Latar Belakang Dr. T. Keizerina Devi A, SH, CN, MHum 4. Notaris Dr. Syahril Sofyan, SH, MKn

1

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan manusia, keberadaan tanah tidak terlepas dari segala tindak tanduk manusia itu sendiri, sebab tanah merupakan tempat bagi manusia untuk menjalani dan melanjutkan kehidupannya. 1 Kebutuhan akan tanah dewasa ini semakin meningkat sejalan dengan bertambahnya jumlah penduduk, jumlah badan usaha, dan meningkatnya kebutuhan lain yang berkaitan dengan tanah. Tanah tidak saja sebagai tempat bermukim, tempat untuk bertani, tetapi juga dipakai sebagai jaminan mendapatkan pinjaman bank, untuk keperluan jual beli dan sewa menyewa. 2 Dalam hukum adat jual beli tanah dikenal dengan istilah dalam bentuk jual lepas yaitu suatu penyerahan tanah kepada pihak lain pembeli, dengan pembayaran harga tanah secara tunai, dimana hak milik atas tanah itu berpindah ke tangan pembeli untuk seterusnya. 3 Lazim terdapat kebiasaan untuk melakukannya secara tertulis, yang ditandatangani sendiri oleh penjual, diketahui oleh kepala persekutuan serta turut ditandatangani oleh saksi-saksi yang diperlukan. 4 Sedangkan syarat untuk sahnya jual beli tanah menurut hukum adat adalah terpenuhinya tiga unsur yaitu tunai, riil dan terang. 5 1 Adrian Sutedi, 2009, Peralihan Hak atas Tanah dan Pendaftarannya, Sinar Grafika, Jakarta, Halaman 31. 2 Florianus SP Sangsun, 2008, Tata Cara Mengurus Sertipikat Tanah, Visimedia, Jakarta, Halaman 1. 3 Ahmad Fauzie Ridwan, 1982, Hukum Tanah Adat, Dewaruci Press, Jakarta, Halaman 38. 4 Ibid. 5 Maria S. W. Sumarjono, 2001, Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi, Buku Kompas, Jakarta, Halaman 119. 2 Maria S.W. Sumardjono mengatakan : Tunai adalah bahwa penyerahan hak oleh penjual dilakukan bersamaan dengan pembayaran oleh pembeli dan seketika itu juga hak sudah beralih. Sifat Riil berarti bahwa kehendak yang diucapkan harus diikuti dengan perbuatan nyata misalnya telah diterimanya uang oleh penjual dan dibuatnya perjanjian di hadapan Kepala Desa. Perbuatan hukum jual beli tanah disebut Terang berarti dilakukan di hadapan Kepala Desa untuk memastikan bahwa perbuatan itu tidak melaggar ketentuan hukum yang berlaku. 6 Dalam Yurisprudensi Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 27 Mei 1975 Nomor : 952KSip1974 yang menyatakan : “Jual beli adalah sah apabila telah memenuhi syarat-syarat dalam KUHPerdata dan Hukum Adat, jual beli menurut hukum adat secara riil, dan tunai serta diketahui Kepala Desa”. 7 Selain itu dengan Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia tertanggal 30 Juni 1989 Nomor : 3339PdtSip1987, yang menyatakan : “Sahnya jual beli menurut hukum adat haruslah dipenuhi dua syarat yaitu tunai dan terang”. 8 Dalam hukum adat Batak Toba, pada saat sekarang istilah jual lepas dikenal dengan istilah manggadis pate yang bermakna melepaskan hak atas tanah dengan mendapat sejumlah uang, tanpa hak untuk menebusnya kembali. Sedangkan mamatehon artinya mengalihkan sebidang tanah kepada orang lain mengacu pada pembalikan suatu hubungan gadai menjadi suatu pengalihan untuk selama-lamanya. 9 Ketika pengalihan tanah itu dilangsungkan, peristiwa itu sebenarnya harus dihadiri 6 Ibid. 7 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 952KSip1974 tanggal 27 Mei 1975. 8 Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor : 3339PdtSip1987 tanggal 30 Juni 1989. 9 J.C.Vergouwen, 2004, Masyarakat dan Hukum Adat Batak Toba, LKiS, Yogjakarta, Halaman 451. 3 oleh pembeli dan penjual, keduanya harus sama-sama menginjakkan kaki di atas tanah mandegehon untuk menunjukkan batas-batas tanah dan untuk memperkenalkan pemilik baru kepada pemilik tanah yang berbatasan. 10 Berdasarkan hasil pra penelitian pada tanggal 10 Mei 2013 yang dilakukan di Kecamatan Uluan Kabupaten Toba Samosir dengan wawancara kepada bapak Wilmar Sirait Kepala Desa Marom, bapak Laurensius Manurung Kepala Desa Sibuntuon, bapak Binsar Manurung Kepala Desa Dolok Nagodang, bapak Maraden Sitorus Kepala Desa Lumban Holbung, dan bapak Maruli Manurung Kepala Desa Partoruan Janjimatogu, bahwa warga masyarakat melakukan jual beli tanah pertanian masih secara hukum adat yaitu antara penjual dan pembeli melakukan jual beli tanah pertanian yang dibuat dalam surat segel yaitu surat perjanjian jual beli yang ditandatangani penjual dan pembeli dengan disaksikan oleh beberapa orang warga masyarakat yang hadir dan menurut kebiasaan sekarang jual beli ini dilakukan tanpa diketahui oleh Kepala Desa ataupun Camat. Selain itu menurut keterangan mereka bahwa warga masyarakat yang memiliki hak atas tanah pertanian tidak ada yang memiliki sertipikat sebagai bukti kepemilikan tanah tersebut. Namun, semenjak berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria selanjutnya disebut UUPA pada tanggal 24 September 1960 dimuat dalam Lembaran Negara No. 104, yaitu Undang-undang No. 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria dalam hukum tanah telah tercipta kesatuan hukum unifikasi dibidang pertanahan yaitu keseragaman hak karena tidak dibedakan lagi tanah dengan hak 10 Ibid. 4 barat atau dengan hak adat. Dengan demikian ketentuan yang diatur dalam seluruh Buku II Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Selanjutnya disebut KUHPerdata tentang kebendaan telah dicabut dan tidak berlaku lagi, maka pengertian jual-beli tanah bukan lagi suatu perjanjian sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1457 KUHPerdata jo. Pasal 1458 KUHPerdata, melainkan perbuatan hukum pemindahan hak untuk selama-lamanya yang bersifat tunai. Adapun Pasal 1457 KUHPerdata berbunyi : “Jual beli adalah suatu persetujuan, dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah dijanjikan”. Demikian Pasal 1458 KUHPerdata berbunyi: “Jual beli itu dianggap telah terjadi antara kedua belah pihak, seketika setelahnya orang-orang ini mencapai sepakat tentang keadaan tersebut dan harganya, meskipun kebendaan itu belum diserahkan, maupun harganya belum dibayar”. Saat ini, untuk memperoleh tanah dapat diperoleh dengan beberapa cara, yaitu dengan permohonan hak, pemindahan hak. Selanjutnya John Salindeho mengatakan : Dalam masyarakat kita, perolehan hak atas tanah lebih sering dilakukan dengan pemindahan hak, yaitu dengan melalui jual beli. Pemindahan hak dan Peralihan hak adalah suatu perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak, antara lain: jual beli, hibah, tukar menukar, pemisahan dan pembagian harta bersama dan pemasukan dalam perusahaan atau inbreng. 11 11 John Salindeho, 1987, Masalah Tanah Dalam Pembanguna,Sinar Grafika, Jakarta, Halaman 37. 5 Selanjutnya dalam UUPA menentukan bahwa setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan pasal 19 ayat 1 UUPA yang merupakan pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak konsumen dari masyarakat. 12 Dalam Pasal 20 ayat 1 menyebutkan : “Hak milik adalah hak turun temurun terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan Pasal 6”. Demikian Mhd.Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis mengatakan: Bila ada kehendak yang disengaja dan disepakati atas sebidang tanah milik, maka didalamnya ada pengalihan hak atas tanah tersebut. Bila pengalihan tersebut dipaksakan oleh kewenangan dan kekuasaan negara maka disebut dicabut atau mungkin dinasionalisasikan. Dan ini pun harus dengan menempuh persyaratan, sebab terjadi pemutusan hubungan hukum kepemilikan di dalamnya. 13 Untuk mewujudkan adanya suatu kepastian hukum dalam setiap peralihan hak atas tanah, Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 Tentang Pendaftaran Tanah sebagai peraturan pelaksana dari UUPA telah menentukan setiap perjanjian yang bermaksud memindahkan hak atas tanah harus dibuktikan dengan suatu akta yang dibuat oleh PPAT. 14 Untuk dibuat akta peralihan hak tersebut, pihak yang memindahkan hak dan pihak yang menerima hak harus menghadap Pejabat Pembuat Akta Tanah selanjutnya disebut PPAT. Masing-masing pihak dapat diwakili oleh seorang kuasa berdasarkan Surat Kuasa yang sah untuk melakukan perbuatan hukum 12 Budi Harsono, 1982, Hukum Agraria Indonesia Sejarah Pembentukan UUPA, Isi Dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta, Halaman 117. 13 Mhd.Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, 2010, Hukum Pendaftaran Tanah, Mandar Maju, Bandung, Halaman 276. 14 Bactiar Effendi, 1993, Kumpulan Tulisan Tentang Hukum Tanah, Alumni, Bandung, Halaman 23. 6 tersebut. 15 Sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 37 ayat 1 Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah yang berbunyi: ”Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual-beli, tukar-menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak karena lelang hanya dapat didaftarkan, jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang- undangan yang berlaku”. 16 Hal ini diperkuat dengan Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Pejabat Pembuat Akta Tanah dalam Pasal 2 ayat 1 yang berbunyi : PPAT bertugas pokok melaksanakan sebagian kegiatan pendaftaran tanah dengan membuat akta sebagai bukti telah dilakukannya perbuatan hukum tertentu mengenai hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang akan dijadikan dasar bagi pendaftaran perubahan data pendaftaran tanah yang diakibatkan oleh perbuatan hukum itu. 17 Di dalam tata cara jual beli tanah sebagai salah satu bentuk peralihan hak atas tanah, haruslah dilakukan oleh para pihak di hadapan PPAT atau PPAT Sementara, dengan suatu akta otentik berupa akta jual beli tanah, sebagaimana dalam Pasal 1868 KUH Perdata menyebutkan : “Akta otentik adalah suatu akta yang dibuat dalam bentuk Undang-undang, dibuat oleh atau dihadapan pegawai umum yang berkuasa untuk itu dan di tempat di mana akta itu dibuatnya”. Untuk mendapatkan bukti yang kuat dan lebih luas daya pembuktiaannya, Akta jual beli yang telah dilakukan dihadapan PPAT dalam proses balik nama haruslah didaftarkan pada kantor 15 Efendi Perangin, 1994, Praktek Jual Beli, RajaGrafindo Persada, Jakarta, Halaman 12. 16 Boedi Harsono, 2002, Hukum Agraria Indonesia Himpunan Peraturan-Peraturan Hukum Tanah, Djambatan, Jakarta, Halaman 538-539. 17 Ibid, Halaman 677. 7 pertanahan. PPAT Sementara selanjutnya disebut PPATS sebagaimana diuraikan di atas apabila dalam suatu daerah tidak terdapat PPAT, sebagaimana disebutkan dalam Pasal 5 ayat 3 huruf a Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan Pejabat Pembuat Akta Tanah yang berbunyi : Camat atau Kepala Desa untuk melayani pembuatan akta di daerah yang belum cukup terdapat PPAT, sebagai PPATS”. Dari permasalahan yang ada, maka dilakukan penelitian terhadap legalitas jual beli tanah pertanian pada masyarakat di Kecamatan Uluan Kabupaten Toba Samosir, yang tidak dilakukan sesuai prosedur yang berlaku, yang dapat menimbulkan perkara atau sengketa pada masyarakat dikemudian hari.

B. Perumusan Masalah