Ranah Sumber Pekerjaan

3.2.4 Ranah Sumber Pekerjaan

Pada bagian ranah pekerjaan, bentuk-bentuk ekspresi metafora yang muncul adalah seputar pekerjaan yang dimiliki oleh orang Jawa sebagai bentuk unsur kebudayaan dalam sistem mata pencaharian. Pekerjaan merupakan sebuah kegiatan seseorang dalam memproduksi uang maupun barang yang biasanya untuk memenuhi kebutuhan hidup. Oleh karena itu, beberapa pekerjaan yang dekat dengan konsep kebudayaan orang Jawa akan sering digunakan sebagai bentuk ekspresi metafora sebagai berikut.

(III.14) KILATBUWANA: [...] katresnanan sejati iku tanpa pamrih. Tuladhane katresnanan sejati iku ibu kang nglairake putra. Nadyan nyuntak ludira totoh jiwa, yen perlu kukut ragane tumekeng pati, ewadene babar pisan ora duwe pangarep- arep, ya mung nindakake kewajiban jejering ibu kudu nglairake anak [...] KILATBUWANA: [...] rasa cinta sejati itu tanpa pamrih. Contoh dari rasa cinta sejati itu seperti seorang ibu yang melahirkan

menumpahkan darah mempertaruhkan jiwa, jika perlu selesai raganya menuju kematian, namun sekalipun tidak punya pengharapan, hanya melakukan kewajiban sebagai ibu yang harus melahirkan anak [...]

putra.

Walau

(Feinstein, dkk, 1986: 13) Pada contoh (III.14) merupakan metafora ranah pekerjaan karena menggunakan

ekspresi nyuntak, totoh, dan kukut . Kata nyuntak atau ‗menumpahkan‘ merupakan bentuk pekerjaan dalam menumpahkan sesuatu dan biasanya mengacu pada air. Ekspresi metafora nyuntak mengkonseptualisasikan bahwa darah seakan-akan air yang bisa ditumpahkan dan dimasukkan lagi ke dalam wadahnya. Sedangkan kata totoh mengkonseptualisasikan pada kegiatan perjudian sehingga jiwa diibaratkan sebagai sebuah barang yang bisa dipertaruhkan. Bentuk ekspresi metafora terakhir ekspresi nyuntak, totoh, dan kukut . Kata nyuntak atau ‗menumpahkan‘ merupakan bentuk pekerjaan dalam menumpahkan sesuatu dan biasanya mengacu pada air. Ekspresi metafora nyuntak mengkonseptualisasikan bahwa darah seakan-akan air yang bisa ditumpahkan dan dimasukkan lagi ke dalam wadahnya. Sedangkan kata totoh mengkonseptualisasikan pada kegiatan perjudian sehingga jiwa diibaratkan sebagai sebuah barang yang bisa dipertaruhkan. Bentuk ekspresi metafora terakhir

kukut untuk mengkonseptualisasikan jiwa.

(III.15) BRAMANGKARA: [...] kanjeng Panembahan Kilatbuwana kuwi ingkang ngukir jiwa ragaku [...] BRAMANGKARA: [...] kanjeng Panembahan Kilatbuwana itu yang mengukir jiwa ragaku [...]

(Feinstein, dkk, 1986: 172) Pada contoh (III.15) masuk pada ranah pekerjaan karena ekspresi metaforis ngukir

atau ‗mengukir‘ yang merupakan bentuk pekerjaan yang banyak digeluti orang zaman dahulu. Bentuk metafora ini mengkonseptualisasikan metafora JIWA

RAGA ADALAH BENDA KERAS dengan bentuk ekspresi metaforis ngukir . Kegiatan mengukir bagi orang Jawa sangat dekat karena banyak pekerjaan dalam bidang kesenian batu dan kayu ukir untuk menghiasi candi maupun bentuk-bentuk rumah, bahkan kursi. Secara tertulis pekerjaan mengukir tidak pernah disebutkan dalam sebuah naskah maupun prasasti, tetapi pengetahuan mengenai adanya pengukir disebutkan secara implisit melalui barang-barang produksi yang dibebani pajak yang diduga adalah sekelompok pengrajin dalam sebuah prasasti (Rahardjo, 2011: 260). Oleh karena itu, orang Jawa menggunakan ekspresi metafora ngukir untuk mengasosiasikan dengan jiwa dan raga sebagai bentuk abstrak.

(III.16) LAMBANGCITRA: kula niku gadhah bojo loro wae le ngingoni wis megap-megap LAMBANGCITRA: saya itu punya isteri dua saja memeliharanya sudah sesak nafas

(Feinstein, dkk, 1986: 175) Bentuk ekspresi metafora ngingoni wis megap-megap atau ‗memeliharanya sudah

sesak- nafas‘ masuk pada ranah pekerjaan. Pada contoh (III.16) ekspresi metafora tersebut mengkonseptualisasi metafora ISTERI ADALAH PELIHARAAN karena penggunaan kata ngingoni yang yang mengacu pada binatang peliharaan. Sedangkan frasa wis megap-megap adalah sebuah gambaran dari sebuah keadaan seseorang yang hampir tenggelam dan kekurangan oksigen sehingga dirasa akan mati. Dengan demikian, ekspresi metafora tersebut merupakan satu kesatuan untuk menggambarkan keadaan yang sulit bagi seorang laki-laki yang beristeri dua. Orang Jawa dahulu banyak yang memiliki peliharaan di rumah mereka karena sebagai bentuk raja-brana seperti memelihara ayam, kambing, sapi, dan jenis hewan peliharaan lain sebagai klangenan ataupun aset yang bisa diperjualbelikan. Oleh karena itu, bentuk ekspresi metafora pada contoh (III.16) masuk dalam ranah pekerjaan.

(III.17) SENGKUNI: [...] Kresna wagune ora puguh, ora gelem nekseni malah ngumbar suwara. SENGKUNI: [...] Kresna pendiriannya tidak kokoh, tidak mau menyaksikan malah mengumbar suara

(Feinstein, dkk, 1986: 41) Pada contoh (III.17) merupakan ranah pekerjaan karena menggunakan ekspresi

metafora ngumbar atau ‗mengumbar/membiarakan‘ untuk diasosiasikan terhadap suara. Ekspresi metafora tersebut membentuk konseptual metafora PERKATAAN ADALAH PELIHARAAN karena bisa diumbar dan dijaga. Kata mengumbar biasanya mengacu pada bentuk kegiatan melepaskan hewan ternaknya untuk berpergian semaunya. Oleh karena itu, ekspresi metafora tersebut bagian dari metafora budaya karena dalam kebudayaan Jawa sistem pencaharian masyarakat zaman dulu tidak lepas dari beternak sehingga pada contoh di atas masuk dalam ranah pekerjaan.

(III.18) SAMBA: [...] watakipun Begawan Durna niku remen ngothak-athik lan ngedu tiyang SAMBA: [...] sifat Begawan Durna itu suka bongkar pasang dan adu domba

(Feinstein, dkk, 1986: 163)

Pada contoh (5) merupakan ranah pekerjaan karena merupakan bentuk personofikasi watak yang diasosiasikan sebagai manusia yang bisa mengubah- ubah dan mengadu domba satu sama lain. Ekspresi metafora ngothak-athik dan ngedu tiyang adalah bentuk metafora ini masuk dalam ranah pekerjaan karena dekat dengan perilaku masyarakat zaman dahulu yang suka mengadu ayam. Bentuk tersebut merupakan kosep metafora WATAK ADALAH MANUSIA