Kendala Lingkungan Eksternal Kultural dan Internal Kelembagaan
B. Kendala Lingkungan Eksternal Kultural dan Internal Kelembagaan
Pembahasan ini dimaksudkan untuk mengemukakan hal‐hal yang menjadi kendala bagi Badan Amil Zakat Nasional yang berada di luar kelembagaan dan bersifat kultural maupun internal kelembagaan.
1. Kendala Lingkungan Eksternal Kultural Urgensi pembahasan ini karena akan memberikan analisis dari sisi faktor
manusia baik dari sisi mustahik maupun muzaki, sebagai pelaku kultural dalam kaitannya dengan aktfitas perzakatan. Aktifitas perzakatan sebagai bagian dari kultural dipandang memiliki pengaruh terhadap eksistensi Badan Amil Zakat Nasional dalam melaksanakan peningkatan kesejahteraan umat. Baik aktifitas perzakatan ‐yang melibatkan muzaki, mustahik maupun amil‐ maupun pening katan kesejahteraan, keduanya merupakan
575 Achmad Subianto, Ketua Umum Badan Amil Zakat Nasional 2001-2004 Pidato Serah Terima, h. 6.
bagian dari kultural. Untuk kepen tingan pembahasan ini maka akan diuraikan dari sisi faktor mustahik dan muzaki dalam kaitannya dengan Badan Amil Zakat Nasional
a. Pandangan Mustahik Kurang Tepat tentang Dana Zakat Hasil penelitian yang telah dilaksanakan oleh Basril menunjukkan bahwa hanya
sekitar 30 % dari dana bergulir yang diberikan oleh Bazis DKI Jakarta, dapat dikembalikan dengan 576 baik oleh kelompok usaha yang berasal dari mustahik. Menurut pengamatan
Bazis DKI Jakata seperti dinyatakan Marzani Anwar yang dikutif Muhammad Daud Ali bahwa terdapat faktor penghambat dalam pembinaan dana bersifat produktif yang telah diterima oleh mustahik. Faktor itu: (1) pandangan mereka bahwa dana itu dak wajib dikembalikan. Menurutnya, tidak ada nash yang mewajibkan dana yang diterima oleh mustahik
untuk 577 mengembalikannya; (2) Mustahik belum memiliki pola pikir wirausaha.
Pandangan yang kurang tepat mustahik tentang dana zakat terjadi juga pada Badan Amil Zakat Nasional. Data menunjukkan bahwa, terdapat pandangan yang melihat bahwa dana yang diberikan kepada mereka adalah hak milikinya sehingga pesan ‐pesan zakat sebagai instrumen yang harus merubah cara berpikir mereka ke arah yang produktif tidak dapat tercapai. Menurut Budi Setiawan, pandangan mereka merupakan tantangan Badan Amil Zakat Nasional untuk mengubah cara berfikir mereka. 578
Selain perilaku seperti di atas, bentuk lain adalah mustahik kelompok miskin sering datang ke konter Badan Amil Zakat Nasional untuk memohon zakat walaupun pernah
datang sebelumnya. 579 Hemat penulis cara berfikir sebahagian mustahik yang memandang zakat sebagai hak milik mereka mendorong mereka untuk mempergunakan
zakat itu dengan kurang memperhatikan makna zakat. Akibatnya, zakat yang
576 Dana yang diberikan itu, walaupun qardul hasan yang bersumber dari infak, namun mencerminkan perilaku mustahik secara umum. Basril, “Upaya Bazis: dalam Pengentasan
Kemiskinan Melalui ZIS DKI Jakarta,” (Disertasi S3 PPS Universitas Islam Negeri Jakarta, 2000), h. 234.
577 Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1988), cet.
I, h. 70. 578 Wawancara Pribadi dengan Budi Setiawan,Staf Divisi Program Pengurus Pelaksana
Harian Badan Pelaksana BAZNAS, Jakarta, 14 Pebruari 2008. 579 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus
Badan Pelaksana BAZNAS, Jakarta, 19 Mei 2008.
seharusnya berfungsi sebaga instrumen yang mendorong semangat bekerja, menjadikan mereka justru memiliki sikap ketergantungan terhadap dana zakat.
b. Tingkat Kepercayaan Muzakki Masih Lemah Pada BAZNAS Yang Berimbas Pada Kurangnya dana yang dihimpun
Dalam manajemen seperti pada pandangan Balanced Scorecard bahwa manajer mengidentifikasi pelanggan dan segmen pasar sebagai sasaran dan akan menjadi objek persaingan
di antara sesama dunia bisnis. 580 Jika pandangan ini dikaitkan dengan Badan Amil Zakat Nasional, maka pelanggan adalah muzaki. Karena muzaki adalah kelompok
yang akan memberikan dana zakat kepada Badan Amil Zakat Nasional. Untuk melihat kendala berkaitan dengan tingkat kepercayaan muzaki maka terdapat empat unsur yang akan dikemukakan yaitu muzaki sasaran, akuisisi muzaki, kepuasan muzaki dan profitabilitas
muzaki. 581 Pertama, muzakki sasaran. Dari sisi yuridis formal Badan Amil Zakat Nasional
dimaksudkan untuk melakukan manajemen terhadap pengumpulan dan pendistribusian serta pendayagunaan zakat. Muzaki yang dimaksud UU No. 38 pasal 1 adalah orang muslim atau badan yang dimiliki oleh orang muslim. Selanjutnya UU ini membatasi kewenangan Badan Amil Zakat Nasional sebagaimana pada Kepmenag No. 581/ 1999 tentang pelaksanaan UU No. 38 tentang Pengelolaan Zakat, pasal 25 pada instansi/ lembaga pemerintah tingkat pusat, swasta nasional dan luar negeri
Memperhatikan muzaki sasaran, maka secara potensial muzaki Badan Amil Zakat Nasional memiliki karakteristik muzaki tersendiri dan secara sosioekonomi dapat dinyatakan bahwa Badan ini memiliki muzakki sasaran dari kalangan elitis. Dengan muzakki sasaran yang elitis tersebut, dalam arti upaya untuk menjalankan UU dimaksud, maka dukungan peraturan atau aspek struktural sangat dibutuhkan. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa belum terbitnya peraturan berkaitan dengan kewajiban bagi UPZ yang ada di badan usaha atau instansi pemerintah untuk
580 Robert S. Kaplan dan David P. Norton, Balanced Scorecard, (Harvard: Harvard Business School Press, 1996), h. 23.
581 Keempat unsur berkaitan dengan muzakki diadaptasi dari pandangan Kaplan yang menetapkan keempat unsur itu dalam pelanggan. Robert S. Kaplan & David P.Norton, Balanced
Scorecard, h. 60.
menyalurkan zakatnya kepada Badan Amil Zakat Nasional dipandang sebagai salah satu kendala.
Kendala yuridis terhadap muzakki sasaran Badan Amil Zakat Nasional ini diperparah dengan kondisi bangsa Indonesia yang memasuki era demokrasi yang ditandai dengan kebebasan berpendapat dan berbicara pasca reformasi. Dalam era ini tingkat kepercayaan masyarakat kepada birokrasi mengalami penurunan dibanding dengan era sebelumnya. Kondisi demokrasi yang memberikan ruang gerak kepada publik, hemat penulis merupakan bagian dari aktifitas kultural yang dapat berpengaruh bagi tingkat loyalitas muzakki untuk memilih suatu lembaga pengelola zakat, terutama yang bercitrakan ”lembaga pemerintah” dalam hal ini Badan Amil Zakat Nasional.
Dengan memperhatian kondisi era demokrasi dengan citra lembaga publik yang belum ”bersahabat” maka kondisi ini akan memberikan dasar pertimbangan bagi muzakki sasaran Badan Amil Zakat Nasional untuk tidak berzakat pada lembaga ini.
Berkaitan kecenderungan muzakki sasaran Badan Amil Zakat Nasional, maka secara faktuil terdapat lembaga amil yakni lembaga amil zakat nasional yang telah menerima 582 zakat dari perusahaan swasta nasional. Dengan demikian, dapat dinyatakan bahwa loyalitas muzakki sasaran Badan Amil Zakat Nasional ‐yakni berzakat secara tetap,‐ patut dipertanyakan. Dengan demikian, bagi Badan ini berkewajiban untuk mempertahankan atau melakukan retensi terhadap muzakki sasaran.
Kedua, mempertahankan atau retensi muzakki Mempertahankan muzakki yang menjadi pelanggan tetap bagi Badan Amil Zakat
Nasional, merupakan suatu tantangan yang dihadapi Badan ini. Untuk membangun komunikasi kepada muzakki, maka Badan ini menerbitkan news BAZNAS yang memberikan informasi tentang aktifitas Badan ini baik terhadap mustahik maupun informasi berkaitan kegiatan‐kegiatan yang telah dilakukan oleh Badan ini. Kegiatan ini
582 Data yang diterima dari Dompet Dhuafa dalam tiga tahun terakhir 2007, 2006, 2005. terdapat beberapa direktur pada perusahaan swasta nasional yang menyetor zakat mereka dengan
jumlah di atas Rp. 300 juta. Wawancara Pribadi Yuli Pujihardi, Direktur Komunikasi dan Sumber Daya Dompet Dhuafa, Jakarta, 11 Pebruari 2008.
dimaksudkan agar muzakki dapat mengetahui aktifitas Badan dan penggunaan keuangan 583 dana zakat kepada masyarakat.
Ketiga, akuisisi muzakki. Akuisisi muzakki merupakan suatu upaya untuk melakukan perluasan muzakki sasaran. Secara realitas, terdapat muzakki perorangan yang 584 memilih Badan Amil Zakat Nasional. Muzakki dari kalangan pengusaha menengah ke bawah yang secara yuridis formal harus memilih badan amil daerah, tampaknya perlu mendapat kajian lebih mendalam pada kesempatan lain.
Dari sisi potensi akuisisi muzakki dilihat dari sisi kutural tampaknya, Badan Amil Zakat Nasional, memiliki peluang untuk mengembangkannya. Keempat, kepuasaan muzakki. Menurut Kaplan bahwa, retensi dan akuisisi pelanggan sangat ditentukan oleh kemampuan perusahaan untuk memuaskan
pelanggan. 585 Dalam kaitan dengan kepuasan pelanggan dalam hal ini muzakki, maka pertanyaan yang perlu dijawab adalah manfaat apa yang diterima oleh muzakki jika
memilih Badan Amil Zakat Nasional sebagai tempat pelaksanaan ibadah zakat ? atau dalam bahasa Kaplan bahwa, kepuasaan muzaki / pelanggan memberikan umpan balik seberapa 586 jauh organisasi melaksanakan aktifitas bisnis. Jika pernyataan ini diterima maka pandangan Abdul Hamid berikut ini dapat memberikan panduan Badan Amil Zakat Nasional mengenai sejumlah titik penekanan bagi aspek pemuasan terhadap mustahik. Pandangan dimaksud lebih menitikberatkan pada psikologis pelanggan yaitu: ”(a) Memberikan keuntungan, (b) Menghargai dan membeli janji‐janji, (c) Membeli kepercayaan, (d) Membeli harapan‐harapan, (e) Sebagai jalan keluar, (f) Wujud penghormatan
peribadi.” 587 Dari pandangan Abdul Hamid di atas, yang menekankan aspek psikologis
pelanggan tampaknya, mereka memiliki tingkat keraguan yang cukup terhadap produk yang ditawarkan kepada mereka. Dari sisi ini kiranya produk yang ditawarkan oleh Badan Amil Zakat Nasional, tidak hanya sekedar memberikan pelayanaan sebagai
583 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana BAZNAS, Jakarta, 19 Mei 2008.
584 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana BAZNAS, Jakarta, 19 Mei 2008.
585 Robert S. Kaplan & David P.Norton, Balanced Scorecard, h. 61. 586 Robert S. Kaplan & David P.Norton, Balanced Scorecard, h. 61. 587 Abdul Hamid, “Arti Phlosogis “Duel Identity” Koperasi” dalam Juranl Etikonomi,
UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Vo. 2 No 2 Agustus 2003, h. 241.
lembaga kesejahteraan umat tetapi karakteristik sebagai lembaga keagaman kiranya menjadi bahan pertimbangan untuk ditampilkan kepada muzakki.
Salah satu karakteristik sebagai lembaga keagamaan, dalam hal ini lembaga yang bergerak dalam bidang penyediaan fasilitas bagi muzaki, yakni impelementasi ajaran 588 psikologis yang ditawarkan QS. al‐Taubah: 9/113: 103 Pembahasan ini telah dikemukakan pada Bab II yang dinyatakan zakat
sebagai instrumen untuk memperoleh nilai spritual dalam bekerja. Dengan demikian berkaitan dengan karakteristik Badan Amil Zakat Nasional
seperti dikemukakan di atas, maka pertanyaan yang dapat diajukan adalah sejauhmana Badan ini telah membangun transformasi nilai‐nilai spritual dalam bekerja terhadap muzaki.
Dalam kaitan ini, patut dikemukakan kecenderungan muzaki untuk menunaikan zakat pada bulan Ramadhan sebagai bulan pilihan pada satu sisi dan tingkat penerimaan dana zakat yang besar bagi lembaga pengelola zakat termasuk pada Badan Amil
Zakat Nasional. 590 Kecenderungan ini juga diakui oleh Dompet Dhuafa.
Kecenderungan perilaku muzaki untuk memilih bulan Ramadhan sebagai bulan pengeluaran zakat, dilihat dari sisi kultural dapat diterima dengan mengaitkan bulan dimaksud dengan ajaran Islam yang menilai sebagai momen ibadah, baik puasa maupun ibadah sunat dengan janji‐janji pahala yang berbeda di luar ramadhan.
588 ª!$#uρ 3 öΝçλ°; Ö⎯s3y™ y7s?4θn=|¹ ¨βÎ) ( öΝÎγø‹n=tæ Èe≅|¹uρ $pκÍ5 ΝÍκÏj.t“è?uρ öΝèδãÎdγsÜè? Zπs%y‰|¹ öΝÏλÎ;≡uθøΒr& ô⎯ÏΒ õ‹è{ ∩⊇⊃⊂∪ íΟŠÎ=tæ ìì‹Ïϑy™
103. Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan[658] dan mensucikan[659] mereka dan mendoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu (menjadi) ketenteraman jiwa bagi mereka. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. [658] Maksudnya: zakat itu membersihkan mereka dari kekikiran dan cinta yang berlebih-lebihan kepada harta benda. [659] Maksudnya: zakat itu menyuburkan sifat-sifat kebaikan dalam hati mereka dan memperkembangkan harta benda mereka.
589 Penerimaan bisa mencapai 80 % dari total dana penerimaan zakat dalam tahun itu. Wawancara Pribadi Broto Santoso, Supervisor HRD Pengurus Pelaksana Harian Badan Amil
Zakat Nasional, Jakarta, 14 Pebruari 2008. 590 Wawancara Pribadi Yuli Pujihardi, Direktur Komunikasi dan Sumber Daya Dompet
Dhuafa, Jakarta, 11 Pebruari 2008.
Dalam perspektif sosioekonomi, pelaksanaan ibadah puasa dan ibadah lainnya pada bulan Ramadhan mempunyai implikasi pada pola konsumsi umat Islam.
Kecenderungan mengkonsumsi bagi umat Islam pada bulan ini memiliki peningkatan ketimbang di luar bulan dimaksud. Menurut pengamat ekonomi,
peningkatan pengeluaran di bulan dimaksud dibanding bulan lainnya mencapai tingkat perbedaan 591 di atas 30 %.
Memperhatikan pola konsumsi umat Islam pada bulan dimaksud, dan kecenderungan mengeluarkan zakat pada bulan ini, maka secara sosiekonomi dapat dinyatakan bahwa bulan dimaksud bagi umat merupakan moment pengeluaran yang tinggi. Perilaku umat Islam yang sebahagian mereka merupakan muzakki, dikaitkan dengan kemampuan Badan Amil Zakat Nasional untuk mensiasati kencederungan ini, tampaknya, Badan Amil Zakat Nasional, justru melakukan instensifikasi dan ekstensifikasi pelayanan pada muzaki. Untuk yang pertama memperbanyak jam pelayanan kepada muzaki dan ekstensifikasi yakni memperbanyak konter‐konter pelayanan muzaki atau penerimaan zakat pada daerah strategis seperti di pasar, swalayan 592 dan masjid. Penyebaran brosur dan tenaga konsultasi tentang hukum zakat
Upaya intensifikasi dan ekstesifikasi pelayanan pada muzaki yang dilakukan oleh Badan Amil Zakat Nasional, juga dilakukan oleh pengelola zakat lainnya seperti Dompet Dhuafa. 593
Dengan uraian di atas, menunjukkan bahwa terjadi persamaan persepsi dan pola penyiasatan lembaga pengelola zakat dalam menyikapi kecenderungan umat Islam berzakat pada bulan ramadhan. Pola penyiasatan yang dilakukan oleh pengelola zakat, dilihat dari sisi manajemen tampaknya hanya memberikan pelayanan kepada muzakki dalam arti hanya terbatas pada aspek pemberian informasi mengenai hukum zakat dan dampaknya secara sosioekonomi religius pada mustahik dan penyediaan sarana pembayaran zakat.
591 Informasi ini diperoleh pada acara ”Apa Kabar Indonesia”, dengan tema ”Menyisiasati Pengeluaran pada Bulan Ramadhan” via stasion TV ONE, tgl 26 Agustus 2008 jam
07-08.30 Wib. 592 Wawancara Pribadi Broto Santoso, Supervisor HRD Pengurus Pelaksana Harian Badan
Amil Zakat Nasional, Jakarta, 14 Pebruari 2008. 593 Wawancara Pribadi Yuli Pujihardi, Direktur Komunikasi dan Sumber Daya Dompet
Dhuafa, Jakarta, 11 Pebruari 2008.
Dengan demikian, kendala kultural yang dihadapi Badan Amil Zakat selain pada perilaku muzaki juga pada pola penyiasatan yang dibangun oleh Badan Amil Zakat
Nasional dengan menyentuh unsur rasionalitas muzakki, yang tampaknya memiliki kesamaan pola dengan pengelola zakat lainnya.
Kelima, profitabilitas muzakki Persaingan antar pelanggan dalam hal ini muzakki untuk memilih Badan
Amil Zakat Nasional sebagai tempat penyerahan dana zakat merupakan kondisi yang dihadapi oleh lembaga ini. Dalam kaitannya dengan lembaga zakat, maka hubungan antar Badan Amil Zakat dengan muzakki terjalin di atas landasan kepercayaan. Dengan demikian dapat diduga kuat bahwa semakin tinggi tingkat kepercayaan muzaki kepada lembaga pengelola zakat tertentu, maka semakin banyak muzaki yang akan mempercayakan dana zakat mereka diserahkan serta dana zakat sangat berpeluang mengalami peningkatan .
Dalam manajemen diketahui bahwa profitabilitas pelanggan mengandung arti upaya untuk melakukan evaluasi terhadap sejauhmana pelanggan tidak hanya memberikan keuntungan finansial pada perusahaan tetapi dengan pelanggan dimaksud memberikan kondisi perusahaan dapat berpeluang untuk memperoleh keuntungan. Dengan demikian, menarik untuk mengemukakan polarisasi yang dikemukakan oleh Kaplan mengenai pelanggan yaitu pelanggan yang tidak memberikan keuntungan dan pelanggan
yang memberikan keuntungan. 594 Dengan kata lain, profitabilitas pelanggan diartikan sebagai pelanggan loyalitas yang dapat memahami perkembangan perusahaan
sehingga mendukung pencapaian keuntungan perusahaan, Apabila diperhatikan tingkat kepercayaan muzaki terhadap Badan Amil Zakat
Nasional terukur dari sisi penerimaan dana zakat, infak dan sedekah (ZIS) memperlihatkan bahwa dalam tenggang waktu 2005‐2006 baru dapat menembus lima puluhan milyar rupiah. Jika angka perolehan ini dibandingkan dengan perolehan ZIS secara nasional yang dilakukan oleh badan amil zakat daerah dan mitra Badan Amil Zakat Nasional serta lembaga amil zakat, maka Badan Amil Zakat Nasional berada pada posisi penerimaan di bawah angka 6 %.
594 Robert S. Kaplan & David P.Norton, Balanced Scorecard, h. 61.
Tabel 16: tentang Perbandingan Dana Zakat Infak dan Sedekah yang dihimpun Badan Amil
Zakat Nasional dengan Penerimaan Secara Nasional Pada Pengelola Zakat Lainnya
2002‐2006 (dalam Ribuan Rupiah)
No. Nama 2002 2003 2004 2005 2006 Lembaga
1 Baznas 921.048 2.700.073 3.322.092 31.406.810 19.864.377
2 UPZ Mitra -- - - 8.289.356 Baznas
3 Bazda 11.589.000 14.177.504 18.412.132 30.301.714 114.406.553
4 Lenbaga Amil
230.613.161 Zakat TOTAL 68.190.257 85.583.523 150.089.112 295.694.543 373.173.447 Posisi %
1.35 3.15 2.21 10.62 5.32 Perolehan Baznas
Sumber : Diolah dari Annual Report BAZNAS 2006, h. 55. Penerimaan dana SIZ ini memberikan pengaruh bagi program peningkatan
kesejahteraan 595 umat yang dikembangkan oleh Badan Amil Zakat Nasional. Dilihat dari sisi rendahnya penerimaan dana SIZ bagi Badan Amil Zakat Nasional, tampaknya telah
menjadi kecenderungan umum bagi pengelola zakat secara nasional. Menurut hasil penelitian seperti yang dinyatakan Mohammad Daud Ali bahwa kendala usaha produktif bagi mustahik karena jumlah dana yang diberikan kepada mustahik terlalu kecil 596 untuk modal usaha
Pandangan yang sama dikemukakan oleh pengurus Badan Amil Zakat Daerah Provinsi Banten menurutnya bahwa faktor dana SIZ menyebabkan besaran dana yang diberikan 597 kepada mustahik masih kurang.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh Neneng Habibah terhadap pelaksanaan zakat pasca UU 38/199 pada LAZ Harum Serang Banten, menunjukkan salah satu
595 Wawancara Pribadi dengan M. Fuad Nasar, Anggota Divisi Pendistribusian Pengurus Badan Pelaksana BAZNAS, Jakarta, 19 Mei 2008.
596 Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1988), cet.
I, h. 70. 597 Wawancara Pribadi dengan Sybly Syarjaya, Sekretaris Umum Badan Amil Zakat
Daerah Provinsi Banten, Serang, 7 Mei 2008.
kendala yang dihadapi oleh mustahik binaan produktif adalah perlunya penambahan 598 modal usaha guna meningkatkan pengembangan usaha.
Tabel 17: tentang Perbandingan Dana Zakat dan Infak serta Sedekah yang dihimpun Badan Amil Zakast Nasional 2005‐2006 (dalam Rupiah)
No.
Jenis Penerimaan
2 Infak dan Sedekah
Posisi % Perolehan
8.83 38.74 Sumber : Diolah dari Annual Report BAZNAS 2006, h. 65.
dana Zakat
Dari tabel di atas diketahui bahwa dana zakat yang dterima Badan Amil Zakat Nasional dibanding dengan dana infak dan sedekah, menunjukkan bahwa dana yang disebut terakhir jauh lebih banyak. Untuk tahun 2006 dana zakat yang diterima masih belum mencapai 40 % dibanding dengan dana infak dan sedekah yang diterima pada tahun yang sama.
Dengan mengaitkan gagasan mengenai tingkat kepercayaan muzakki dengan empat unsur yang telah dikemukakan ‐ muzakki sasaran, akuisisi muzakki, kepuasan muzakki dan profitablitas muzakki‐ dikaitkan dengan kondisi objektif penerimaan dana zakat dan non zakat (infak dan sedekah ) bagi badan Amil Zakat Nasional, maka kiranya dapat dinyatakan bahwa kendala kultural memiliki dimensi yang sangat luas. Dimensi itu terkait dengan: (a ) demokratisasi ‐ sikap kritis muzakki kepada lembaga publik, – (b) keagamaan ‐persepsi pahala
di bulan Ramadhan,‐ (c) sosioekonomi ‐ perilaku konsumsi‐serta (d) ”persaingan” antar pengelola zakat dalam menggalang muzakki.
2. Kendala Internal Kelembagaan
598 Neneng Habibah, Zakat dan Pemberdayaan Umat: Studi Kasus Pelaksanaan Zakat Pasca UU No. 38/1999 LAZ Harum Serang Banten dalam jurnal Penamas, Vol XVIII/I/Juli 2005,
h. 72.
Kendala internal kelembagaan dimaksudkan sebagai suatu kondisi negatif yang dihadapi Badan Amil Zakat Nasional dalam mengoptimalkan kinerjanya dalam
peningkatan kesejahteraan umat. Kendala yang dihadapi mencakup:Pertama, tingkat kuantitas dan kualitas sumber daya manusia yang lemah pada tingkat pengurus pelaksana harian. Kedua, tidak ada peta kemiskinan.
a. Kualitas Pengurus Pelaksana Harian yang Lemah Sumber daya manusia dalam organisasi biasa disebut dengan human capital
dimaksudkan untuk melakukan proses secara internal kelembagaan terhadap kebutuhan organisasi. 599 Dengan demikian, peran sumber daya manusia pada organisasi sangat
penting, karenanya tingkat kualitas mereka sangat menentukan keberhasilan suatu organisasi.
Berkaitan dengan kualitas sumber daya manusia pada pengelola zakat maka menurut Uswatun Hasanah, salah satu kendala BAZIS DKI Jakarta berkaitan dengan pengelolaan dana produktif karena sumber daya manusia lembaga ini belum siap secara profesional
untuk mengelola dana pinjaman 600 Dalam pengembangan sumber daya manusia, Badan Pelaksana mengutus
personal lembaga untuk mengikuti pendidikan formal dalam bidang manajemen. Untuk 2004 ‐2007 akan disiapkan personal kelembagaan dari unsur pelaksana harian untuk mengiku pendidikan S2 sebanyak 5 orang. Selain itu juga diikutkan dalam kursus‐kursus pengembangan 601 manajemen. Terhadap pengembangan sumber daya manusia, dimaksudkan karena Badan ini telah mendorong pengelolaan zakat di Indonesia dengan konsep
“perusahaan”. 602 Menurut Fuad konsep ini tidak dimaksudkan untuk mengubah bentuk, tujuan serta hakekat lembaga pengelola zakat termasuk Badan ini
sebagai organisasi pelayan umat dan dengan demikian maka pelayanan kepada muzakki lebih 603 optimal dan bagi mustahik, martabat mereka lebih terlindungi.
599 Robert S.Kaplan dan David P. Norton, Strategy Maps, ( Boston: Harvard Business School Publishing, 2004), h. 343.
600 Mohammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam dan Wakaf, (Jakarta: UI Press, 1988), cet.
I, h. 70. 601 Wawancara Pribadi dengan Broto Santoso, Supervisor HRD Pengurus Pelaksana
Harian Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 10 Oktober 2007. 602 M. Fuad Nasar, Pengalaman Indonesia dalam Mengelola Zakat, (Jakarta: UI Press,
2006), h. 31. 603 M. Fuad Nasar, Pengalaman Indonesia dalam Mengelola Zakat, h. 31.
Konsep perusahaan yang diusung Badan Amil Zakat Nasional baik untuk kepentingan internal kelembagaan sebagai lembaga yang mengelola zakat untuk
kepentingan mustahik, juga untuk kepentingan pengembangan perzakatan secara umum di Indonesia dalam kapasitas melakukan koordinasi, konsultasi dan informasi bagi badan amil zakat daerah. Baik untuk yang kedua maupun pertama, keduanya memerlukan kualitas sumber daya manusia yang memadai.
b. Kuantitas Tenaga SDM Yang Masih Kurang Hasil penelitian berkaitan dengan pendayagunaan zakat oleh lembaga pengelola
zakat, maka ditemukan hasil penelitian Uswatun Hasanah, yang menyatakan bahwa terdapat kendala yang dihadapi oleh BAZIS DKI Jakarta antara lain kurangnya sumber daya 604 manusia. Pada Badan Amil Zakat Nasional kekurangan sumber daya manusia karena 605 tenaga teknis dan administrasi dilakukan oleh pengurus pelaksana harian.
Dengan kondisi yang rangkap fungsi bagi pengurus Badan Amil Zakat Nasional, maka dapat dinyatakan bahwa terjadi kekurangan sumber daya manusia. Berkaitan dengan penambahan sumber daya manusia tidak dapat dilakukan, karena terkait dengan 606 aspek pengganjian. Upaya yang dilakukan selain membina sumber daya manusia yang sudah ada, maka untuk bulan ramadhan dilakukan rekrutmen relawan. Untuk relawan pada bulan Ramadhan, dimaksudkan sebagai tenaga yang dapat mengisi konter ‐konter yang tersebar pada tempat strategis juga untuk dijadikan sebagai tenaga administrasi 607 pada bagian umum.
Bagi Badan Amil Zakat Nasional, akibat kekurangan tenaga dalam tingkat pelaksana harian, maka berbagai aktifitas seperti pendampingan kepada mustahik, program kemanusiaan seperti penanganan bencana di luar daerah terkadang menghalami 608 keterlambatan penanganan.
604 Uswatun Hasanah, “Zakat dan Keadilan Sosial...” Tesis, 1980, h. 196. Hemat penulis, penelitian ini dilakukan sebelum lahirnya UU dimaksud, namun substansi kendala lembaga
pengelola zakat pasca UU ini masih dipandang relevan dengan hasil penelitian ini. 605 Wawancara Pribadi Broto Santoso, Supervisor HRD Pengurus Pelaksana Harian Badan
Amil Zakat Nasional, Jakarta, 14 Pebruari 2008.
606 Wawancara Pribadi Broto Santoso, Supervisor HRD Pengurus Pelaksana Harian Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 14 Pebruari 2008.
607 Wawancara Pribadi Broto Santoso, Supervisor HRD Pengurus Pelaksana Harian Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 14 Pebruari 2008.
608 Wawancara Pribadi Broto Santoso, Supervisor HRD Pengurus Pelaksana Harian Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 14 Pebruari 2008.
c. Belum ada peta kemiskinan berbasis mustahik
Peta kemiskinan ini akan membantu dalam melakukan program dalam pendayagunaan zakat secara nasional dan dipandang sebagai patokan dasar bagi Badan ini dan lembaga amil. Akibat tidak ada peta kemiskinan, maka tidak ditemukan data yang pasti 609 mengenai kondisi objektif mustahik secara nasional.
Peta kemiskinan dapat berfungsi untuk memberikan informasi berkaitan dengan potensi‐potensi kemiskianan umat Islam di Indonesia, faktornya serta kebijakan‐ kebijakan yang pernah dan akan diberikan dari instansi terkait. Sebagaimana diketahui bahwa instansi terkait telah juga melakukan hal yang sama dengan pengelola zakat di Indonesia yakni dalam upaya pengentasan kemiskinan sesuai dengan program yang ada.
Pemerintah Indonesia, telah menjadikan pengentasan kemiskinan sebagai suatu upaya untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Pada masa Orde Baru kebijakan pemerintah berkaitan dengan pengentasan kemiskinan di antaranya dikembangkan ke dalam dua pola yaitu: a. Pola penanggulangan antar sektor dan b. Penanggulangan antar daerah/ wilayah. Yang pertama “... pendelegasian kepada setiap departemen untuk mengeluarkan kebijakan pengentasan kemiskinan seperti departemen pertanian bertanggungjawab terhadap golongan miskin dari keluarga yang berada di sektor pertanian”. Sedangkan terakhir adalah berkaitan dengan pembagian wilayah seperti Indonesia bagian Barat dan Indonesia bagian Timur yang antara lain melalui program inpres dan bagi daerah yang belum terjangkau program itu pemerintah menetapkan PKT (Pengembangan Kawasan Terpadu) dengan menetapkan kecamatan sebagai unit
kerjanya. 610 Berbagai kebijakan pemerintah berkaitan pengentasan kemiskinan menurut
Gunawan dapat dilihat pada terjadinya proses perubahan struktural dalam kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Namun secara empirik program‐program yang dikembangkan oleh pemerintah dirasa belum mampu menanggulangi kemiskinan secara
609 Wawancara Pribadi, Fuad Nasar, Kepala Devisi Pendayagunaan Zakat Badan Amil Zakat Nasional, Jakarta, 9 Mei 2007.
610 Gunawan Sumodiningrat, et. al., Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan, (Jakarta: Inpac, 1999), h. 66. Menurutnya, Inpres sebagai kebijakan termasuk di dalamnya IDT (Inpres
Desa Tertinggal).
sistemik. Program yang ada kurang memberikan dampak pada penguatan kapasitas 611 sosial ekonomi masyarakat lokal guna mendukung membangun kemandirian.
Menurut Gunawan bahwa penguranan kemiskinan di Indonesia pada daeah pedesaan disebabkan faktor : pertama, kehadiran proyek pemerintah yang dilaksanaan di pedesaan yang menampung tenaga kerja. Kedua., adanya program di bidang pertanian yang memungkinkan petani dapat meningkatkan produktifitas mereka. Ketiga, terjadinya perpindahan sebagian masyarakat di pedesaaan yang hidup dalam kemiskinan
ke kota‐kota. 612 Lebih lanjut menurut Gunawan bahwa penduduk miskin di Indonesia 613 jauh lebih tinggi di pedesaaan dibanding mereka yang hidup di perkotaan. .
Sebagai lembaga pengelola zakat, Badan Amil Zakat Nasional menetapkan pengentasan kemisikinan sebagai bahagian dari misinya. Hal yang sama juga dilakukan oleh Badan Amil Zakat Daerah seperti Provinsi Lampung. Salah satu misinya, adalah ”membantu pemerintah daerah dalam peningkatan kualitas
SDM, mengatasi kemiskinan, dan memberantas praktik rentenir.” 614 Dengan memperhatikan fungsi zakat sebagai instrumen ekonomi dalam
pengentasan kesmikinan, maka keberadaan pengelola zakat di Indonesia, dipandang sebagai lembaga pengentasan kemiskinan pada satu sisi dan kebijakan pemerintah melalui instansi terkait juga melakukan hal yang sama. Secara realitas, dua jenis lembaga melakukan hal yang sama, namun tidak didukung oleh peta kemiskinan, menyebabkan pola penanganan pengentasan kemiskinan tidak dapat terkoordinasi.
Bagi pengelola zakat, akibat tidak ada peta kemiskinan yang dapat dijadikan sebagai landasan bagi instansi yang terkait termasuk Badan ini,. maka memunculkan penanganan kesejahteraan hanya bersifat sporadis dan parsial.
Sebagaiman dikemukakan pada pengantar bab ini, bahwa bab ini akan menjelaskan kendala yang dialami Badan ini dalam pendayagunaan zakat. Tampaknya
611 Gunawan Sumodiningrat, “Kepemimpinan Pemberdayaan Ekonomi Rakyat”, Pidato Pengukuhan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Gajah Mada 17 Maret 2001, (Yogyakarta:
Universitas Gajah mada, 2001), h, 9. 612 Gunawan Sumodiningrat, et. al., Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan, h. 65.
613 Gunawan Sumodiningrat, et. al., Kemiskinan: Teori, Fakta dan Kebijakan, h. 65. 614 Profil 7 Badan Amil Zakat Daerah Provinsi dan Kapubaten Potensial di Indonesia,
(Jakarta: Institut Manajemen Zakat, 2006), h. 24.
kendala itu mencakup eksternal struktural, eskternal kultural dan internal Badan Amil Zakat Nasional.