Perwujudan Fungsi Amil, Prinsip Desentralisasi dan Mempertegas Zakat Sebagi Hak Mustahik
B. Perwujudan Fungsi Amil, Prinsip Desentralisasi dan Mempertegas Zakat Sebagi Hak Mustahik
1. Perwujudan Fungsi Amil Pada uraian bab II disebutkan tentang fungsi amil. Tedapat lima fungsi amil yang
disebutkan didasarkan atas pemahaman terhadap makna amil dalam Alquran. Dari kelima fungsi amil yang disebutkan itu, maka pada dasarnya dapat disederhakan menjadi tiga fungsi. Ketiga fungsi itu dipandang relevan dengan fungsi amil untuk meningkatkan kesejahteraan umat. Selanjutnya, ketiga fungsi amil itu akan dilihat sejauhmana implementasinya pada Badan Amil Zakat Nasional.
Pertama, pencapaian kesejahteraan umat melalui instrumen ekonomi. Berkaitan dengan instrumen ekonomi, Badan Amil Zakat Nasional telah melakukan berbagai kegiatan pendayagunaan zakat dalam sektor ekonomi produktif. Prosentase yang ditetapkan Badan ini sebesar 35 %, merupakan prosentase ter nggi dibanding sektor lainnya. Dalam mengembangkan sektor ini, maka tidak hanya dilakukan pemberian dana zakat tetapi dilakukan pendampingan agar dana zakat dapat memberikan hasil maksimal kepada mustahik.
Pendayagunaan dana sebesar 35 % dikaitkan dengan dana zakat yang diterima Badan
Amil Zakat Nasional (2005:Rp.2.540.588.847 2006: Rp. 4.825.501.587) 329 tampaknya masih sedikit dibanding dengan mustahik yang membutuhkannya. Namun
demikian Badan ini membuktikan bahwa telah melaksanakan fungsi‐fungsi sebagai lembaga kesejahteraan umat melalui instrumen ekonomi zakat.
328 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007. Dalam laporan Badan
Amil Zakat Nasional telah memaparkan perkembangan pengelolaan zakat baik dari sisi program yang telah dilaksanakan, laporan keuangan, sambutan dari Ketua Umum Badan Pelaksana, Ketua Dewan Pertimbangam, Ketua Dewan Pengawas. Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, (Jakarta: Badan Amil Zakat Nasional , 2006). Sedang untuk news letter terbit dalam sekali sebulan. Pada News letter diuraikan tentang program yang telah dilaksanakan dan menerima konsultasi zakat. Badan Amil Zakat Nasional dan Dompet Dhuafa News Letter.
329 Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Badan Amil Zakat Nasional 2004-2007, h. 9.
Sebagai gambaran tentang perhatian Badan ini terhadap peningkatan kesejahteraan umat, maka selain prosentase yang tertinggi untuk sektor di atas, maka
perlu dilihat dari aspek persepsi badan ini terhadap kelompok orang miskin sebagai mustahik yasng merupakan kelompok terkait langsung dengan sektor ekonomi. Konsep mustahik menurut Badan Amil Zakat Nasional pada dasarnya mengacu pada QS.
Attaubah/9: 330 60. Dilihat dari sisi ketekaitan mustahik dari sisi ekonomi sebagai faktor kebutuhan, maka dapat dikategorikan: orang miskin, fuqara, al‐Ghârimîn dan al‐Riqâb.
Walaupun demikian, dalam aspek pendayagunaan ekonomi, Badan Amil Zakat Nasional hanya menyebutkan dengan istilah pengembangan ekonomi dengan penekanan pada kelompok 331 miskin dengan tanpa menyebut latar belakang status sebagai mustahiknya. Namun demikian hal ini tidak berarti bahwa Badan ini tidak mempergunakan kriteria terhadap kelompok mustahik yang terkait dengan sektor ekonomi.
Pemahaman Badan Amil Zakat Nasional terhadap mustahik dari sisi unsur‐ unsurnya dapat diidentifikasi pada tabel di bawah ini.
Tabel 6 : Identifikasi Unsur‐Unsur Konsep Mustahik dalam Persepsi Badan Amil Zakat Nasional Dan Peluang Program Pendayagunaan Zakat
No Mustahik Unsur ‐Unsur Mustahik
Peluang Program pendayagunaan Zakat
Badan Amil Zakat Nasional
1. Fakir • Tidak mempunyai pendapatan Kemanusiaan
tetap • Tidak mempunyai tempat tinggal
ﷲاو ﷲا ﺔ ﺮ ا او ﷲا ”Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang
miskin, pengurus-pengurus zakat, para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana.”
331 Pengematan ini dilakukan terrhadap laporan tahunana Badan Amil Zakat Nasional yang menyebutkan aspek pemberdayaan ekonomi dengan menyebut orang miskin tanpa menyebut
mustahik lainnya yang terkait dengan sektor ekonmomi., Annual Report 2006. h. 42.
tetap menurut standar kesehatan
Kesehatan
• Tidak mempunyai asupan gizi
yang cukup
Pendayagunaan
• Tidak mempunyai biaya kesehatan
2. Miskin • Mempunyai sumber pendapatan Kemanusiaan
tetap, namun di bawah standar
UMR Kesehatan
• Tidak
cukup membiayai
kebutuhan keluarga
Pendayagunaan
• Tidak memenuhi gizi seimbang • Tidak mempunyai biaya kesehatan
3 Amil • mempuyai mandat dari Baz atau Laz
4. Mu’allaf • Menunjukkan surat keterangan Disesuaikan tingkat
sebagai muallaf
kebutuhan pada Jenis Program
5. Riqâb • TKI
Pengembangan Ekonomi
Umat
6. Gârim īn
• Surat
Keterangan Mantan Pengembangan Ekonomi
Pengusaha • Surat Keterangan Berutang
Sab īl • Aktifitas Dakwah
Dakwah
Allah • Pembangunan Rumah Ibadah • Pembangunan sarana pendidikan
8. Ibnu al‐ • Siswa, mahasiswa yang tidak Peningkatan Kualitas Daya Sab īl
mampu, Insani
Sumber: Diolah dari Hasil Wawancara dan Brosur Badan Amil Zakat Nasional
Dari tabel di atas diketahui bahwa pandangan Badan Amil Zakat Nasional memiliki perluasan arti mustahik dan tampaknya berbeda dengan pandangan kebanyakan kitab fikih. Kriteria setiap mustahik memperlihatkan adanya perluasan unsur dari konsep fikih. (1) fakir. Menurut Syâfiiyah dan Ĥanâbilah dipahami bahwa unsur ‐unsur orang fakir adalah: (a) Tidak mempunyai harta dan sumber pendapatan yang mencukupi kebutuhannya; (b) Tidak mempunyai keluarga yang menjamin kebutuhan secara cukup; (c) Standar kemampuannya memenuhi kebutuhan misalnya, kemampuan memenuhi tiga dari sepuluh yang seharusnya. Dalam pandangan mereka Dari tabel di atas diketahui bahwa pandangan Badan Amil Zakat Nasional memiliki perluasan arti mustahik dan tampaknya berbeda dengan pandangan kebanyakan kitab fikih. Kriteria setiap mustahik memperlihatkan adanya perluasan unsur dari konsep fikih. (1) fakir. Menurut Syâfiiyah dan Ĥanâbilah dipahami bahwa unsur ‐unsur orang fakir adalah: (a) Tidak mempunyai harta dan sumber pendapatan yang mencukupi kebutuhannya; (b) Tidak mempunyai keluarga yang menjamin kebutuhan secara cukup; (c) Standar kemampuannya memenuhi kebutuhan misalnya, kemampuan memenuhi tiga dari sepuluh yang seharusnya. Dalam pandangan mereka
makanan (gizi) dan biaya. Unsur ini merupakan pandangan Badan Amil Zakat Nasional, sedang unsur pendapatan yang terkait dengan penghasilan ekonomi dipandang merupakan konsep yang berasal dari fikih. Dalam hal pendayagunaan untuk mustahik ini, oleh al‐Syairâzi ‐sebagaimana ditulis oleh al‐Nawawi, bahwa bagi fakir yang memiliki kemampuan
kekuatan fisik dapat diberikan fasilitas kerja. 333 (2) Miskin. Kata miskin sebagai akar untuk kata kemiskinan mengandung
arti 334 “tidak berharta; serba kekurangan”. Al‐Zuhaeli, menyatakan bahwa ia memiliki kemampuan untuk bekerja guna memenuhi kebutuhannya namun pendapatannya tidak
mencukupinya. 335 Menurut Gunawan secara umum kemiskinan dapat diketahui dengan membandingkan tingkat pendapatan dan kebutuhan. Kebutuhan dibatasi pada hal‐hal
yang pokok atau kebutuhan dasar minimum yang memberikan peluang bagi seseorang dapat hidup secara layak. Jika sekiranya seseorang tidak dapat memenuhi kebutuhan minimum,
maka ia dinyatakan sebagai orang miskin. 336 Internasional Labor Organization (ILO) menetapkan kebutuhan dasar meliputi
kebutuhan minimum yang meliputi konsumsi pribadi seperti makan, perumahan, pakaian, peralatan, perlengkapan rumah tangga dan kebutuhan yang terkait dengan pelayanan sosial seperti air minum, angkutan umum, kesehatan, pendidikan dan fasilitas 337 kebudayaan. Bagi orang miskin jika dihubungkan dengan pandangan ILO, maka tentunya ia tidak dapat memenuhi secara maksimal terhadap kedua jenis kebutuhan itu. Secara empiris, terjadinya putus sekolah, rendahnya akses ke sektor kesehatan termasuk perolehan air bersih, pemenuhan gizi, sanitasi lingkungan, merupakan bagian kehidupan yang melanda orang miskin.
332 Wahbah al-Zahaeli, al-Fiqh al-Islâm ī wa Adillatuhū, Juz III (Damsyiq: Dar Fikr, 1997), h. 1952. .
333 Ma ĥy al-Dīn Abūi Zakariya Yahya ibn Syaraf al-Nawawi, al-Majmū’ Syarĥ al- Muhazzab, juz VI, (Mesir: al-Imâm, t.th), h. 196.
334 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, h. 749. 335 Menurutnya, kemampuan memenuhi kebutuhannya yaitu seharusnya memenuhi
sepuluh bagian hanya terpenuhi delapan bagian guna memenuhi kehidupan yang layak seperti makanan, pakaian dan tempat tinggal. Wahbah al-Zahaeli, al-Fiqh al-Islam ī wa Adillatuhū, Juz III (Damsyiq: Dar Fikr, 1997), h. 1952.
336 Gunawan Sumodiningrat, et. al., Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan, h. 2.
337 Gunawan Sumodinigrat et., Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan, h. 2.
Dalam pandangan Badan Amil Zakat Nasional, konsep orang miskin, sebagaimana dalam konsep fakir yang memasukkan unsur kesehatan, unsur itu juga
salah satunya dikaitkan dengan konsep ini khususnya terkait dengan gizi dan biaya kesehatan. Unsur lain yang membentuk konsep orang miskin, adalah upah minimum regional (UMR) yang berlaku pada ketenagakerjaan sebagai standar penghasilan. Unsur‐ unsur ini, merupakan pandangan yang berasal dari Badan Amil Zakat Nasional sedang unsur ketidakcukupan dalam penghasilan merupakan konsep fikih.
(3) Riqâb. Dalam konsep fikih diketahui sebagaimana dikemukakan al‐Zuhaeli bahwa riqâb menurut mayoritas ulama dinyatakan sebagai hamba yang telah ditetapkan harga pembebasannya oleh tuannya, dan karenanya jika dilunasi dengan harga itu, maka dengan 338 sendirinya ia akan merdeka. Oleh Rasyid Rida menyatakan bahwa dalam kondisi tidak ada ”hamba” maka zakat dapat dialihkan kepada kelompok pemuda Islam
yang 339 berjuang untuk membebaskan diri dari penjajah. Badan Amil Zakat Nasonal memberikan dana zakat kepada tenaga kerja
Indonesia (TKI) untuk porsi riqâb, dengan alasan bahwa dewasa ini tidak ada hamba. Menurutnya, TKI akan mengalami ketergantungan berupa utang uang kepada pengerah tenaga kerja karena biaya ditanggung oleh perusahaan. Karenanya, kepada calon TKI dapat diberikan zakat agar tidak berutang kepada pengerah tenaga kerja. Dengan dana zakat yang diberikan kepada TKI maka memungkinkan tercipta kemandirian dalam bidang psikologis karena telah terbayar utang sebelumnya dan dapat dengan tenang bekerja
di luar negeri. 340 Secara substansial, pandangan sejenis ini telah dikemukakan oleh Permono bahwa “alasan hukum yang terkandung di dalam pengertian jatah riqâb
adalah untuk membebaskan eksploitasi atau pemerasan oleh manusia atas manusia, baik 341 sebagai individual maupun komunal.” Menurutnya, berdasarkan alasan hukum
itu, maka di antara salah satu yang dapat dimasukkan dalam mustahik ini adalah
338 Wahbah al-Zahaeli, al-Fiqh al-Islam ī wa Adillatuhū, Juz III (Damsyiq: Dar Fikr, 1997), h. 2018.
339 Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Qur’an al-Hak īm al-Masyhūr al-Manâr, Juz X, h. 431.
340 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Kepala Devisi Pendayagunaan Zakat Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 Oktober 2007.
341 Sjechul Hadi Permono, Pendayagunaan Zakat dalam Rangka Pembangunan Nasional, (Jakarta: Firdaus, 1995), h. 66.
“pembebasan budak dari eksploitasi pihak lain, seperti pekerja kontrak dan ikatan 342 kontrak yang tidak wajar.”
(4) Ghârimin. al‐Ġârimīn, orang‐orang yang berhutang, oleh ulama memberikan syarat yang harus dipenuhi yaitu: secara ekonomis, harta miliknya tidak cukup untuk mereka pergunakan membayar utang; objek hutang pada hal‐hal yang dibenarkan 343 agama Islam.
Ahmad Muhammad Al‐’Assâl dan Fathy Ahmad menyatakan bahwa bagi al‐ ġârimīn dengan dukungan Baitulmal, zakat dapat berfungsi untuk melunasi utangnya baik utang yang berkaitan dengan kepentingan pribadinya maupun utang yang berkaitan dengan 344 pembiyaan kepentingan sosial. Tampaknya, Ahmad Muhammad Al‐’Assâl dan Fathy Ahmad menginginkan, zakat berpola produktif. Untuk pola konsumtif, dapat dipahami 345 ketika keduanya membahas zakat dalam kaitannya dengan orang fakir. Menurut keduanya, zakat yang diberikan kepada ghârimīn, akan memberikan dorongan dalam
meningkatkan kepercayaannya untuk beraktifitas ekonomi. 346 Badan Amil Zakat Nasional mengembangkan program pengembangan ekonomi
umat dengan memberikan zakat kepada masyarakat yang terjerat dengan utang dari rentenir atau usaha kecil yang memiliki kredit macet pada bank konvensional. Dalam hal ini Badan Amil Zakat Nasional, hanya memberikan zakat untuk pembayaran utang dalam kegiatan ekonomi dan tidak dalam bentuk sosial. Badan ini menetapkan bahwa terdapat unsur yang harus dipenuhi oleh mustahik ini yakni wajib berstatus sebagai muslim dan surat
keterangan sebagai mantan pengusaha atau sedang terjerat utang. 347
Kedua pencapaian kesejahtraan umat melaluji instrumen sosial. (1) Ibn al‐Sabīl. Program peningkatan kualitas sumber daya insani dikembangkan didasarkan pada konsep ibn al‐sabīl dalam zakat. Dana yang dialokasikan sekitar 25 % dari total dana
342 Sjechul Hadi Permono, Pendayagunaan Zakat dalam Rangka Pembangunan Nasional,
h. 66. 343 Muhammad Abd Allah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Qudâmah, al-Mugn ī, Juz IX,
(Qâhirah: 1995), h. 104. 344 Ahmad Muhammad al-‘Assâl dan Fathy Ahmad Abdul Kar īm, al-Nizâm al-Iqtisâdy fi
al-Islâm, (Qahirah: Wahbah, 1977), h. 166. 345 Ahmad Muhammad al-‘Assâl dan Fathy Ahmad Abdul Kar īm, al-Nizâm al-Iqtisâdy fi
al-Islâm h. 122. 346 Ahmad Muhammad al-‘Assâl dan Faty Ahmad Abdul Kar īm, al-Nidâm al-Iqtisâdy fi
al-Islam, h. 119. 347 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007.
yang terkumpul. 348 Untuk Beasiswa Tunas Bangsa, hanya diberikan kepada mahasiswa semester akhir atau menjelang penyelesaian studi, yang aktifis dakwah di kampus, serta
berasal 349 dari keluarga yang berekonomi lemah. Bantuan sarana belajar mengajar yang tidak mampu, pelatihan tenaga guru tertentu untuk madrasah, pelatihan kepemimpinan
bagi generasi muda Islam, pendirian sekolah unggulan untuk anak‐anak miskin berprestasi. Dalam pelaksanaannya beberapa jenis program ini dikerjasamakan pihak tertentu. 350
Ulama berbeda pendapat mengenai konsep ibn al‐sabī. Syâfi’ī menyatakan bahwa ia merupakan orang yang ingin mengadakan perjalanan dengan tujuan tidak untuk maksiat dan membutuhkan bantuan guna mendukung perjalanan dan tanpa dengan 351 bantuan, usaha dimakud tidak dapat terwujud. Selain dari aspek tujuan perjalanan juga aspek kedakmampuan untuk mencapai perjalanan tanpa dengan
bantuan 352 dan karenanya bagi orang kaya tidak berhak mendapat zakat. Menurut Mahmud Syaltut, mendayagunakan zakat untuk kepentingan pembiayaan penelitian
antar negara muslim dalam mempererat hubungan mereka dan tidak untuk kepentingan 353 olah raga dan pariwisata.
Pandangan Badan Amil Zakat Nasional, untuk mustahik ini dibanding dengan ulama di atas, memiliki karakteristik tersendiri, karena hanya mengkhususkan pada pengembangan sumber daya manusia yakni dalam bidang pendidikan saja. Dari sisi keberadaan pogram ini di Indonesia, hal serupa pernah dijadikan oleh Bazis DKI Jakarta sebagai rekomendasi pengembangan zakat. Menurut Bazis DKI Jakarta, mustahik ini mencakup: pengiriman mahasiswa ke luar negeri, penelitian‐penelitian ilmiah, pengiriman utusan ke konperensi, penyediaan asrama, perbaikan jalan umum kelancaran 354 arus lalu lintas, pendidikan atau pemeliharaan anak yatim, dan lain‐lain.
348 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Kepala Devisi Pendayagunaan Zakat Badan Amil Zakat Nasional. Jakarta, 9 Mei 2007.
349 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 9 Mei 2007.
350 Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, (Jakarta: Badan Amil Zakat Nasional , 2006), h. 45.
351 Abd. Allah Muhammad ibn Idris al-Syâfi ī, al-Um, Juz II, (Bairut: Dâr al-Kitab al- Ilmiah, t.th), h. 98.
352 Abd. Allah Muhammad ibn Idris al-Syâfi
ī, al-Um, Juz II, h. 98. Mahmud Syalt ūt, al-Islâm ‘Aqidah Wa Syari’ah, (Mesir: Dâr al-Qalâm, t.th), h. 110-
111 354 Rekomendasi dan Pedoman Pelaksanaan Zakat, (Jakarta: Bazis DKI Jakarta, 1981), h.
Ketiga, pencapaian kesejahteraan umat melalui instrumen spritual. (1) Mualaf. Mualaf, adalah orang yang dibujuk hatinya dan diberikan zakat untuk
meneguhkannya. Menurut Abû Ya’lâ seperti yang dinyatakan oleh Abū Zahrah bahwa, terdapat empat ragam orang mualaf yaitu: orang yang dibujuk hatinya karena membantu orang Islam; orang yang dibujuk hatunya karena membentengi umat Islam; orang yang dibujuk hatinya untuk mendorong rasa cinta kepada umat Islam; orang yang dibujuk hatinya untuk mendorong rasa cinta keluarga dan kelompoknya kepada umat Islam. Untuk kondisi perekonomian muallafin, Abū Zahrah berpendapat bahwa dewasa ini, sebahagian telah terputus dari keluarga (setelah memeluk Islam) dan kelompok masyarakat mereka. Karenanya mereka hidup dalam keadaan bermasalah dan membutuhkan 355 bantuan ekonomi. Menurut Ibnu Qudâmah, muallaf boleh diberikan zakat kepadanya sepanjang ia membutuhkan dan jika tidak membutuhkan, maka ia tidak diberikan. 356 Bagi Badan Amil Zakat Nasional, pemberian zakat kepada muallaf didasarkan atas permohonan dan surat keterangan tentang ke muallaf‐an. Surat keterangan dan permohonan ini, menunjukkan bahwa muallaf membutuhkan zakat. Dibanding kedua pandangan terakhir ini, tampaknya terdapat relevansi, karena keduanya mengacu pada sektor kebutuhan.
(2) Fī Sabīl Allah. Menurut Fakhr al‐Râzi menyatakan bahwa sebahagian mufassir mengartikan fī sabīl Allah yaitu mencakup kebutuhan umat Islam dalam memenuhi kemaslahatannya. 357 Program dakwah yang dikembangkan oleh Badan Amil Zakat Nasional melalui pembiayaan zakat, didasarkan pada pemahaman konsep fī sabīl Allah. Alokasi sekitar 10 % dari total dana yang terkumpul dengan bentuk sasaran dakwah masjid, 358 dakwah masyarakat dan dakwah sekolah.
Pengembangan dakwah dengan tiga sasaran ini merupakan suatu karakteristik pemahaman bagi Badan Amil Zakat Nasional. Pemahaman Badan Amil
Zakat Nasional yang berbasis pada pengembangan sumber daya manusia melalui
355 Muhammad Abu Zahrah, Zakat. Penerjemah Zawawy (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2004), cet.III , h. 153.
356 Muhammad Abd Allah ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Qudâmah, al-Mugn ī, Juz IX, (Qâhirah: 1995), h. 100.
357 Fakhr al-din ibn Muhammad ibn ‘Umar ibn Husain ibn Hasan ibn ‘Al ī al-Tamīmī al- Bakr ī al-Râzī, Tafsīr al-Kabīr au Mafâtīh al-Ghaib, juz 8 (Refrint, Qâhirah: Taufīqiyyah, 2003),
h. 99. 358 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 9 Mei 2007.
dakwah, merupakan jawaban atas permasalahan yang dialami umat Islam dewasa ini. Dalam hal perlunya pembinaan dakwah khususnya terhadap dai menurut Hidayat
Nurwahid, ”...kita semua termasuk mereka yang aktif di dunia dakwah perlu mencermati berbagai perkembangan mutakhir disekitar kita yang bersinggungan dengan sikap dan pengetahuan 359 serta komitmen dan pelaksanaan agama....”
Dari sisi keberadaan pogram ini di Indonesia, hal serupa pernah dijadikan oleh Bazis DKI Jakarta sebagai rekomendasi pengembangan zakat. Menurut Bazis DKI Jakarta, mustahik ini mencakup: “...peningkatan ilmu pengetahuan: agama, umum, keterampilan, keperluan bea‐siswa, penelitian, penerbitan buku‐buku pelajaran, majalah 360 ‐majalah ilmiah....”
Penetapan fungsi kesejahteraan melalui instrumen‐instrumen dimaksud, maka tampaknya, telah terjadi implementasi pola penmdayagunaakan zakat pada zaman Rasul terhadap program yang dikembangkan Badan Amil Zakat Nasional. Pandangan ini didasarkan pada argumen : (a). Penetapan prosentase merupakan bagian dari ijtihad; (b). Kriteria yang dikemukakan oleh Badan Amil Zakat Nasional pada dasarnya mengacu pada hasil ijtihad yang didasarkan oleh ulama dan lembaga pengelola zakat lainnya serta pengembangan kriteria yang dilakukan sendiri oleh Badan Amil Zakat. (c). Dalam melaksanakan program kerja dimaksud, maka faktor manajerial menjadi perhatian badan ini. Bagian sub c dimaksud akan dikemukakan secara luas pada pembahasan sub b bab
V disertasi ini. Bagi penulis memadukan ”ijtihad” dan implementasi fungsi manajemen dalam program kerja, merupakan bagian dari usaha yang akan memberikan manfaat kepada mustahik.
2. Prinsip Desentralisasi Merujuk kepada hadis Nabi berkaitan dengan pengangkatan Muadz (w. 18
H) sebagai amil di negari Yaman, yang diuraikan pada bab II mengeai prinsip desentralisasi, maka prinsip ini akan ditelaah dari sisi implementasinya pada pendayagunaan zakat yang dilakukan oleh Badan Amil Zakat Nasional.
359 Hidayat Nurwahid, dalam A. Suriyani, Manajemen Dakwah, (Jakarta: MSCC, 2005), h. vi.
360 Rekomendasi dan Pedoman Pelaksanaan Zakat, (Jakarta: Bazis DKI Jakarta, 1981), h. xiii. .
Menurut UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat Badan Amil Zakat Nasional berpeluang memiliki sumber pendataan dari dana zakat baik dari dalam negeri maupun
luar negeri (pasal 22). Pendayagunaan zakat yang dilakukan Badan ini dilihat dari sisi tempat tinggal mustahik atau geografis mustahik, baik yang disalurkan melalui conter sendiri badan ini maupun melalui kemitraan, memperlihatkan terjadinya penyebaran geografis mustahik pada seluruh Indonesia. Pada tabel tentang penyebaran unit salur zakat (USZ) terihat bahwa hanya enam provinsi di Indonesia yang telah memilliki jaringan USZ dan provinsi yang terbanyak adalah Jawa Barat.
Terhadap kebijakan Badan Amil Zakat Nasional yang hanya memiliki jaringan USZ terbatas pada provisi tertentu memiliki kaitan erat dengan keterbatasan dana zakat yang 361 diterima.tidak dimaksudkan sebagai upaya diskriminasi geografis Bagi penulis pola pendayagunaan zakat yang digunakan Badan Amil Zakat Nasional adalah sentralisasi dan bukan desentralisasi. Pola yang dipergunakan ini dapat dipahami dengan argumen: (a) Badan ini secara fungsional memiliki kewenangan yang berbeda dnegan badan amil zakat daerah provinsi lainnya. Bagi Badan Amil Zakat Nasional yang merupakan organisasi yang berada di tingkat pusat, maka titik perhatian ditujukan pada kebijakan yang bersifat strategis dan memberikan pendayagunaan zakat dengan tidak diskriminasi dalam melihat wilayah geografis. (b). Secara sosiologis ekonomis, badan amil zakat daerah provinsi memiliki tingkat kemampuan yang berbeda‐beda. Dengan kata lain, terdapat badan amil zakat daerah yang memiliki pengumpulan zakat dan manajemen yang memadai sementara pada badan lainnya dengan kedua kondisi itu sangat
lemah. 362 Dengan argumen di atas, kiranya sentralisasi dalam pendayagunaan zakat,
dipandang sangat rasional. Dengan dasar argumen itu pula hemat penulis pola pendayagunaan zakat yang sentralistik ini sesuai dengan prinsip‐prinsip desentralisasi yang dibangun oleh Rasul dalam pendayagunaan zakat. Untuk mendukung pendapat ini maka dapat dikemukakan pandangan yaitu : (a) Pertimbangan yuridis. Dalam UU No. 38/1999 dan Peraturan Menteri Agama, dak ditemukan petunjuk berkaitan dengan pola pendayagunaan zakat yang bersifat desentralistik atau sentralistik. Penjelasan
361 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007.
362 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 1 Agustus 2007.
mengenai pola in ditemukan pada Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/291 Tahun 2002 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan
Zakat. Menurut Keputusan terakhir ini pasal 8 (1 huruf f) dinyatakan bahwa : ”Mengutamakan pendistribusian dan pendayagunaan dari dana zakat yang diperoleh di daerah masing‐masing sesuai dengan tingkatannya, kecuali Badan Amil Zakat Nasional dapat mendistribusikan dan mendayagunakan dana zakat ke seluruh wilayah Indonesia.”
Peraturan Teknis Dirjen di atas memberikan informasi bahwa pola pendayagunaan zakat adalah disentralisasi dan kepada Badan Amil Zakat Nasional diberikan kewenangan bersifat sentralistik. Dilihat dari sisi tata hukum, maka kebijakan ini merupakan rangkaian dari penjelasan yang besifat teknis terhadap UU No. 38/1999 dan atas dasar itu, maka bagi Badan Amil Zakat Nasional memiliki kewajiban untuk menganut pola pendayagunaan sentralistik.
Dalam perspektif fiqh al‐Siyâsi, kebijakan ini merupakan perwujudan dari keinginan pemerintah untuk memberikan hak‐hak mustahik bagi warna negaranya dan merupakan kewajiban Badan Amil Zakat Nasional, untuk mewujudkannya. Atas dasar itu, maka melaksanakan kewajiban pendayagunaan zakat secara sentralistik bagi Badan Amil 363 Zakat Nasional dipandang sesuai dengan QS. al‐Nisa: 59 Muhammad Abduh mengemukakan empat pengertian mengenai ulil amr dan ia menyatakan bahwa ulil amr mengandung atri sebuah lembaga yang di dalamnya terhimpun para amir, hakim, ulama, kepala pasukan militer dan seluurh pemimpin masyarakat yang menjadi rujkan dalam memenuhi
kemaslahatan umum. 364 Dengan kata lain ketaatan Badan Amil Zakat Nasional atas nama yuridis, pada
dasarnya merupakan konsekwensi dari ketaatan pada Rasul. Karenanya untuk argumen pola sentralistik Badan Amil Zakat Nasional dipandang sesuai dengan prinsip pendayagunaan zakat pada jaman Rasul.
”Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, Maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.”
364 Yaitu: para amir, para hakim, para ahli ilmu pengetahuan, imam-imam maksum. Muhammad Rasyd Rida, Tafsir alQur’ân al-Hakîm ( al-Manar), Juz V, (Mishr : Maktabah al-
Qâhirah, 1960), h. 181-181.
(b) Kondisi sosial ekonomi badan amil zakat daerah. Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa tingkat kemampuan badan amil zakat daerah masih relatif variatif.
Dengan demikian, Badan Amil Zakat yang secara yuridis dipandang sebagai lembaga amil zakat tingkat nasional, berkewajiban melakukan pendayagunaan dengan berbasis keadilan. Kondisi kualitas berbagai badan amil zakat daerah tingkat provinsi yang relatif masih lemah, dipahami dari pernyataan pengurus badan amil zakat Provinsi DI. Yogyakarta. Menurutnya, kondisi pengelolaan dan dana yang kurang lebih banyak untuk keperluan konsumtif, menyebabkan berbagai masalah kemiskinan tidak bisa ditangani oleh 365 bazda.
Terkait dengan argumentasi di atas, Badan Amil Zakat Nasional selain melakukan pendayagunaan zakat melalui sinergi UPZ, badan ini melakukan bantuan kemanusiaan pada bencana alam tsunami di Provinsi Aceh Daruusalam, Sulawesi Selatan (Kabupaten Sinjai) 366 serta Yogyakarta. Secara nasional, Indonesia sering dilanda bencana alam dan berbagai problem sosial ekonomi, maka kebijakan Badan Amil Zakat Nasional masih sangat relevan yang sentralistik untuk dikembangkan. Tampaknya, secara internal kelembagaan Badan Amil Zakat Nasional telah siap mengembangkan sikap sentralistik ini dengan mengusung visi yaitu ”Menjadi pusat zakat nasional yang memiliki peran dan posisi yang sangat strategis di dalam upaya pengentasan kemiskinan dan peningkatan kesejahteraan masyarakat secara keseluruhan melalui pengelolaan zakat nasional yang amanah, profesional, efisien dan efektif berdasarkan syari’at Islam dan aturan perundang
‐undangan yang berlaku” 367 Dengan visi yang diusung tersbebut, badan ini menghendaki terwujudnya suatu
kesejahteraan masyarakat Indonesia melalui pendayagunaan zakat. Dalam konteks sentralisasi pendayagunaan, mengandung arti bahwa badan ini memberikan peluang yang sama bagi seluruh mustahik di Indonesia untuk menjadikan zakat sebagai instrumen peningkatan kesejahteraan.
3. Prinsip Mempertegas Zakat sebagai Hak Mustahik
365 Wawancara Pribadi dengan April Purwanto, devisi Pendayagunaan Zakat BAZDA D Yogyakarta, via internet, tgl. 30 April 2008.
366 Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, (Jakarta: Badan Amil Zakat Nasional, 2006), h. 38-39.
367 Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, (Jakarta: Badan Amil Zakat Nasional, 2006), h. 17.
Salah satu kebijakan yang ditemuh oleh Rasul adalah mempertegas zakat sebagai hak mustahik. Kebijakan ini penting untuk menunjukkan bahwa tindakan yang
ditempuh oleh amil berkaitan mustahik benar‐benar dapat mendukung zakat sebagai hak bagi mustahik. Dengan kata lain zakat yang dikelola tidak diterima oleh mereka yang tidak bermasuk kelompok mustahik
Berkaitan dengan kebijakan Rasul ini, maka jika dilihat dari sisi implementasinya pada Badan Amil Zakat Nasional, maka terdapat tiga hal yang perlu digarisbawahi. Pertama, unsur‐unsur pada mustahik. Terhadap unsur mustahik telah dikemukakan pada pembahasan yang lalu. Hasil pembahasan menunjukkan bahwa unsur‐unsur mustahik telah mengalami perluasan yang merupakan pengembangan dari unsur yang ada. Secara prinsipil perluasan unsur‐unsur terhadap mustahik didasarkan pada pemahaman terhadap berbagai pendapat ulama.
Karenanya penetapan unsur‐unsiur terhadap mustahik memberikan indikasi mengenai kemampuan Badan Amil Zakat untuk menjaga zakat agar dapat diterima oleh mereka yang termasuk kategori mustahik. Kedua, orientasi kelembagaan. Kebijakan pendayagunaan zakat Badan Amil Zakat Nasional untuk 2004‐2007 diarahkan pada: (a) orientasi pada pengentasan kemiskinan mustahik. Untuk mendukung upaya ini, Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional menetapkan 35 % (tiga puluh lima prosen) untuk program pendayagunaan zakat ditujukan kepada mustahik pada sektor ekonomi. Hal ini merupakan prosentase tertinggi dibanding dengan program lainnya.
7: Program dan Prosentase Pendayagunaan Zakat Badan Amil Zakat Nasional
Tabel
No. Nama Program Sub Program
Ket.
1. Kemanusiaan a. Evakuasi Korban
b. Pelayanan
c. Kesehatan Darurat
d. Bantuan Pangan dan Sandang
e. Pembinaan Daerah Pasca Bencana
2. Kesehatan a. Jaminan Kesehatan Masyarakat Prasejahtera 20 % (Jamkestra)
b. Dokter Keluarga Pra sejahtera (DKPS)
c. Unit Kesehatan Keliling
d. Penyaluhan Kesehatan
e. Pemberian makanan bergizi, sanitasi desa prasejahtera
35 % Ekonomi Umat
3. Pengembangan a. Bantuan Sarana Usaha
b. Pendanaan Modal Usaha
c. Pendampingan/Pembinaan
4. Dakwah a. Bina Dakwah Masyarakat
b. Bina Dakwah Masjid
c. Bina Dakwah Kampus/ Sekolah
5 Peningkatan a. Beasiswa Tunas Bangsa
Kualitas b. Beasiswa Pelajar Keluarga
Sumber Daya Prasejahtera Insani
c. Pendidikan Alternatif Terpadu
d. Pendidikan Keterampilan Siap Guna Bantuan Guru dan Sarana Pendidikan Sumber Data: Laporan Pertanggungjawaban Pengurus Badan Amil Zakat
Nasional Periode 2004‐2007, h. 9
(b) orientasi pada manajemen pendayagunaan. Orientasi ini dimaksudkan sebagai upaya untuk memberikan dampak yang sebesar‐besarnya bagi mustahik dalam pendayagunaan 368 zakat. Dikaitkan pandangan ini dengan kondisi objektif pendayagunaan zakat di Indonesia, kiranya cukup strategis, karena secara umum pendayagunaan yang dikembangkan oleh lembaga pengelolalan zakat cenderung kurang memperhatikan aspek ini. Dalam tabel sembilan belas (19) terlihat hanya sebahagian
368 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 10 September 2007.
kecil lembaga pengelola zakat yang memiliki arah pengembangan yang berbasis ekonomi yang jelas dengan alokasi 20 prosen ke atas.
Ketiga Prosedur Pendayagunaan Zakat. Untuk mencapai hasil yang maksimal maka UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat telah menetapkan proseder pendayagunaan zakat (pasal 29) . yakni : a. melakukan studi kelayakan, b. menetapkan jenis usaha produktif, c. melakukan bimbingan dan penyuluhan, d. melakukan pemantauan, pengendalian dan pengawasan, e. mengadakan evaluasi dan membuat pelaporan. Selain prosedur dalam pendayagunaan zakat untuk hal‐hal yang produktif, maka hal‐hal yang konsumtif, Badan Amil Zakat Nasional menetapkan prosedur pendistribsian : a. Calon penerima penerima zakat diberikan anggota mustahik (NAM), b., Penelitian administrasi berkas calon, c. Penetapan besaran yang diberikan kepada mustahik 369 dan. persetujuan pemberian, d. Pembayaran dana zakat kepada mustahik.
Uraian di atas berkaitan penetapan unsur‐unsur mustahik, orientasi kelembagaan serta prosedur pendayaguaan, memnunjukkan bahwa Badan Amil Zakat Nasional telah melakukan upaya agar zakat dapat diterima kepada mustahik. Langah‐ langkah yang dilakukan Badan ini merupakan implementasi pada pola yang dipahami dari Rasul mengenai pendayagunaan zakat.
Sebagaimaan dikemukakan pada pengantar bab ini, yakni bab ini diharapkan dapat memberikan analisis mengenai impelementasi pola‐pola Rasul dalam pendayagunaaan zakat yang dilakukan oleh Badan Amil Zakat Nasional, maka hasil analisis menunjukkan bahwa secara prinsipil Badan ini telah mengimplementasikan pendayagunaan zakat sebagaimana yang dipahami dari pola Rasul. Hasil analisis ini menunjukkan bahwa, sebagai lembaga keagamaan dengan fungsi pendayagunaan dana zakat yang merupakan instrumen sosial ekonomi religius yang berasal dari perintah agama Islam, yang seyogianya mengacu pada pola pendayagunaan Rasul dan tampaknya Badan ini secara prinsipil telah mengimplementasikan pola dimaksud dalam pendayagunaan zakat.. Selanjutnya, untuk melihat implementasi fungsi‐fungsi manajemen pada Badan Amil Zakat Nasional dalam pencapaian tujuan zakat untuk kepentingan mustahik, maka diperlukan analisis tentang implementasi pada fungsi manajemen sebagaimana uraian bab berikutnya
369 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 9 Mei 2007.
BAB V