Ranah Target (Target Domain)

3.3 Ranah Target (Target Domain)

Ranah target atau target domain merupakan sebuh konsep yang dijelaskan oleh source domain karena memiliki kecenderungan bentuk yang abstrak, kabur, dan tidak tergambar jelas sehingga perlu dijelaskan dengan konsep lain yang tidak abstrak. Pada bagian ini target domain dalam temuan data metafora di wayang kulit lakon Kilatbuwana seperti jiwa, perasaan, pikiran, ilmu, budi pekerti, perilaku, keluarga, dan waktu.

3.3.1 Jiwa

(III.30) PUNTADEWA: nuwun inggih, menawi keng putra ing Ngamarta dipun keparengaken nyuwun katrangan menggah kula nate mireng bilih wonten sandhanganing raga lan sandhanganing jiwa menika kadospundi? PUNTADEWA: iya, jika putra Amarta diperbolehkan minta keterangan seperti saya pernah dengar jika pakaiannya raga dan pakaiannya jiwa itu seperti apa?

(Feinstein, dkk, 1986: 11) Penjelasan: Pada contoh (III.30) memiliki konsep metafora JIWA ADALAH BADAN karena

ekspresi metafora pada sandhanganing jiwa . Jiwa merupakan sesuatu yang abstrak dan tidak terlihat, tetapi dianggap memiliki peran penting dalam diri seseorang. Oleh karena itu, TD pada contoh di atas diekspresikan dengan sandhangan . Dengan hal itu, TD sebagai JIWA yang abstrak dan tidak terlihat tersebut seakan bisa dirasakan entitasnya dengan memberikannya pakaian untuk menutupi.

Bahkan dalam pepatah Jawa juga menyebutkan ajining diri seka ing lathi, ajining raga seka busana

atau gambaran mengenai diri telihat dari apa yang diucapkan sehari-hari sedangkan gambaran dari raga dapat dilihat dari cara berbusananya. Oleh karena itu, cara berbusana adalah salah satu sarana untuk membentuk karakter bagi seseorang. Dengan demikian, TD jiwa diekspresikan untuk menggunakan pakaian supaya bisa menjaga diri dari perbuatan buruk dan bisa berjiwa baik dengan pakaian yang baik.

(III.31) BRAMANGKARA: [...] kanjeng panembahan Kilatbuwana kuwi ingkang ngukir jiwa ragaku [...] BRAMANGKARA: [...] kanjeng panembahan Kilatbuwana itu yang mengukir jiwa ragaku [...]

(Feinstein, dkk, 1986: 172) Penjelasan: Pada contoh (III.31) memiliki bentuk konsep metafora JIWA ADALAH BENDA

PADAT YANG DAPAT DIBENTUK karena menggunakan ekspresi metafora ngukir . Ranah target adalah jiwa dengan ekspresi ngukir menunjukkan bahwa jiwa seseorang bisa dibentuk seperti apa yang diinginkan. Jiwa sendiri merupakan sesuatu hal abstrak yang berada dalam tubuh manusia dan menjalankan segala PADAT YANG DAPAT DIBENTUK karena menggunakan ekspresi metafora ngukir . Ranah target adalah jiwa dengan ekspresi ngukir menunjukkan bahwa jiwa seseorang bisa dibentuk seperti apa yang diinginkan. Jiwa sendiri merupakan sesuatu hal abstrak yang berada dalam tubuh manusia dan menjalankan segala

(III.32) KILATBUWANA: [...] katresnanan sejati iku tanpa pamrih. Tuladhane katresnanan sejati iku ibu kang nglairake putra. Nadyan nyuntak ludira totoh jiwa, yen perlu kukut ragane tumekeng pati, ewadene babar pisan ora duwe pangarep- arep, ya mung nindakake kewajiban jejering ibu kudu nglairake anak [...] KILATBUWANA: [...] rasa cinta sejati itu tanpa pamrih. Contoh dari rasa cinta sejati itu seperti seorang ibu yang melahirkan

menumpahkan darah mempertaruhkan jiwa, jika perlu selesai raganya menuju kematian, namun sekalipun tidak punya pengharapan, hanya melakukan kewajiban sebagai ibu yang harus melahirkan anak [...]

putra.

Walau

(Feinstein, dkk, 1986: 13) Penjelasan: Pada contoh (III.32) TD jiwa diekspresikan dengan sesuatu yang bisa

dipertaruhkan. Dalam hal tersebut untuk mengekspresikan rasa cinta seorang ibu kepada anaknya sehingga mengekspresikan JIWA ADALAH BARANG TARUHAN. Dalam kasus tersebut, seorang ibu merelakan jiwa dijadikan taruhan untuk melahirkan meskipun jiwa adalah sesuatu yang fatal apabila hilang dapat mengakibatkan kematian.

(III.33) SEMAR: [...] sang adi Panembahan Abiyasa kuwi wis ngumbah jiwa karo ngumbah raga SEMAR: [...] sang adi Panembahan Abiyasa itu sudah mencuci jiwa dan mencuci raga

(Feinstein, dkk, 1986: 41) Penjelasan: Pada contoh (III.33) memiliki bentuk konsep metafora JIWA ADALAH BENDA.

Pada bentuk tersebut TD diekspresikan dengan ngumbah yang berarti mencuci.

Sedangkan kata mencuci sendiri biasanya digunakan untuk membersihkan sesuatu (benda) supaya menjadi bersih. Orang Jawa membayangkan bahwa JIWA adalah suatu bentuk abstrak yang dapat kotor dan dibersihkan melalui perilaku dalam kehidupan sehari-hari.

3.3.2 Perasaan

(III.34) SEMAR: e, Petruk, suwe-suwe kok rembugmu gawe panas ati. Kowe ora ngabekti ya sakarepmu ning aja eneng ngarepku. SEMAR: e, Petruk, lama-lama kok perkataanmu membuat hati panas. Kamu tidak berbakti yang silahkan tapi jangan di hadapanku.

(Feinstein, dkk, 1986: 106) Penjelasan: Pada contoh (III.34) menunjukkan bahwa TD adalah HATI yang diekspresikan

dengan gawe panas atau ‗membuat panas‘. Dalam bentuk tersebut memiliki konsep metafora HATI ADALAH SESUATU YANG BISA MENDIDIH. Dari bentuk metafora yang ada, TD HATI dijelaskan dengan ekspresi panas menjadikan TD tersebut masuk dalam ranah perasaan, yaitu perasaan emosi.

(III.35) ABIYASA: [...] wong kang wus bisa masrahke pribadine kanthi merdika marang kahanan apa wae. Mlarat ya seneng, sugih yo sokur, iku wong kang wis manggon ana ing kaswargan langgeng. ABIYASA: [...] orang yang sudah bisa memasrahkan dirinya dengan merdeka terhadap keadaan apapun. Miskin ya senang, kaya ya bersyukur itu orang yang sudah bertempat di surga yang abadi.

(Feinstein, dkk, 1986: 72) Penjelasan: Pada contoh (III.35) memiliki konsep metafora PASRAH ADALAH MERDEKA.

Hal tersebut dikarenakan pasrah adalah keadaan seseorang yang tidak mementingkan konstruksi sosial yang membentuk lingkungan, seperti kaya dan Hal tersebut dikarenakan pasrah adalah keadaan seseorang yang tidak mementingkan konstruksi sosial yang membentuk lingkungan, seperti kaya dan

(III.36) KILATBUWANA: [...] katresnanan sejati iku tanpa pamrih. Tuladhane katresnanan sejati iku ibu kang nglairake putra. Nadyan nyuntak ludira totoh jiwa, yen perlu kukut ragane tumekeng pati, ewadene babar pisan ora duwe pangarep- arep, ya mung nindakake kewajiban jejering ibu kudu nglairake anak [...] KILATBUWANA: [...] rasa cinta sejati itu tanpa pamrih. Contoh dari rasa cinta sejati itu seperti seorang ibu yang melahirkan

menumpahkan darah mempertaruhkan jiwa, jika perlu selesai raganya menuju kematian, namun sekalipun tidak punya pengharapan, hanya melakukan kewajiban sebagai ibu yang harus melahirkan anak [...]

putra.

Walau

(Feinstein, dkk, 1986: 13) Penjelasan: Pada contoh (III.36) memiliki konsep metafora CINTA SEJATI ADALAH

PENGORBANAN. Bentuk metafora tersebut diekspresikan dengan nyuntak ludira, totoh jiwa, kukut raga . Ketiga bentuk ekspresi tersebut mengandung makna bahwa atas dasar cinta sejati seseorang akan melakukan apapun. Oleh karena itu, bentuk metafora tersebut merupakan ranah perasaan, yaitu perasaan seorang ibu ketika melahirkan seorang anak akan mengorbankan apapun, termasuk nyawa sang ibu sendiri.

(III.37) SENGKUNI: sasuwenin ing kene pasuwitane Begawa n Kilatbuwana kaya mbukak petenging penggalih [...] . SENGKUNI: selama di sini Begawan Kilatbuwana seperti membuka gelapnya hati [...].

(Feinstein, dkk, 1986: 313) Penjelasan:

Pada contoh (III.37) menjelaskan bahwa TD adalah HATI dengan ekspresi metafora binukan atau ‗membuka‘. Dalam metafora tersebut, TD hati digambarkan sedang sedih dengan ekspresi petenging atau ‗gelapnya‘ sehingga harus dibuka untuk memberikan cahaya yang masuk. Contoh (III.50) menunjukkan bahwa TD tersebut masuk dalam ranah perasaan karena diasosiasikan dengan petenging penggalih atau ‗gelapnya hati‘.

(III.38) KILATBUWANA: [...] rasa iku kanggo nenimbang samubarang [...] KILATBUWANA: [...] rasa itu untuk menimbang sesuatu [...]

(Feinstein, dkk, 1986: 11) Penjelasan: Contoh (III.51) menunjukkan bahwa TD adalah RASA karena menggunakan

ekspresi nenimbang atau ‗menimbang‘. Orang Jawa menggunakan RASA untuk memutuskan sesuatu sehingga terdapat ekspresi metafora nenimbang samubarang . Oleh karena itu, bentuk TD pada metafora tersebut masuk dalam ranah perasaan.

3.3.3 Pikiran

(III.39) SEMAR: e, Petruk, suwe-suwe kok rembugmu gawe panas ati. Kowe ora ngabekti ya sakarepmu ning aja eneng garepku. Aku lagi butheg pikirku. SEMAR: e, Petruk, lama-lama kok perkataanmu membuat hati panas. Kamu tidak berbakti yang silahkan tapi jangan di hadapanku. Aku lagi keruh pikiran.

(Feinstein, dkk, 1986: 106) Penjelasan: Pada contoh (III.39) tersebut memiliki bentuk metafora PIKIRAN ADALAH AIR

seperti dalam ekpresi metafora butheg pikirku . TD yang muncul di atas adalah PIKIRAN dengan ekspresi butheg . Pikiran diekspresikan seperti air dikarenakan masyarakat Jawa menganalogikan pikiran dapat keruh seperti air. Orang yang memiliki pikiran keruh pasti tidak bisa berfikir dengan baik dan melihat keadaan seperti dalam ekpresi metafora butheg pikirku . TD yang muncul di atas adalah PIKIRAN dengan ekspresi butheg . Pikiran diekspresikan seperti air dikarenakan masyarakat Jawa menganalogikan pikiran dapat keruh seperti air. Orang yang memiliki pikiran keruh pasti tidak bisa berfikir dengan baik dan melihat keadaan

(III.40) KILATBUWANA: wis, saiki menepke pikirmu [...] KILATBUWANA: sudah, sekarang endapkan pikiranmu [...]

(Feinstein, dkk, 1986: 246) Penjelasan: Pada contoh (III.40) tidak memiliki perbedaan yang jauh dengan contoh

sebelumnya, yaitu memiliki bentuk konsep metafora PIKIRAN ADALAH AIR. Contoh di atas menunjukkan bahwa TD diibaratkan seperti air yang banyak kotoran dan tercampur-aduk sehingga membuatnya keruh. Oleh karena itu, ekspresi metafora tersebut adalah menepke atau ‗endapkan‘ karena masyarakat mengikuti sistem air yang jernih adalah air yang bagus. Dengan demikian, untuk bisa menjernihkan air diperlukan mengendapkannya terlebih dahulu supaya kotoran-kotoran yang ada dalam air bisa mengendap dan terlihat apa saja yang membuat air tersebut kotor. Masyarakat Jawa percaya bahwa pikiran yang jernih akan lebih baik untuk memcahkan masalah apapun daripada pikiran yang sedang keruh.

3.3.4 Ilmu

(III.41) KILATBUWANA: [...] ingkeng ndak wenangke darbe pitakon luwih dhisik anakku Prabu Duryudana. Ngelmu ingkang bapa tawunen lan usungana pupung aku isih urip, Ngger. KILATBUWANA: [...] yang ku persilahkan untuk bertanya lebih dahulu anakku Prabu Duryudana. Ilmu Bapa kuraslah dan angkatlah selagi aku masih hidup, Ngger.

(Feinstein, dkk, 1986: 10) Penjelasan: Pada contoh (III.41) memiliki TD ilmu atau pengetahuan yang

diekspresikan dengan metafora air. Bentuk tersebut memiliki konsep ILMU ADALAH AIR sehingga pernyataan Kilatbuwana adalah diekspresikan dengan metafora air. Bentuk tersebut memiliki konsep ILMU ADALAH AIR sehingga pernyataan Kilatbuwana adalah

(III.42) PUNTADEWA: nun, sokur sakethi mangayubagya jumurung. Mboten ketang namung sakglugut tambah seserepan kula. PUNTADEWA: ya, syukur seribu kebahagiaan sudah memahamkan. Meskipun cuma sakglugut menambah pengetahuan saya.

(Feinstein, dkk, 1986: 11) Penjelasan: Pada contoh (III.42) memiliki konsep metafora PENGETAHUAN

ADALAH TANAMAN karena ekspresi yang digunakan adalah sakglugut yang mengacu pada tanaman bambu. Bentuk metafora di atas menjelaskan bahwa Puntadewa ingin berterima kasih atas pengetahuan yang diterimanya meskipun hanya sedikit. Oleh karena itu, TD pengetahuan pada bentuk metafora di atas diekspresikan dengan glugut yang berbentuk serabut kecil-kecil di pohon bambu.

(III.43) WERKUDARA: kowe guru kudu dadi sendang, kudu gelem dicidhuk, ditimba, aja nduwe rasa sujana. WERKUDARA: kamu adalah seorang guru harus menjadi sendang, harus mau dicidhuk, ditimba, jangan memiliki rasa curiga.

(Feinstein, dkk, 1986: 11) Penjelasan: Pada contoh (III.43) memiliki bentuk metafora ILMU ADALAH AIR seperti pada

contoh sebelumnya. Penjelasan TD pada contoh ini tidak berbeda jauh hanya ekspresi metafora yang digunakan untuk menjelaskan TD lebih beragam, yaitu contoh sebelumnya. Penjelasan TD pada contoh ini tidak berbeda jauh hanya ekspresi metafora yang digunakan untuk menjelaskan TD lebih beragam, yaitu

(III.44) ABIMANYU: [...] kados mlampah wanci panglong kepapak obor sewu dupi kanjeng eyang paring dhawuh ngelmu ingkang mekaten. ABIMANYU: [...] seperti berjalan saat waktu gelap bertemu 1000 obor ketika eyang memberi pengetahuan seperti itu.

(Feinstein, dkk, 1986: 72) Penjelasan: Pada contoh (III.44) memiliki bentuk PENGETAHUAN ADALAH 1000

CAHAYA TERANG seperti yang diekspresikan pada seribu obor. Penjelasan TD pada contoh tersebut disebutkan bahwa Abimanyu seakan berjalan di kegelapan dan menemui seribu obor yang menerangi. Dalam hal tersebut menunjukkan bahwa bagi masyarakat Jawa, pengetahuan adalah sarana untuk memberikan pencerahan atas kebuntuan yang ada ataupun pengetahuan sebagai sebuah sarana untuk menyelesaikan masalah. Oleh karena itu, TD PENGETAHUAN bagi orang Jawa diibaratkan sebagai sesuati yang menerangi.

3.3.5 Budi Pekerti

(III.45) SEKTISORA: satriya, bagus nanging letheg bebudenmu [...]

SEKTISORA: satriya, tampan tapi kotor budimu [...]

(Feinstein, dkk, 1986: 128) Penjelasan: Pada contoh (III.45) memiliki TD budi dengan ekspresi metafora letheg yang

biasa merepresentasikan pada kain kotor. Dalam kasus di atas memiliki konsep metafora BUDI ADALAH KAIN sehingga seorang satriya yang berlaku buruk seakan seperti sebuah kain yang kotor seperti apa yang dikatakan Sektisora.

(III.46) SEMAR: [...] aja sok meksa, sing gelem ngabekti men gabekti, nek ra gelem ya wis men, wong kuwi ngundhuh wohing pakerti. SEMAR: [...] jangan suka memaksa, yang mau berbakti ya berbakti, kalau tidak mau ya sudahlah. Orang itu memanen buahnya perilaku.

(Feinstein, dkk, 1986: 106) Penjelasan: Pada contoh (III.46) menjelaskan konsep metafora BUDI PEKERTI ADALAH

TUMBUHAN sehingga bisa diambil buahnya. Target domain BUDI PEKERTI diekspresikan seperti tanaman berbuah yang bisa dipanen. Namun, buah yang dari tanaman itu memiliki rasa tergantung pada proses perawatannya. Buah akan berasa nikmat rasanya ketika dirawat dengan baik, begitu juga sebaliknya. Hal tersebut sama dengan budi pekerti, hasil dari perilaku sehari-hari akan mengakibatkan sesuatu hal yang sesuai dengan perbuatannya. Oleh karena itu, perilaku yang berbudi baik akan menghasilkan balasan yang baik, tetapi ketika perilaku budi pekertinya buruk kelak akan mendapatkan akibat dari perbuatannya.

3.3.6 Perilaku

(III.47) SENGKUNI: [...] Kresna wagune ora puguh, ora gelem nekseni malah ngumbar suwara. SENGKUNI: [...] Kresna pendiriannya tidak kokoh, tidak mau menyaksikan malah mengumbar suara

(Feinstein, dkk, 1986: 41) Penjelasan: Pada contoh (III.47) memiliki konsep metafora PERKATAAN ADALAH

PELIHARAAN. Dalam metafora tersebut terdapat ekspresi ngumbar atau ‗mengumbar‘ yang biasanya mengacu pada binatang ternak yang dilepaskan dari

kandangnya. Target domain dari metafora tersebut adalah PERKATAAN karena ekspresi tersebut diasosiasikan dengan suara yang keluar. Oleh karena itu, TD dalam metafora ini masuk dalam ranah perilaku dasar, seperti berbicara dan mendengar.

(III.48) ABIYASA: [...] mlarat ya seneng, sugih yo sokur, iku wong kang wis manggon ana ing kaswargan langgeng. ABIYASA: [...] miskin ya senang, kaya ya bersyukur, itu orang yang sudah tinggal di surga sejati.

(Feinstein, dkk, 1986: 72) Penjelasan: Pada contoh (III.48) memiliki konsep metafora PASRAH ADALAH SURGA.

Ekspresi metafora pada contoh di atas terdapat pada frasa kaswargan langgeng atau ‗surga yang sejati‘. Seperti pada penjelasan sebelumnya, bahwa konsep surga

merupakan sebuah tempat yang berisi kebahagiaan. Dalam hal ini TD pada metafora tersebut adalah PASRAH karena hal tersebut menjadikan seseorang menjadi menerima keadaan yang diberikan oleh Tuhan, baik keadaan miskin maupun kaya. Orang yang sudah bisa memasrahkan diri adalah orang yang tidak lagi merasakan beban hidup lagi atau bisa dibilang sudah menyatu dengan alam dan tidak mementingkan duniawi. Oleh karena itu, TD pada metafora tersebut masuk dalam ranah perilaku masyarakat Jawa.

(III.49) SENGKUNI: weh, swarane wis atos. SENGKUNI: weh, suaranya sudah keras

(Feinstein, dkk, 1986: 51) Penjelasan: Pada contoh (III.49) memiliki konsep metafora PERKATAAN ADALAH

SESUATU YANG BISA DIRABA. Hal tersebut dikarenakan ekspresi metafora yang digunakan adalah atos atau ‗keras‘ yang kecenderungannya menggambarkan pada sebuah benda padat yang bisa disentuh. Pada metafora tersebut TD adalah bagian dari ranah perilaku dasar seperti pada contoh (III.45) yaitu berbicara.

(III.50) CANTRIK: [...] nyawang priyayi bagus ngendikane alus nyang ati CANTRIK: [...] melihat orang tampan berbicara halus di hati

(Feinstein, dkk, 1986: 69) Penjelasan:

Pada contoh (III.46) tidak memiliki perbedaan jauh dengan contoh (III.50) dan (III.45) yaitu memiliki konsep metafora PERKATAAN ADALAH SESUATU YANG BISA DIRABA. Hal tersebut dikarenakan ekspresi metafora yang

digunakan adalah alus atau ‗halus‘ yang kencenderungannya menggambarkan pada sebuah benda halus seperti kain, rambut, atau yang bisa diraba. Oleh karena itu, pada metafora tersebut juga memilik TD yang masuk dalam ranah perilaku dasar, yaitu berbicara atau berkomunikasi.

3.3.7 Keluarga

(III.51) LAMBANGCITRA: kula niku gadhah bojo loro wae le ngingoni wis megap-megap LAMBANGCITRA: saya itu punya isteri dua saja memeliharanya sudah sesak nafas

(Feinstein, dkk, 1986: 175) Penjelasan: Pada contoh (III.41) merupakan konsep metafora ISTERI ADALAH

PELIHARAN. Hal tersebut dikarenakan ekspresi metafora ngingoni wis megap- megap atau ‗memeliharanya sudah sesak nafas‘. Ekspresi metafora yang

digunakan pada konsteks di atas cenderung digunakan untuk merepresentasikan pada binatang peliharaan. Pada metafora tersebut TD termasuk dalam ranah keluarga karena isteri merupakan bagian penting dari keluarga meskipun dalam metafora tersebut diekspresikan dengan binatang peliharaan.

(III.52) ABIYASA: suwargane wong tua kang darbe anak putu padha mukti wibawa ana ing praja ABIYASA: surganya orang tua yang memiliki anak cucu berbakti dan berwibawa untuk negara

(Feinstein, dkk, 1986: 199) Penjelasan: Pada contoh (III.52) memiliki konsep metafora ANAK CUCU YANG

BERBAKTI ADALAH SURGA. Dalam pemahaman metafora ini, ekspresi metafora swargane wong tua merepresentasikan pada sebuah keadaan yang membahagiakan dan tidak ada kesedihan di dalamnya. Bentuk metafora tersebut BERBAKTI ADALAH SURGA. Dalam pemahaman metafora ini, ekspresi metafora swargane wong tua merepresentasikan pada sebuah keadaan yang membahagiakan dan tidak ada kesedihan di dalamnya. Bentuk metafora tersebut

3.3.8 Waktu

(III.53) SEMAR: [...] tiwas kula momong wiwit kuncung nganti gelung, gandheng kula empun mboten dinggo enggih empun [...] SEMAR: [...] percuma merawat sejak kuncung sampai gelung meski saya sudah tidak dipakai ya sudah [...]

(Feinstein, dkk, 1986: 112) Penjelasan: Pada contoh (III.53) menunjukkan bahwa TD USIA yang diekspresikan dengan

kata kuncung dan gelung . Dalam masyarakat Jawa, kondisi kuncung adalah penanda usia anak-anak, sedangkan kondisi gelung adalah penanda usia dewasa. Namun, dalam metafora ini meskipun TD adalah USIA tetapi masuk dalam ranah waktu, yaitu waktu ketika seseorang berusia anak-anak dan waktu ketika seseorang mencapai usia dewasa.

(III.54) KRESNA: [...] perang gedhe mau dudu samubarang sinangga entheng, sabab iku kinodrat minangka dadi wates ing antarane jaman peteng myang jaman padhang, ing antarane sirnaning angkara murka, tuwuhing kautaman. [...] Mula aku wani ngendika ing ngarep, katone panemu nggonmu bakal murungake Bratayuddha Jayabinangun iku kaya bener lan becik, nanging sejatine, Panembahan, iku sawijining kang bakal gawe butheking kahanan Ngastina lan Ngamarta. KRESNA: [...] perang besar itu bukan sesuatu yang berasa ringan, sebab itu sudah ditakdirkan sebagai batas antara jaman kegelapan ke jaman terang, di antaranya hilangnya angkara murka, tumbuhnya keutamaan [...] sehingga saya berani bicara di depan, sepertinya pendapatmu yang akan menggagalkan Bratayuddha Jayabinangun itu seakan benar (III.54) KRESNA: [...] perang gedhe mau dudu samubarang sinangga entheng, sabab iku kinodrat minangka dadi wates ing antarane jaman peteng myang jaman padhang, ing antarane sirnaning angkara murka, tuwuhing kautaman. [...] Mula aku wani ngendika ing ngarep, katone panemu nggonmu bakal murungake Bratayuddha Jayabinangun iku kaya bener lan becik, nanging sejatine, Panembahan, iku sawijining kang bakal gawe butheking kahanan Ngastina lan Ngamarta. KRESNA: [...] perang besar itu bukan sesuatu yang berasa ringan, sebab itu sudah ditakdirkan sebagai batas antara jaman kegelapan ke jaman terang, di antaranya hilangnya angkara murka, tumbuhnya keutamaan [...] sehingga saya berani bicara di depan, sepertinya pendapatmu yang akan menggagalkan Bratayuddha Jayabinangun itu seakan benar

(Feinstein, dkk, 1986: 23) Penjelasan: Pada contoh (III.54) menunjukkan bahwa TD adalah ZAMAN yang diekspresikan

dengan peteng dan padhang . Kondisi peteng biasanya digunakan untuk mengacu pada keadaan malam yang gelap dan tidak bisa melihat apapun, sedangkan kondisi padhang biasanya mengacu pada keadaan siang hari ketika semua benda dapat terlihat dengan jelas. Namun, dalam penjelasan padhang dan peteng dalam ekspresi tersebut diasosiasikan dengan keadaan baik dan buruk. Keadaan baik diasosiasikan dengan padhang dan keadaan buruk diasosiasikan dengan peteng . Dalam metafora tersebut disebutkan bahwa ZAMAN sebagai TD sehingga masuk dalam ranah waktu.