Ranah Sumber Alat dan Kain

3.2.7 Ranah Sumber Alat dan Kain

Ranah alat atau benda di sini merupakan bentuk yang sangat dekat dengan manusia seperti perkataan Kovecses (2002: 17) bahwa menusia menggunakan alat-alat untuk bekerja, bertarung, dan bahkan untuk kesenangan. Selain itu, mereka juga nenggunakan alat atau benda sebagai pendukung aktivitas mereka sehingga sering ditunjukkan ke dalam ekspresi metafora tertentu.

(III.23) SEMAR: [...] tiwas kula momong wiwit kuncung nganti gelung, gandheng kula empun mboten dinggo enggih empun [...]

SEMAR: [...] percuma merawat sejak kuncung sampai gelung meski saya sudah tidak dipakai ya sudah [...]

(Feinstein, dkk, 1986: 112) Pada contoh (III.23) masuk dalam ranah alat atau benda karena terdapat ekspresi

metafora dinggo atau ‗dipakai‘ yang muncul. Kata dinggo biasanya diasosiasikan dengan alat sehingga ekspresi metafora tersebut membentuk konseptual metafora PAMONG ADALAH ALAT karena bisa dipakai dan tidak dipakai. Dalam pandangan masyarakat Jawa dahulu yang menggunakan sistem feodal bahwa setiap anak raja atau anak bangsawan selalu diasuh oleh seorang pamong yang menjaga dan merawatnya sehingga ekspresi metafora kata dinggo masuk dalam ranah alat atau benda.

(III.24) KILATBUWANA: [...] rasa iku kanggo nenimbang samubarang [...] KILATBUWANA: [...] rasa itu untuk menimbang sesuatu [...]

(Feinstein, dkk, 1986: 11) Pada contoh (III.24) merupakan ranah alat atau benda karena menggunakan

ekspresi metafora nenimbang atau ‗menimbang‘ untuk mengacu sesuatu yang abstrak. Kata tersebut menunjukkan bahwa konseptual metafora RASA ADALAH TIMBANGAN karena dapat menimbang sesuatu. Proses berfikir orang Jawa dalam menggunakan ekspresi metafora nenimbang untuk mengikuti kata rasa dikarenakan kehidupan orang Jawa yang tidak jauh dari perdagangan yang sering kali menggunakan alat timbangan untuk menimbang sesuatu. Oleh karena itu, ekspresi metafora tersebut masuk dalam ranah alat atau benda.

(III.25) ABIMANYU: [...] kados mlampah wanci panglong kepapak obor sewu dupi kanjeng eyang paring dhawuh ngelmu ingkang mekaten. ABIMANYU: [...] seperti berjalan saat waktu gelap bertemu 1000 obor ketika eyang memberi pengetahuan seperti itu.

(Feinstein, dkk, 1986: 72) Pada contoh (III.25) menunjukkan bahwa ekspresi metafora yang digunakan pada

kata obor sewu atau ‗seribu obor‘ merupakan ranah alat atau benda. Hal tersebut dikarenakan pada bentuk metafora tersebut mengkonseptualisasikan

PENGETAHUAN ADALAH CAHAYA. Pada konteks tersebut Abimanyu minta pencerahan dengan diberikan perintah dari eyangnya yang juga perintah tersebut sebagai sebuah pengetahuan untuknya. Bentuk ekspresi tersebut merupakan kehidupan orang Jawa pada masa lalu yang masih menggunakan alat penerangan seperti obor dan semacamnya sehingga bisa diberi dan diterima antar-sesama. Oleh karena itu, bentuk metafora di atas masuk dalam ranah alat atau benda.

(III.26) SENGKUNI: weh, swarane wis atos. SENGKUNI: weh, suaranya sudah keras

(Feinstein, dkk, 1986: 51) Pada contoh (III.26) menunjukkan metafora ranah alat atau benda karena

menggunakan kata atos atau ‗keras‘ yang mengacu pada alat ataupun benda. Pada konteks tersebut suara yang tidak berwujud bagi orang Jawa diibaratkan sebagai sesuatu benda yang berbentuk karena bisa keras. Ekspresi metafora atos merupakan bentuk universal karena tidak perlu pengalaman budaya tertentu untuk mengacu pada sesuatu benda yang keras. Namun demikian, bentuk ekspresi metafora pada konteks di atas menunjukkan bahwa bentuk tersebut masuk dalam kategori ranah alat atau benda.

(III.27) CANTRIK: [...] nyawang priyayi bagus ngendikane alus nyang ati CANTRIK: [...] melihat orang tampan berbicara halus di hati

(Feinstein, dkk, 1986: 69) Pada contoh (III.27) tidak berbeda jauh dengan contoh sebelumnya, yaitu masuk

dalam ranah peralatan karena adanya ekspresi metafora alus atau ‗halus‘ untuk mengkonseptualisasikan sesuatu yang abstrak. Ekspresi metafora tersebut juga merupakan bentuk universal karena dalam setiap kehidupan manusia ada bentuk kata halus. Oleh karena itu, pada contoh (III.27) merupakan bagian dari ranah alat atau benda karena ekspresi metafora alus yang digunakan. Bentuk tersebut menunjukkan konsep metafora SUARA ADALAH SESUATU YANG BISA DIRABA.

(III.28) SEMAR: [...] sang adi Panembahan Abiyasa kuwi wis ngumbah jiwa karo ngumbah raga SEMAR: [...] sang adi Panembahan Abiyasa itu sudah mencuci jiwa dan mencuci raga

(Feinstein, dkk, 1986: 41) Pada contoh (III.28) menunjukkan ekspresi metafora ngumbah di atas masuk

dalam ranah alat atau benda karena sudah jelas bahwa kegiatan mencuci adalah sebuah pekerjaan. Pada konteks tersebut menunjukkan bahwa konseptual metafora JIWA RAGA ADALAH KAIN karena menggunakan ekspresi ngumbah pada bentuk metaforis yang dimunculkan. Kegiatan mencuci merupakan kegiatan yang setiap hari dilakukan karena pakaian yang digunakan pasti harus dicuci apabila sudah kotor dipakai. Hal tersebut kemudian membentuk konstruksi berfikir masyarakat Jawa bahwa JIWA RAGA juga harus dicuci supaya bersih, sehingga bentuk metafora ini masuk ke dalam ranah alat atau benda.

(III.29) SEKTISORA: satriya, bagus nanging letheg bebudenmu [...]

SEKTISORA: satriya, tampan tapi kotor budimu [...]

(Feinstein, dkk, 1986: 128) Pada contoh (III.29) menunjukkan metafora pada ranah alat atau benda karena

menggunakan ekspresi metafora letheg atau ‗kotor atau lusuh‘ yang biasanya diasosiasikan pada suatu benda atau alat. Ekspresi metafora letheg pada konteks di atas menunjukkan metafora konseptual BUDI ADALAH KAIN ATAU BENDA yang menunjukkan pada sesuatu alat yang kotor dan tidak pernah dicuci seperti baju atau kendaraan. Pada contoh di atas menunjukkan bahwa budi sebagai konsep abstrak diasosiasikan dengan sesuatu bentuk konkrit seperti kain atau benda yang bisa dilihat mata. Pandangan orang Jawa menggunakan ekspresi metafora seperti letheg karena mereka dengan keberadaan kain-kain letheg atau benda-benda letheg yang lama terbengkalai dan jarang dicuci.