmiah di antaranya adalah pentingnya kerjasama dan bukannya individualistik, mengembangkan keharmonisan dalam kerjasama, pengembangan karier bagi karyawan secara maksimal untuk mencapai
kesejahteraan 70 mereka dan perusahaan. Di antara tokoh penting pada manajemen klasik atau biasa disebut dengan
mazhab administrasi klasik, adalah Henri Fayol (1841‐1925). Menurutnya terdapat lima fungsi manajemen yaitu perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, pengkoordinasian
dan pengawasan. 71 Adapun prinsip umum manajemen sebanyak 14 yaitu: pembagian kerja, otoritas dan tanggungjawab, disiplin, kesatuan komando,
kesatuan pengarahan, menomorduakan kepentingan perorangan dibanding kepentingan umum, gaji yang memberikan kepuasan kepada karyawan, sentralisasi, rantai saklar, tata 72 tertib, keadilan, stabilitas masa jabatan, inisiatif dan semangat korps.
67 Harwood F. Merril, Classics in Management, (New York: American Management Association, 1960), h. 29.
68 Heinz Weihrich, et. al., Manajemen, (Jakara: Erlangga, 1990), h. 32.
69 Heinz Weihrich, et. al., Manajemen, (Jakara: Erlangga, 1990), h. 32.
70 Heinz Weihrich, Manajemen, h. 37.
71 John R. Schermerhon, Jr. Management, ( New York: John Wiley & Sons, Inc. 1996), h. 30.
72 Heinz Weihrich, Manajemen, h. 42-43. .
Tokoh penting lainnya dalam manajemen administrasi atau teori organisasi klasik, adalah Mary Polker Follet (1868‐1933). Di antara pemikirannya adalah tentang
konplik. Menurutnya seperti yang dinyatakan oleh Nader Angha bahwa, terdapat tiga strategi untuk memecahkan masalah konplik antara karyawan dan manajer yaitu : (a) dominasi, yakni suatu pihak menang dan lainnya kalah, (b) konpromi yakni tidak ada yang mendapatkan sesuai yang diinginkan, dan karenanya kedua pihak tidak mendapatkan kepuasan, (c) integrasi yakni kebutuhan terhadap pihak luar yang dapat memberikan
hasil yang lebih baik dibanding hasil dari dua strategi sebelumnya. 73 Selain Mary Polker Follet, Chaster Barnard (1886‐1961) mempunyai kontribusi
terhadap mazhab administrasi manajemen. atau pada teori organisasi klasik, yang dikenal dengan teori penerimaan otoritas. Menurutnya, seperti yang dinyatakan oleh Nader Angha bahwa manajer dapat berkeja secara efektif sebagai atasan dengan memberikan 74 perintah, jika karyawan menerima hak‐haknya.
Kedua, pendekatan perilaku. Pendekatan perilaku dalam manajemen mengandung arti pada pentingnya perhatian manajer pada aspek‐aspek yang
mempengaruhi 75 perilaku sumber daya manusia dalam organisasi. Tokoh penting dalam aliran ini adalah Hugo Munsterberg (1863‐1916) dan Geoge Elton Mayo (1880‐
1949). Bersama teman‐teman mereka melakukan penelitian pada di pabrik Hawthorne dari Western Electric Company atara tahun 1927‐1932. Sebelumnya telah dilakukan peneli an pada tahun 1924 dan 197 the Na onal Research Council bersama Western Electric tentang kerjasama guna menentukan pengaruh cahaya penerangan dan kondisi ‐kondisi lainnya terhadap para karyawan dan produktifitas mereka. Hasil penelitian mereka menunjukkan bahwa jika terjadi penambahan cahaya atau pengurangan cahaya, maka produktifitas kerja karyawan tetap meningkat. Atas kesimpulan ini, maka peneliti hampir menyatakan bahwa percobaan mereka telah menunjukkan 76 kegagalan.
73 Nader Angha, Theory “I”, Penerjemah Leinovar, Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2002), h. 30.
74 Nader Angha, Theory “I”, Penerjemah Leinovar, h. 31.
75 Kathryn M. Bartol & David C. Martin, Management, (New York: McGraw-Hill, Inc, 1991), h. 53.
76 Heinz Weihrich, Manajemen, h. 46.
Hasil penelitian tersebut, bagi Mayo memberikan pengaruh yang luar biasa dan kelak melahirkan gagasan‐gagasan pengembangan lebih lanjut. Menurut Mayo,
penelitian tentang kerjasama dan hubungannya dengan penambahan cahaya dengan kesimpulan seperti digambarkan, tampaknya tidak memperhatikan faktor‐faktror lain seperti jam istirahat bagi karyawan, pergantian penerangan, jam‐jam istirahat seta sistem pembayaran perangsang bagi karyawan yang beragam, semuanya tidak memberikan
penjelasan akan terjadinya perubahan dan produktifitas. 77 Dalam pandangan Mayo, pergantian penerangan, jam istirahat dan sistem
pembayaran, dalam penelitian itu, dinyatakan sebagai faktor lain. Dengan demikian, dengan adanya faktor lain dimaksud, maka peningkatkan produksi dapat tercapai, karena secara psikologis, para karyawan memahami sebagai suatu bentuk perhatian yang diberikan kepada mereka. Hasil penelitian ini sebagai implikasi dari penelitian sebelumnya terhadap populasi penelitian (karyawan)
yang diteliti dan kemudian dikenal dengan efek Hawthorne. 78 Dari hasil penelitian ini, Mayo berpandangan bahwa karyawan adalah orang
perorang yang masing‐masing memiliki kebutuhan, tujuan dan motiv tetentu, dan karenanya menghendaki perlakuakn sebagai manusia. Dengan demikian‐menurutnya‐ walaupun aspek teknis dan motode dalam bekerja penting dalam suatu perusahaan, maka 79 perhatian kepada karyawan harus diseimbangkan.
Uraian ini menjelaskan bahwa hasil penelitian Mayo, memberikan gambaran tentang pentingnya perhatian manajer terhadap psokologis karyawan. Dalam perkembangan pada pemikiran manajemen selanjutnya, pemikiran Mayo tentang psikologis karyawan mengalami perkembangan lebih lanjut. Di antara yang dapat disebut 80 yaitu teori tingkatan kebutuhan yang dikembangkan oleh Maslow.
Ketiga, pendekatan ilmu manajemen. Menurut Stoner bahwa manajemen ilmiah atau ilmu manajemen timbul karena kebutuhan untuk produktifitas pada satu sisi dan terjadinya kelangkaan tenaga kerja terampil pada sisi yang lain. Atas dasar ini maka Frederick W. Taylor (1856‐1915) menyusun sekumpulan prinsip‐prinsip yang merupakan
77 Heinz Weihrich, Manajemen, h. 46.
78 Heinz Weihrich, Manajemen, h. 47.
79 John R. Schermerhon, Jr. Management, ( New York: John Wiley & Sons, Inc. 1996),
h. 33.
80 Nader Angha, Theory “I”, Penerjemah Leinovar, h. 37.
inti dari manajem ilmiah. Namun sebelumnya, penelitian Taylor tentang waktu kerja dan sistem upah diferensial, telah mendorongnya memiliki reputasi yang tinggi dalam
aliran 81 manajemen ilmiah. Hasil penelitian Taylor tehadap waktu, dimulai, ketika ia berkeja dalam sebuah
pabrik baja pada bagian produksi. Dengan memperhatikan pekerja pada karyawan dimaksud, maka ia bermaksud untuk mengganti pola lama yang mereka pergunakan, karena menurutnya kurang produktif. Menurutnya, pembagian pekerjaan pada komponen ‐komponen kecil akan merancang pola pengerjaan yang tercepat dan terbaik dalam 82 setiap jenis pekerjaan, akhirnya akan mendorong peningkatan produktifitas.
Selain itu, gagasan Taylor mendorong majikan untuk membayar karyawan yang lebih produktif dibanding karyawan lainnya. Menurutnya, kenaikan upah yang dilakukan oleh manajer dengan pertimbangan produktifitas kerja terhadap karyawan, telah dihitung dengan memperhitungkan keuntungan yang diakibatkan oleh produktifitas mereka.
Teori pengupahan ini disebut dengan sistem upah deferensial. 83 Dengan argumen produktifitas, maka Taylor berpendapat bahwa karyawan yang
memililki tingkat produktifitas tinggi tidak akan ditinggalkan oleh perusahaan, karena mereka dibutuhkan oleh perusahaan, namun terhadap mereka yang bekerja di bawah standar produksi, mereka akan mencari pekerjaan dalam waktu satu atau dua hari, sebagai 84 akibat langkanya tenaga kerja.
Dalam perkembangan selanjutnya, pandangan Taylorisme diterima oleh sejumlah perusahaan dalam upaya peningkatan produktifitas karyawan mereka. Pandangan Taylorisme bagi perusahaan tampaknya selain meningkakan produktfitas namun pada sisi lain menimbulkan implikasi terjadinya pemutusan hubungan kerja terhadap karyawan yang bekerja di bawah standar oleh perusahaan tertentu. Pada tahun 1912, terjadi pemogokan oleh karyawan dan sebagai reaksi atas kebijakan Taylorisme 85 oleh perusahaan tempat mereka bekerja, setahun sebelumnya 1911,
81 James AF. Stoner, Management, penerjemah Benyamin Molan, (Jakarta: Intermedia, 1992), h. 55.
82 James AF. Stoner, Management, h. 55.
83 James AF. Stoner, Management, h. 55.
84 James AF. Stoner, Management, h. 55 .
85 James AF. Stoner, Management, h. 55.
Taylor memberikan penjelasan di depan kongres AS atas gagasan‐gagasan dimaksud. 86 Atas dasar itu, penjelasan‐penjelasan Taylor tentang gagasan yang berkembang itu,
yang membahas tentang prinsip‐prinsip manajemen telah termuat dalam bukunya The Principles 87 of Scientific Management.
Empat prinsip manajemen bagi Taylor yaitu : a. Kembangkan sebuah ilmu untuk setiap pekerjaan dan dengannya dapat diimplementasikan dalam pekerjaan dengan metode yang efisien untuk diikuti oleh semua pekerja; b. Penyeleksian pekerja secara ilmiah sesuai dengan karakteristik pekerjaan serta pelatihan kepada pekerja; c. Kembangkanlah kerjasama di kalangan pekerja dan penciptaan kondis kerja yang mendukungnya;
d. Bagilah tanggungjawab untuk kegiatan menejer dan bekerja, motivasilah 88 pekerja dalam kelompok agar mereka dapat bekerja sebaik mungkin.
Bagi Taylor untuk menngkatkan produktifitas bagi karyawan, maka pandangannya tentang ”revolusi mental” harus dilaksanakan sebelum prinsip‐prinsip tersebut dilaksanakana. Baginya, ”revolusi mental ” yang dimaksud adalah perlunya bagi manajer dan karyawan untuk berhenti bertengkar dan segera melakukan upaya‐ upaya 89 memaksimalkan laba perusahaan.
Dari perkembangan pemikiran manajemen yang telah dijelaskan di atas, maka tampaknya masing‐masing pendekatan pemikiran memiliki karakteristik tersendiri. Menurut Winardi bahwa walaupun pendekatan pemikiran tersebut telah berkembang dalam sejarah, namun ide‐ide yang muncul tidak menggantikan ide lama, justru menurutnya bahwa masing‐masing pendekatan telah menambah khazanah pengetahuan sebelumnya pada satu sisi dan pada sisi lain, terlihat bahwa masing‐masing pendekatan 90 itu telah berkembang dengan sendirinya.
Selain pendekatan‐pendekatan dimaksud, masih dikenal pendekatan lain seperti 91 pendekatan sistem dan pendekatan kotingensi atau situasional.
86 Menurut Petter, pada saat persaksian Taylor di depan kongres 1911, dia tidak menyebut istilah manajemen tetapi ia menyatakan Klinik Mayo dan hubungan para pemilik dan pembantu
mereka. Petter F. Drucker The Frontiers of Management, diterjemahkan Soesanto Boedidarno, “Manajemen Lintas Peluang” (Jakarta: Elex Media Komputindo, 1970), h. 179.
87 James AF. Stoner, Management, h. 55.
88 J. Winardi, Pemikiran Sistemik dalam bidang Organisasi dan Manajemen, (Jakarta: Rajawali Press, 2005), h. 113.
89 J. Winardi, Pemikiran Sistemik...h. 113.
90 Winardi, Manajemen..., h. 25.
91 Winardi, Manajemen..., h. 29.
c. Fungai‐fungsi Manajemen
Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ahli tentang jumlah fungsi‐fungsi manajemen.
1) Hanry Fayol menetapkan lima fungsi manajemen yaitu: perencanaan, pengor ganisasian, 92 kepemimpinan, pengkoordinasian dan pengawasan.
2) Louis A.Allen menetapkan empat fungsi manajemen yaitu: kepemimpinan, perencanaan,
pengorganisasian, pengawasan. 93
3) George R. Terry menetapkan empat fungsi manajemen yaitu: perencanaan, pengorganisasian, 94 pelaksanaan, dan pengawasan.
4) Luther Gullich menetapkan tujuh fungsi manajemen yaitu: perencanaan, pengorganisasian, penyusunan staf, pengarahan, pengkoordinasian, pelaporan, penganggaran. 95
5) Richard L. Da , menetapkan empat fungsi manajemen yaitu : perencanaan, pengorganisasian,
pengarahan, pengendalian. 96 Dari pandangan para ahli tentang fungsi manajemen di atas, jika ditelaah lebih
jauh tampaknya tidak terjadi perbedaan substansial. Perbedaaan itu disebabkan karena tingkat penekanan yang berbeda dari setiap ahli dimaksud. Apabila pendapat‐pendapat tersebut dikombinasikan maka akan membentuk suatu pemahaman yang menyeluruh dan perbedaan itu saling melengkapi dengan lainnya.
Berkaitan dengan perbedaan penetapan fungsi‐fungsi manajemen di atas, jika dikombinasikan maka membentuk sepuluh fungsi manajemen yaitu: perencanaan, pengorganisasian, kepemimpinan, pengkoordinasian, pengawasan, pelaksanaan, pengarahan, penyusunan staf, pelaporan dan penganggaran.
92 John R. Schermerhon, Jr. Management, ( New York: John Wiley & Sons, Inc. 1996),
h. 30.
93 Louis Allen, Management and Organization, (New York: Mc Graw Hill Book Company, 1958),h. 18.
94 George R. Tarry, Principles of Management, saduran Sujai, (Bandung: Grafika, 1980), h. 32.
95 Harold Koonz dan Cyrill O’Donnel, Principles of Management to Analysis Management Functions, (Tokyo: Kogaskusha Company, Ltd.), h. 43.
96 Richard L. Daft, Management, h. 6.
Dilihat dari sisi kedekatan suatu fungsi dengan lainnya, maka fungsi anggaran berkaitan dengan fungsi perencanaan. Fungsi anggaran terkait dengan penggunaan
sumber daya ekonomi dalam mencapai tujuan organisasi. Selanjutnya fungsi anggaran jika tidak dikaitkan dengan perencanaan maka memungkinkan terjadinya inefisiensi anggaran.
Adapun fungsi pengorganisasian memiliki kedekatan dengan fungsi penyusunan staf. Fungsi pengorganisasian berkaitan dengan penetapan susunan, sifat dan hubungan antar unit pengelompokan sumber daya organisasi. Sedang penyusunan staf berhubungan dengan pengorganisasian orang‐orang yang menduduki unit‐unit yang telah dipersiapkan dalam pengorganisasian.
Berkaitan dengan kombinasi dimaksud, maka dapat dinyatakan bahwa dalam setiap fungsi perencanaan yang ada, maka di dalamnya terdapat unsur fugsi lainnya. Sebagai contoh dalam fungsi pengorganisasian, maka di dalamnya terdapat unsur‐unsur yang terkait dengan kepemimpinan. Karena dalam penyusunan unsur‐unsur dalam pengorganisasian, maka unsur‐unsur kepemimpinan sangat diperhatikan efektifitasnya. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa secara fungsional, masing‐masing fungsi dapat dibedakan dan saling berdiri sendiri, namun dalam operasional fungsional, fungsi‐ fungsi itu memerlukan saling keterkaitan. Kondisi keterkaitan antar fungsi dalam manajemen tersebut dapat dimengerti mengingat pencapaian efisiensi dan efektifitas sebagai tujuan substantif dalam manajemen terhadap suatu organisasi tidak dapat terwujud hanya dengan mengedepankan salah satu fungsi dalam manajemen.
Atas dasar efisiensi dan efektfitas, maka fungsi‐fungsi manajemen dalam suatu orgnisasi dapat berfungsi. Mengabaikan kedua komponen yakni efisiensi dan efektifitas dalam suatu manajemen, maka memungkinkan fungsi‐fungsi manajemen tidak dapat berfungsi Dengan demikian, hemat penulis, berkaitan dengan berfungsinya fungsi ‐fungsi manajemen yang beragam di atas, maka dalam perspektif manajemen terdapat pertimbangan yang selalu mengitari penggunaan seluruh fungsi‐fungsi manajemen. Pertimbangan yang dimaksud adalah komponen efisiensi dan efektifitas.
Atas dasar itu, maka fungsi manajemen yang akan dibahas dalam penelitian ini mengacu pada perencaaan, pengorganisasian, pelaksanaan, kepemimpinan dan Atas dasar itu, maka fungsi manajemen yang akan dibahas dalam penelitian ini mengacu pada perencaaan, pengorganisasian, pelaksanaan, kepemimpinan dan
menyatakan bahwa pengelolaan zakat adalah kegiatan yang meliputi perencanaan, pengorganisasian, pelaksanaan dan pengawasan. Hemat penulis, menyajikan keempat fungsi manajemen, yang dikemukakan dalam UU ini jika dihubungkan dengan objek penelitian ini yakni Badan Amil Zakat Nasional, fungsi‐fungsi dimaksud belum lengkap jika tidak diikuti dengan fungsi kepemimpinan.
2. Pengertian dan Tujuan Pendayagunaan Zakat
a. Pengertian Pendayagunaan Zakat Istilah “pendayagunaan” secara leksikal diberi arti dengan: l). ”Penguasaan agar
mampu mendatangkan hasil dan manfaat…; 2). Pengusahaan (tenaga, dsb) agar mampu menjalankan tugas dengan baik…” Sedangkan kata dayaguna sendiri diberi ar : 1). “Kemampuan mendatangkan hasil dan manfaat; efisien; sangkil…; 2). “Kemampuan menjalankan tugas dengan baik (tentang orang)... 3). Angka persen yang menunjukkan perbandingan
antara tenaga (energi) yang diperoleh dan tenaga yang diperlukan.” 98 Pengertian bahasa ini menunjukkan bahwa kata pendayagunaan merujuk
makna usaha untuk mendapatkan hasil yang lebih baik. Pandangan ini mengandung tiga arti, yaitu kemampuan, proses dan hasil. Ketiga makna ini terlihat pada definisi pendayagunaan yang diberikan oleh para ilmuwan manajemen. Kata yang dipandang relevan dengan pendayagunaan ini adalah efisiensi.
Bartol mengemukakan bahwa efisiensi adalah kemampuan untuk mempergunakan
sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan. 99 Pandangan yang lain, Stoner bahwa, efisiensi “kemampuan untuk melakukan pekerjaan dengan benar.”
Menurutnya, seorang manajer yang efisien adalah manajer yang menggunakan masukan berupa tenaga kerja, bahan‐bahan dan waktu yang dipergunakan untuk memenuhi keperluan pencapaian hasil. Baginya, terhadap manajer yang mampu memperkecil pengguanakan masukan–masukan tersebut
97 Penetapan lima fungsi manajemen di atas merupakan penggabungan dari pandangan Hanry Fayol dan Louis A.Allen tentang fungsi-fungsi manajemen.
98 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa... h. 242.
99 Kathryn M.Bartol dan Davic C.Martin, Management, h. 20.
untuk mencapai hasil dipandang bertindak secara efisien. 100 Istilah efisien, efektif yang sering digandengkan keduanya. Namun keduanya memiliki perbedaan. Yang pertama
terkait dengan kemampuan manajer untuk melakukan pekerjaan dengan benar sedang terakhir 101 menunjukkan pada kemampuan untuk memilih sasaran yang tepat. Dengan
kata lain, efisiensi mengandung arti kecermatan manajer untuk menggunakan seminimal mungkin sumber daya untuk mencapai tujuan. Dalam konteks pendayagunaan zakat misalnya, maka pengelola zakat yang memiliki tindakan efisien mengandung arti bahwa ia mempergunakan sumber‐sumber daya yang terkait dengan – zakat berupa sumber dana, waktu, fasilitas‐, untuk mencapai tujuan zakat. Sedang efektif, kemampuan untuk memilih sasaran yang tepat. Dalam konteks pendayagunaan zakat mengandung arti bahwa pengelola zakat bertindak efektif, jika ia dalam tindakannya telah berhasil memilih program atau kebijakan yang tepat.
Dilihat dari sisi pentingnya kedua istilah ini dimiliki oleh manajer dalam manajamen, oleh Stoner mengatakan bahwa “tanggungjawabnya membutuhkan prestasi yang efisien dan efektif, tetapi walaupun efisien itu penting, efektifitas juga tidak 102 kalah pentingnya.”
Dengan memperhatikan uraian di atas istilah pendayagunaan zakat dapat dilihat dari tiga hal. Pertama, kemampuan yang mengandug arti bahwa kemampuan pengelola zakat untuk mendatangkan manfaat zakat yang sebesar‐besarnya terhadap mustahik. Kedua, proses yang mengandung arti bahwa pengelola zakat harus menggunakan seminimal mungkin sumber‐sumber daya zakat dalam memberikan manfaat sebesar‐besarnya bagi mustahik. Ketiga, hasil yang mengandung arti bahwa pengelola zakat harus meorientasikan zakat untuk memberikan hasil yang maksimal pada kepentingan mustahik.
Ketiga hal di atas, memperlihatkan keterkaitan tindakan efisiensi dan efektifitas bagi pengelola zakat. Tindakan pengelola zakat yang tidak efisien mengandung arti bahwa ia tidak memiliki kemampuan untuk menggunakan seminimal mungkin sumber daya zakat untuk memberikan hasil yang maksimal kepada mustahik. Sedang tindakan pengelola zakat yang tidak efektif, menunjukkan bahwa ia tidak menyesuaikan program
100 James AF.Stoner dan R. Edward Freeman, Manajemen, Benyamin Molan Penerjemah, (Jakarta: Intemedia, 1992) h. 15.
101 James AF.Stoner dan R. Edward Freeman, Manajemen, h. 15. 102 James AF.Stoner dan R. Edward Freeman, Manajemen, h. 15.
yang ditetapkannya dengan perkembangan ‐prilaku, keagamaan, kondisi ekonomi, keterampilan ‐ mustahik. Karena, tindakan pengelola zakat yang tidak efektif menjadikan
dana zakat yang diberikan kepada mustahik tidak memberikan manfaat maksimal. Dengan demikian, kata pendayagunaan, walaupun secara konseptual lebih mengandung unsur efisiensi, namun dalam perkembangannya, unsur efektif tidak dapat dihindarkan.
Apabila pendayagunaan zakat dilihat dari sisi indikator yang dikandungnya, maka pendayagunaan mengandung lima dimensi yaitu: (1) Efisiensi, (2) efek fits, (3) tepat jumlah, (4) tepat waktu dan (5) perubahan nasib mustahik. Kelima dimensi ini merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Dengan formulasi pendayagunaan zakat seperti ini maka menunjukkan bahwa zakat tidak hanya dilihat darti sisi kebutuhan mustahik, tetapi juga memberikan tanggungjawab kepada pengelola zakat atau amil.
b. Tujuan Pendayagunaan Zakat Tujuan pendayagunaan zakat tidak dapat terlepas dari tujuan yang terkandung
dalam makna pendayagunaan itu sendiri. Sebagai diuraikan sebelumnya, maka tujuan pendayagunaan zakat adalah memberikan hasil maksimal kepada mustahik dengan memanfaatkan seminimal mungkin sumber‐sumber daya dalam zakat. Penggunaan seminimal mungkin sumber daya zakat menunjukkan bahwa peran pengelola zakat sangat besar. Dalam hal ini, mustahik sebagai kelompok yang berhak menerima dana, hanya terbatas pada hak untuk menerima dan memanfaatkannya. Namun objek pemanfaatan dan strategi pemanfaatannya, menjadi kewajiban bagi pengelola zakat untuk mengaturnya.
Dalam Islam, ditetapkan delapan kelompok penerima zakat yang dikenal dengan mustahik, namun di kalangan ulama telah terjadi perbedaaan pendapat, bahwa apakah semua kelompok itu diberikan zakat, atau cukup diberikan kepada kelompok tertentu sebagai 103 representasi dari kelompok penerima zakat secara keseluruhan. Selain itu, peran pengelola zakat yang tidak hanya sekedar membagikan zakat kepada mustahik sesuai dengan pertimbangannya yakni apakah beralasan atau tidak untuk
103 Mahm ūd Natrâji (komentator), dalam Muhammad Idrīs al-Syâfi’ī, al- Um, Juz I, (Bair ūt: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 1993), cet. II, h. 94.
memberikannya kepada mustahik, 104 menunjukkan bahwa zakat bukanlah dana yang sekedar diberikan kepada mustahik tanpa tujuan dan tidak dilakukan dengan tanpa
pendayagunaan. Sebagaimana diketahui bahwa zakat mempunyai tujuan tertentu –yakni hanya–
untuk kepentingan mustahik. Dalam konteks pendayagunaan, maka tujuan itu akan semakin dicapai dengan melibatkan amil sebagai pengelola lembaga zakat.
3. Faktor‐Faktor Berpengaruh dalam Pendayagunaan Zakat Faktor ‐faktor dalam pendayagunaan zakat dimaksudkan sebagai hal –hal yang
turut berpengaruh dalam melakukan pendayagunaan zakat. Kesuksesan dalam pendayagunaan sangat ditentukan oleh faktor dimaksud. Terdapat faktor yang berpengaruh dalam pendayagunaan zakat yaitu amil zakat atau pengelola zakat, dana zakat, UU Pengelolaan Zakat serta perilaku mustahik.
Pertama, amil. Menunjukkan bahwa ia yang dikenal dewasa ini sebagai lembaga pengelola zakat memiliki peran dalam pendayagunaan zakat. Pengelola zakat tidak saja sekedar membagikan dana zakat kepada mustahik, tetapi ia dituntut oleh agama (Islam) untuk mengembangkan kebijakan kelembagaan yang berkaitan dengan pendayagunaan 105 zakat. Sebagai suatu institusi, maka terhadap pengelola zakat‐ hemat penulis ‐ sangat relevan untuk mengemukakan pernyataan Salusu dalam pengembangan suatu organisasi. Ketiga pertanyaan pokok yang oleh Salusu disebut sebagai “tiga elemen penting dalam mencari kecocokan” yaitu: “Apakah misi organisasi Anda cukup jelas? Apakah misi itu cocok dengan apa yang diperlukan dan dibutuhkan oleh pihak‐ pihak yang berkepentingan terutama konsumen yang dilayani?. Apakah organisasi Anda memiliki memiliki sumber daya dan kemampuan yang cukup dan memadai untuk melakukan 106 apa yang dibutuhkan tersebuit ?.”
Pandangan Salusu di atas, secara umum berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia dalam organsasi, khususnya bagi tingkat pengambilan kebijakan. Bagi lembaga pengelola zakat, maka diperlukan pengambilan kebijakan yang tidak sekedar
104 Menurut Quraish Shihab, bahwa ayat tentang amil pada QS. al-Taubah/9; 60 yang di dalamnya terdapat kata ‘alayhâ, mengandug arti bahwa ”para pengelola itu melakukan kegiatan
mereka dengan sungguh-sungguh dan mengakibatkan keletihan karena kata ‘alâ mengandung makna penguasaan dan kemantapan atas sesuatu”. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah¸ Vol. I (Jakata: Lentera Hati, 2002), cet. I, h. 597.
105 Seperti uraian sebelumnya tentang tujuan pendayagunaan zakat. 106 J. Salusu, Pengambilan Keputusan Stratejik, (Jakarta: Grasindo, 2006), cet. IX, h. 355.
memenuhi standar organisasi, yakni adanya pengurus, mustahik, muzakki dan program kerja tetapi ia harus mencerminkan dirinya sebagai organisasi yang secara khusus
bergerak pendayagunaan zakat. Untuk yang terakhir ini mencerminkan dirinya sebagai organisasi yang memiliki karakteristik sebagai organisasi pengelola zakat.
Kedua, dana zakat. Dana zakat dalam manajemen dapat disebut dengan sumber daya keuangan. Dana zakat yang dikumpulkan oleh pengelola zakat berasal dari muzakki yakni orang Islam yang telah menunaikan ibadah zakat. Dengan demikian, muzakki merupakan sumber dana zakat dan secara ekonomis ia merupakan sumber satu ‐satunya. Karena itu, ketergantungan mengenai besaran dana sangat ditentukan oleh seberapa besar partisifasi muzakki menjalankan ibadah zakat dan menyerahkannya kepada pengelola zakat.
Ketiga, Undang‐Undang Pengelolaan Zakat. Keberadaan UU turut berpengaruh 107 terhadap pendayagunaan zakat oleh lembaga pengelola zakat. Di
Indonesia, pengelolalan zakat secara yuridis formal diatur dalam UU No. 33/1999 tentang pengelolaan zakat. Dalam UU ini dibedakan dua lembaga pengelola yaitu badan amil zakat (BAZ) yang dibentuk oleh pemerintah dan lembaga amil zakat ( LAZ ) yang dibentu oleh masyarakat. (Pasal 6 dan 7). Selain itu diatur bahwa prosedur pendayagunaan zakat yaitu “hasil pengumpulan zakat didayagunakan untuk musahik sesuai dengan ketentuan agama. Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat berdasarkan skala prioritas kebutuhan mustahik dan dapat dimanfaatkan untuk usaha yang produktif. Persyaratan dan prosedur pendayagunaan hasil pengumpulan zakat sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) diatur dengan keputusan menteri.” (Pasal 16). Dalam Kepmenag RI ditegaskan bahwa “mendahulukan orang‐orang yang paling tidak berdaya memenuhi kebutuhan dasar secara ekonomi dan sangat memerlukan bantuan” (pasal
28 ayat [1]) dan dapat dimanfaatkan untuk kegiatan pendayagunaan setelah terdapat sisa atas penggunaan untuk memenuhi kebutuhan dasar ekonomi. (pasal 28 [2]}. Dengan demikian, pendayagunaan dalam ar pemanfaatan zakat untuk kegiatan‐ kegiatan produktif hanya bersifat alternatif saja dan tidak bersifat utama. Kebijakan
107 UU dapat disebut faktor eksternal, karena secara struktural zakat sebagai ibadah, tidak diatur oleh UU. Zakat hanya diatur oleh agama Islam sebagai salah satu rukun Islam. Namun
dilihat dari sisi manajemen UU ini memberikan pengaruh bagi pengelolaan zakat. Dalam kajian manajemen, faktor eksternal biasa juga disebut dengan lingkungan. Pengelolaan terhadap faktor ini biasa disebut dengan manajemen lingkungan atau administrasi lingkungan. FX. Soedjadi, Analisis Manajemen Moderen, (Jakarta: Gunung Agung, 1997), cet. VI, h. 91.
UU ini tampaknya direspon oleh lembaga pengelola zakat di Indonesia dengan 108 memberikan prosentase pendayagunaan, hanya sekitar maksimal 50 %.
Keempat, perilaku mustahik. Adapun yang berkaitan dengan perilaku mustahik terlihat dalam Al‐Quran yakni terdapat dua prototipe mengenai orang yang membutuhkan sesuatu dihadapan orang lain termasuk di sini mustahik yakni peminta (al 109 ‐sâil ) dan menahan diri untuk tidak meminta (al‐maĥrūm) Secara sosiologis, prototipe ini masih memungkinkan ditemukan. Selain itu dalam ekonomi ditemukan suatu asumsi rasionalitas. Penggunaan asumsi ini dalam teori konsumen terwujud dalam bentuk asumsi bahwa rumah tangga keluarga senanatiasa berusaha memaksimumkan kepuasan 110 atau utility maximization assumption. . Asumsi ini, tentu saja berlaku secara umum dan termasuk bagi mustahik. Kecenderungan perilaku mustahik ini, kiranya harus dikritisi oleh pengelola zakat, karena dana zakat sangat potensial dapat berfungsi sebagai alat untuk mencapai kepuasan maksimal mustahik. Padahal dalam pandangan ekonomi Islam, seperti dinyatakan oleh Fakhim Khan bahwa maslahah dengan utility, keduanya memiliki tingkat subjektifitas bagi kunsumen, namun yang terakhir ini cenderung tidak memiliki ukuran yang jelas dan sedang maslahah
mengacu 111 pada lima asas yaitu jiwa, harta, agama, akal dan keturunan. Dari uraian di atas, tampak, perkembangan perilaku ekonomi secara umum
berpeluang untuk berpengaruh terhadap mustahik. Lembaga pengelola zakat dapat menjadikan faktor dimaksud sebagai masukan dalam dalam perumusan pola pendayagunaan zakat.
4. Amil: Otoritas Manajemen Pendayagunaan Zakat
a. Identifikasi Makna Amil Menurut Al‐Qur’an
108 Hasil analisisi penulis terhadap data pada tabel I tentang daftar lembaga pengelola zakat.
109 QS. Al-Dzâriyât [51]: 19 موﺮ او
“Dan pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta dan orang miskin yang tidak mendapat bagian” Penjelasan Departemen Agama RI terhadap . kata al-mahr ūm ( Orang miskin yang tidak mendapat bagian ) maksudnya ialah orang miskin yang tidak meminta-minta”. 110 Soedijono Reksoprajitno, Pengantar Ekonomi Mikro, (Jakarta: Gunadarma, 1993), h.
9. 111 M. Fahim Kham, Theory of Consumer Behaviour in an Islamic Perspective, dalam
Aidit Ghazli (Ed.), Readings in Microeconomics an Islamic Perspektive, (Selangor: Longman Malaysia SDN. BHD. 1992), cet, I, 74.
Penelusuran makna yang terkait dengan amil difokuskan pada kata âmil dan âmilîn. Penelusuran terhadap kata ini dalam al‐Qur’an terulang sebanyak delapan kali.
Kata ini berakar huruf ain, mim dan lam yang mengandung arti dasar ”sebagai nama umum 112 atas pekerjaan yang dikerjakan”. Oleh al‐’Askary ‐seperti dinyatakan al‐
A śfahâny‐, membedakan antara pekerjaan ( al‐Fi’l) dan amal. Menurutnya, untuk yang terakhir memiliki implikasi, dampak (al‐Atsar) dan yang pertama tidak mempunyai dampak,
implikasi atas pekerjaan itu. 113 Dari sisi etika, tampaknya al‐Qur’an menggunakan kata ini pada dua konotasi yang berbeda yakni al‐sâlihat (mengandung
banyak 114 kebajikan) dan al‐sayyiât (mengandung banyak burukan). Untuk kata ’âmilīn pada mulanya merupakan bentuk subjek (fâil) dan dengan demikian, bahwa konsep
yang dikandung kata ini adalah pekerja yang memberikan dampak atas pekerjaan yang dilakukannya. Dalam konteks zakat, sebagai bagian dari rukun Islam, maka pekerjaan amil, merupakan bagian dari pengembangan amal al‐salihât.
b. Prasyarat Amil Zakat Menurut Hadis Nabi Menurut hadis, Mu’adz ibn Jabal (w. 18 H) diangkat oleh Nabi sebagai amil
zakat untuk daerah Yaman. Bagaimana prasyarat amil yang dapat dirumuskan dari kepribadian Muadz adalah menarik untuk dikaji. Berkaitan dengan keberadaan Muadz
ibn Jabal sebagai amil pada masa Rasul SAW. oleh Muhammad Amin Suma memberikan padangan dari sudut kepribadian seorang amil. Pertama, intelektualitas
amil. 116 Muadz ibn Jabal dikenal sebagai hakim yang memiliki kemampuan berijtihad. Hal ini terlihat pada dialognya dengan rasul SAW. Sebagaimana dalam hadis di bawah
ini 117 yang diriwayatkan oleh Anas dari keluarga Hims sebagai sahabat Muadz.
112 Ab ū Husain Ahmad ibn Fâris ibn Zakariyâ, Mu’jam Maqâyis, Juz IV, h. 140. 113 Ab ū al-Hilâl al-’Askary dalam al- Râghib al-Aśfahâny, Mufradât alfâz, h. 587. 114 QS. (2): 288, QS (4): 123. 115 Muhammad Amin Suma, “Pengelolalan Zakat dalam Perpektif Sejarah” dalam Muhatar Sadili (Ed.), “Probelematika Zakat Kontemporer,” (Jakarta: FOZ, 2003), h. 65
116 Ijtihad, mengandung arti sebagai usaha yang sungguh-sungguh untuk mencaai suatu ketatapan hukum. Mukhtar Yahya dan Fathurrahman, Dasar-Dasar Pembinaan Hukum Islam,
(Bandung: Al-Maarif, 1986, cet. I), h. 71. 117 Teks hadis yaitu:
Kedua, integritas atau kejujuran. Menurut Amin Suma, nabi Muhammad telah 118 melakukan pengawasan dan pergantian terhadap amil yang tidak jujur. Nabi
melakukan peneguran itu mencakup kinerja amil yang dinilai menyimpang dari kejujuran. 119 Kejujuran ini penting karena, dana zakat selain sebagai dana umat zakat
juga merupakan perwujudan dari pelaksanan ibadah dari rukun Islam. Lebih dari itu, secara sosiologis, lembaga pengelola zakat, merupakan lembaga keagamaan yang mencerminkan kualitas umat Islam.
Prasyarat bagi amil zakat di sini mencerminkan bahwa syarat minimal yang harus dimiliki sebuah lemaga pengelola zakat, karena dititikberatkan sebagai lembaga pengelola dana zakat dengan dimensi ibadah yang sarat dengan hukum‐hukum Islam (keagamaan), namun syarat lainnya yang terkait dengan manajemen dan pengembangan kemasyarakatan khususnya yang berkaitan dengan mustahik juga tidak kalah pentingnya. Sekedar memenuhi prasyarat ini, maka lembaga pengelola zakat tidak dapat berfungsi seoptimal mungkin dalam pendayagunaan zakat.
Dalam pengelolaan zakat pada masa Umar ibn Khattab, kelompok tertentu tidak diberikan zakat. Kelompok itu, adalah al‐Muallaf al‐Qulûbuhum, yang sebelumnya
mustahik 120 ini ditetapkan oleh al‐Qur’an sebagai salah satu kelompok penerima. Tindakan Umar ini kemudian menimbulkan perbedaan pendapat di kalangan umat
Islam. Dari perbedaan pendapat mengenai kebijakan Umar ini, maka tampaknya Atho Mudzhar telah memberikan penegasan bahwa tindakan Umar itu ”... hanya merupakan
Rasûl Allah bersabda kepada Muadz saat di utus ke Yaman: Bagaimana kamu memutus perkara bila dihadapkan kepadamu? Muadz menjawab : ”Aku memutuskan dengan Kitab Allah.” Rasul bertanya: Jika masalah itu tidak terdapat di dalam Kitab
Allah? Muadz menjawab: “aku memutuskan dengan Sunnah Rasul. Rasul menanyakan lebih lanjut: “Jika itu tidak terdapat dalam Sunnah Rasûl Allah?” Muadz menjawab: “Aku berijtihad dengan pendapatku dan berusaha dengan segenap tenaga. Lalu, Rasûl Allah menepuk dada Muadz dan seraya bersabda: “Segala puji milik Allah yang telah membimbing utusan Rasûl Allah sebagaimana yang dipahmi oleh Rasul-Nya. Abû Dâwud, Sunan abî Dâwud. Juz II (Bairût: Dâr al-kutub al-Ilmiyah, t.th), h. 327. 118 Nabi mengganti al-Walid ibn ‘Uqbah sebagai amil dengan sahabat yang lain, karena
dia terbukti memberikan laporan tidak benar dalam menjalankan tugas untuk memungut zakat pada daerah pemukiman al-Harits yang ketika itu belum lama masuk Islam dan menyatakan kesiapannya untuk membayar zakat. Muhammad Amin Suma, “Pengelolalan Zakat dalam
Perpektif Sejarah” dalam Muhatar Sadili (Ed.), “Probelematika Zakat Kontemporer,” (Jakarta: FOZ, 2003), h. 66. Perilaku amil ini dapat dilihat pada latar belakang QS. al- Taubah: 6. A. Dahlan dkk. Asbâb al-Nuz ūl, (Bandung: Diponegoro, 2001), cet.II, h. 513. 119 Menurut riwayat Abû Daud, Ibn Lutbiyah (Bani al-Azdi) diangkat sebagai amil oleh nabi, dan dalam menjalankan tugasnya ia menerima hadiah. Nabi menegurnya. Kutipan hadis pada bab VI penelitian ini.
120 Muhammad Baltâji, Manhaj ‘Umar ibn al-Khattâb f ī al-Tasyri’ (t.tp.: Maktabah Tsibâb, 1998), h. 169.
penerapan hukum untuk suatu kondisi dan pada saat tertentu berhubung adanya 121 sesuatu maslahah yang perlu dicapai.” Penjelasan Atho Mudzhar atas kebijakan
Umar memiliki dimensi sosiologis, yaitu bahwa dengan perubahan perilaku mustahik, dapat menjadi pertimbangan dalam penerimaan hak‐hak zakat mustahik. Dengan kata lain bahwa, pengelola zakat sangat berkepentingan untuk memahami perilaku mustahik, dan tidak hanya harus memperhatikan teks‐teks a‐Qur’an.
c. Fungsi Amil Zakat Menurut Al‐Qur’an Pertanyaan yang mendasar adalah sejauhmana kewenangan amil yang diberikan
oleh al‐Qur’an. Pertanyaan ini, menarik dengan melihat praktek keagamaan yang pernah dilakukan 122 oleh nabi Rasul. Beliau mengutus Muadz bin Jabal, sebagai amil zakat.
Menurut petunjuk Rasul, zakat itu diambil dari orang kaya (al‐agniyâiy) dan dilakukan redistribusi (turaddu) kepada orang‐orang fakir (fuqarâ) atau orang yang membutuhkannya. Melakukan redistribusi pendapatan, memiliki perbedaan dengan melakukan pembagian zakat kepada mustahik begitu saja. Perbedaan itu terletak pada yang disebut pertama mengandung nilai‐nilai pendayagunaan.
Berkaitan dengan kedudukan amil zakat yang amat penting dan dapat dipandang sebagai suatu profesi, maka perlu dicermati pernyataan Rasul yang menyamakannya dengan prajurit yang berjuang di medan perang‐ sampai ia bebas tugas, 123 kembali ke rumah ‐. Ibnu al‐Salam memahami hadis ini, dengan membandingkan profesi yang diemban oleh perajurit dengan amil. Menurutnya keduanya
mengemban aktifitas keislaman. 124 Profesi keprajuritan menuntut adanya kecakapan, ketahanan mental yang tangguh, kerjasama tim, kedisplinan dan loyalitas,
dan tentunya dalam profesi keamilan juga dituntut syarat‐syarat tersebut. Dengan pandangan di atas, kiranya diperlukan telaah terhadap sumber ekonomi Islam yakni al‐ Qur’an dan Hadits berkaitan dengan fungsi‐fungsi yang diemban oleh amil zakat.
Penelusuran terdapat ayat al‐Qur’an baik yang menggunakan kata ’âmil dan ’âmil īn sebagaimana yang terdapat pada tabel 20 dan 21 menunjukkan adanya konsep
121 M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, ( Yogyakarta: Titian Ilahi Press, 1998), h. 44.
122 Muhammad bin Ismail bin Ibrahim al-Bukahry, Śahih al-Bukhâry Jild II (Bairut: Dâr Fikr, t.th), h. 120.
123 Al- Ậmil ‘alâ al-sadaqah bi al-haq kalgâzī fī sabīlillah hattâ yarji’u. Abd.al-Qâsim ibnu Salâm, Kitâb al-amwâl, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1988), h. 730.
124 Abd.al-Qâsim ibnu Salâm, Kitâb al-amwâl, (Bairut: Dâr al-Fikr, 1988), h. 730.
yang terkait dengan fungsi amil. Pemahaman atas konsep yang dikandung oleh kata itu, diketahui dengan mencari dimensi‐dimensi yang dikandung olehnya. Pemahaman atas
dimensi ini, didahului oleh pemahaman atas ide yang dapat dipahami secara langsung terhadap konteks ayat yang di dalamnya terdapat kata ’âmil dan atau ’âmilin. Pemahaman atas konsep‐konsep dimaksud, selanjutnya dinyatakan sebagai rumusan fungsi amil. Fungsi amil mencakup. Pertama. motivator dan mengembangkan sikap bekerja sesuai potensi. Pada QS. Hud /11:
93 125 menginformasikan bahwa nabi Syuaib, mengajak kaumnya untuk menjadi pekerja, sesuai dengan kesanggupan yang dimiliki karena ia (nabi Syuaib As) bertindak sebagai pekerja (Amil) dan hasil suatu pekerjaan pasti diketahui. Sebagai amil ia berpotensi untuk memberikan motivasi kepada mustahik untuk pengembangan etos kerja. Keterkaitan etos kerja dan gambaran adanya hasil merupakan bagian pengembangan motivasi bagi amil. Suatu pekerjaan akan berhasil jika secara internal pelakunya memiliki bakat atas pekerjaan itu. Hal yang terakhir ini menjadi bagian tugas amil untuk memahami bakat setiap mustahik guna dikembangkan melalui zakat yang diberkan kepadanya.
Kedua. mustahik memperoleh kesejahteraan : spritual, material dan sosial. QS. 126 li Imrân/3: 136 menjelaskan bahwa bagi orang-orang yang bekerja (’âmilīn) akan
memperoleh balasan dari apa yang mereka kerjakan. Dari sisi fungsi amil mengandung arti bahwa, dampak suatu pekerjaan akan dirasakan oleh amil sendiri dan tentu juga oleh mustahik. Mustahik merasakan dampak (usaha amil) karena amil bekerja dengan
ر ﻜ ”Dan (Dia berkata): "Hai kaumku, berbuatlah menurut kemampuanmu,
Sesungguhnya akupun berbuat (pula). kelak kamu akan mengetahui siapa yang akan ditimpa azab yang menghinakannya dan siapa yang berdusta. dan tunggulah azab (Tuhan), Sesungguhnya akupun menunggu bersama kamu."
126 Ayat Alquran:
4 ﺎ ا ﺮ أ و ﺎﻬ ﺪ ﺎ رﺎﻬ ا ﺎﻬ يﺮ تﺎ و ﻬ ر ةﺮ هؤ ﺰ ﻚ وأ ”Mereka itu balasannya ialah ampunan dari Tuhan mereka dan surga yang di
dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah sebaik- baik pahala orang-orang yang beramal.” dalamnya mengalir sungai-sungai, sedang mereka kekal di dalamnya; dan Itulah sebaik- baik pahala orang-orang yang beramal.”
khâlid īn fīha dipahami dengan keadaaan penghuni surga, menunjukkan bahwa kehidupan mereka di sana mengandung aspek sosialisasi antar sesama penghuni.
Ketiga, amil berfungsi mengembangkan etika kerja mustahik. QS. Âli Imrân/3: 127 195. Dalam ayat ini ditemukan pernyataan Allah ”yang tidak menyia‐
nyiakan amal orang‐orang yang beramal di antara kamu, ...” Pernyataan ini dipahami sebagai sebuah gambaran etika yang seharusnya dicontoh oleh manusia termasuk amil zakat dalam mengemban amanah zakat yang diberikan kepadanya Bagi amil zakat memiliki kewajiban untuk mengantar mustahik mencontoh sifat amanah ini dan menjadikannya sebagai etika bagi mustahik.
Keempat. amil berfungsi menciptakan kemandirian spritual dan rasional QS. 128 al‐Zumar/39: 74 Pada awal ayat ini terdapat pengucapan hamdalah yang
menunjukkan pada aspek kemandirian teologis, karena seseorang yang mengucapkan kata ini menunjukkan ia memiliki apresiasi yang tinggi terhadap nikmat Allah atau mensyukuri nikmat‐Nya. Pada dasarnya, kesyukuran yang dikembangkan seseorang dipahami sebagai wujud dari kematangan spritual yang dimiliki. Selanjutnya,
”Maka Tuhan mereka memperkenankan permohonannya (dengan berfirman): "Sesungguhnya Aku tidak menyia-nyiakan amal orang-orang yang beramal di antara kamu, baik laki-laki atau perempuan, (karena) sebagian kamu adalah turunan dari sebagian yang lain[259]. Maka orang-orang yang berhijrah, yang diusir dari kampung halamannya, yang disakiti pada jalan-Ku, yang berperang dan yang dibunuh, Pastilah akan Ku-hapuskan kesalahan-kesalahan mereka dan Pastilah Aku masukkan mereka ke dalam surga yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, sebagai pahala di sisi Allah. dan Allah pada sisi-Nya pahala yang baik."
ء ﺔ ا أﻮ ضر ا ﺎ روأو ﺪ و ﺎ ﺪ يﺬ ا ﺪ ا اﻮ ﺎ و ”Dan mereka mengucapkan: "Segala puji bagi Allah yang Telah memenuhi
janji-Nya kepada kami dan Telah (memberi) kepada kami tempat Ini sedang kami (diperkenankan) menempati tempat dalam syurga di mana saja yang kami kehendaki; Maka syurga Itulah sebaik-baik balasan bagi orang-orang yang beramal".
”pernyataan yang membenarkan” menunjukkan bahwa apa yang diketahuinya sekarang melalui panca indera, merupakan pengulangan pengalaman terhadap panca indera
pada masa yang lalu dan proses ini merupakan suatu bagian dari penalaran. Kelima, amil berfungsi mengembangkan kualitas mustahik dari sisi teologis, 129 sosial, dan kultural. QS. al‐’Ankabūt/29: 58 Dalam ayat ini terdapat kata
âmanū yang memberikan petunjuk sebagai aspek teologis atau kepercayaan, ’amilû al- sâlihât yang mengandung arti amal-amal shaleh dan memberikan petunjuk sebagai aspek sosial kultural, karena perbuatan yang baik selain akan memberikan dampak kepada orang lain juga diharapkan akan membentuk sebuah tradisi dalam kehidupan
masyarakat. Dengan memperhatikan uraian di atas yang meliputi, makna kata ’âmil dalam al‐
Qur’an, pra syarat amil serta fungsi amil, dikaitkan dengan pendayagunaan zakat, maka dipandang bahwa ia memiliki otoritas untuk melakukan kebijakan sebagai aplikasi manajemen dalam pendayagunaan zakat. Keberadaan pra syarat amil di atas mencerminkan bahwa, tidak semua kelompok masyarakat berpeluang untuk menempati posisi amil. Dengan prasayarat itu menunjukkan bahwa terdapat standar minimal yang harus dipenuhi dalam jabatan sebagai amil.
Fungsi amil, yang disebutkan di atas, menunjukkan bahwa amil tidak sekedar membagikan zakat seperti yang dikemukakan di atas, tetapi ia memiliki otoritas untuk mengembangkan masyarakat ke arah pencapaian kesejahteraan baik melalui instrumen material, sosial dan spritual. Amat sulit mencapai kesejahteraan dengan tiga instrumen ini, jika amil tidak melakukan kebijakan‐kebijakan organisasi pengelola zakat yang terkait dengan aspek pendayagunaan.
5. Prinsip‐Prinsip Manajemen Pendayagunaan Zakat Pada Masa Rasul
a. Prinsip Desentralisasi
ﺎا “Dan orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal-amal yang saleh,
Sesungguhnya akan kami tempatkan mereka pada tempat-tempat yang Tinggi di dalam syurga, yang mengalir sungai-sungai di bawahnya, mereka kekal di dalamnya. Itulah sebaik-baik pembalasan bagi orang-orang yang beramal”
Merujuk kepada hadis Rasul berkaitan dengan pengangkatan Muadz (w. 18 H) sebagai amil di negari Yaman, yang memberikan tugas kepadanya untuk mengumpulkan
zakat dari orang‐orang kaya setempat untuk didistribusikan kepada masyarakat miskin setempat, ”tu’khazu min agniyâihim waturaddu ilâ fuqarâihim” maka dapat dinyatakan bahwa zakat ini mengandung prinsip desentralisasi. Desentralisasi ini dipahami sebagai suatu kebijakan yang oleh pemegang kekuasaan dalam hal ini Rasul yang diberikan kepada Muadz untuk mendayagunakan zakat pada kepentingan mustahik setempat.
Prinsip desentralisasi ini, dimaksudkan agar zakat setempat dapat memberikan manfaat bagi masyarakat lokal. Amin Suma menyatakan:
”... mengisyaratkan upaya kesejahteraan sosial berdasarkan sumber asal ekonomi –dalam hal ini zakat‐ itu sendiri. Maksudnya, Nabi memerintahkan Muadz supaya menggali potensi dana zakat yang ada di daerah Yaman untuk kesejahteraan sosial ekonomi rakyat Yaman itu sendiri. Tidak ada perintah Nabi kepada Muadz untuk mengirimkan dana zakat penduduk Yaman (sebagian atau seluruhnya)
ke pemerintah pusat yang berada di kota Madinah...” 130
Pandangan di atas, menunjukkan terdapat argumen ekonomi yang dapat dipahami dari prinsip desentralisasi ini. Argumen ekonomi dimaksud yakni memberikan peluang kepada masyarakat lokal untuk memperoleh kesejahteraan dari dana zakat.
b. Penegakan Disiplin Internal Amil Zakat Penegakan disiplin bagi amil zakat oleh Rasul dilakukan dengan pola peneguran,
pengumuman di publik serta pencopotan jabatan. Berkaiatan dengan dua yang pertama dapat 131 dikemukakan hadis riwayat Ibn Sarh.
130 Muhammad Amin Suma, “Pengelolalan Zakat, h. 67-68. Informasi pengutusan Muadz oleh Nabi ke Yaman lihat, Ibn Sa’ad, al-Tabaqât al-Kubrâ, Jilid III, (Bairut:Dâr Sâdr,
1985), h. 583. Jamâl Tsâbit, et. all., (Ed.). al-Sîrah al-Nabawiyyah yang dikenal dengan Sîrah Ibn Hisyâm , Juz IV, (Qahirah: Dâr al-Hadîts, 1996), h. 214
Hadis ini memberikan informasi berkaitan dengan sikap seorang amil yang bernama Ibn Lutbiyah, yang menerima hadiah dalam melaksanakan tugas keamilan dan
melaporkan kinerjanya kepada Rasul. Dalam laporan itu disebutkan bahwa, ia menyerahkan hadiah kepada Rasul sebagaimana ia sisihkan untuk dirinya sendirinya sebagai bagian dari kinerja keamilan.
Berkaitan dengan sikap amil ini, Rasul melakukan tindakan yang dipandang sebagai penegakan disiplin terhadap profesi keamilan. Demikian juga mengenai penggantian amil seperti terungkap dalam pembahasan integritas amil sebagai prasyarat amil.
c. Mempertegas zakat sebagai hak mustahik Menurut asbâb al‐Nuzûl QS. al‐Taubah: 58 bahwa Rasul SAW membagi zakat,
makau datanglah Zul Khuwaisirah dan berkata hendaklah kamu bersikap adil. Rasul menjawab, celakalah kamu, siapa lagi yang akan berbuat adil jika aku tidak berlaku adil. Ayat ini turun untuk menjelaskan bahwa orang yang beranggapan bahwa Rasul tidak adil adalah
orang yang tidak mendapat bahagian zakat. 132 Rasul mengambil kebijakan dalam pedayagunaan zakat dengan mempertegas
zakat sebagai hak kelompok mustahik Menurut Yasin Ibrahim al‐Syaikh, yang didasarkan riwayat yang ada, ditemukan pendapatnya, yang dapat diidentifikasi sebagai kebijakan 133 berkaitan penegasan kelompok mustahik. Menurut riwayat Zayd
“Dari ibn Sarh dan ibn Khalf lafadznya keduanya berkata, dari Syufyan dari Zuhri dari Urwah dari Abi Humaid al-Saidiy.Sesungguhnya nabi SAW mempekerjakan seorang lelaki dari Bani al-Azdi dengan nama ibn Lutbiyah. Ibn Sarh menyebutnya ibn al-Utbiyah: untuk mengurus sedekah. Maka seusai melaksanakan pekerjaan itu, ia melaporkan kepada nabi danmengatakan “ini untuk tuan dan ini dihadiahkan untuk saya”. Maka nabi berdiri ke mimbar, lalu Ia bertahmid kepada Allah dan memuji atasnya. Dan nabi bersabda, tidak patut seorang diutus sebagai “amil” lalu datang dan menyatakan
“ini untuk tuan dan ini dihadiahkan untuk saya”. Mengapa dia tidak duduk di rumah ibunya atau bapaknya, lalu dilihat apakah dia dihadiahkan atau tidak Tidak datang pada hari kiamat seorang di antara kalian dari sesuatu mengenai hal yang demikian, melainkan ia bersamanya. Jika ia mengambil Unta, maka ia datang beserta dengan suaranya(unta), atau sapi ia datang dalam keadaan mengaung, atau kamping ia dalam keadaan mengembek. Kemudian nabi menggangkat tangannya dan kelihatan kedua ketiaknya yang putih dan berdoa, Ya Allah, apakah telah saya sampaikan.Ya Allah apakah telah saya sampaikan.” Abû Dâwud, Sunan Abî Dâwud. Juz II, h. 149.
132 Abd Allah Muhammad ibn Ahmad al-Ansâry, al-Jâmi li ahkâm al-Qur’ân al-Karîm Tafsîr al-Qurtuby, (t.tp.: Dâr al- Ỉmân, t.th.), h. 164. Hal yang sama dalam Dahlan, et. al., Asbâb al-Nuzûl, (Bandung: Diponegoro, 2000), h. 267. Ayat yan dimaksud. QS. al-Taubah: 58
133 ”Menurut riwayat Zayd bin al-Sudda’î bahwa seorang lelaki datang kepada Rasul bertanya tentang zakat, nabi menyatakan bahwa ”Allah tidak menerima pertimbangan dari Rasul 133 ”Menurut riwayat Zayd bin al-Sudda’î bahwa seorang lelaki datang kepada Rasul bertanya tentang zakat, nabi menyatakan bahwa ”Allah tidak menerima pertimbangan dari Rasul
d. Prinsip Pertanggungjawaban Berkaitan dengan prinsip pertanggungjawaban dalam pendayagunaan
zakat, 134 dapat dikemukakan hadis Rasul yang diriwayatkan Ibn Suraih
Secara umum hadis ini menggambarkan proses pertanggungjawaban keamilan. Rasul SAW mengkritik dalam arti tidak setuju atas perilaku amil yang telah menerima hadiah dalam menjalankan tugas keamilannya. Dalam kitab ‘aun al‐ma’bûd disebutkan bahwa hadis ini menunjukkan keharaman bagi “pejabat” untuk menerima hadiah yang merupakan pelanggaran atas amanah dan penghianatan atas tugas yang telah diberikan. 135
Praktek pertanggungjawaban amil yang dicontohkan oleh Rasul di atas, memberikan petunjuk: a. Amil wajib memberikan laporan pertanggungjawaban tentang pendayagunaan zakat. Hal ini dapat diterima, karena ia telah menerima amanah zakat
maupun orang ketiga menyangkut pembagian zakat. Melainkan Allah yang menentukan penerima zakat.” Yasin Ibrahim al-Syaikh, Zakat, h. 130
إ ةﺮ ﺎ أر ﻰ ﺪ ر ﺮ ةﺎ وأ راﻮ Dari ibn Sarh dan ibn Khalf lafadznya keduanya berkata, dari Sufyan dari Zuhri dari
Urwah dari Abi Humaid al-Saidiy. Sesungguhnya nabi SAW mempekerjakan seorang lelaki dari Bani al-Azdi dengan nama ibn Lutbiyah. Ibn Sarh memanggilnya Ibn Atbiyah: untuk mengurus sedekaah. Seusai melaksanakan pekerjaan itu, ia melaporkan kepada nabi dan mengatakan “ini untuk tuan dan ini dihadiahkan untuk saya”. Nabi berdiri ke mimbar, lalu Ia bertahmid kepada Allah dan memuji atasnya. Nabi bersabda, tidak patut seorang yang diutus sebagai “amil” lalu datang dan menyatakan “ini untuk tuan dan ini dihadiahkan untuk saya”. Mengapa dia tidak saja duduk di rumah ibunya atau bapaknya, lalu dilihat apakah dia dihadiahkan atau tidak. Tidak datang pada hari kiamat seorang di antara kalian dari sesuatu mengenai hal yang demikian, melainkan ia bersamanya. Jika ia mengambil unta, maka ia datang beserta dengan suaranya (unta), atau sapi ia
datang dalam keadaan mengaung, atau kambing ia dalam keadaan mengembek. Kemudian nabi menggangkat tangannya dan kelihatan kedua ketiaknya yang putih dan ia berdoa, Ya Allah, apakah telah saya sampaikan.Ya Allah apakah telah saya sampaikan. Abû Dâwud, Sunan Abî Dâwud. Juz II (Bairût: Dâr al-kutub al-’Ilmiyah, t.th), h. 149.
135 Auinil Ma’bud. Juz VI, h.423. no. hadis 2557.
yang diberikan kepadanya. b. Bentuk pertanggungjawaban tidak hanya secara administratif tetapi terkait dengan integritas keamilan itu sendiri. Keterkaitan integritas
keamilan dengan pertanggungjawaban, tampak dari sikap Rasul yang mengaitkan kritikan itu dengan kondisi pada hari kemudian. c. Dengan doa yang dipanjatkan oleh Rasul, menunjukkan bahwa, kiranya pertanggungjawaban itu, memberikan peluang bagi
publik untuk memberikan laporan berkaitan dengan perilaku amil.