Pendapat berbeda (dissenting opinion) Hakim Konstitusi

Pendapat berbeda (dissenting opinion) Hakim Konstitusi

Keputusan MK No. 36/2012 tidak ditetapkan dengan suara bulat (aklamasi). Diantara sembilan, satu hakim konstitusi yaitu Harjono i menyatakan pendapat yang berbeda (dissenting opinion). Pendapat yang berbeda tersebut dituangkannya dalam delapan butir pendapat yang jika delapan hakim konstitusi yang lainnya tersebut, sebaliknya, sependapat dengan Hakim Konstitusi Harjono, entitas lembaga negara BP Migas tidak perlu dibubarkan. Butir pertama dissenting opinion Hakim Konstitusi ini adalah sangat mendasar yaitu para pemohon tidak memenuhi persyaratan legal standing (kedudukan hukum) untuk menggugat UU Migas No. 22/2001. Mahkamah Konstitusi yang mengadili perkara ini, menurut Hakim Konstitusi Harjono, gagal memperlihatkan bukti yang kuat dan shahih tentang adanya kerugian dan/atau potensi kerugian para pemohon dengan berlakunya UU nomor 22/2001 utamanya yang terkait dengan pasal-pasal pengalihan sebagian tugas PT Pertamina ke BP Migas. Kutipan dari sebagian substansi butir pertama tersebut:

“Bahwa Mahkamah kurang saksama dalam mempertimbangkan legal standing para Pemohon ..... Mahkamah tidak mengemukakan argumentasi yang sangat mendasar, yaitu bagaimana hak para

Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 telah dirugikan oleh pasal-pasal UU Migas yang dimohonkan untuk diuji......”

Penulis sepakat dengan pendapat Hakim Konstitusi Harjono ini. Coba kita lihat pokok pertimbangan tentang Kedudukan Hukum (Legal Standing) Para Pemohon yang dituangkan dalam butir [3.7] Pertimbangan Hukum Mahkamah, yang berbunyi:

“........menurut Mahkamah, para Pemohon dikategorikan sebagai perorangan warga negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan sama) yang secara potensial

dirugikan hak konstitusional mereka oleh berlakunya pasal-pasal dari UU Migas.... Oleh karena itu, menurut Mahkamah para Pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo. ”

Kata kunci yang penting disini adalah potensi 18 kerugian. Artinya Mahkamah berpendapat bawah sejak berlakunya UU Migas tahun 2001 hingga saat Putusan Mahkamah ini diambil yaitu pada tahun 2012, atau, selama sekitar 11 tahun, Mahkamah tidak memiliki bukti yang kuat bahwa Para Pemohon tersebut sudah dirugikan hak-hak konstitusional mereka oleh pasal-pasal UU Migas tersebut. Mahkamah hanya membuat penalaran yang “wajar” bahwa Para Pemohon tersebut akan dirugikan pada masa yang akan datang. Walaupun demikian, tidak jelas bagaimana cara Mahkamah menghasilkan penalaran yang wajar bahwa kerugian termaksud pasti akan terjadi.

Menurut penulis potensi kerugian tersebut, yang seharusnya tetapi gagal diperlihatkan dalam Pertimbangan Hukum Mahkamah tersebut, harus diuraikan serinci mungkin yang mencakup dari satu atau beberapa unsur-unsur sebagai berikut yaitu: lingkungan, limbah, kesempatan bekerja/berkarir, cadangan migas, kegiatan eksplorasi dan eksploitasi, investasi, penerimaan negara, harga migas dalam negeri, produksi pengolahan migas. dan pasokan migas untuk produksi dan konsumsi dalam negeri. Misalnya, Mahkamah, berdasarkan hasil analisis Ahli (kualitatif dan/atau kuantitatif termasuk pendekatan modeling), berkeyakinan bahwa akan terjadi kerusakan lingkungan yang parah dan/atau terjadinya deplesi cadangan migas yang sangat besar jika tugas dan wewenang lembaga negara semacam BP Migas tidak dicabut dan tidak diserahkan kembali ke BUMN semacam Pertamina yang tidak harus tunggal.

Menarik untuk disajikan disini bahwa terdapat ratusan blok migas yang sudah dikontrakkan oleh BP Migas dengan para kontraktor, dalam sekitar 11 tahun tersebut. Namun Mahkamah tidak menemukan satupun dari kegiatan usaha pertambangan dari ratusan blok migas tersebut yang secara spesifik (aktual) telah merugikan Para Pemohon akibat kontrak kerja sama tersebut dilakukan oleh BP Migas dan bukan dilakukan oleh PT Pertamina, seperti dalam periode-periode sebelumnya.

Sebagai contoh dan sejauh informasi yang penulis dapat akses, BP Migas sudah menandatangani Kontrak Kerja Sama 12 Blok Migas dengan perusahaan swasta di tahun 2004. Perusahaan-perusahaan swasta tersebut antara lain adalah: 1. Anardako Petroleum (North East Madura III); 2. Petronas Carigali (North East Madura IV); 3. PT Waropen Perkasa (Manokwari Papua); 4. PT Medco E &P Indonesia

18 Definisi kerugian potensial menurut Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi berbunyi: “Kerugian konstitusional tersebut harus bersifat .....potensial yang menurut penalaran yang

wajar dapat dipastikan akan terjadi .”

(Nunukan, Kaltim); 5. Transworld Exploration Ltd ( Aceh-NAD); dan 6. Genting Oil and Gas LPG (Natuna) 19 . Penulis yakin bahwa ada puluhan blok migas dalam tahun-tahun berikutnya yang dikontrakan oleh BP Migas ke badan usaha dan/atau bentuk usaha tetap.

Sektor Kehutanan Eksploitasi kawasan hutan Indonesia yang dikenal sebagai hutan tropis basah (tropical rain forest) yang terluas di dunia setelah Brazilia di Amerika Selatan sudah dimulai sejak zaman kolonial Hindia Belanda. Walaupun demikian, eksploitasi secara besar-besaran mulai dilakukan pada awal-awal rezim Orde Baru Soeharto dan mencapai puncaknya di tahun 1980an. Menurut Gillis (1988) Indonesia menguasai 40 persen ekspor kayu bulat/gelondongan (log) dunia di tahun 1980/81. Selanjutnya, akan disampaikan bagaimana cara negara Indonesia “menguasai” eksploitasi hutannya tersebut menurut peraturan perundang- undangan yang ada sejauh ini.

Semua UU Pelaksana Pasal 33 UUD 1945 beserta semua peraturan-perturan perundangan dibawahnya memberikan penafsiran yang sama atas frasa “dikuasai oleh negara” di cabang produksi (sektor) kehutanan ini. Negara (Pemerintah) diberikan mandat sebatas regulator saja sedangkan operator untuk eksploitasi kehutanan diserahkan kepada Koperasi, Badan Usaha Milik Negara, Badan Usaha MIlik Daerah, dan Badan Usaha Milik Swasta. Posisi badan usaha koperasi, badan usaha milik negara/daerah, dan badan usaha milik swasta adalah setara dan persis sama. Masing-masing beroperasi berdasarkan Izin pengusahaan hutan yang berupa konsensi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan (HPHH), dan konsensi Hutan Tanaman Industri (HTI). ii

Izin atau pemberian hak konsesi kehutanan tersebut diterbitkan oleh Kementerian Pertanian di Era 1960an (UU No. 5 Tahun 1967 iii beserta aturan-aturan pelaksananya). Sedangkan di Era 1970an hingga akhir Kabinet SBY II izin konsensi tersebut diterbitkan oleh Kementerian Kehutanan dan saat ini Era Presiden Jokowi (2014 -2019), izin konsesi tersebut diterbitkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (penggabungan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kementerian Kehutanan). Payung hukum eksploitasi hutan sejak tahun 1999 hingga saat ini adalah UU Kehutanan Tahun 1999 (UU No. 41 Tahun 1999).

Izin konsensi eksploitasi hutan Indonesia tersebut saat ini dibagi dalam tiga kelompok, yaitu: 1. IUPHHK (Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu) pada hutan alam; 2. IUPHHK pada hutan tanaman; dan 3. Izin eksploitasi untuk TSL (tumbuhan dan satwa liar). Lingkup eksploitasi untuk masing-masing- masing kategori adalah sebagai berikut. IUPHHK pada hutan alam adalah izin konsensi untuk memanfaatkan kayu alam pada hutan alam produksi yang kegiatannya terdiri dari pemanenan, penebangan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan dan pemasaran hasil hutan. Sedangkan IUPHHK pada hutan tanaman adalah izin konsensi untuk memanfaatkan kayu tanaman pada hutan tanaman yang kegiatanya terdiri dari penyiapan lahan, pembenihan atau pembibitan, penanaman, pemeliharaan, pengamanan, pemanenan atau penebangan, dan pemasaran hasil hutan kayu. Kelompok ini sebagian besar bergerak di industri pulp and papers dan Sinar Mas Grup memiliki pangsa pasar yang terbesar. Terakhir, TSl adalah perusahaan yang mengupayakan pembiakan satwa dan tumbuhan liar melalui pengembangbiakan dan pembesaran dengan tetap mempertahankan kemurnian jenisnya.

19 Detikfinance.com, 2 Desember 2004, diakses 25 April 2016.

BPS (2015) melaporkan jumlah perusahaan yang memiliki izin-izin tersebut. Menurut laporan ini terdapat 706 perusahaan kehutanan yang terdiri dari 276 perusahaan HPH (alam) atau IUPHHK pada hutan alam, 258 perusahaan hutan tanam (HPHT) atau IUPHHK pada hutan tanaman, dan 172 perusahaan Tanaman dan Satwa Liar. Sebagian besar perusahaan kehutanan tersebut berada di Pulau Kalimantan, diikuti yang berada di Pulau Sumatera.

Belum dapat diakses keberadaan Koperasi dan badan usaha milik daerah di sektor kehutanan ini. Sedangkan badan usaha milik negara adalah Perum Perhutani. Menurut website Perum Perhutani areal kawasan hutan yang dimilikinya adalah 2,4 juta Ha yang tersebar di Jawa Barat dan Banten (0,7 juta Ha),

di Jawa Tengah 0,6 juta Ha, dan di Jawa Timur (1,13 juta Ha). Dengan demikian, peran Perum Perhutani 20 di sektor kehutanan ini sangat kecil dengan izin konsensi pengusahaan hutan yang kurang dari dua persen dari seluruh luas kawasan hutan Indonesia. Sebagai informasi tambahan, berikut ini disampaikan potret luas kawasan hutan Indonesia.

Menurut Forest Watch Indonesia (FWI) 2015 di tahun 2013 tutupan hutan Indonesia, hutan alam yang relatif masih utuh, tinggal 82,5 juta Ha, atau, 62,6 persen dari seluruh luas kawasan hutan Indonesia. Dari jumlah ini, sebagian besar (lebih dari 51%) berada di wilayah Kalimantan Timur dan di Papua (Barat dan Timur). Sedangkan menurut Gillis (1988), luas seluruh kawasan hutan Indonesia adalah 143 juta Ha yang terdiri dari hutan alam (rain forest) 82,2 juta Ha, hutan rawa (swamp forest) 12 juta Ha, hutan sekunder (secondary forest) 14,6 juta Ha, dan hutan lain-lain 34,2 juta Ha.