Implementasi Fungsi Kepemimpinan dan Pengawasan

C. Implementasi Fungsi Kepemimpinan dan Pengawasan

1. Fungsi Kepemimpinan Pemimpin sebagai pelaku dari sifat yang dikembangkan olehnya dan sifat‐sifat

yang 474 dikembangkannya itu dikenal dengan kepemimpinan. Pemimpin menurut Cattell seperti dinyatakan oleh Salusu dipandang sebagai orang yang paling efektif menciptakan

perubahan ‐perubahan dalam kelompoknya. Lebih lanjut ia memberikan intisari dari kata pemimpin yaitu, ”...peranan kunci, dominasi, pengaruh....” Sedang kepemimpinan dengan mengutip pendapat Stogdill “...proses mempengaruhi kegiatan kelompok dalam

470 Rekomendasi dan Pedoman Pelaksanaan Zakat, (Jakarta: Bazis DKI Jakarta, 1981), h. xiii.

471 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 9 Mei 2007.

472 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 9 Mei 2007.

473 Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 45. 474 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai

Pustaka, 2000, edisi III), h. 874.

perumusan dan pencapaian tujuan....” 475 Menurut Soni Yuwono, kepemimpinan mengandung arti sebagai penggunaan kewenangan dengan menggerakkan dan

mengalokasikan sumber daya serta memotivasi karyawan ke arah pencapaian tujuan organisasi. 476 Hal yang sama dikemukakan oleh Martin bahwa kepemimpinan

merupakan proses mempengaruhi 477 orang lain untuk mencapai tujuan organisasi.

Untuk mempengaruhi orang lain, maka Yukl sebagaimana dikemukakan Martin mengemukakan bahwa terdapat enam sumber‐sumber kepemimpinan, yaitu kekuatan referensi, kekuatan keahlian, kekuatan legitimasi, kekuatan informasi, kekuatan penghargaan, 478 kekuatan memaksa.

Untuk keperluan analisis evaluatif terhadap fungsi kepemimpinan yang diimplementasikan Badan Amil Zakat Nasional dalam pendayagunaan zakat, maka sumber ‐sumber kekuatan memimpin akan dikaitkan dengan indikator pene litian ‐yang telah ditetapkan‐ sebagaimana yang dikemukakan dalam tabel di bawah ini.

Tabel 12: tentang Sintesis antara Unsur‐Unsur pada Sumber‐Sumber Kepemimpinan dalam Fungsi Kepemimpinan dengan Indikator Penelitian

Indikator

Sintesis

Unsur-Unsur Pada Sumber Kepemimpinan

12 3 Efektif Terhadap

Kekuatan Referensi, Legitimasi, Mustahik

Dana Zakat

Memaksa dan Keahlian

Efisien

Sumber daya:

Kekuatan Referensi, Legitimasi,

Ekonomi, Waktu,

Keahlian dan Informasi

Tenaga

Tepat Jumlah

Jumah Dana yang

Kekuatan Referensi dan Legitimasi

ditetapkan

Perubahan

Kekuatan Referensi, Legitimasi, Mustahik

Sosekreg

Mustahik

Memaksa, Informasi, Keahlian dan Penghargaan

Sumber: Hasil Analisis Penulis, (dengan memodifikasi pandangan

475 J. Salusu, Pengambilan Keputusan Staratejik, (Jakarta: Grasindo, 2006, cet. IX), h.191- 192.

476 Soni Yuwono, et.All., Penggunaan Sektor Publik, ( Malang: Bayu Media Publishing, 2005 cet. I ), h. 2.

477 Kathryn M. Bartol & David C. Martin, Management, (New York: McGraw-Hill, Inc. 1991), h. 480. .

478 Gary A. Yukl dalam Kathryn M. Bartol & David C. Martin, Management, h. 482.

Gary A. Yukl dalam Mar n), 2008

Tabel di atas menjelaskan tentang implementasi kepemimpinan terhadap indikator pendayagunaan zakat. Kepemimpinan dianalisis dengan mengemukakan unsur ‐unsur pada sumbernya dan mengaitkan dengan indikator penelitian guna memunculkan hasil sintesis dari indikator dan unsur‐unsur pada sumber kepemimpinan dimaksud.

a. Unsur‐Unsur Dalam Kepemimpinan Untuk Efektifitas Dana Zakat Untuk mengemukakan unsur kepemimpinan dalam efektifitas dana zakat, maka

uraian akan mengacu pada unsur‐unsur yang terkait dengan efektifitasyang meliputi unsur : Kekuatan Referensi, Legitimasi, Memaksa dan Keahlian .

1) Kekuatan Referensi Kekuatan referensi mencakup kekaguman dan kesukaan orang lain terhadap

pemimpin. Hal ini akan mempengaruhi kepercayaan orang lain kepada pemimpin. Walaupun dampaknya akan memandang kepemimpinan itu tidak penting dan membawa 479 kerusakan dalam kepemimpinan. Unsur sumber kepemimpinan ini dinilai oleh Schermerhon dengan sumber yang bersifat personal dan karenanya ia menggolongan

sebagai kepemimpinan karismatik. 480 Apabila unsur ini dikaitkan dengan kepemimpinan pada Badan Amil Zakat Nasional, untuk tingkatan pelaksana harian,

maka telah tertanam nilai‐nilai kepemimpinan jenis ini. Unsur ini terlihat pada kapasitas ketua umum periode II yang menampilkan sosok kepemimpinan yang mengembangkan berdasarkan kepribadian yang ramah, sopan dan membimbing. Sikap ini yang kemudian menjadikan prototipe ketua umum dimaksud, memberikan pengaruh kepada

karyawan Badan Amil Zakat Nasional. 481 Sebagai pemimpin karismatik yang lebih menonjolkan kepribadian, ketua umum

II Badan Amil Zakat Nasional, tampaknya tidak hanya didasarkan pada kemauan dan

479 Gary A. Yukl dalam Kathryn M. Bartol & David C. Martin, Management, h. 482. 480 John R. Schermerhon, JR. Management, h. 322. 481 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus

Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 Agustus 2008.

komitmen dalam membangun komunikasi kepribadian dengan karyawan, tetapi faktor ‐faktor lain turut berpengaruh pula. Faktor ini akan

dikemukakan pada pembahasan lainnya. Dalam konteks efektifitas dana zakat, kepemimpinan karismatik ini‐ dengan

meminjam istilah Schermerhon di atas‐, maka kriteria mustahik menjadi bahagian titik perhatian Badan Amil Zakat Nasional. Hal ini disebabkan karena: a. Dana zakat hanya diberikan kepada pemilik yang memenuhi krieria, b, Dorongan moril untuk menyampaikan

kepada mereka yang memenuhi kriteria. 482 Argumen yang dikemukakan ini, tampaknya lebih bersifat kepribadian, dan karenanya penyampaian

hak ‐hak mustahik akan terodorong dilakukan oleh kepemimpinan yang berbasis karismatik

2) Kekuatan Legi masi Kepemimpinan dengan unsur legitimasi kekuasaaan didasarkan atas

kemampuan mempengaruhi orang lain dengan dasar otoritas yang dimilikinya karena didukung

oleh perundang‐undangan. 483 Apabila unsur legitimasi ini dikaitkan dengan Badan Amil Zakat Nasional maka dari sisi yuridis formal terlihat bahwa UU No. 38/ 1999

tentang Pengelolaan Zakat telah mengakui keberadaan Badan ini. Dari sisi efektifitas dana zakat kepada mustahik ditemukan pada UU ini Pasal 16 ayat (1) menyatakan bahwa hasil pengumpulan zakat pendayagunaan untuk mustahik sesuai dengan ketentuan agama; (2) Pendayagunaan hasil pengumpulan zakat didasarkan skala prioritas kebutuhan mustahiq dan dapat dimanfaatkan untuk usaha yang produktif.

Dalam pasal ini terdapat unsur yang mendukung gagasan tentang efektifitas dana zakat untuk mustahik yaitu : peruntukan zakat untuk mustahik dan hak‐hak mustahik. Dari sisi peruntukan menunjukkan, bahwa muzaki merupakan kelompok penerima sebagaimana ketentuan agama Islam. Zakat dapat dijadikan sebagai intrumen untuk memenuhi kebutuhan mereka. Dengan dasar pemenuhan kebutuhan mustahik maka zakat berpeluang untuk dikembangkan ke dalam dunia bisnis.

482 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 Agustus 2008.

483 Gary A. Yukl dalam Kathryn M. Bartol & David C. Martin, Management, h. 482.

Pasal lain yang berkaitan dengan efek fitas dana zakat, yakni pasal 28 ayat (1) yang menetapkan persyaratan pendayagunaan zakat. Dalam ayat ini menghendaki

perlunya pendataan dan penelitian kepada mustahik bagi pengelola zakat.

Unsur legitimasi untuk efektifitas dana zakat dapat dikaitkan dengan budaya organisasi Badan Amil Zakat Nasional, yaitu sidik, yaitu “melakukan pekerjaan dengan benar

dan profesional”. 484 Selain itu, unsur legitimasi ini terkait pula target pengelolaan zakat

Badan Amil Zakat Nasional yaitu tepat, 485 yang dapat dipahami dengan ketepatan sasaran atau mustahik.

Berkaitan dengan efektifitas dana zakat yang dalam UU dimaksud dan selanjutnya dikaitkan dengan budaya serta target organisasi Badan Amil Zakat Nasional yang telah ditetapkan, maka Badan ini secara rinci telah menetapkan prosedural penerimaan bagi mustahik sebagaimana yang dikemukakan pada unsur keahlian.

3) Kekuatan Memaksa Pemaksaan dalam kepemimpinan dapat dilakukan oleh pemimpin dengan

memberikan ancaman agar secara psikologis dapat menimbulkan efek ketaatan kepada yang 486 bersangkutan atau kepada orang lain dalam suatu organisasi. Apabila kekuatan

memaksa ini dikaitkan dengan Badan Amil Zakat Nasional, maka hanya ditujukan secara psikologis kepada karyawan. Sebagai diketahui bahwa kepatuhan karyawan dalam menjalankan tugas‐tugas mereka, disebabkan oleh berbagai faktor. Namun dalam konteks ini, maka pemaksaan dipandang memiliki pengaruh terhadap pelaksanaa tugas mereka.

Pandangan ini didasarkan pada dua argumen yaitu : dilihat dari sisi rekrutmen calon karyawan, tampaknya dilakukan dengan prosedur yang ketat. b. Terbukti telah dilakukan pemecatan pada seorang karyawan yang dipandang telah melakukan

484 Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 19.

485 Target pengelolaan zakat Badan Amil Zakat Nasional “memberikan pelayanan kepada mustahik untuk mendapatkan haknya secara cepat, tepat dan berdaya guna.” Annual Report 2006,

h. 25. 486 John R. Schermerhon, JR. Management, h. 322.

pelanggaran. 487 Untuk aspek pemecatan, walaupun penyebabnya tidak terkait langsung 488 dengan masalah penyampaian dana zakat kepada mustahik, namun efek yang

ditimbulkannya akan berpengaruh bagi karyawan lainnya dalam melaksanakan tugas‐ tugas mereka.

Dilihat dari sisi sumber pengaruh hukuman, maka pengaruh itu bersumber dari internal dan eksternal. Hal yang bersifat internal yaitu kemampuan psikologis bagi karyawan untuk menepati ”janji‐janji” prestasi mereka ketika mengikuti tes rekrutmen karyawan, sedang eksternal adalah, kemampuan psikologis mereka melihat penegakan disiplin organisasi melalui pemecatan.

4) Kekuatan Keahlian Kekuatan keahlian dimaksudkan sebagai kapasitas pengetahuan yang dimiliki

oleh 489 pemimpin dalam mengembangkan suatu organsasi. Badan Amil Zakat Nasional memiliki keahlian untuk memastikan dana zakat dapat secara efektif diterima oleh

mustahik. Upaya yang dilakukan adalah prosedur penerimaan calon mustahik dan prosedur penyerahaan dana zakat. Kedua hal ini telah diuraikan pada pembahasan kriteria pada sub bab mustahik sebagai sasaran sumber ekonomi.

Berkaitan dengan unsur keahlian, dalam kaitan dengan prosedur dan penyerahan kepada dana zakat kepada mustahik, maka ia mengandung dimensi manajemen. Walaupun demikian, dari sisi dimensi teologis mengenai zakat turut pula merupakan bagian dari keahlian yang mempengaruhi unsur‐unsur dimakasud dalam kepemimpinan pada Badan Amil Zakat Nasional. Dimensi ini, kemudian diinternasiliasikan sebagai budaya organisasi.

Konsep amanah, diartikan “...sebagai suatu komitmen sekaligus kemauan untuk menjalankan pekerjaan dan mengemban tanggungjawab sesuai dengan

deskripsi 490 kerja maupun kesepakatan dengan pemberi kerja....” Bagi Badan

487 Wawancara Pribadi Broto Santoso, Kepala Divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 4 Mei 2007.

488 Wawancara Pribadi Broto Santoso, Kepala Divisi Pengembangan Sumber Daya Manusia Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 4 Mei 2007.

489 John R. Schermerhon, JR. Management, h. 322.

490 Didin Hafidhuddin Ma’turidi, “Peran Pembiyaan Syari’ah dalam Pembangunan Pertanian di Indonesia.” h. 55.

Amil Zakat Nasional sifat amanah, yang merupkan salah satu budaya organisasi 491 dipahami dengan ”sifaf jujur dan dapat dipercaya” Dengan demikian, penetapan

kriteria dan prosedur penerimaan serta penyerahan zakat kepada mustahik hemat penulis merupakan bagian dari unsur keahlian dalam aspek kepemimpinan yang mengembangkan efektifitas dana zakat

b. Unsur‐Unsur Dalam Kepemimpinan Untuk Efisiensi Dana Zakat Untuk mengemukakan unsur kepemimpinan dalam efektifitas dana zakat, maka

uraian akan mengacu pada unsur‐unsur yang terkait dengan efektifitas yang meliputi unsur ‐unsur kekuatan referensi, legitimasi, keahlian dan informasi

1) Kekuatan Referensi Kekuatan referensi atau karismatik dalam kepemimpinan Badan Amil Zakat

Nasional, yang dikembangkan oleh Ketua Umum pada perode II, yang secara personal, sebagaimana dikemukakan dalam pembahasan tentang efektifitas dana zakat, maka hal itu juga berlaku pada unsur efisiensi dana zakat. Dalam hal ini unsur efisiensi terlihat pada penetapan prosentase dana zakat pada fungsi pengorganisasian, terciptanya kesepakatan di kalangan amil yang secara ikhlas untuk tidak menerima dana zakat yang merupakan hak mereka sebagai amil.

2) Kekuatan Legi masi Unsur ini dilihat dari sisi budaya organisasi yang ditetapkan Badan Amil Zakat

Nasional maka relevan dengan sidik yaitu “melakukan pekerjaan dengan benar dan profesional”. 492 Melakukan pekerjaan dengan benar Shiddîq, oleh Didin Hafidhuddin dipahami sebagai .kemampuan pemimpin untuk bertindak dengan benar dengan cara yang benar. Suatu tindakan yang benar tidak akan memberikan manfaat yang optimal bila 493 tidak dilakukan dengan cara yang benar....” Tampaknya, konsep sidik di atas, masih sangat abstrak jika dikaitkan dengan efisiensi sebagai salah satu indikator pendayagunaan dana zakat. Karena itu, kekuatan legitimasi sebagai unsur

491 Badan Amil Zakat Nasional , Annual Report 2006, h. 19. 492 Badan Amil Zakat Nasional , Annual Report 2006, h. 19.

493 Pandangannya ini didasarkan atas pemahaman hadis Nabi ’alaykum bi al-shidqi fainna al-shidqa yahdî ilâ al-birri. Didin Hafidhuddin Ma’turidi, “Peran Pembiyaan Syari’ah

dalam Pembangunan Pertanian di Indonesia.” h. 53.

kepemimpinan, tidak dapat menjelaskan secara rinci tentang kaitan antara efisiensi dengan konsep sidik di atas.

Dengan demikian diperlukan unsur lain untuk menjelaskan secara rinci mengenai konsep sidik yang dikaitkan dengan unsur efiensi dalam indikator penelitian ini.

3) Kekuatan Keahlian Sebagaimana dikemukakan pada pembahasan sebelum ini, bahwa konsep sidik

sebagai salah satu budaya organisasi Badan Amil Zakat Nasional dikaitkan dengan unsur legitimasi dalam kepemimpinan, masih bersifat abstrak, sehingga tidak ditemukan rincian pemahaman jika dikaitkan dengan efisiensi dana zakat. Karena itu, unsur keahlian sangat terkait dengan penjelasan secara rinci dengan konsep sidik tersebut.

Unsur efisiensi yang dimaksud di sini lebih mengandung sistem penggunaan sumber daya organisasi. Pandangan ini didasarkan implementasi efisiensi yang dilakukan Badan Amil Zakat Nasional terlihat pada : Pertama, Badan Amil Zakat Nasional telah menetapkan prosentase pendayagunaan dana zakat, Kedua, pemilihan program kerja yang dapat memberikan dampak kepada mustahik dengan menerapkan unsur efisiensi. Ketiga, penerapan unsur ini dalam bentuk kemitraan organisasi.

Ketiga argumen di atas, dipandang sebagai suatu sistem karena tidak hanya diterapkan dalam suatu tahapan tertentu untuk pendayagunaan zakat, tetapi hal itu menjadi bagian dari pelaksanaan pendayagunaan zakat secara keseluruhan. Sebagai unsur keahlian, unsur efisiensi sebagai suatu sistem tidak hanya dipengaruhi oleh kemampuan kepemimpinan yang berdimensi manajemen, tetapi juga dipengaruhi oleh unsur “melakukan pekerjaan benar” yang dipandang berdimensi moril.

Dimensi manajemen dan moril yang dipahami dari pengembangan konsep sidik, mencerminkan Badan Amil Zakat sebagai lembaga keagamaan (Islam). Sebagai lembaga keagamaan (Islam), maka ajaran Islam yang melarang tabzîr yakni pemborosan, telah terimplementasi pada aspek kepemimpinan dan menjadi menjadi unsur efisiensi sebagai sistem kerja.

Kedua dimensi di atas, terpolakan secara terpadu, dan karenanya tidak dapat dipisahkan dengan lainnya. Dengan kata lain, untuk menerapkan unsur efisiensi sebagai Kedua dimensi di atas, terpolakan secara terpadu, dan karenanya tidak dapat dipisahkan dengan lainnya. Dengan kata lain, untuk menerapkan unsur efisiensi sebagai

Berkaitan dengan penerapan unsur efisiensi dalam bentuk kemitraan termasuk di dalamnya tentang pola sinergi yang dibangun Badan Amil Zakat Nasional dengan lembaga zakat seperti Dompet Dhuafa (DD) sebagaimana dikemukakan pada bab III tentang sinergi antar lembaga amil zakat dan merupakan bentuk sinergi yang pertama. Menurut data diperoleh –sebagai dikemukakan pada uraian dimaksud‐ sinergi ini didasarkan pada dua pertimbangan yakni kesamaan fungsional kelembagaan dan pengembangan 494 manajemen.

Sinergi Badan Amil Zakat Nasional dengan Lembaga ini, telah menuai perbedaan pandangan di kalangan tertentu. Perbedaan pandangan itu menjadikan Badan Amil Zakat Nasional tidak dapat memperpanjang kembali masa kemitraan. Menurut data perpanjangan kemitraan tidak dapat dilaksanakan lagi didasarkan atas alasan non teknis yang

dikemukakan oleh kelangan tertentu, 495 dan ‐konfirmasi penulis kepada‐ dibenarkan oleh mantan Direktur Pengembangan

Zakat dan Wakaf Depag. Upaya untuk tidak memperpanjang kemitraan dimaksud, merupakan 496 jalan keluar untuk meredam kontraproduktif dari kalangan tertentu.

Dari uraian tentang kasus kemitraan di atas terlihat unsur efisiensi dengan tidak memperpanjang masa kemitraan dimaksud, sebab sangat dihawatirkan akan membawa “permasalahan baru” jika dilakukan kebijakan memperpanjang kemitraan.

494 Kerjasama ini berlangsung setahun, sejak 20 September 2006 dan hasilnya akan dilakukan evaluasi oleh kedua belah pihak. Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota

Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007; Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, (Jakarta: Badan Amil Zakat Nasional , 2006), h. 54.

495 Pemutusan itu karena adanya faktor non teknis yang dikemukakan oleh orang yang tidak setuju di luar Dompet Dhuafa. Wawancara Pribadi Didin Hafidhuddin Ma’turidi, Ketua

Umum Pengurus Harian Badan Amil Zakat Nasional 2004-2007, Bogor, 29 September 2008.

496 Wawancara Pribadi Tulus, Mantan Direktur Pengembangan Zakat dan Wakaf Depag RI, Jakarta, 20 Oktober 2008.

Namun demikian, kemitraan yang dibangun oleh Badan Amil Zakat Nasional dan Dompet Dhuafa‐ terutama dalam posisi sebagai lembaga amil zakat nasional‐ di

atas, selain mendatangkan manfaat pada satu namun pada sisi yang lain mendatangkan kerugian bagi Badan Amil Zakat Nasional. Dari sisi manfaat adalah, Badan Amil Zakat Nasional sebagai pendatang baru dalam kancah perzakatan nasional yang tentu saja secara sosiologis belum banyak dikenal oleh masyarakat, namun dengan konsep kemitraan ini akan mempercepat sosialisasi dan kepercayaan masyarakat khsusunya muzaki‐ karena kelahiran Dompet Dhuafa 1993 lebih awal dibanding dengan badan ini‐.

Dari sisi kerugian yang diakibatkan oleh kemitraan di atas yakni menyangkut aspek moril. Hal ini bisa dipahami karena Badan Amil Zakat Nasional sebagai lembaga yang dibentuk oleh surat keputusan Presiden bermitra dengan lembaga yang merupakan lembaga swasta. Kondisi ini memberikan dampak negatif bagi Badan Amil Zakat Nasional karena memberikan kesan bahwa tingkat kemandirian Badan Amil Zakat Nasional sebagai lembaga yang dibentuk pemerintah sangat rendah.

Kesimpulan di atas diperkuat dengan pengamatan penulis yang oleh Badan Amil Zakat Nasional menempatkan sebahagian pegawai Dompet Dhuafa di Kantor Badan Amil Nasional. Menurut penulis dasar pertimbangan yang menjadi dasar kemitraan ini tidak tepat sebagaimana dikemukakan sebelumnya ‐yakni kesamaan fungsional kelembagaan dan pengembangan manajemen‐ sebab argumen ini dari sisi efiesinsi dapat saja diterima namun dari sisi etika kelembagaan tidak dapat diterima. Hemat penulis, perbedaan karakteristik kedua lembaga “pemerintah dan non pemerintah” seharusnya oleh pengurus Badan Amil Zakat Nasional disikapi dengan melahirkan perbedaan strategi pengembangan.

3) Kekuatan Informasi Kekuatan informasi mengandung arti kemampuan pemimpin untuk

mengakses 497 informasi yang penting untuk mendukung kepentingan institusi. Informasi yang diakses merupakan suatu data yang dapat menjadi acuan dalam

pengemabilan keputusan institusi. Menurut, Martin, kedudukan informasi dalam suatu institusi, akan mempengaruhi kualitas suatu keputusan dilaksanakan atau tidak

497 Gary A. Yukl dalam Kathryn M. Bartol & David C. Martin, Management, h. 482.

dilaksanakan. 498 Menurut Davis informasi bagi pemimpin berkaitan dengan laporan tetap, permintaan informasi khusus, analisis khusus, laporan khusus, membantu

memahami 499 peluang dan mengalisis suatu pengambilan keputusan Pentingnya kekuatan informasi dalam mendukung efisiensi dana zakat

mengandung arti bahwa pemimpin memanfaatkan sarana informasi dan bermitra dengan sumber informasi, sebagai unsur dalam mendukung efisiensi dana zakat. Pertama, sarana informasi. Dari sisi sarana informasi, terlihat pada penggunaan fasilitas komputer untuk mendukung kelancaraan administrasi pada satu dan penggunaan

Penggunaan fasilitas informasi baik telepon, hand phone dan faks, yang telah menjadi bagian pengelolaan lembaga pada era kontemporer, oleh Badan Amil Zakat dijadikan sebagai moment untuk mendayagunakan dana zakat agar dapat lebih efisien. Hal ini dapat dilihat dari sisi pendayagunaan dana zakat kepada mustahik melalui jasa perbankan. Penggunaan jasa perbankan dalam mentransfer dana zakat serta sarana komuinikasi lainnya seperti hand phone, fax kepada mitra Badan Amil Zakat Nasional dipandang efisien baik dari sisi biaya dan waktu. Efisiensi terjadi tidak hanya bagi Badan Amil Zakat Nasional melainkan juga pada mitra Badan Amil Zakat Nasional.

Dilihat dari sisi fungsi Badan Amil Zakat Nasional yang memiliki wilayah pendayagunan zakat seluruh Indonesia, maka penggunaan sarana informasi

seperti dikemukakan di atas merupakan suatu keniscayaan dalam mendukung efisiensi dana zakat. Sebagai tergambar dalam pelaksanaan pendayagunaan zakat, dapat dinyatakan bahwa program yang bersifat kemanusiaan khususnya bencana memiliki karakteristik yang sangat berbeda dengan progam lainnya.

Jenis program kemanusiaan khususnya “bencana “ memiliki karakteristik yang sifatnya sporadis yang membutuhkan penanganan segera, yang berbeda dengan program lainnya. Hal ini tidak berarti bahwa program lain tidak membutuhkan sarana informasi dalam efisiensi dana zakat, tetapi dengan karakteristik yang dimiliki oleh program kemanusiaan, maka memberikan gambaran betapa sarana informasi yang ada dapat membantu Badan Amil Zakat Nasional dari sisi waktu (mempercepat) dan menghemat pembiayaan dan menyusun program yang bersifat solutif kepada korban.

498 Gary A. Yukl dalam Kathryn M. Bartol & David C. Martin, Management, h. 482. 499 Gordon B. Davis, Manajement Information Systems, diterjemahkan Andrean S.

Adiwardana, Sistem Informasi Manajemen, (Jakarta: Pustaka Binaman Presindo, 1993), h. 13.

Kedua, kemitraan dengan sumber informasi. Badan Amil Zakat Nasional telah mengakses pada sumber informasi dalam arti memanfataakan sumber informasi untuk

mendukung efiesiensi dana zakat. Sumber informasi berupa lembaga yang bermitra dengan Badan Amil Zakat Nasional baik dalam mitra sebagai unit penyalur zakat (UPZ) dengan jumlah 10 unit, yang kesemuanya merupakan lembaga sosial maupun dengan sumber informasi dari lembaga formal seperti Departmen Pendidikan Nasional melalui program satu sarjana satu keluarga dengan melibatkan sejumlah perguruan tunggi negeri

dan swasta ”pilihan” 500 dan Departemen Dalam Negeri, melalui program bedah kampung. 501 Kekuatan membangun mitra dengan sumber informasi baik institusi pemerintah maupun sosial, dalam mendukung efisiensi pendayagunaan dana zakat memiliki implikasi bahwa pendayagunaan zakat tidak dapat dilaksanakan dengan hanya mengandalkan kemampuan lembaga internal Badan Amil Zakat Nasional pada satu sisi, tetapi secara eksternal memperluas ranah zakat sebagai bagian dari

tanggungjawab bagi institusi lainnya.

c Unsur‐Unsur Dalam Kepemimpinan untuk Tepat Waktu Penerimaan Dana Zakat Pada Mustahik

Untuk mengemukakan unsur‐unsur dalam kepemimpinan tentang tepat waktu penerimaan dana zakat (TWPDZ) pada mustahik maka uraian akan mengacu pada unsur kekuatan Referensi dan legitimasi

1) Kekuatan Referensi Sebagaimana diuraikan pada pembahasan yang lalu bahwa kekuatan referensi

sebagai salah satu unsur bagi kepemimpinan, dipahami sebagai karismatik, dan pada uraian sebelumnya juga dinyatakan bahwa Badan Amil Zakat Nasional telah mengembangkan kepemimpian karismatik yang bersumber dari ketua umum pada periode

II. Tampaknya, untuk unsur TWPDZ terlihat pada komitmen pengurus Badan Amil Zakat Nasional untuk mendayagunakan dana zakat dalam waktu satu tahun dan harus 502 habis dari kas.

500 News BAZNAS, edisi Dzulhijjah1428 H, h, 8, 501 Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 53. 502 Wawancara Pribadi, Budi Setiawan, Staf Divisi Progam Pelaksana Harian BAZNAS,

Jakarta, 14 Pebruari 2008.

Komitmen atau kesepakatan di atas dapat dinyatakan dengan konsep dana habis dalam setahun. Apabila kesepakatan ini dilihat dari sisi ekonomi menunjukkan

bahwa terdapat keinginan agar dana zakat dapat memberikan upaya nilai ekonomis kepada mustahik secepatnya. Dengan demikian, tenggang waktu satu tahun merupakan batas maksimal dana zakat berada pada Badan Amil Zakat Nasional.

2) Kekuatan Legi masi Kekuatan legitimasi dalam unsur TWDZ terlihat pada target pengelolaan zakat

Badan Amil Zakat Nasional dengan menetapkan unsur cepat dan tepat. 503 Kedua unsur dalam target ini “cepat dan tepat” mengandung arti bahwa zakat harus sampai di

tangan mustahik dengan mengembangkan pengelolaan yang cepat dan tepat dan dilaksanakan secara terpadu.

d. Unsur‐Unsur Dalam Kepemimpinan Untuk Tepat Jumlah Penerimaan Dana Zakat Pada Mustahik

Untuk mengemukakan unsur kepemimpinan dalam tepat jumlah pemerimaan dana zakat pada mustahik, maka uraian akan mengacu pada unsur‐unsur yang terkait dengan tepat jumlah penerimaan dana, yang meliputi unsur kekuatan referensi dan legitimasi

1) Kekuatan referensi Sebagaimana diuraikan pada pembahasan yang lalu bahwa kekuatan referensi

sebagai salah satu unsur bagi kepemimpinan, dipahami sebagai karismatik, dan pada uraian sebelumnya juga dinyatakan bahwa Badan Amil Zakat Nasional telah mengembangkan kepemimpian karismatik yang bersumber dari ketua umum pada periode

II. Tampaknya, kekuatan referensi untuk tepat jumlah penerimaan dana zakat pada mustahik terlihat pada komitmen pengurus Badan Amil Zakat Nasional untuk mempergunakan akad penerimaan. Akad berfungsi untuk memastikan bahwa dana zakat telah diterima oleh mustahik sesuai dengan jumlah yang telah disetujui Badan

503 Target pengelolaan zakat Badan Amil Zakat Nasional “memberikan pelayanan kepada mustahik untuk mendapatkan haknya secara cepat, tepat dan berdaya guna.” Annual Report 2006,

h. 25.

Amil Zakat Nasional. 504 Secara umum akad ini menjelaskan tentang jumlah uang yang diterima, waktu penyerahan, penerima dan yang menyerahkan serta tujuan

penerimaan. 505 Memperhatikan materi yang dijelaskan dalam akad itu, menunjukkan bahwa

terdapat komitmen bagi pengurus Badan Amil Zakat Nasional untuk memastikan bahwa dana zakat telah diterima secara utuh oleh mustahik. Dimensi moril dalam mewejudkan komitmen ini sangat kental. Denga demikian,. Dapat dinyataan bahwa dalam pelaksanaannya sangat terkait dengan kepribadian pelakunya. Dari pandangan ini dapat dinyatakan bahwa unsur referensi turut berpengaruh dalam mendorong ketepatan jumlah dana yang diterma mustahik

2) Kekuatan legi masi Kekuatan legitimasi dalam unsur tepat jumlah penerimaan dana zakat pada

mustahik terlihat pada target pengelolaan zakat Badan Amil Zakat Nasional dengan menetapkan

unsur cepat dan tepat. 506 Kedua unsur dalam target ini “cepat dan tepat” mengandung arti bahwa zakat harus sampai di tangan mustahik dengan

mengembangkan pengelolaan yang cepat dan tepat dan dilaksanakan secara terpadu. Unsur tepat mengandung arti bahwa ketepatan dalam jumlah, yakni jumlah dana yang disetujui oleh Badan Amil Zakat Nasonal, harus dipastikan sampai dengan tepat di tangan mustahik.

Pembuktian tentang ketepatan jumlah dana zakat yang diterima oleh mustahik dengan jumlah dana yang disetujui oleh badan Amil Zakat Nasional dibuktikan dengan kuintasi akad yang telah ditandatangani oleh kedua belah pihak, mustahik dan Badan Amil Zakat Nasional atau kelompok mitra

e. Unsur‐Unsur Dalam Kepemimpinan Untuk Perubahan Mstahik Untuk mengemukakan unsur kepemimpinan dalam perubahan mustahik maka

uraian meliputi unsur‐unsur kekuatan referensi, legitimasi, memaksa, informasi,

504 Wawancara Pribadi, Budi Setiawan, Staf Divisi Progam Pelaksana Harian BAZNAS, Jakarta, 14 Pebruari 2008.

505 Wawancara Pribadi, Budi Setiawan, Staf Divisi Progam Pelaksana Harian BAZNAS, Jakarta, 14 Pebruari 2008.

506 Target pengelolaan zakat Badan Amil Zakat Nasional “memberikan pelayanan kepada mustahik untuk mendapatkan haknya secara cepat, tepat dan berdaya guna.” Annual Report 2006,

h. 25.

keahlian dan penghargaan. Unsur‐unsur dimaksud akan dikaitkan dengan perubahan pada mustahik dalam arti baik sosial, ekonomi, religius yang dikenal dengan sosekreg.

1) Kekuatan Referensi Sebagaimana diuraikan pada pembahasan yang lalu bahwa kekuatan referensi

sebagai salah satu unsur bagi kepemimpinan, dipahami sebagai karismatik, dan pada uraian sebelumnya juga dinyatakan bahwa Badan Amil Zakat Nasional telah mengembangkan kepemimpian karismatik yang bersumber dari ketua umum pada periode

II. Tampaknya, kekuatan referensi ini dalam melakukan perubahan sikap dan ketersediaan peluang kerja bagi mustahik, terlihat pada berbagai gagasan yang dimuat dalam News BAZNAS yang menyatakan bahwa zakat tidak hanya berdimensi pada fiqhiyah dan hukum tetapi juga berada dalam dimensi kemanusiaan secara luas dan menyeluruh. Menurutnya, dengan zakat maka akan meminimalisir persoalan kemiskian dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan serta dalam mensilaturrahmikan antara kelompok kaya dan kelompok miskin. Untuk mencapai pengelolaan zakat dengan

fungsi demikian, dapat terwujud jika zakat dikelola dengan amanah. 507 Dari gagasan Ketua Umum periode II BAZNAS di atas, terlihat bahwa ia

mempertegas fungsi zakat ke dimensi kemanusiaan dalam arti yang lebih luas. Ini berarti tidak hanya pada masalah kemiskinan, tetapi terkait dengan perubahan pola pikir sebagai unsur yang mendasar bagi aspek kemanusiaan.

Perubahan pola pikir yang akan dibangun oleh zakat menurut pandangan ketua umum di atas, mencakup menjadikan zakat sebagai sarana silaturrahim. Sarana ini penting untuk menumbuhkan keharmonisan dan kepedulian antar sesama. Namun demikian, gagasan‐gagasan itu, tidak akan berwujud ketika pengelolaan zakat tidak dilaksanakan dengan sikap amanah. Hemat penulis zakat dengan fungsi kemanusiaan dalam arti luas dan menjadikannya sebaga sarana silaturahim, pada satu sisi serta sikap amanah bagi pengelola zakat pada sisi lain, menunjukkan bahwa betapa zakat harus dilihat sebagai persoalan kemanusiaan.

Berkaitan dengan amanah sebagai prasyarat bagi pengelola zakat yang dipahami sebagai istilah agama (Islam) telah menjadi unsur penting dalam mengembangkan kepemimpinan dalam pengelolaan zakat.

507 News BAZNAS, Edisi Muharran 1429 H, h. 3.

Amanah dalam konteks kepemimpinan dapat dikembangkan dalam aspek pendayagunaan zakat. Dalam perspektif perubahan mustahik, pengelola zakat yang

amanah akan memberikan zakat kepada mustahik dengan memperhitungkan dampak yang diterima oleh mereka dari zakat. sebaliknya, pengelola zakat yang kurang amanah, berpeluang untuk menciptakan dampak dari tindakannya untuk merugikan mustahik dan 508 citra kelembagaan.

Dengan memperhatikan uraian di atas yang menekankan pada gagasan ketua umum periode II BAZNAS, yang mendorong terciptanya rasa empati kepada mustahik sebagai persoalan kemanusiaan serta mendorong sikap amanah sebagai prasyarat bagi pengelola zakat untuk mewujudkan zakat sebagai sarana silaturrahim, maka dengan mengaitkan pandangan Schermerhorn, bahwa karismatik dalam kepemimpinan memiliki karakteristik pada pengembangan gagasan‐gagasan visioner, inspiratif dan memiliki kualitas 509 pemberdayaan, gagasan yang dibangun oleh ketua umum periode II

dimaksud dapat dikategorikan ke dalam kepemimpinan karismatik.

2) Kekuatan Legitimasi Kekuatan legitimasi terait dengan perubahan sikap dan peluang kerja bagi

mustahik yang dikembangkan dalam kepemimpinan Badan Amil Zakat Nasional terlihat pada 510 dua sumber yuridis. Pertama, UU No. 38/ 1999 tentang Pengelolaan Zakat psl 5.

Dengan pasal ini memerikan pandangan bahwa tujuan pengelolaan zakat dimaksudkan untuk peningkatan fungsi dan peranan pranata keagamaan termasuk dalam hal ini Badan Amil Zakat Nasional, agar mendorong pendayagunaan zakat ke arah upaya pengembangan sosial ekonomi dan religus (sosekreg) mustahik sebagai bagian mengantar mereka mencapai kesejahteraan.

Kedua, unsur Fatânah sebagai budaya kerja lembaga Badan Amil Zakat Nasional. Fatânah 511 mengandung arti pemberdayaan yang kreatif, efektif dan bermanfaat ganda.

Fatânah dipahami sebagai sesuatu yang “...terkait dengan kecerdasan dan keahlian tertentu....” Bagi Didin Hafidhuddin, kasus Nabi Yusuf berhasil menyelesaikan

508 Pandangan ini didasarkan atas pernyataan Didin bahwa tindakan kurang amanah cenderung merugikan orang lain. Didin Hafidhuddin Ma’turidi, “Peran Pembiyaan Syari’ah dalam

Pembangunan Pertanian di Indonesia.” h. 55. 509 John R. Schermerhon, JR. Management, h. 324.

510 UU No. 38/ 1999 tentang Pengelolaan Zakat pasal 5 tujuan pengelolaan zakat, yakni peningkatan fungsi dan peranana pranata keagamaan dalam meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dan keadilan sosial 511 Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 17.

problematika pangan yang melanda penduduk Mesir sebagaimana yang dikemukakan 512 dalam QS. Yusuf [12]: 55 merupakan contoh dari implementasi sikap fatânah.

Kehadiran Yusuf dalam konteks ini dipandang sebagai pemecah masalah atas kehidupan sosial ekonomi masyarakat.

Dalam konteks ini, kepemimpinan pada Badan Amil Zakat Nasional dapat menciptakan kondisi kelembagaan yang mendukung fungsi pemecah masalah. Yakni memahami dan merumuskan fungsi kelembagaan serta program Badan Amil Zakat Nasional yang terkait dengan pemecahan masalah terhadap berbagai problematika kehidupan mustahik.

3) Kekuatan Memaksa Berkaitan dengan kekuatan memaksa sebagai unsur kepemimpinan dikaitkan dengan perubahan mustahik, maka tidak ditemukan data yang secara langsung berkaitan dengan perwujudan unsur ini dalam kepemimpinan yang berkembang pada Badan Amil Zakat Nasional Namun demikian, terdapat suatu informasi yakni kasus yang tidak secara langsung berkaitan dengan pembahasan ini tetapi memiliki pengaruh jera kepada karyawan dan mitra maupun jaringan pada unit pengumpul zakat (UPZ) Badan Amil Zakat Nasional.

Menurut Keputusan Dirjend. Bimas Islam dan Urusan Haji No. D/291 tahun 2000 Bab

IV tentang pembentukan UPZ pasal 9 Badan Amil Zakat Nasional dapat membentuk UPZ. Menurut data hingga tahun 2005 terbentuk 75 uit pengumpul zakat (UPZ) yang tersebar

di dalam negeri maupun di laur negeri. 513 Pembentukanm UPZ diatur lebh lanjut dalam buku pembentukan UPZ yang diterbitkan oleh Badan Amil Zakat Nasional.

512 Didin Hafidhuddin Ma’turidi, “Peran Pembiyaan Syari’ah dalam Pembangunan Pertanian di Indonesia.” h. 55 QS. Yusuf /12: 55

“Berkata Yusuf: "Jadikanlah Aku bendaharawan negara (Mesir); Sesungguhnya Aku adalah orang yang pandai menjaga, lagi berpengetahuan."Menurut Ayat ini mengimpormasikan prilaku Yusuf yang memohon kepada raja untuk menduduki jabatan bendaharawan negara. Sebuah jabatan yang secara fungsional mengatur lalu lintas pemanfaatan dan pengeluran keuangan negara. Terlebih lagi pada saat Mesir ditimpa musim krisis ekonomi yang berkepanjangan selama 7 tahun. Peranan Yusuf dalam jabatan tersebut sangat berpengaruh dalam menyediakan bahan logistik masyakat Mesir. Al-Thabâthabâ’ ī Muhammad Husain, Tafs īr al-Mizân, Jilid XI, (Teheran: Dâr al-Kutub al-Isâmiyah, 1397 H), h. 201.

513 Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 57.

Berkaitan dengan kekuasaan pemaksanaan sebagai salah satu unsur kepemimpinan, maka Badan Amil Zakat Nasional telah memberhentikan UPZ tertentu

dengan 514 alasan tidak disiplin. Istilah tidak disiplin terkait dengan penegakan hak dan kewajiban 515 kedua belah pihak yakni Badan Amil Zakat Nasional dan UPZ.

Dari uraian mengenai kasus di atas, dapat dinyatakan walaupun tidak terkait langsung dengan upaya perubahan mustahik sebagai sasaran zakat, akan tetapi memiliki keterkaitan secara tidak langsung. Sebagaimana dikemukakan bahwa UPZ mempunyai hak untuk memperoleh dana zakat sebagai amil dan kewajiban menyampaikan zakat kepada Badan Amil Zakat Nasional dengan demikian, UPZ secara substantif mengembangkan misi Badan Amil Zakat Nasional. Dengan pandangan ini, kiranya kemampuan pengurus untuk melakukan tindakan pemaksaan terhadap UPZ dimaksud, merupakan wujud kepemimpinan

yang berbasis unsur pemaksaan.

4) Kekuatan Informasi Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa informasi memberikan

landasan bagi pemimpin untuk pengambilan keputusan. Kekuatan informasi, sebagai salah unsur kepemimpinan, dalam konteks perubahan mustahik, terlihat pada kemampuan pengurus Badan Amil Zakat untuk merespon perilaku mustahik.

Menurut hasil penelitian yang dilakukan Marzani terkait dengan perilaku mustahik yang beranggapan bahwa ”... dana itu tidak wajib dikembalikan lagi, karena dianggapnya

tidak ada ketentuan mengembalikannya dalam agama ....” 516 Keenggangan mengembalikan dana bergulir yang dipinjamkan kepada mereka dari qardul hasan oleh

Bazis DKI Jakarta, terkait dengan pemaknaan mereka terhadap fungsi lembaga itu sebagai pengelola zakat. Pandangan mereka yang melihat jasa yang diproduksi oleh Bazis itu adalah “gratis” –menurut hemat penulis ‐karena mendasarkan asumsi mereka bahwa lembaga ini mengelola dana zakat yang merupakan hak mereka sebagai mustahik. Dari sisi tujuan program yang dicanangkan Bazis, tampaknya tidak tercapai

514 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007.

515 Terdapat hak dan kewajiban Badan Amil Zakat Nasional dengan UPZ. Di antaranya, memperoleh hak 1/3X 1/8 dari total dana yang dikumpulkan UPZ. Buku Pedoman Pembentukan

UPZ & USZ, (Jakarta: BAZNAS, t.th.), h. 7. 516 Marzani Anwar dalam Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf,

(Jakarta: UI Press, 1988), h. 70.

karena dana yang semula diharapkan bergulir itu hanya dinikmati oleh mustahik tertentu.

Perilaku mustahik sebagai kelompok binaan yang enggan itu, dipandang sebagai suatu perubahan perilaku, karena sebelum dana itu diberikan, mereka melakukan kontrak pengembalian dengan Basiz DKI Jakarta. Sikap enggan mereka dalam hal ini, dipandang sebagai bagian dari perubahan sosial religius, karena mereka melihat pinjaman yang berdimensi moral itu tidak dikembalikan dengan mempergunakan argumen keagamaan.

Kasus di atas dapat menjadi contoh tentang tejadinya perubahan sosial religius di kalangan mustahik. Jika substansi contoh di atas dikaitkan dengan program Badan Amil Zakat Nasional tampaknya dapat ditemukan relevansinya yakni ketika Badan ini melakukan upaya sebagai respons atas perubahan perilaku mustahik. Responsi Badan Amil Zakat Nasional terhadap perilaku mustahik ini di antaranya terlihat pada program pemberdayaan sektor ekonomi yakni pada peternak domba Cililin. Mustahik dalam hal ini wali santri, diberikan kesempatan untuk memelihara domba yang dibiayai oleh Badan Amil 517 Zakat Naional dari sektor zakat.

Pesantren sebagai lembaga pendidikan yang membina putra‐putri dari wali yang merupakan mustahik, dilibatkan sebagai penanggungjawab program. Keterlibatan pesantren ini merupakan suatu cara untuk membangkitkan emosi keagamaan mereka sehingga mustahik dapat menjalankan program sebagaimana mestinya.

Berkaitan dengan uraian tentang perilaku mustahik khususnya dari aspek sosio‐ religius, dan kemampuan membuat program dengan melibatkan dunia pesantren, dalam konteks ini menunjukkan bahwa informasi tentang perubahan perilaku mustahik telah direspon oleh Badan Amil Zakat Nasional dengan mengubahnya menjadi sebuah tantangan dan darinya telah melahirkan suatu keputusan yakni terbentuknya suatu program.

5) Kekuatan Keahlian Kekuatan keahlian dimaksudkan sebagai kapasitas pengetahuan yang

517 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007. Mengenai hal ini juga

dinyatakan dalam Annual Report 2006, (Jakarta: Badan Amil Zakat Nasional , 2006). h. 46.

dimiliki oleh pemimpin dalam mengembangkan suatu organsasi. 518 Marzani Anwar menyatakan bahwa salah satu penghambat bagi mustahik untuk tidak mengembalikan

dana yang digulirkan oleh Bazis DKI Jakarta pada program Bantuan Dana Produktif dikarenakan mereka belum memiliki pola pikir

berwiraswasta 519 Ketidakmampuan berwiraswasta bagi mustahik dalam pernyataan di atas, dilihat

dari sisi manajemen dapat pula diatasi dengan melakukan pelatihan keterampilan mengenai bidang tertentu kepada mereka. Badan Amil Zakat Nasional dalam merespon perilaku mustahik yang memiliki karakteristik seperti di atas, telah mengembangkan program yaitu pengembangan ekonomi masyarakat. Salah satu bentuk program ini adalah pembinaan ekonomi terhadap bengkel motor. Mustahik yang memiliki pengetahuan tentang dasar‐dasar perbengkelan dibina dan selanjutnya pengetahuan dan keterampilan mereka dikembangkan lagi dalam suatu pelatihan oleh suatu tim. Berbekal dengan pengetahuan dan keterampilan yang memadai, mereka didorong untuk berusaha dengan memberikan pendampingan dari sisi manajemen dan pendanaan dari zakat. 520 Dalam konteks perubahan mustahik, Badan Amil Zakat Nasional telah melakukan tiga hal yaitu: pelatihan, pendampingan dan pemberian dana zakat.

6) Kekuatan Penghargaan Kekuatan penghargaan mengandung arti sebagai kemampuan yang dimiliki oleh

pimpinan untuk menawarkan hal‐hal yang mengandung penghargaan kepada orang lain. 521 Dalam manajemen pemberian penghargaan kepada karyawan oleh pimpinan diberikan dengan kriteria tertentu. Dalam struktur organisasi dibedakan antara pemberian penghargaan dengan pengembangan

sumber 522 daya manusia.

518 John R. Schermerhon, JR. Management, h. 322.

519 Marzani Anwar dalam Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1988), h. 70.

520 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007. Mengenai hal ini juga

dinyatakan dalam Annual Report 2006, (Jakarta: Badan Amil Zakat Nasional , 2006). h. 46.

521 Gary A. Yukl dalam Kathryn M. Bartol & David C. Martin, Management, h. 481 522 John M. Ivancenvich, Human Resource Manajement, (Boston: McGraw-Hill, 1998), h.

Jika pandangan tentang pemberian penghargaan sebagai unsur kepemimpinan dikaitkan dengan Badan Amil Zakat Nasional, maka terlihat bahwa Badan ini telah

mengembangkan kepada karyawan dan mustahik dua hal yaitu :pemberian nilai‐nilai penghargaan dan mendorong kepada mereka untuk memberikan penghargaan kepada orang lain.

Pertama, berkaitan dengan pemberian nilai‐nilai penghargaan. Hal ini terlihat pada pemberian beasiswa kepada karyawan Badan Amil Zakat yang dipandang oleh pimpinan memiliki prestasi dalam menjalankan pekerjaan. Kepada mereka diberikan kesempatan untuk mengikuti pendidikan lanjutan. Badan Pelaksana mengutus personal lembaga untuk mengiku pendidikan formal dalam bidang manajemen. Untuk 2004‐ 2007 telah disiapkan personal kelembagaan dari unsur pelaksana harian untuk mengiku 523 pendidikan S2 sebanyak 5 orang.

Untuk yang berkaitan dengan mustahik maka bentuk penghargaan yang diberikan kepada mereka tidak dalam bentuk material, akan tetapi Badan Amil Zakat Nasional menyiapkan fasilitas administrasi pelayanan kepada mereka, sehingga mereka tidak merasa direndahkan martabatnya sebagai penerima zakat. Gagasan ini menjadi perhatian oleh pimpinan Badan Amil Zakat Nasional, dalam berbagai kesempatan ketua umum menyatakan bahwa salah satu hikmah pengelolaan zakat yang dilaksanakan oleh lembaga dan tidak diberikan secara langsung oleh muzaki kepada mereka, adalah menjaga 524 martabat mereka.

Secara internal gagasan ini tetap digulirkan, melalui pengajian rutin, 525 walaupun pengajian ini tidak dipersiapkan hanya untuk materi yang terkait langsung

dengan pengelolaan zakat semata, tetapi pada prinsipnya pengajian dimaksud

523 Wawancara Pribadi dengan Broto Santoso, Supervisor HRD Pengurus Pelaksana Harian Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 10 Oktober 2007.

524 Menurutnya, dengan penyaluran zakat melalui lembaga, maka tidak akan terjadi proses ”perendahan” mustahiq. Karena mustahiq tidak berhadapan secara langsung dengan muzaki.

Didin Hafidhuddin Ma’turidi, “Membangkitkan Nilai-Nilai Zakat Untuk Menyadarkan Umat” Makalah pada Konperensi Zakat Asia Tenggara II, di Kota Padang Sumatera Barat, 31 Oktober 2007, h. 11.

525 Pengajian rutin ini dibawakan oleh ketua umum periode II Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional dan dilaksanakan setiap pagi hari senin di Mushallah Badan Amil Zakat

Nasonal. Materi pengajian di antaranya hal-hal yang berkaitan dengan pengelolaan zakat, dan orientasi tentang kehidupan muslim. Wawancara Pribadi dengan Broto Santoso, Supervisor HRD Pengurus Pelaksana Harian Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 10 Oktober 2007.

mendorong karyawan agar memberikan perhatian yang serius dalam pengelolaan 526 zakat.

Berkaitan dengan bentuk penghargaan lainnya yang bersifat non material, yaitu pemberian kesempatan secara bergilir kepada setiap karyawan untuk membacakan kitab tafsir ahkâm berkaitan dengan ekonomi syari’ah dan pengelolaan zakat di depan sesama 527 karyawan setelah salat Zuhur dan Asar berjamaah. Dibanding dengan bentuk pemberian motivisi dalam bentuk pemberian kesempatan mengikuti pengajian, maka model pengajian yang terakhir ini justru memberikan kesempatan sepenuhnya kepada setiap karyawan yang memperoleh giliran membawakan pengajian lebih bertanggungjawab secara penuh. Hemat penulis, dalam pengajian seperti ini telah berlangsung proses transformasi kepemimpinan secara tidak langsung di kalangan sesama karyawan. Transformasi ini, tidak saja memberikan unsur keahlian yang berbasis pengetahuan, tetapi memberikan unsur moril yakni tanggungjawab sebagai orang yang memiliki pengetahuan di kalangan sesama karyawan.

Adapun unsur penghargaan yang berkaitan dengan perubahan mustahik dan langsung diberikan kepada mustahik terlihat pada prosesi akad. Dalam prosesi akad, maka setiap mustahik yang menerima dana zakat dari Badan Amil Zakat Nasional, maka selain menerima dana zakat secara material, maka kepadanya diberikan informasi berkaitan dengan fungsi dana dimaksud. Pola ini ditempuh agar mustahik tidak hanya menerima dana zakat tetapi diharapkan memahami arti zakat itu dalam kehidupannya. 528 Prosesi ini juga berlaku pada mustahik yang terkena musibah, walaupun proses ini dalam bentuk yang disesuaikan dengan kondisi kejiwaan mereka sebaga kelompok yang sedang dilanda bencana. Untuk kasus ini, pelaksanaan siraman rohani kepada mereka diharapkan dapat memberikan motivasi untuk tabah dan berusaha 529 untuk bangkit dari suasana kedukaan.

2. Fungsi Pengawasan

526 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007.

527 Hasil pengamatan penulis salat jamaah dan pengajian dilaksanaan di musallah Badan Amil Zakat Nasional. Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian

Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007 528 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus

Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007. 529 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus

Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007.

Pengontrolan atau controlling merupakan suatu proses manajemen yang

bersifat sistimatis untuk melakukan upaya perbaikan kinerja sesuai dengan perencanaan 530 yang telah ditetapkan.

Pengawasan terhadap Badan Amil Zakat Nasional dilakukan dengan internal dan eksternal. 531 Pengawasan internal dilakukan oleh komisi pengawas. Menurut

pernyataan komisi pengawas, tahun 2005 Badan Amil Zakat Nasional telah memanfaatkan jasa akuntan publik Bambang Mudjiono & Rekan dengan pendapat wajar

tanpa pengecualian. 532 Pengawasan yang bersifat eksternal yakni pelaporan kepada publik, oleh Badan Amil Zakat Nasioal dilakukan kepada Dewan Perwakilan

Rakyat setiap tahun dan penerbitan news latter serta penerbitan buku laporan perkembangan 533 pengelolaan zakat setiap tahun.

Pelaporan dana zakat kepada publik oleh Badan Amil Zakat Nasional, karena dana zakat dipandang sebagai suatu amanah yang harus dikelola secara profesional. Didin Hafidhuddin menyatakan bahwa ”zakat adalah kepercayaan. Karena itu Badan Amil Zakat Nasional menerapkan prinsip transparansi dan akuntabiltas dalam pengelolaannya”. 534

Dana zakat sebagai amanah yang harus dipertanggungjawabkan kepada publik dalam arti bahwa pemegang amanah yakni Badan ini telah melaksanakan apa yang diamanahkan kepadanya. Ketentuan ini telah diatur dalam UU.No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat pasal 19 ”Badan Amil Zakat memberikan laporan tahunan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan Perwaakilan Rakyat Republik Indonesia atau

530 Samuel C. Certo, Modern Management, (Singapore: Perason Education, 2003), h. 422.

531 Sesuai dengan susunan pengurus yang menempatkan komisi pengawas. Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 7.

532 Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 7. 533 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus

Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007. Dalam laporan Badan Amil Zakat Nasional telah memaparkan perkembangan pengelolaan zakat baik dari sisi program yang telah dilaksanakan, laporan keuangan, sambutan dari Ketua Umum Badan Pelaksana, Ketua Dewan Pertimbangam, Ketua Dewan Pengawas. Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, (Jakarta: Badan Amil Zakat Nasional , 2006). Sedang untuk news letter terbit dalam sekali sebulan. Pada News letter diuraikan tentang program yang telah dilaksanakan dan menerima konsultasi zakat. Badan Amil Zakat Nasional dan Dompet Dhuafa News Letter.

534 Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 4.

kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan tingkatannya.” Selanjutnya, Pasal

20 UU ini menyatakan ”Masyarakat dapat berperan serta dalam pengawasan badan amil zakat dan lembaga amil zakat.” Penjelasan pasal 20 menyatakan ”Peran serta masyarakat diwujudkan dalam bentuk: a. Memperoleh informasi tentang pengelolaan zakat yang dikelola oleh badan amil zakat dan lembaga amil zakat...”

Sebagaimana diuraikan pada pengantar bab ini bahwa pembahasan ini bertujuan untuk memberikan evaluasi terhadap aspek manajemen yang diimplementasikan oleh Badan amil Zakat Nasional dalam pendayagunaan zakat untuk peningkatan kesejahteraan umat. Hasil analisis ini diharapkan memberikan jawaban terhadap pertanyaan sub b yang diajukan dalam penelitian yaitu sejauhmana Badan Amil Zakat mengimplementasikan aspek‐aspek manajemen dalam pendayagunaan zakat untuk peningkatan kesejahteraan umat ? Hasil analisis menunjukkan bahwa dari sisi implementasi manajemen terhadap Badan Amil Zakat Nasional dapat dikemukakan dua hal : Pertama, dari sisi fungsi manajemen, menunjukkan bahwa pada dasarnya, Badan Amil Zakt Nasional telah mengimplementasikan fungsi‐fungsi manajemen dalam pendayagunaan zakat. Dengan penelaahan terhadap unsur‐unsur yang terkandung dalam setiap fungsi manajemen dan dikaitkan dengan indikator‐indikator penelitian yang telah dirumuskan sebelumnya, yang darinya telah menghasillan sentesis, dan dalam hal ini dapat disebut dengan cara kerja penelitian. Cara kerja penelitian tersebut, selanjutnya dipergunakan untuk menganalisis implementasi manajemen dalam pendayagunaan zakat oleh Badan ini. Hasil penelitian ini membuktikan bahwa Badan ini dalam mendayagunakan zakat telah mengimplementasikan fungsi‐fungsi manajemen.

Apabila bab ini dikaitkan dengan bab berikut –bab VI‐ yang menjelaskan upaya Badan ini dalam meningkatkan kesejhhteraan umat, maka bab berikut menjelaskan kendala yang dihadapi Badan ini dalam melakukan pendayagunaan zakat untuk peningaktan kesejahteraan umat.

BAB VI