Bahan Galian Golongan b

Bahan Galian Golongan b

Tafsir “dikuasai oleh negara” untuk bahan galian golongan b (vital) pada prinsipnya sama dengan kasus bahan galian a yaitu Menteri Pertambangan diberikan mandat oleh UU ini untuk memberikan izin kepada entitas-entitas tertentu untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan. Dengan kata lain, Menteri Pertambangan diperintahkan oleh UU ini untuk memberikan hak Kuasa Pertambangan kepada entitas- entitas tertentu dengan syarat-syarat tertentu.

Selanjutnya, pihak yang dapat diberikan hak oleh Menteri Pertambangan untuk melakukan kegiatan usaha pertambangan, yaitu, hak Kuasa Pertambangan untuk bahan galian vital ini (golongan b) hanya: 1. Koperasi; 2. Badan hukum swasta; dan c. Perseorangan. Dengan demikian, jangankan hak eksklusif monooli kuasa pertambangan, hak kuasa pertambangan biasa saja tidak dapat dimiliki oleh perusahaan negara/daerah untuk bahan galian golongan b (vital) ini.

Kesimpulan dari dua alinea diatas merujuk ke Pasal 12 UU No.11/1967 ini. Ayat (1)nya berbunyi:

“Kuasa Pertambangan untuk pelaksanaan usaha pertambangan bahan-bahan galian yang tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf b dapat diberikan kepada: a. Badan Hukum Koperasi; b. Badan Hukum Swasta…..; dan c. Perseorangan…”

Sebagai contoh pemberian Kuasa Pertambangan untuk jenis bahan galian golongan b (logam dalam bentuk emas dan perak) dalam periode-periode ini adalah pemberian Kuasa Pertambangan kepada PT

Freeport Indonesia (PT FPI) pada tanggal 7 April 1967 25 . Kuasa pertambangan yang diberikan tersebut dalam bentuk Kontrak Karya I antara Menteri Pertambangan RI, Slamet Bratana, dengan PT FPI untuk masa 30 tahun untuk wilayah Pertambangan di Papua (d/h Irian Barat) yang dinamakan juga sebagai Proyek Ertsberg. Usahanya adalah pertambangan mineral logam tembaga dan emas. Di tahun 1981 Pemerintah Indonesia membeli 8,5% saham PTFI dan cadangan Grasberg ditemukan di tahun 1988.

25 Sebetulnya ini diatur dalam UU (Perpu) No. 37/1960 tentang Pertambangan. Walaupun demikian, pengaturan untuk bahan galian golongan b pada prinsipnya sama dengan yang diatur pada UU No. 11/1967.

Kontrak Karya II antara Pemerintah RI dengan PTFI ditandatangi di tahun 1991 untuk masa waktu 30 tahun

dan dapat diperpanjang selama 2x 10 tahun . 26

Referensi Australia, 2010. Australia’s future tax system Report to the Treasurer. Commonwealth of Australia 2010 Dauvergne, Peter. 2001. Loggers and Degradation in the Asia-Pacific, Cambridge University Press Forest Watch Indonesia (FWI), 2015. Intip Hutan. Media Informasi Seputar Hutan Indonesia. Februari

2015. Gale, Thomson, 2006. International Directory of Company Histories 2004. Diakses via Ecyclopedia.com,

21 Juni 2016 Hasan, Madjedi. 2013. Penyatuan Makna Pasal 33 UUD 1945 dalam pengelolaan Sumber Daya Energi. Makalah yang disajikan dalam diskusi Forum Eksekutip Energi Bimasena II, Jakarta, 16 September 2013. ……………………….. 2006. Kajian atas Putusan Mahkamah Konstitusi dalam Pengujian Konstitusional Undang-undang tentang Sumber Daya. Makalah (Term Paper) Kapita Selekta Hukum Tata Negara Program Doktoral Hukum Fakultas Hukum Universitas Padjadajaran, Bandung, Indonesia.

Mujiburohman, Dian Aries. 2013. “Akibat Hukum Pembubaran BP Migas,” Mimbar Hukum Vol. 25, No. 3, Oktober 2013, Halaman 462 – 475

Mahkamah Konstitusi RI, 2012 a . Pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bmi terhadap Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945. Putusan Nomor: 36/PUU-X/2012, 5 November 2012.

………………………………….., 2012 b . Pengujian UU No. 27 Tahun 2007 tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Pulau-Pulau Kecil terhadap Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945. Putusan Nomor: 3/PUU-VIII/2010,

9 Juni 2012. ………………………………….., 2007. Pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bmi terhadap Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945. Putusan Nomor: 20/PUU-V/2007, 13 Desember 2007.

………………………………….., 2004. Pengujian UU No. 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terhadap Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945. Putusan Nomor: 002/PUU-I/2003, 15 Desember 2004.

Nitisastro, Widjojo. 2010. Pengalaman pembangunan Indonesia: kumpulan tulisan dan uraian. PT Kompas Media Nusantara, Jl. Palmerah Selatan 26 -28, Jakarta

Nurjaya, I Nyoman. 2005. “Sejarah Hukum Pengelolaan Hutan di Indonesia,” Jurisprudence, Vol.2, No. 1, Maret 2005: 35 – 55

PwC, 2014. Oil and Gas in Indonesia: Investment and Taxation Guide. Tersedia di www.pwc.com/id , Repetto, Robert and Malcolm Gillis, Eds, 1988. Public policies and the misuse of forest resources,

Cambridge University Press. Seda, Francisia S.S.E. 2005. “Petroleum Paradox: The Politics of Oil and Gas,” dalam Resosudarmo eds.

2005. The Politics and Economics of Indonesia’s Natural Resources. Singapore: ISEAS.

26 Sumber: Berita Kita, media komunikasi komunitas Freeport Indonesia. Edisi No. 240, Maret 2014 http://ptfi.co.id/media/files/publication/5626fabe75911_bk240.pdf , diakses 20 April 2016

Sidharta, Edi H. 2012. Pertamina: Belajar dari Sejarah. Kompasiana, sosial media Kompas Grup. W.W.W. Kompasiana.com, diakses 14 Juni 2016 Syeirazi, M. Kholid, 2015. “Mengawal Revisi UU Migas,” Sindonews.com, 7 Juli 2015, dakses 6 Juni 2016 Tambang.co.id, 2016. “Revisi UU Migas dan Penataan Sektor Hilir,” 29 Februari 2016, diakses 6 Juni 2016.

USA Embassy, 2016 . “How the U.S. Economy Works,” H ttp://usa.usembassy.de/etexts/oecon /chap2.htm , diakses 24 Maret 2016 Wicaksono, Ganesha Patria. 2015. “Kelembagaan Pengelola Minyak dan Gas Bumi Pasca Putusan

Mahkamah Konstitusi,” Yuridika: Volume 30 No 1, Januari – April 2015 Wikipedia bahasa Indonesia, 2016. Ibnu Sutowo. W.w.w.Wikipedia.org., diakses 14 Juni 2016

Peraturan Perundang-undangan Undang-undang (UU)  UU No. 5/1960 (UU Agraria/Pertanahan)

 UU No. 20/1961 (UU Agraria/Pertanahan)  UU No. 5/1967 (UU Kehutanan)  UU No. 41/1999 (UU Kehutanan)  UU No. 21/2001 (UU Minyak dan Gas Bumi)  UU No. 4/1982 (UU Lingkungan Hidup)  UU No. 23/1997 (UU Lingkungan Hidup)  UU No. 7/2004 ( UU Daya Air) 

Please insert and analyse UU Kelistrikan dan UU Perkebunan Peraturan Pemerintah (PP)/Peraturan Menteri  PP No. 21/1970 (Kehutanan)

 PP No. 18/1975 (Kehutanan)  PP No. 40/1996 (Agraria)  PP No. 24/1997 (Agraria)  Peraturan Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala BPN No. 5/2015

i Pokok-pokok pendapat yang berbeda dari Hakim Konstitusi Harjono, adalah sebagai berikut:

1. Tidak terpenuhinya legal standing para pemohon (42 pemohon). Mahkamah gagal memperlihatkan bukti dan/atau ar gumentasi yang mendasar tentang “bagaimana hak para Pemohon yang diberikan oleh UUD 1945 telah dirugikan oleh pasal- pasal UU Migas yang dimohonkan untuk diuji.”

2. Frasa “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD 1945 perlu ditafsirkan secara situasionil dan tidak dapat ditafsirkan secara otomatis dan mutlak bahwa negara harus mengelola sumber daya alam secara langsung. Alternatif terbaik, first best solution, adalah memang pemerintah perlu terlibat langsung. Namun demikian, disebabkan kendala modal, teknologi, risiko, dan manejemen, model kontrak kerja sama bagi hasil dengan badan usaha dan/atau bentuk usaha tetap dalam eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam dapat saja dilakukan untuk sementara waktu sampai lembaga negara Presiden dan DPR menyatakan hal yang lain. Dengan kata lain, menurut penulis, Hakim Konstitusi Harjono 2. Frasa “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD 1945 perlu ditafsirkan secara situasionil dan tidak dapat ditafsirkan secara otomatis dan mutlak bahwa negara harus mengelola sumber daya alam secara langsung. Alternatif terbaik, first best solution, adalah memang pemerintah perlu terlibat langsung. Namun demikian, disebabkan kendala modal, teknologi, risiko, dan manejemen, model kontrak kerja sama bagi hasil dengan badan usaha dan/atau bentuk usaha tetap dalam eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam dapat saja dilakukan untuk sementara waktu sampai lembaga negara Presiden dan DPR menyatakan hal yang lain. Dengan kata lain, menurut penulis, Hakim Konstitusi Harjono

3. Badan pemerintahan (penulis duga yang dimaksud disini termasuk Badan Pengelola Migas) yang dibentuk oleh pemerintah tetapi tidak diatur dan/atau ditetapkan oleh UUD, tidak secara otomotis bertentangan dengan UUD.

4. Kewenangan BP Migas untuk menandatangani kontrak kerja sama dengan badan usaha dan/atau bentuk usaha tetap tidak merendahkan (mendegradasi) martabat negara jika dalam pengadilan arbitase internasional ternyata BP Migas kalah. BP Migas dalam hal ini tidak mewakili negara secara langsung, yang tentunya berbeda jika kontrak tersebut ditandatangnai oleh jajaran menteri kabinet pemerintahan. Jajaran menteri kabinet pemerintahan tersebut mewakili negara (pemerintah) secara langsung.

ii UU No. 5/1967. Landasan hukum eksploitasi dan/atau izin konsensi hutan di Era Orde Baru ini adalah UU No. 5 Tahun 1967 yang aturan operasionilnya dituangkan dalam PP No. 21 Tahun 1970. Pasal 9 PP ini

kemudian direvisi melalui PP No. 18 Tahun 1975. Izin-izin tersebut menurut PP No. 21 Tahun 1970 diterbitkan oleh Menteri Pertanian.

Pasal 14 Ayat 3 UU No. 5 Tahun 1967 berbunyi: “Kepada Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah dan Perusahaan Swasta dapat diberikan hak pengusahaan hutan.” Ketentuan ini kemudian diperjelas dan diperluas yang memungkin swasta asing dapat mendirikan perusahaan patungan pengusahaan hutan. Pasal 9 PP No. 21 Tahun 1970 menyatakan:

“Hak pengusahaan hutan dapat diberikan kepada: a. Perusahaan Milik Negara; b. Perusahaan Milik Swasta; dan c. Perusahaan campuran.”

UU Kehutanan Tahun 1999 ( UU No. 41/1999) Pasal 28 Ayat 2 Pemanfaatan hutan produksi dilaksanakan melalui pemberian izin usaha pemanfaatan kawasan, izin usaha pemanfaatan jasa lingkungan, izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu, izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu, izin pemungutan hasil hutan kayu, dan izin pemungutan hasil hutan bukan kayu.

Pasal 29 Ayat 3 dan 4 Ayat 3 “Izin usaha pemanfaatan hasil hutan bukan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (2) dapat diberikan kepada: a. perorangan, b. koperasi, c. badan usaha milik

swasta Indonesia, d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.”

Ayat 4 “Izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 Ayat (2) dapat diberikan kepada: a. perorangan, b. koperasi, c. badan usaha milik swasta

Indonesia,

d. badan usaha milik negara atau badan usaha milik daerah.”

iii

Di Era Orde Baru, pemain utama dalam penentuan/pengaturan kebijakan eksploitasi hutan di Indonesia adalah Mohamad Bob Hasan yang lebih dikenal dengan nama Bob Hasan saja.

iv

UU No. 5/1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Pasal 21 (1) Hanya warganegara Indonesia dapat mempunyai hak milik; Pasal 30 (1) Yang dapat mempunyai hak guna usaha ialah :a. warganegara Indonesia; b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Pasal 36 (1) Yang dapat mempunyai hak guna bangunan ialah : a. warganegara Indonesia; b. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia . Pasal 42, Yang dapat mempunyai hak pakai ialah : a. warga negara Indonesia; b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia; c. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; d. badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia. Pasal 45, Yang dapat menjadi pemegang hak sewa ialah : a. warganegara Indonesia; b. orang asing yang berkedudukan di Indonesia; c. badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia; d. badan hukum asing yang mempunyai perwalikan di Indonesia