Ranah Sumber Tubuh

3.2.1 Ranah Sumber Tubuh

Tubuh merupakan bagian dari keutamaan dan keutuhan kehidupan karena berbagai kegiatan dilakukan dengan tubuh, seperti makan, minum, memasak, bekerja, bahkan berjalan. Oleh karena itu, tubuh merupakan aspek penting dalam membentuk konsep berfikir manusia. Tubuh manusia adalah sumber domain yang ideal sebagai pembentuk ekspresi metafora karena aspek-aspek dalam tubuh digunakan secara spesial dalam pemahaman metafora (Kovecses, 2002: 16). Oleh karena itu, berikut adalah beberapa bentuk ekspresi metafora ranah tubuh.

(III.1) PUNTADEWA: nuwun inggih, menawi keng putra ing Ngamarta dipun keparengaken nyuwun katrangan menggah kula nate mireng bilih wonten sandhanganing raga lan sandhanganing jiwa menika kadospundi? PUNTADEWA: iya, jika putra Amarta diperbolehkan minta keterangan seperti saya pernah dengar jika pakaiannya raga dan pakaiannya jiwa itu seperti apa?

(Feinstein, dkk, 1986: 11) Pada contoh (III.1) tersebut menunjukkan metafora ranah tubuh pada kata

sandhanganing atau ‗pakaiannya‘. Kata tersebut merupakan ekspresi metafora dari JIWA ADALAH BADAN sehingga ekspresi metafora sandhanganing mengasosiasikan jiwa harus ditutupi dengan pakaian meskipun pada dasarnya jiwa adalah sesuatu hal yang abstrak dan tidak bisa dilihat dengan kasat mata. Bentuk-bentuk abstrak dalam masyarakat Jawa sering dicarikan padananya dengan sesuatu yang konkrit dan dekat dengan masyarakat. Oleh karena itu, sandhanganing atau ‗pakaiannya‘. Kata tersebut merupakan ekspresi metafora dari JIWA ADALAH BADAN sehingga ekspresi metafora sandhanganing mengasosiasikan jiwa harus ditutupi dengan pakaian meskipun pada dasarnya jiwa adalah sesuatu hal yang abstrak dan tidak bisa dilihat dengan kasat mata. Bentuk-bentuk abstrak dalam masyarakat Jawa sering dicarikan padananya dengan sesuatu yang konkrit dan dekat dengan masyarakat. Oleh karena itu,

(III.2) SEMAR: [...] tiwas kula momong wiwit kuncung nganti gelung, gandheng kula empun mboten dinggo enggih empun [...] SEMAR: [...] percuma merawat sejak kuncung sampai gelung meski saya sudah tidak dipakai ya sudah [...]

(Feinstein, dkk, 1986: 112) Pada contoh (III.2) menunjukkan metafora ranah tubuh karena menggunakan

ekspresi metafora kuncung dan gelung . Kata kuncung dan gelung sendiri mengacu pada bentuk ikatan rambut yang mengasosiasikan kuncung adalah anak kecil dan gelung adalah orang dewasa. Meskipun konsep seperti ini sudah jarang ditemukan dalam kultur masyarakat Jawa saat ini tetapi ekspresi metafora ini sering muncul pada pewayangan. Anak-anak kecil zaman dahulu selalu model rambutnya selalu kuncung dan orang dewasa cenderung panjang sehingga kemudian digulung supaya tampak rapi dan berwibawa. Seperti pada bentuk wayang Werkudara muda rambutya terurai panjang kemudian dia menggulung rambutnya ketika beranjak dewasa dan mendapatkan wahyu dari Dewa Ruci. Pandangan mengani bentuk rambut tersebut menunjukkan bahwa ekspresi metafora di atas masuk dalam ranah tubuh meskipun saat ini masyarakat cenderung tidak melakukannya karena konstruksi kebudayaan yang sudah berkembang ke arah budaya populer bahwa bentuk rambut seperti itu sudah tidak eksis lagi sebagai cerminan usia. Oleh karena itu, bentuk tersebut memiliki konsep metafora USIA ADALAH BENTUK RAMBUT.

(III.3) SEMAR: e, Petruk, suwe-suwe kok rembugmu gawe panas ati. Kowe ora ngabekti ya sakarepmu ning aja eneng ngarepku. SEMAR: e, Petruk, lama-lama kok perkataanmu membuat hati panas. Kamu tidak berbakti yang silahkan tapi jangan di hadapanku.

(Feinstein, dkk, 1986: 106) Pada contoh (III.3) merupakan metafora ranah tubuh karena ekspresi metafora

pada panas ati atau ‗hati panas‘. Konseptual metafora EMOSI ADALAH PANAS dengan mengkspresikan pada keadaan ‗hati yang panas‘. Hati merupakan bagian pada panas ati atau ‗hati panas‘. Konseptual metafora EMOSI ADALAH PANAS dengan mengkspresikan pada keadaan ‗hati yang panas‘. Hati merupakan bagian

(III.4) SENGKUNI: [...] ana, ngger, sing kok ndalani supaya Pandawa kuwi tangi kanepsone [...] SENGKUNI: [...]ada, Nak, yang kau jalani agar Pandawa itu bangun kemarahannya [...]

(Feinstein, dkk, 1986: 313) Pada contoh (III.4) merupakan metafora ranah tubuh karena menggunakan ekspresi tangi atau ‗bangun‘. Dari bentuk tersebut menjadikan konsep metafora KEMARAHAN ADALAH TUBUH karena ekspresi tangi mengacu pada tubuh yang terbangun setelah tertidur. KEMARAHAN merupakan bentuk abstrak yang tidak terlihat sehingga perlu dijelaskan dengan bentuk yang dimengerti oleh manusia. Ekspresi tangi digunakan karena KEMARAHAN dipadankan dengan keadaan manusia yang tertidur, yaitu diam dan tidak menimbulkan efek apapun bagi lingkungan, sedangkan manusia sedang bangung dapat menimbulkan efek bagi lingkungannya dengan segala kegiatan yang dilakukannya. Masyarakat Jawa menganggap KEMARAHAN seperti orang yang tertidur dan tidak menimbulkan apapun sampai MARAH itu bangun dan berpotensi melakukan hal-hal yang tidak terduga seperti orang yang bangun dan berkegiatan.