Ranah Sumber Lingkungan Alam

3.2.2 Ranah Sumber Lingkungan Alam

Pada ranah lingkungan alam akan mengaitkan bentuk-bentuk metaforis yang muncul ke dalam ranah ini. Lingkungan alam sendiri adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan alam dan keberadaannya dekat dengan manusia sehingga bisa dilihat dan dirasakan sebagai sebuah proses pemahaman terhadap kehidupan. Secara garis besar ranah lingkungan alam yang tercermin dalam ungkapan metaforis cenderung yang berada di lingkungan orang Jawa seperti tumbuhan, sungai, dan lain-lain. Dengan demikian, pada bagian ini akan menunjukkan lingkungan alam apakah yang dekat dengan orang Jawa sehingga dijadikan sebagai sebuah sikap dan pandangan hidup dalam membentuk konsep metafora.

(III.5) KILATBUWANA: [...] ingkeng ndak wenangke darbe pitakon luwih dhisik anakku Prabu Duryudana. Ngelmu (III.5) KILATBUWANA: [...] ingkeng ndak wenangke darbe pitakon luwih dhisik anakku Prabu Duryudana. Ngelmu

(Feinstein, dkk, 1986: 10) Pada contoh di atas menyebutkan bahwa ranah lingkungan alam digunakan untuk

mengekspresikan metafora bahwa seorang guru itu diibaratkan seperti sebuah wadah air yang bisa diambil oleh manusia (muridnya). Hal tersebut ditunjukkan pada contoh (III.5) dengan menggunakan ekspresi metafora tawunen ‗menguras‘

dan usungana „mengangkat‟.

Kehidupan orang Jawa jaman dahulu dekat dengan alam, sehingga pada contoh (III.5) menunjukkan konsep metafora ILMU ADALAH AIR karena masyarakat sering melakukan kegiatan yang menjadikan air sebagai sumber penghidupan. Orang Jawa melakukan kegiatan menguras dan mengangkat dianalogikan seperti saat mereka ingin mandi harus mengambil air dari sumur atau sendang untuk mandi.

(III.6) PUNTADEWA: Nun, sokur sakethi mangayubagya jumurung. Mboten ketang namung sakglugut tambah seserepan kula. PUNTADEWA: ya, syukur seribu kebahagiaan sudah memahamkan. Meskipun cuma sakglugut menambah pengetahuan saya.

(Feinstein, dkk, 1986: 11) pada contoh (III.6) menunjukkan metafora dalam ranah lingukungan alam karena

domain sumber yang digunakan adalah glugut atau serabut-serabut yang menempel pada pohon bambu. Bentuk dari glugut seperti potongan dari rambut- rambut pendek pada manusia seperti ketika orang mencukur kumis maupun jenggot. Pada contoh tersebut menggunakan ekspresi metafora glugut untuk mengasosiasikan pengetahuan yang didapatkan. Bentuk glugut yang kecil-kecil diibaratkan dengan pengetahuan yang sedikit seperti ciri-ciri glugut yang menempel pada batang bambu. Kehidupan orang Jawa sangat dekat dengan pohon bambu karena banyak sekali manfaat bambu dalam kehidupan masyarakat Jawa seperti untuk membuat kursi, meja, tempat tidur, bahkan sebagai gedhek atau tembok sebelum menggunakan teknologi batu bata sebagai tembok. Oleh domain sumber yang digunakan adalah glugut atau serabut-serabut yang menempel pada pohon bambu. Bentuk dari glugut seperti potongan dari rambut- rambut pendek pada manusia seperti ketika orang mencukur kumis maupun jenggot. Pada contoh tersebut menggunakan ekspresi metafora glugut untuk mengasosiasikan pengetahuan yang didapatkan. Bentuk glugut yang kecil-kecil diibaratkan dengan pengetahuan yang sedikit seperti ciri-ciri glugut yang menempel pada batang bambu. Kehidupan orang Jawa sangat dekat dengan pohon bambu karena banyak sekali manfaat bambu dalam kehidupan masyarakat Jawa seperti untuk membuat kursi, meja, tempat tidur, bahkan sebagai gedhek atau tembok sebelum menggunakan teknologi batu bata sebagai tembok. Oleh

(III.7) WERKUDARA: kowe guru kudu dadi sendang, kudu gelem dicidhuk, ditimba, aja nduwe rasa sujana. WERKUDARA: kamu adalah seorang guru harus menjadi sendang, harus mau dicidhuk, ditimba, jangan memiliki rasa curiga.

(Feinstein, dkk, 1986: 11) Pada contoh (III.7) metafora ranah lingkungan alam disebutkan pada tiga bentuk

ekspresi metafora sendang, dicidhuk, dan ditimba . Ekspresi metafora sendang atau sumber mata air diasosiasikan dengan guru. Seperti pada contoh (III.5) yang menunjukkan konseptual metafora ILMU ADALAH AIR menjelaskan bahwa ilmu yang diibaratkan sebagai air dan orang yang memiliki banyak ilmu (guru) diibaratkan sebagai sebuah sumber mata air sehingga pada contoh di atas menjelaskan bahwa guru diekspresikan sebagai sendang . Selain kata sendang bentuk ekpresi metafora pada contoh tersebut juga pada kata dicidhuk dan ditimba yang memiliki hubungan dekat dengan sumber mata air. Kata dicidhuk adalah bentuk yang dekat dengan masyarakat Jawa karena mereka selalu mengambil air dari wadah air dengan cara cidhuk, sedangkan timba lebih pada posisi pengambilan air yang lebih dalam seperti sumur atau sesuatu yang memiliki jangkauan yang susah untuk tubuh manusia. Namun demikian, ketiga ekspresi metafora pada contoh (III.7) mengacu pada ranah lingkungan alam yang dekat dengan masyarakat Jawa. Bahkan bisa dikatakan ketiga ekspresi metafora tersebut mereka lakukan setiap hari sebagai bentuk rutinitas yang tidak bisa dihindari dalam kehidupan orang Jawa.

(III.8) KRESNA: [...] perang gedhe mau dudu samubarang sinangga entheng, sabab iku kinodrat minangka dadi wates ing antarane jaman peteng myang jaman padhang, ing antarane sirnaning angkara murka, tuwuhing kautaman. [...] Mula aku wani ngendika ing ngarep, katone panemu nggonmu bakal murungake Bratayuddha Jayabinangun iku kaya bener lan becik, nanging sejatine, Panembahan, iku sawijining kang bakal gawe butheking kahanan Ngastina lan Ngamarta. KRESNA: [...] perang besar itu bukan sesuatu yang berasa ringan, sebab itu sudah ditakdirkan sebagai batas antara jaman kegelapan ke jaman terang, di antaranya hilangnya (III.8) KRESNA: [...] perang gedhe mau dudu samubarang sinangga entheng, sabab iku kinodrat minangka dadi wates ing antarane jaman peteng myang jaman padhang, ing antarane sirnaning angkara murka, tuwuhing kautaman. [...] Mula aku wani ngendika ing ngarep, katone panemu nggonmu bakal murungake Bratayuddha Jayabinangun iku kaya bener lan becik, nanging sejatine, Panembahan, iku sawijining kang bakal gawe butheking kahanan Ngastina lan Ngamarta. KRESNA: [...] perang besar itu bukan sesuatu yang berasa ringan, sebab itu sudah ditakdirkan sebagai batas antara jaman kegelapan ke jaman terang, di antaranya hilangnya

(Feinstein, dkk, 1986: 23) Pada contoh (III.8) merupakan metafora ranah lingkungan alam yang terlihat pada

ekspresi metafora padhang, peteng, dan tuwuhing . Kata padhang dan peteng merupakan ekspresi metafora secara universal karena dalam kehidupan manusia mengalami padhang ‗terang‘ dan peteng ‗gelap‘. Masyarakat Jawa mengonseptualisasikan jaman sebagai sesuatu keadaan yang terang dan yang gelap seperti siang dan malam. Sedangkan kata tuwuhing atau ‗tumbuhnya‘ merupakan ekspresi metafora seperti sebuah tanaman yang bisa tumbuh dan berbuah dan kata butheking atau ‗keruhnya‘ merupakan ekspresi metafora untuk menggambarkan keadaan yang kacau. Oleh karena itu, bentuk metafora yang muncul pada contoh (III.8) masuk dalam ranah lingkungan alam karena ekpresi metafora yang digunakan merupakan bentuk pengalaman kehidupan masyarakat yang mengenal terang, gelap, tumbuh, dan keruh. Pada ekspresi metafora di atas, bisa dikonsepkan bahwa ZAMAN ADALAH KEADAAN SIANG DAN MALAM, KEUTAMAAN ADALAH TANAMAN, dan KEADAAN ADALAH AIR.

(III.9) SEMAR: [...] aja sok meksa, sing gelem ngabekti men gabekti, nek ra gelem ya wis men, wong kuwi ngundhuh wohing pakerti. SEMAR: [...] jangan suka memaksa, yang mau berbakti ya berbakti, kalau tidak mau ya sudahlah. Orang itu memanen buahnya perilaku.

(Feinstein, dkk, 1986: 106) Pada contoh (III.9) merupakan metafora ranah lingkungan alam dikarenakan

muncul ekspresi metafora pada ngundhuh wohing atau memanen buah. Bentuk tersebut mengkonseptualisasikan sebagai metafora BUDI PEKERTI ADALAH TANAMAN sehingga pekerti diekspresikan dengan kata ngundhuh wohing . Masyarakat Jawa zaman dahulu –bahkan mungkin sampai sekarang- sangat dekat dengan kegiatan tanam-menanam sehingga setiap rumah biasanya memiliki tanaman yang bisa menghasilkan buah, baik untuk sekedar dikonsumsi sendiri ataupun diperjualbelikan sebagai komoditas. Oleh karena itu, ekpresi metafora muncul ekspresi metafora pada ngundhuh wohing atau memanen buah. Bentuk tersebut mengkonseptualisasikan sebagai metafora BUDI PEKERTI ADALAH TANAMAN sehingga pekerti diekspresikan dengan kata ngundhuh wohing . Masyarakat Jawa zaman dahulu –bahkan mungkin sampai sekarang- sangat dekat dengan kegiatan tanam-menanam sehingga setiap rumah biasanya memiliki tanaman yang bisa menghasilkan buah, baik untuk sekedar dikonsumsi sendiri ataupun diperjualbelikan sebagai komoditas. Oleh karena itu, ekpresi metafora

(III.10) SEMAR: e, Petruk, suwe-suwe kok rembugmu gawe panas ati. Kowe ora ngabekti ya sakarepmu ning aja eneng garepku. Aku lagi butheg pikirku. SEMAR: e, Petruk, lama-lama kok perkataanmu membuat hati panas. Kamu tidak berbakti yang silahkan tapi jangan di hadapanku. Aku lagi keruh pikiran.

(Feinstein, dkk, 1986: 106) Metafora ranah lingkungan alam pada contoh (III.10) diekspresikan dengan kata

butheg atau ‗keruh‘ untuk mengkonsep metafora PIKIRAN ADALAH AIR yang memiliki sumber domain sebagai AIR dan target domainnya adalah PIKIRAN,

sehingga pikiran bisa diasosiasikan dengan keadaan jernih dan keruh. Hal tersebut dikarenakan air merupakan sumber penghidupan utama bagi orang Jawa seperti untuk memenuhi kebutuhan tubuh, mandi, bahkan dalam mata pencaharian (mengaliri sawah, memelihara ikan, dll). Oleh karena itu, ekspresi metafora butheg digunakan untuk mengasosiasikan dengan pikiran orang Jawa.

(III.11) KILATBUWANA: wis, saiki menepke pikirmu [...] KILATBUWANA: sudah, sekarang endapkan pikiranmu [...]