Penetapan, Status , Prototipe, Kewenangan serta Pertanggungjawaban Amil

A. Penetapan, Status , Prototipe, Kewenangan serta Pertanggungjawaban Amil

Pembahasan tentang penetapan dan prototipe amil dimaksudkan untuk mengetahui tentang siapa yang menetapkan amil, status, prototipe, kewenangan serta pertanggungjawaban amil.

1. Penetapan dan status Amil

a. Pihak Yang Menetapkan Amil Dalam hadis yang diriwayatkan Muadz bin Jabal –sebagaimana dikemukakan

pada bab II penelitian ini‐ terlihat bahwa rasul Muhammad sebagai pemimpin dalam jabatan publik mengangkatnya sebagai amil. Sebagai pemimpin publik mengandung arti bahwa zakat merupakan urusan publik dan tidak termasuk dalam urusan pribadi.

Pemenuhan ekonomi merupakan salah satu satu kebutuhan dasar yang harus dipenuhi oleh umat Islam baik secara individual maupun kolektif. Secara individual mengandung arti bahwa dengan pemenuhan kebutuhan itu, akan memberikan peluang memenuhi kebutuhan‐kebutuhan lainnya. Selanjutnya dari sisi kolektifitas, dari sisi aspek dana ekonomi, diharapkan dapat menjadi sarana dalam mengatasi problema sosial, kemiskinan dan keterbelakangan dalam bidang pendidikan.

Urusan problema sosial yang merupakan bagian dari kolektifitas yang disebutkan di atas, tidak dapat ditangani secara individual, karena problema itu memiliki

implikasi yang luas bagi tata kehidupan sosial. Di sini peran pemerintah sebagai pejabat puiblik sangat menentukan. Dalam konteks ini maka zakat sebagai bagian dari urusan publik memiliki argumentasi yang kuat. .

Terkait dengan pembahasan siapa yang menetapkan amil dalam konteks Badan Amil Zakat Nasional, maka ada dua hal yang perlu digarisbawahi yaitu: a. Badan Amil Zakat Nasional ditetapkan dengan UU No. 38/ 1999 dan b. Surat Keputusan Presiden. Yang pertama UU ini merupakan sebuah kebijakan politik. Legislasi yang dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat bersama dengan Pemerintah, menunjukkan harapan kuat bagi mereka untuk memberikan kesempatan kepada umat Islam untuk menjalankan ibadah zakat pada satu sisi dan efektifitas zakat dalam kehidupan mustahik pada sisi yang lain.

Uraian di atas memperlihatkan bahwa terdapat relevansi dari sisi fungsi politik rasul Muhammad sebagai pemimpin poli k, dengan diundangkannya UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat, yang menetapkan Badan Amil Zakat Nasional sebagai amil zakat.

b. Status Amil Sebagai dikemukakan di atas bahwa dilihat dari sisi proses pengangkatan

Muadz sebagai amil pada jaman Rasul, maka pengangkatan itu dinyatakan sebagai proses politik dan karenanya Muadz dalam konteks sebagai amil zakat dapat dikategorikan sebagai aparatur negara. Menjadikan amil zakat sebagai aparatur negara, dikaitkan dengan Badan Amil Zakat Nasional, maka perlu dilakukan penelaahan pada UU No. 38/ 1999 tentang Pengelolaan Zakat sebagai dasar yuridis pembentukan Badan Amil Zakat Nasional. Menurut UU ini pasal 6 (4) dinyatakan bahwa “Pengurus badan amil zakat teridiri atas unsur masyarakat dan pemerintah yang memenuhi persyaratan tertentu”. Menurut naskah penjelasan UU ini yang dimaksud dengan masyarakat adalah “ulama, kaum cendekia, dan tokoh masyarakat setempat, ” namun tidak ditemukan penjelasan mengenai siapa yang dimaksud dengan unsur pemerintah.

Mengenai unsur yang mewakili pemerintah dalam kepengurusan Badan

Amil Zakat Nasional menurut pengamatan penulis terhadap susunan pengurus menunjukkan sejumlah aparatur departemen Agama dari direktur pengembangan wakaf

dan zakat. Dengan demikian, dalam kepengurusn Badan Amil Zakat Nasional dapat

dinyatakan bahwa dalam hal status amil, tidak terimplemenasi sebagaimana status amil yang dipahami pada jaman Rasul yakni aparatur negara. Berbagai argumen yang dibangun atas pandangan di atas yaitu: Pertama baik dari dokumen negara berupa UU NO. 38/ 1999 tentang Pengelolaan Zakat maupun SK Presiden tentang Pengangkatan Pengurus Badan Amil Zakat Nasional, tidak ditemukan pernyataan berkaitan status pengurus Badan Amil Zakat Nasional sebagai aparatur negara.

Kedua, dari sisi sumber pembiayaan Badan Amil Zakat Nasional yang berasal dari APBN, sebagaimana yang ditetapkan oleh UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat, maka hal ini tidak dapat dijadikan sebagai argumen untuk mengkategorikan pengurus badan ini sebagai aparatur negara. Hal ini dikarenakan APBN yang diterima Badan Amil Zakat Nasional menurut Keputusan Presiden tentang Pembentukan Badan Amil Zakat Nasional ditujukan kepada Departemen Agama. Kondisi ini membuktikan bahwa anggaran departemen Agama yang diberikan kepada Badan Amil Zakat Nasional memiliki persamaan dengan bantuan anggaran pendanaan yang diberikan kepada lembaga pendidikan Islam yang dikelola oleh swasta.

Ketiga, sebagaimana dikemukakan pada pasal 6 (4) UU ini dan naskah penjelasannya, yang menetapkan unsur masyarakat dalam kepengurusan badan amil zakat, merupakan argumen yang mempertegas bahwa lembaga ini dikelola oleh masyarakat dan pemerintah.

2. Proto pe Amil

a. Makna dan Syarat‐Syarat Amil Dalam pandangan Badan Amil Zakat Nasional, amil zakat adalah ”...orang atau lembaga yang mendapatkan tugas untuk mengambil, memungut, dan menerima

zakat dari para muzakki, menjaga dan memeliharanya untuk zakat dari para muzakki, menjaga dan memeliharanya untuk

Mencermati pandangan mengenai makna amil, tampaknya pengurus Badan Amil Zakat Nasional mempersamakannya dengan lembaga. Lembaga diartikan sebagai makna lain dari amil. Karena itu fungsi kelembagaan Badan Amil Zakat Nasional merupakan perwujudan dari makna amil yang dikenal dalam Islam. Berbeda dengan kitab fikih makna amil dalam arti lembaga tidak ditemukan. Tetapi pengertian yang dikemukakan oleh Badan Amil Zakat Nasional di atas, dapat diterima mengingat, makna amil mengalami pergeseran fungsional dari perorangan ke dalam makna kolektifitas kelembagaan.

Makna amil zakat yang dipahami Badan Amil Zakat Nasional seperti di atas, dipandang terimplementasi pada pemahaman makna amil yang dapat di pahami dari prototipe Muadz bin Jabal sebagai amil yang diangkat oleh Rasul dan sekaligus menggambarkan makna amil pada jaman Rasul. Pandangan ini didasarkan pada argumen: Pertama, pengangkatan Mudz sebagai amil yang bersifat individual pada zaman Rasul, tidak berarti memberikan jastifikasi secara prinsip bahwa amil harus dilakukan secara individual. Hemat penulis pengangkatan amil bagi Muadz oleh Rasul didasarkan pada prototipe yang dimiliki olehnya yang dipandang layak oleh Rasul untuk mengurus masalah keuangan publik yakni zakat. Pertanyaan yang relevan diajukan adalah apakah dengan prototipe amil dimaksud terimplementasi pada Badan Amil Zakat Nasional atau tidak.

Untuk menjawab pertanyaan ini, dilihat dari sisi sosiologis maka, perubahan masyarakat dipandang suatu keniscayaan. Dengan demikian, maka penyelesaian masalah kemiskinan termasuk yang berkaitan dengan kesejahteraan umat tidak dapat lagi ditangani secara individual tetapi harus didasarkan pada pendekatan kolektifitas kelembagaan. Karena itu, Badan Amil Zakat Nasional yang eksistensinya didasarkan pada UU No. 38/ 1999 merupakan “ij had” pemerintah untuk menjadikan zakat lebih efektif, sebagaimana semangat efektifitas zakat yang dipahami dari hadis tentang pengangkatan Muadz sebagai amil oleh Rasul selaku pemimpin politik ketika itu.

Dengan demikian, berkaitan dengan pertimbangan semangat efektifitas yang didukung dengan prototipe Muadz sebagai simbol prototipe amil, merupakan dua hal

312 Didin Hafidhuddin, Anda Bertanya tentang Zakat Infak dan Sedekah Kami Menjawab),

h. 85.

yang menjadi dasar pertimbangan utama dalam memahamai makna amil pada zaman Rasul.

Implementasi kedua pertimbangan yang dipahami dari kasus Muadz di atas, terlihat pada dasar pertimbangan (huruf b) UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat “bahwa penunaian zakat merupakan kewajiban umat Islam Indonesia yang mampu dan hasil pengumpulan zakat merupakan sumber dana yang potensial bagi upaya mewujudkan kesejahteraan masyarakat”.

Dalam dasar pertimbangan UU dimaksud, terlihat zakat dinilai sebagai instrumen untuk kesejahteraan masyarakat. Tentu saja upaya untuk mencapai tujuan dimaksud, yakni efektifitas pendayagunaan zakat melalui pembentukan Badan Amil Zakat merupakan suatu keniscayaan.

Berkaitan dengan syarat‐syarat amil, yang disimbolkan oleh Muadz sebagai prototipe amil, dapat lihat pada implementasinya baik pada pandangan pengurus Badan Amil Zakat Nasional maupun pada UU No 38/ 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Badan Amil Zakat Nasional menetapkan syarat yang tidak hanya bersifat ideologis (Beragama Islam), kedewasaan untuk bertanggungjawab kecakapan (akil balig), intelektualitas (memahami hukum zakat dengan baik),integritas (jujur dan amanah) serta kemampuan untuk 313 melaksanakan tugas keamilan.”

Syarat di atas secara kelembagaan diilhami oleh sifat Rasul yang selanjutnya dijadikan sebagai azas dan budaya kerja organisasi. Menurut Badan Amil Zakat Nasional yang dimaksud dengan sidd q yaitu seorang amil melakukan pekerjaan dengan benar dan profesional. Adapun amanah mengandung arti bersifat jujur dan dapat dipercaya. Tabl gh yaitu amil yang menerapkan manajemen transparan dan akuntabel serta fatânah yakni amil harus melakukan pemberdayaan yang kreatif, efektif dan bermanfaat 314 ganda (multiplier effect).

313 Syarat amil menurut Badan Amil Zakat Nasional ”Beragama Islam, dewasa (akil balig), memahami hukum zakat dengan baik, harus jujur dan amanah, serta memahami hukum

zakat dengan baik, serta memiliki kemampuan (capable) untuk melaksanakan tugas keamilan.”Didin Hafidhuddin, Anda Bertanya tentang Zakat Infak dan Sedekah Kami Menjawab

h. 86. 314 Azas dan Budaya kerja organisasi Badan Amil Zakat Nasional yaitu:”Siddiq,

melakukan pekerjaan dengan benar dan profesional, Amanah, sifat jujur dan dapat dipercaya, Tabligh, manajemen yang transparan dan akuntabel serta fathonah, pemberdayaan yang kreatif, efektif dan bermanfaat ganda (multiplier effect).”Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 19.

Mengenai syarat amil yang dikemukakan oleh ditetapkan oleh Badan Amil Zakat Nasional merupakan implementasi dari syarat‐syarat pengurus badan amil zakat yang

ditetapkan oleh UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat. Menurut naskah penjelasan pasal 6 (4) UU ini, syarat dimaksud “antara lain memiliki sifat amanah, adil, berdedikasi, profesional, dan berintegritas tinggi.

Penerapan syarat amil dilihat dari sisi sumberdaya personil Badan Amil Zakat Nasional, dapat dipandang tidak hanya didominasi oleh mereka yang berlatar belakang ulama sebagai upaya untuk memenuhi keperluan penguasaan hukum zakat secara syar’iy tetapi direkrut dari berbagai latar belakang keilmuan dan profesi. Pandangan ini terimplentasi dalam struktur organisasi dan hal ini merupakan aset organisasi sebagaimana dikemukakan dalam laporan tahun 2006. Sebagai aset organisasi dalam hal sumber daya manusia, menurut Badan Amil Zakat Nasional menjadikan lembaga ini berpeluang 315 untuk melakukan pengelolaan zakat secara amanah dan profesional.”

Tabel 4 : Sumberdaya Personal Badan Amil Zakat Nasional dari sisi Latar Belakang Keilmuan dan Profesi

No. Latar Belakang Keilmuan dan Profesi

Jumlah

01 Ulama, Pakar Agama Islam

02 Anggota DPR

03 Pengusaha

04 Tokoh Masyarakat

05 Manajemen

06 Sarjana Hukum

315 ”Kehadiran para ulama, profesional, birokrat, wakil rakyat dan tokoh masyarakat yang dikenal bersih, berdedikasi, kredibel dan ahli di bidangnya dalam kepengurusannya, Badan Amil

Zakat Nasional melaksakan tugasnya secara amanah dan profesional.”Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 20.

Sumber: Data Diolah dari Buku Annual Report 2006.

Dalam tabel empat di atas terlihat latar belakang sumber daya manusia dari sisi keilmuan dan profesi yang dimiliki Badan Amil Zakat Nasional yang meliputi ulama pakar agama Islam (12 orang), anggota DPR (4 orang), pengusaha (2 orang), tokoh masyarakat (4 orang), manajemen (9 orang), sarja hukum (8 orang), akuntan (2 orang), ekonom (5 orang).

Melihat keragaman latar belakang keilmuan dan profesi sumber daya manusia personal Badan Amil Zakat Nasional maka dapat dipandang sebagai suatu tim kerja dalam mewujudkan fungsi keamilan. Kondisi ini menunjukkan bahwa kompleksitas fungsi amil ( sebagaimana akan diuraikan pada sub D bab

ini ), tidak memungkinkan lagi diemban oleh personil atau orang perorang semata karena diakibatkan oleh keterbatasan personal baik dari sisi pengetahuan dan keterampilan. Terhadap sumber daya personal Badan Amil Zakat Nasional yang beragam dilihat dari sisi latar belakang keahlian di atas dipandang relevan dengan QS. An 316 ‐Nahl/16: 43

Salah satu penafsiran terhadap term ahl al‐dzikr seperti yang dinyatakan oleh Fakhr al‐Râzi (w. 604 H) adalah “orang yang memiliki pengetahuan tentang masa lampau”. 317 Khususnya masalah keagamaan karena melihat konteks ayat ini. Al‐Zajjâj seperti dikutip kitab tafsir terdahulu, menyatakan bahwa ayat ini mengandung arti “perintah

bertanya kepada orang yang memiliki pengetahuan dan kewenangan.” 318 Quraish Shihab, menyatakan bahwa karena redaksi ayat dimaksud bersifat bersifat

umum, maka mengandung arti bahwa ayat ini memerintahkan untuk menanyakan kepada yang dipandang ahli terkait apa saja yang tidak diketahui atau diragukan

“Dan kami tidak mengutus sebelum kamu, kecuali orang-orang lelaki yang kami beri wahyu kepada mereka; Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”

317 Fakhr al-D īn Muhammad ibn ‘Umar ibn al-Husain ibn Hasan ibn ‘Alī al-Tamīmy, al- Bakry al-Râzi al-Syâfi ī, al-Tafsīr al-Kabīr Aw Mafâtih al-Ghaib, J. XIX, (Qahirah: Maktabahag

Taufiqiyah, t.th.), h. 31. 318 Fakhr al-D īn Muhammad ibn ‘Umar ibn al-Husain ibn Hasan ibn ‘Alī al-Tamīmy, al-

Bakry al-Râzi al-Syâfi ī, al-Tafsīr al-Kabīr Aw Mafâtih al-Ghaib, J. XIX, (Qahirah: Maktabahag Taufiqiyah, t.th.), h. 31.

kebenarannya. Adapun yang dipandang ahli menurutnya yaitu siapapun yang 319 dipandang mengetahui tentang sesuatu dan tidak tertuduh objektifitasnya.

Dalam konteks pendayagunaan zakat, tampaknya tidak hanya terkait dengan problematika hukum Islam (ijthâd), tetapi terkait dengan aspek manajemen, integritas atau kejujuran dan keadilan amil zakat serta ekonomi, yang kondisi ini menunjukkan pendayagunaanya melibatkan multi latar belakang keahlian dan keilmuan. Kerjasama “tim untuk saling bertanya” dalam melakukan upaya pendayagunaan zakat merupakan suatu keniscayaan.

P engelola zakat dalam hal ini Badan Amil Zakat Nasional yang memiliki amil yang multi latar belakang dan keilmuan juga dapat dipahami dari tabel lima (5) dari sisi unsur, dimensi, sumber pembentukan persepsi dan kategorisasi yang merupakan suatu hasil alisisis. .

Tabel 5: Hasil Analisis Terhadap Konsep Amil Badan Amil Zakat Nasional: Dimensi, Sumber Pembentukan Persepsi, Kategorisasi

No. Konsep Amil:

Dimensi Amil

Sumber Kategorisasi

Unsur ‐Unsur Konsep Amil

Pembentukan Persepsi

01 Islam Aqidah Kitab Fikih

01 ‐04 Syarat Amil

02 Akil Baligh Kecakapan Al ‐Hadits: Muadz Syar’iy bin Jabal

03 Pemahaman Hukum Islam Al‐Hadits: Muaz Hukum Zakat

bin Jabal

04 Jujur dan Amanah Integritas Keputusan Dirjen (Moralitas) Bimas Islan dan Urs. Haji .

05. Kemampuan untuk Manajerial Sda. (profesional)

319 Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah, Vol. VII, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), h. 236.

tugas keamilan

06 Pendataan secara Administrasi Pandangan

06 ‐09 Tugas cermat Badan Amil Zakat Pokok Nasional Keamilan: Pertama

07. Pembinan dan Psikologi Sda

Penagihan Komunikasi

08. Mengumpulkan,

Tugas Inti

QS. Attaubah

Menerima :103

Mendoakan

09. Mengadministarsik Administrasi, Pandangan

an dan Kearsifan, Badan Amil Zakat Memeiliharanya Integritas Nasional

10. Pendataan

Administrasi Sda

10 ‐13 Tugas mustahik Pokok Keamilan: kedua

11. Menghitung Perencaan Sda

Kebutuhan Keuangan

Mustahik

12. Menentukan kiat Manajemen Sda Pendistribusia

13. Pembinaan Pasca Manajemen Sda Mustahik

Menerima Zalat Sumber: Hasil Kajian Penulis 2007.

Tabel dimaksud memperlihatan bahwa dari sisi konsep amil mengandung unsur‐ unsur. Unsur‐unsur itu dapat dilihat dari sisi dimensinya, dan selanjutnya dilakukan pelacakan terhadap sumber pembentukan persepsi atau sumber pendapat. Dengan Tabel dimaksud memperlihatan bahwa dari sisi konsep amil mengandung unsur‐ unsur. Unsur‐unsur itu dapat dilihat dari sisi dimensinya, dan selanjutnya dilakukan pelacakan terhadap sumber pembentukan persepsi atau sumber pendapat. Dengan

mengacu pada pengkategorisasian Badan Amil Zakat Nasional mengenai tugas pokok amil yaitu berkaitan kepentingan pengumpulan zakat dari muzaki dan kepentingan mustahik.

Tabel di atas memperlihatkan bahwa konsep amil menurut Badan Amil Zakat Nasional didasarkan pada lima sumber yang terkumulasi pada Al‐Qur’an, al‐Hadis, Keputusan Dirjen Bimas Islam dan Urusan Haji No. D‐291 Tahun 2000 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Zakat, Kitab Fikih dan pandangan Badan Amil Zakat Nasional sendiri. Dari sisi dimensi atas konsep amil memperlihatkan tiga belas point yang dikembangkan ke dalam sembilan jenis dimensi. Selanjutnya dari sisi kategorisasi konsep amil, memperlihatkan dua kategorisasi yaitu syarat amil dan tugas pokok keamilan.

Implikasi uraian ini menunjukkan bahwa amil merupakan suatu profesi atau pekerjaan yang tidak bebas syarat. Pandangan ini relevan dengan fungsi bahagian amil sebagai mustahik atas dana zakat, yang dapat dipandang sebagai konpnesasi dari profesionalisme yang diemban oleh amil.

b. Pengangkatan Amil Menurut Badan Amil Zakat Nasional, amil zakat harus memperoleh mandat dari

lembaga ini. Perolehan mandat menunjukkan bahwa amil telah memenuhi syarat yang telah 320 ditetapkan baik dari sisi administrasi, profesionalisme dan integritas. Untuk

Badan AmiL Zakat Nasional, selain secara kelembagaan ditetapkan sebagai amil, badan ini juga menetapkan amil sebagai bentuk perpanjangan tangan administrasi yang dikenal dengan unit pengumpul zakat (UPZ).

Unit pengumpul zakat (UPZ ) dibentuk berdasarkan UU.No. 38/ 1999 tentang pengelolaan zakat pasal 22 yang menyatakan ”...dalam hal muzaki berada atau menetap di luar negeri, pengumpulan zakatnya dilakukan oleh unit pengumpul zakat pada perwakilan Republik Indonesia, yang selanjutnya diteruskan kepada badan amil zakat Nasional.” Dalam Keputusan Dirjend. Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji No. D/291/2000 tentang pedoman teknis pengelolaan zakat pasal 9 ayat (2) dinyatakan ” Badan Amil Zakat Nasional dapat membentuk Unit Pengumpul Zakat pada Instansi /

320 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 20 September 2007.

lembaga pemerintah pusat, BUMN, dan perusahaan swasta yang berkedudukan di Ibu kota Negara dan pada kantor perwakilan Republik Indonesia di luar negeri.”

Kewenangan UPZ diatur dalam pasal ini ayat (8) ”Unit Pengumpul Zakat melakukan pengumpulan dana zakat, infaq, sedekah, hibah, wasiat, waris dan kafarat di unit masing ‐masing, dengan menggunakan formulir yang dibuat oleh Badan Amil Zakat, dan hasilnya disetorkan kepada bagian pengumpulam Badan Pelaksana Badan Amil Zakat, karena Unit Pengumpul Zakat tidak bertugas mendayagunakannya.”

Badan Amil Zakat Nasional sampai dengan 2007 telah membentuk 33 UPZ di dalam negeri dan 31 di luar negeri. Untuk UPZ yang ada di dalam negeri hanya 17 yang aktif. Untuk UPZ di luar negeri mengalami berbagai kendala dan Badan Amil Zakat Nasional 321 lebih memilih mengoptimalkan untuk UPZ dalam negeri. Kewenangan UPZ, selain untuk kegiatan penghimpunan, Badan Amil Zakat Nasional memberikan kewenangan pendayagunaan terbatas kepada mustahik yang ada pada internal instansi/badan usaha tempat UPZ itu. Dalam hal pendayagunaan, Badan Amil Zakat Nasional, hanya menerima laporan pertanggungjawaban zakat tentang mustahik yang telah 322 menerimanya.

Khusus mengenai pemberian kewenangan Badan Amil Zakat Nasional kepada UPZ dalam hal pendayagunaan, hemat penulis, sebenarnya merupakan penyimpangan dari 323 Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam dan Urusan Haji yang hanya memberikan tugas kepada UPZ untuk mengumpul zakat. Walaupun sebenarnya, calon mustahik dapat saja diajukan oleh UPZ kepada Badan Amil Zakat Nasional untuk diterima sebagai mustahik, namun dalam kenyataannya UPZ mengadakan penyeleksian

321 Dalam melakukan pembentukan UPZ, Badan Amil Zakat Nasional berpedoman pada Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam tersebut Pasal 9 ayat 7. Prosedur

pembentukan Unit Pengumpulan Zakat dapat dilakukan melalui langkah-langkah sebagai berikut: a.Badan Amil Zakat sesuai dengan tingkatannya mengadakan pendataan di berbagai instansi dan lembaga sebagaimana tersebut di atas; b. Badan Amil Zakat seseuai dengan tingkatannya mengadakan kesepakatan dengan pimpinan Instansi dan lembaga sebagaimana tersebut di atas, untuk membentuk Unit Pengumpul Zakat; c. Ketua Badan Amil Zakat sesuai dengan tingkatannya mengeluarkan Surat Keputusan pembentukan Unit Pengumpul Zakat.

Berbagai kendala pembinaan UPZ di luar negeri di antaranya biaya kominikasi yang mahal. Wawancara Pribadi dengan Subroto, Kepala Devisi Pengembangan Sumber Daya Manusia Pengurus Pelaksana Harian Badan Amil Zakat Nasional. Jakarta, 4 Mei 2007.

322 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 9 Mei 2007.

323 Keputusan Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam tersebut Pasal 9 ayat (8), Unit Pe ngumpul Zakat melakukan pengumpulan dana zakat, infaq, shadaqah, hibah, wasiat, waris

dan kafarat di unit masing-masing, dengan menggunakan formulir yang dibuat oleh Badan Amil Zakat, dan hasilnya disetorkan kepada bagian pengumpulan badan Pelaksana Amil Zakat, karena Unit Pengumpul Zakat tidak bertugas mendayagunakan.

dan pendayagunaan dana zakat sebelum dana diberikan kepada Badan Amil Zakat Nasional.

Perluasan makna amil zakat yang dikembangkan oleh Badan Amil Zakat Nasional pada dasarnya merupakan penjabaran lebih lanjut dari konsep amil dalam literatur keagaman 324 dan Keputusan Direktur Jenderal Urusan Haji. Walaupun demikian, karakteristik pendapat Badan Amil Zakat ini terletak pada unsur manajemen organisasi terutama dalam hal penetapan subjek dan fungsi

kelembagaan.

3. Kewenangan Amil

Kewenangan amil zakat dapat ditelusuri pada hadis Nabi mengenai pengangkatan Muadz bin Jabal sebagai amil. Menurut hadis Nabi sebagai yang dikemukakan pada bab II disertasi ini, kewenangan amil ”tu’khadzu min agniyâihim wa turadd ilâ fuqarâihim” yakni mengambil zakat dari orang kaya dan mengembalikannya kepada orang miskin, dan kewenangan yang dipahami dari hadis ini dapat dinyataan sebagai kewenangan distribusi.

Untuk mengetahui sejauhmana kewenangan distribusi amil terimplemnatasi pada Badan Amil Zakat Nasional, maka akan dilakukan analisis terhadap kewenangan amil sebagaimana yang dipahami menurut UU No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat dan kewenangan amil yang dikembangkan oleh Badan Amil Zakat Nasional.

Dalam UU dimaksud pasal 9 dinyatakan bahwa Badan Amil Zakat Nasional bertugas 325 menyelenggarakan tugas‐tugas keamilan yang dipandang konvensional

yakni pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat serta tambahan dari sisi aspek penelitian dan pembinaan baik untuk mustahik maupun muzaki.

324 Menurut Rasyid Rida bahwa amil pada dasarnya siapapun yang bekerja dan atas nama pemerintah dalam hal pengelolaan zakat. Muhammad Rasyid Rida, Tafsir al-Quran al-

Hakîm al-Masyhûr al-Manâr, Juz X (Refrint: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyah, 2005), h. 431.

a. Menyelenggarakan tugas administratif dan teknis pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat . b. Mengumpulkan dan mengolah data yangd iperlukan untuk penyusunanan rencana pengelolaan zakat.c. Menyelenggarakan bimbingan di bidang pengelolaan, pengumpulan, pendistribusian dan pendayagunaan zakat, d. Menyelenggarakan tugas penelitian dan pengembangan, komunikasi, informasi, dan edukasi pengelolaan zakat.

Terkait dengan kewenangan amil seperti di atas maka Badan Amil Zakat Nasional telah menetapkan tugas pokok amil zakat yaitu: Pertama, pendataan dan

pembinaan serta penagihan terhadap muzaki. Hal ini dilakukan untuk memperoleh pemasukan keuangan dana zakat bagi Badan Amil Zakat Nasional. Kedua, tugas pokok yang ditujukan pada kepentingan mustahik. Dalam memenuhi kepentingan mustahik, amil menurut Badan Amil Zakat Nasional memiliki tugas pokok untuk menghitung jumlah kebutuhan, menentukan kiat pendistribusian, yakni apakah akan diberikan secara langsung (konsumtif) atau sebagai modal usaha serta berkewajiban untuk membina 326 para mustahik

Dengan memperha kan kewenangan yang terdapat dalam UU No. 38 ini yang terimplementasi pada tugas pokok Badan Amil Zakat Nasional, maka dari sisi kewenangan amil dalam konteks pola Rasul dalam mendayagunakan zakat menunjukkan bahwa tidak hanya kewenangan distribusi, namun terdapat upaya perluasan kewenangan.

Dari sisi perluasan kewenangan dalam bidang non distribusi seperti pembinaan mustahik dan muzaki serta riset perzakatan, dipandang tidak bertentangan dengan pola pendayagunaan zakat Rasul dengan argumen tetentu. Pertama, kewenangan distribusi telah terimplementasi pada Badan Amil Zakat Nasional dengan dukungan UU No,. 38/ 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Kedua, kewenangan distribusi pada dasarnya, ditujukan untuk memenuhi kepentingan mustahik yakni baik untuk memenuhi aspek pengumpulan zakat yang akan menjadi sumber penerimaan mustahik maupun untuk memperkuat kelembagaan dari sisi kinerja organisasi. Dari sisi kinerja organisasi menunjukkan bahwa, dengan riset yang dilakukan, Badan Amil Zakat Nasional, akan memperoleh informasi semaksimal mungkin berkaitan hal‐hal yang menyangkut pezakatan. Ketiga, kewenangan non distribusi itu, merupakan konsekwensi logis terhadap eksistensi Badan Amil Zakat Nasional sebagai suatu organisasi.

326 Tugas pokok amil menurut Badan Amil Zakat Nasional: ”Pertama, melakukan pendataan secara cermat dan teliti terhadap muzaki, melakukan

pembinaan, menagih, mengumpulkan dan menerima zakat dan mendoakan muzaki pada saat menyerahkan zakat, mengadministrasikan serta memeliharanya dengan baik dan penuh tanggungjawab. Kedua, melakukan pendataan terhadap mustahik zakat, menghitung jumlah kebutuhannya, dan menentukan kiat pendistribusiannya, yakni apakah akan diberikan secara langsung (konsumtif) atau sebagai modal usaha. Setelah menyerahkan zakat, amil juga berkewajiban untuk membina para mustahik tersebut.”Didin Hafidhuddin, Anda Bertanya tentang Zakat Infak dan Sedekah Kami Menjawab h. 86.

4. Pertanggungjawaban Amil

Pertanggungjawaban merupakan wujud dari kedudukan zakat sebagai amanah yang merupakan hak ekonomi mustahik. Pandangan ini didasarkan pada kasus Ibnu Luthbiyah seperti yang dikemukakan pada bab II penelitian ini

Berkaitan dengan pertaggungjawaban, maka dapat direlevankan dengan pelaporan kepada publik yang dikembangkan oleh Badan Amil Zakat Nasional maka

terdapat hal‐hal tertentu yang akan dilihat dari sisi implementasinya dengan pola pendayagunaan zakat masa Rasul. Pertama, dari sisi landasan pelaporan. Menurut Badan Amil Zakat Nasional bahwa zakat sebagai ibadah yang diserahkan oleh muzaki untuk kepentingan mustahik melalui Badan Amil Zakat Nasional dan proses ini dipandang oleh Badan Amil Zakat Nasional sebagai suatu amanah yang harus dikelola secara profesional. Didin Hafidhuddin menyatakan bahwa ”zakat adalah kepercayaan. Karena itu Badan Amil Zakat Nasional menerapkan prinsip transparansi dan akuntabiltas dalam

pengelolaannya”. 327 Dilihat dari sisi landasan pemikiran Badan Amil Zakat Nasional dalam melakukan

pertanggungjaban, yakni sikap amanah, maka hal ini merupakan implementasi dari pola Rasul dalam pendayagunaan zakat. Kalau dikaitkan dengan prototipe Ibnu Lutbiyah dalam kapasitasnya sebagai amil zakat yang ditegur oleh Rasul dan dipandang sebagai simbol penrtanggungjawaban zakat, maka pada dasarnya amil dimaksud tidak menjalankan amanah dengan benar.

Dalam UU.No. 38/1999 tentang Pengelolaan Zakat pasal 19 berkaitan dengan pertanggungjawaban dinyatakan bahwa ”Badan Amil Zakat memberikan laporan tahunan pelaksanaan tugasnya kepada Dewan Perwaakilan Rakyat Republik Indonesia atau kepada Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sesuai dengan tingkatannya.” Selanjutnya, Pasal 20 UU ini menyatakan ”Masyarakat dapat berperan serta dalam pengawasan badan amil zakat dan lembaga amil zakat.” Penjelasan pasal 20 menyatakan ”Peran serta masyarakat diwujudkan dalam bentuk: a. Memperoleh informasi tentang pengelolaan zakat yang dikelola oleh badan amil zakat dan lembaga amil zakat...”

327 Badan Amil Zakat Nasional, Annual Report 2006, h. 4.

Pelaporan kepada publik, oleh Badan Amil Zakat Nasioal dilakukan kepada Dewan Perwakilan Rakyat setiap tahun dan penerbitan news latter serta penerbitan

buku 328 laporan perkembangan pengelolaan zakat setiap tahun.