Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 U

Bagaimana Posisi BUMN menurut Pasal 33 UUD 1945?

Almizan Ulfa, Peneliti Utama Kementerian Keuangan RI

Pokok Permasalahan Banyak yang berpendapat bahwa Pasal 33 UUD 1945 itu mengatur tata kelola sumber daya alam dan

sektor-sektor ekonomi Indonesia yang penting bagi negara dan/atau yang menguasai hajat hidup orang banyak. Pandangan tersebut salah. Pasal 33 UUD 1945 tidak mengatur apa-apa. F rasa “dikuasai oleh negara ” pasal 33 tersebut dilaksanakan semaunya oleh rezim (ruling parties) yang sedang berkuasa

dan/atau iklim politik dan ekonomi ketika itu, atau, oleh UU pelaksananya. Selain itu pelaksanaan frasa “digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” tidak didukung oleh bukti yang kuat dalam berbagai tafsir dan/atau perubahan tafsir frasa “dikuasai oleh negara” termaksud.

Hal ini berbeda dengan banyak pasal UUD45 yang lain yang tidak mengandung multi tafsir. Misalnya, Pasal 1 ayat (1), yang berbunyi:

“Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik.”

Hal yang sama juga diperlihatkan oleh Pasal 7, yang berbunyi: “Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan .”

Dan, Pasal 22E angka (3), berbunyi: “Peserta pemilihan umum untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah adalah partai politik .” Selanjutnya dapat kita lihat bahwa di satu UU tentang bidang ekonomi (cabang produksi) tertentu,

itu diinterpretasikan sebagai pemberian hak eksklusif

monopoli pada perusahan Pasal 33 UUD 1945 sisi lain, DPR RI belum juga

usaha milik negara “(1) Perekonomian disusun sebagai usaha bersama memilik kesatuan Text Box: 1 (PN/BUMN). Tetapi, dalam UU penggantinya

negara/badan

berdasar atas azas kekeluargaan; hak eksklusif monopoli BUMN dicabut dan (2) Cabang cabang produksi yang penting bagi

BUMN diperlakukan relatif setara dengan Negara dan yang menguasai hajat hidup orang

badan usaha dan/atau bentuk usaha tetap banyak dikuasai oleh Negara;

swasta lainnya termasuk yang dimiliki oleh (3) Bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung

Kemudian berdasarkan Putusan didalamnya dikuasai oleh Negara dan dipergunakan

asing.

Mahkamah Konstitusi Hak Eksklusif BUMN untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat;

tersebut dikembalikan lagi tetapi tidak/belum (4) Perekonomian nasional diselenggarakan berdasar

atas demokrasi ekonomi dengan prinsip dilaksanakan oleh Pemerintah hingga saat ini.

Lebih jauh lagi, di banyak UU pelaksana yang kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan,

berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan lain dan untuk bidang ekonomi (cabang menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan

produksi) yang lain juga tentunya, peran ekonomi nasional; dan

BUMN bukan saja ditetapkan relatif setara (5) 1 ; Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan

dengan perusahaan swasta tetapi juga pasal ini diatur dalam undang-undang terpaksa hanya sebagai pemain minoritas.

Perubahan Keempat UUD 1945 Hasan (2013) mengatakan bahwa

Bung Hatta, proklamator Indonesia, sendiri sebetulnya tidak mengharuskan pemerintah Bung Hatta, proklamator Indonesia, sendiri sebetulnya tidak mengharuskan pemerintah

“Dikuasai negara dalam Pasal 33 UUD 1945 tidak Hak Eksklusif Monopoli berarti negara sendiri menjadi pengusaha,

usahawan atau ondernemer. Lebih tepat Pertamina

dikatakan bahwa kekuasaan negara terdapat Terlihat sekali UU Pertambangan tahun 1960 pada membuat peraturan guna melancarkan

memberikan kewenangan yang sangat luas jalan ekonomi, peraturan yang melarang pula kepada perusahaan negara (PT Pertamina) ‘penghisapan’ orang yang lemah oleh orang lain yang bermodal …..” untuk mengelola sektor minyak dan gas bumi 1

Indonesia. Kewenangan tersebut mencakup

pengelolaan baik sektor hilir maupun sektor hulu Migas, membuat deals (menandatangani Sektor Pertambangan Minyak dan Gas kontrak) dengan perusahaan MIgas swasta, Bumi serta yang sangat strategis sekali adalah kewenangan untuk menciptakan kebijakan Mencla menclenya dan tidak konsistenya (policy/bleeid) nasional di bidang minyak dan interpretasi, atau, pelaksanaan frasa-frasa gas bumi Indonesia.

termaksud sangat mencolok di cabang produksi

minyak dan gas bumi. Di era awal kemerdekaan ketika mulai diberlakukannya UUD 1945 hingga terbitnya UU Pertambangan tahun 1960, frasa “dikuasai oleh negara” dilaksanakan dengan pemberian konsesi (perizinan) kepada perusahaan asing. Perusahaan-perusahaan asing seperti Royal Dutch/Shell, Caltex, dan Stanvac masih beroperasi dengan pola konsesi, yang sebetulnya merupakan kelanjutan dari warisan kolonial Belanda. Publik belum sempat mengekspus isu Pasal 33 UUD 1945 di masa ini, yang kelihatannya disebabkan oleh buruknya kondisi sosial ekonomi dan politik. Masifnya berbagai gerakan separatist, langkahnya berbagai komoditas pokok termasuk obat-obatan dan sembako, dan sangat rapuhnya pemerintahan. Pembubaran dan pembentukan kabinet pemerintahan silih berganti dalam waktu yang sangat pendek dan banyak kabinet itu yang hanya berumur dalam beberapa bulan saja. Selain itu, UUD Indonesia mengalami perubahan beberapa kali hingga Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959.

Seiring dengan Dekrit Presiden Soekarno 5 Juli 1959 yang menyatakan Indonesia kembali ke UUD 1945, UU Pertambangan tahun 1960 disyahkan. UU ini menafsirkan f rasa “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD 1945 sebagai pemberian hak pengelolaan pertambangan (kuasa pertambangan) minyak dan gas bumi hanya kepada perusahaan negara. Perusahaan swasta utamanya swasta asing hanya diizinkan beroperasi sebagai kontraktor perusahaan negara. Ini dituangkan secara eksplisit dalam dua pasal dan penjelasan UU Pertambangan 1960 (Perpu No. 44/1960), sebagai berikut:

Pasal 1 huruf h berbunyi:

1 Mohammad Hatta, Bung Hatta Menjawab, Gunung Agung, Jakarta, 1979, hlm. 201 – 204, dalam Hasan (2013)

“Kuasa pertambangan: wewenang yang diberikan kepada perusahaan negara untuk melaksanakan usaha pertambangan minyak dan gas bumi .”

Pasal 3 berbunyi: “(1) ……pertambangan minyak dan gas bumi hanya diusahakan oleh negara.” (2) Usaha pertambangan minyak dan gas bumi dilaksanakan oleh Perusahaan Negara

semata-mata. ” Selanjutnya, penjelasan pada angka 10 alinea terakhir Perpu No.44/1960 berbunyi: “……perusahaan minyak asing hanya dapat mempunyai status kontraktor saja

berdasarkan suatu atau beberapa “perjanjian karya” dengan Perusahaan Negara yang bersangkutan .”

Implikasi dari tafsir frasa “dikuasai oleh negara” pada UU Pertambangan tahun 1960 (Perpu No. 44/1960) tersebut adalah tidak berlaku laginya hak konsesi pertambangan perusahaan swasta, utamanya hak konsesi tiga perusahaan asing terbesar, yaitu, Shell, Stanvac, dan Caltex. Negosiasi yang panjang dan berlarut-larut antara ketiga perusahaan tersebut dengan Indonesia yang difasilitasi oleh Amerika Serikat mencapai kesepakatan di tahun 1963. Dalam kesepakatan ini dinyatakan bahwa tiga perusahaan asing tersebut masing-masing diperlakukan sebagai konktraktor perusahaan minyak nasional yaitu Permigan, Permina, dan Pertamin, yang kewajiban masing-masing mencakup 60% dari laba masing-masing kontraktor tersebut diserahkan kepada Indonesia. Dengan kata lain, pola kerjasama dengan para kontraktor tersebut adalah KKS Bagi Laba. Selain itu, disepakati juga bahwa manajemen dari masing-masing

perusahaan kontraktor tersebut sepenuhnya ada ditangan masing-masing kontraktor tersebut. 2 Pengaturan-pengaturan yang demikian, terkait erat dengan jasa-jasa pejuang kemerdekaan yang mengambil alih dan/atau menyita berbagai ladang dan kilang Migas yang ketika itu ditinggalkan oleh Jepang pada akhir Perang Dunia Kedua. Sebelumnya, ladang dan kilang tersebut dimiliki oleh perusahaan- perusahaan asing terutama perusahaan Balanda. Gale (2006), menulis:

“With the end of the war in ……….country's anticolonial independence fighters,...…quickly seized on what remaining oil fields and installations they could secure from the retreating Japanese. ……... At the same time, independence fighters in south Sumatra retained

control of regional oil facilities and set up their own company, Perusahaan Minyak Republik Indonesia (PERMIRI). Elsewhere in Java, another oil company, Perusahaan Tambang Minyak Republik Indonesia (PTMN), held jurisdiction. ”

Pengekspusan Indonesia sebagai negara yang berdaulat dan merdeka adalah sangat penting di era ini. Hembusan angin nasionalisasi perusahaan asing sangat populer yang merupakan bagian gerakan penghapusan banyak atribut “warisan penjajah Belanda”. Persepsi publik yang dihembuskan adalah konstruksi (pola) konsesi itu hanya menguntungkan penjajah yaitu Pemerintah Hindia Belanda. Walaupun demikian, t idak begitu jelas apakah dengan menerapkan sistem kontrak ini akan menghasilkan “sebesar- besarnya kemakmuran bagi segenap prakyat dan tump

ah darah Indonesa”.

2 Encyclopedia.com. 2004. Pertamina: International Directory of Company Histories. 2004. Diakses 27 April 2016

Di tahun 1966, Direktur Utama PN Pertamina pada waktu itu, Ibnu Sutowo, mengadopsi model kontrak baru tanpa perlu melanggar interpretasi frasa “dikuasai oleh negara.” Model kontrak baru tersebut adalah model Kontrak Production Sharing (PSC) Bagi Hasil, atau KKS Bagi Hasil. Berbeda dengan model kontrak terdahulu yang membagi laba, disini yang dibagi adalah hasil produksi. Misalnya, untuk minyak bumi Pemerintah dan kontraktor berbagi volume lifting (natura dan bukan uang yang dibagi). Selain itu, kontraktor juga masih memiliki kewajiban-kewajiban untuk membayar beberapa jenis iuran dan perpajakan. PSC pertama PN Pertamina adalah PSC dengan Independent Indonesian American Petroleum

Company (IIAPCO), yang ditandatangani oleh Dirut PN Pertamina, Ibnu Sutowo. di tahun 1966. 3 Model IIAPCO ini kemudian dituangkan dalam UU PN Pertamina tahun 1971. Kembali lagi, pertimbangan frasa “digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” terabaikan disini. Tidak jelas dan tidak ada fakta yang dapat diakses oleh publik yang memperlihatkan konstruksi KKS Bagi Hasil itu lebih superiror dibandingkan dengan KKS Bagi Laba yang diterapkan sebelumnya. Tidak ada referensi yang terurai dengan baik dan shahih yang mengatakan bahwa ada pertimbangan “kemakmuran” dalam melakukan perubahan dari konstruksi “Bagi Laba” menjadi konstruksi “Bagi Hasil”.

Yang jelas, terlepas dari itu, PN Pertamina mendapat fee dari pengelolaan KKS bagi hasil tersebut. Nilainya adalah 5% dari hasil penjualan Migas bagian pemerintah dalam KKS tersebut. Nilai fee terkini hingga tahun 2004 dan berpola hak retensi yaitu dipotong langsung dari hasil penjualan termaksud, berkisar antara 2 s/d 5 triliun rupiah pertahun. (Mahkamah Konstitusi (2004))

Lebih jauh lagi, tidak jelas apakah hasil keseluruhan dari perubahan pola tersebut lebih menguntungkan Indonesia. Maksudnya, tidak jelas apakah nilai uang secara keseluruhan yang diterima Indonesia lebih besar dengan Pola Bagi Hasil dibandingkan dengan Pola Bagi Laba, terlepas dari pola pembagian antara Pemerintah dengan PN Pertamina. Lebih tidak jelas lagi perbedaan dalam aspek makroekonomi. Selain itu,juga, tidak jelas ada tidaknya klausal cost recovery dalam pola bagi hasil ketika itu.

Setelah tergulingnnya rezim Soekarno dan berkuasanya rezim Orde Baru Soeharto di tahun 1965, kesinambungan tafsir frasa “dikuasai oleh negara” seperti itu dipertahankan. Tafsir tersebut lebih diperkuat lagi dengan disyahkannya UU PN Pertamina di tahun 1971, yang memberikan hak eksklusif monopoli kepada PN Pertamina untuk mengelola sektor Migas Indonesia. Dengan kata lain, sejak berlakunya UU Pertamina ini frasa “dikuasai oleh negara” ditafsirkan sebagai pemberian hak eksklusif monopoli kepada PT (Persero) Pertamina untuk mengelola sektor minyak dan gas bumi Indonesia, dari sektor hulu (eksplorasi dan eksploitasi) hingga ke sektor hilir (distribusi dan penjualan BBM/gas). Ini dituangkan dalam Pasal 3 dan Pasal 2 seperti berikut ini.

Pasal 3 ayat (3) UU PN Pertamina 1971 berbunyi: “Definisi Perusahaan Negara yang tercantum dalam Undang-undang Nomor 44 Prp.

Tahun 1960 Pasal 1 ...............harus dibaca Perusahaan dalam pengertian Undang-undang ini.”

Perusahaan yang dimaksud tersebut adalah tidak lain dari PN Pertamina dan ini dijelaskan oleh Pasal 2 ayat (1) UU PN Pertamina 1971 tersebut, yang menyatakan:

3 Seda (2005) dalam Resosudarmo, Budy P. eds. (2005)

“…disingkat Pertamina, selanjutnya dalam Undang-undang ini disebut Perusahaan, …..”

Mencla mencle interpretasi/pelaksanaan frasa “dikuasai oleh negara” terus berlanjut seiring dengan tumbangnya rezim Orde Baru Soeharto dan mulainya Era Reformasi di tahun 1997/1998. Di Era ini pada mulanya, tafsir fr asa “dikuasai oleh negara,” yang dituangkan dalam UU MIgas 2001, adalah

identik dengan penghapusan hak eksklusif

monopoli pengelolaan Migas PT Pertamina. fitur unggulan PSC/KKS berpola bagi hasil yang sering

Text Box: 3 : Fitur PSC & Impor LNG

Salah satu

Selanjutnya, wewenang dan tanggungjawab didengungkan sebagai bentuk nyata dari kedaulatan

pengelolaan dialihkan dari PT Pertamina ke BP ekonomi serta sebagai pelaksanaan langsung dari

Migas untuk sektor hulu dan BPH Migas untuk sektor hilir 4 frasa “dikuasai oleh negara” adalah hasil tambang Migas, yang keduanya adalah Badan Hukum Milik Negara (BHMN) dan bukan

termaksud tetap menjadi milik negara hingga ke titik Badan Usaha Milik Negara (BUMN). PT penyerahan. Walaupun demikian, tidak jelas apa

Pertamina dengan demikian diperlakukan pentingnya disini utamanya jika dikaitkan harga dan

setara dengan badan usaha swasta dan bentuk kontrak ekspor. Untuk LNG, misalnya, para

usaha tetap. Perbandingan wewenang dan kontraktor tersebut memiliki kewajiban kontrak

tanggungjawab antara BP MIgas, BPH MIgas, ekspor jangka panjang dengan pembeli di luar negeri

dan PT Pertamina, disajikan dalam Tabel 1 hingga tahun 2022. Dengan demikian, walaupun

dbawah ini.

dalam aspek peraturan

perundang-undangan

produksi itu masih dimiliki oleh Indonesia, tidak demikian halnya dengan apa yang tercantum dalam KKS. Lebih jauh lagi, PT Pertamina akan mengimpor LNG dari USA sebanyak 0,76 juta ton/tahun mulai tahun 2019 berdasarkan perjanjian kontrak 20 tahun. Sebelumnya, PT pertamina sudah menandatangani kontrak serupa sebanyak 0,8 juta ton LNG per tahun yang akan mulai direalisasikan di tahun 2018. Terkait dengan harga, tidak ada artinya frasa “produksi tambang itu tetap dimiliki negara hingga ke titik penyerahan” jika harga jualnya untuk pasokan dalam negeri ditetapkan oleh para

4 BP Migas adalah singkatan dari Badan Pelaksana Kegiatan Usaha Hulu Minyak dan Gas Bumi dan BPH Migas adalah Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi.

Terabaikannya tafsir frasa “digunakan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat” kembali terjadi. Tidak tersedia data, fakta, dan analisis yang mumpuni, yang dapat diakses oleh publik terkait isu

Krisis Pertamina 1975 “kemakmuran rakyat” atas keputusan untuk

mengalihkan wewenang PT Petamina ke BP Krisis menghantam PT Pertamina di tahun 1975 MIgas. Sederhananya, publik tidak memiliki

dengan terkuaknya lilitan utang sebesar US$10.5 informasi yang memadai terkait masalah miliar dan gagal bayar atas kewajiban-kewajiban dan/atau kendala apa saja yang melekat pada utang yang jatuh tempo. Ada dua sebab utama yang PT Pertamina sehingga kebijakan pencabutan menjadi sumber krisis tersebut, yaitu::

kewenangan dan tanggungjawabnya tersebut digulirkan. Atau, jika kita lihat dari sisi yang

1. Membangun proyek-proyek besar non- lain, publik tidak memiliki akses informasi migas dengan pinjaman luar negeri jangka

yang mencukupi terkait janji “kemakmuran pendek;

rakyat” yang lebih besar dengan pengalihan

2. Perjanjian sewa-beli sejumlah tanker kewenangan termaksud. Persisnya, publik pengangkut minyak bumi yang besar

tidak dapat mengakses, jika ada, Naskah ukurannya (super tanker) dan banyak

Akademis RUU Migas 2001 tersebut. Juga, jumlahnya. (Note: terulang kembali dalam

walaupun NA Itu ada, tetap saja belum ada kasus serupa atas penjualan super tanker

bahwa isu sebesar-besar Menteri BUMN Laksamana Sukardi tahun

milik PT Pertamina yg dilakukan oleh

jaminan

kemakmuran rakyat disajikan dengan baik dan 2002)

meyakinkan (kredibel) di NA RUU itu. Walaupun demikian, pola fee hak

Selain itu, PT Pertamina juga terlibat penggelapan retensi PT Pertamina 5 (2 s/d 5 triliun rupiah pajak dan penerimaan bukan pajak pemerintah per tahun hingga tahun 2001) tetap termasuk tidak membayar utang-utang pajaknya dilanjutkan oleh BP Migas untuk menutupi sendiri.

pengeluaran-pengeluaran dan/atau biaya operasi yang tinggi. Kesemua pengeluaran dan

biaya tersebut tidak didanai oleh APBN. Nitisastro (2010), Sidharta (2012), dan

Sistem

tidak mungkin dapat Wikipedia menutupinya sebab BP MIgas banyak sekali

APBN

menggunakan tenaga-tenaga profesional kelas satu baik yang berasal dari dalam negeri sendiri maupun yang merupakan rekrutan internasional. Selain itu, BP MIgas juga memerlukan berbagai data dan analisa Migas yang hanya dapat dilakukan oleh badan usaha dan/atau profesional kaliber dunia, yang tentunya juga akan banyak menelan dana dalam jumlah yang besar. Diatas kesemua itu, BP Migas memerlukan uang untuk menutupi biaya kegiatan untuk menjual miyak dan gas bumi bagian pemerintah.

Setelah berjalan selama 11 tahun, yaitu, di tahun 2012, Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan permohonan sembilan LSM dan 33 pemohon perorangan untuk mencabut keseluruhan wewenang dan tanggungjawab BP Migas, utamanya ketujuh wewenang dan tanggungjawab yang disajikan dalam tabel diatas. Lebih jauh lagi, MK menyatakan bahwa seluruh pasal-pasal beserta penjelasannya yang terkait dengan Badan Pelaksana (BP Migas) dalam UU Migas 2001 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak

5 Lihat diskusi terdahulu tentang pola Bagi Hasil Vs pola Bagi Laba KKS yang dikelola oleh PT Pertamina.

mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Dengan kata lain, MK memerintahkan pembubaran BP Migas.

Tabel 1. Perbandingan Kewenangan & Tanggungjawab BP/BPH Migas dan PT Pertamina Kewenangan dan Tanggung Jawab BP Migas

Kewenangan dan Tanggung Jawab BPH Migas Melakukan pengelolaan dan pengendalian

Melakukan pengelolaan dan pengendalian Kegiatan Usaha Hulu di bidang Minyak dan Gas

Kegiatan Usaha Hilir di bidang Minyak dan Gas Bumi yang mencakup:

Bumi yang mencakup

1. melakukan pengawasan terhadap kegiatan

a. ketersediaan dan distribusi Bahan Bakar usaha hulu minyak dan gas; Minyak;

b. cadangan Bahan Bakar Minyak nasional; atas kebijakannya dalam hal penyiapan dan

2. memberikan pertimbangan kepada Menteri

c. pemanfaatan fasilitas Pengangkutan dan penawaran Wilayah Kerja serta Kontrak Penyimpanan Bahan Bakar Minyak; Kerjasama;

d. tarif pengangkutan Gas Bumi melalui pipa;

e. harga Gas Bumi untuk rumah tangga dan

3. melaksanakan penandatanganan Kontrak pelanggan kecil; Kerja Sama;

f. pengusahaan transmisi dan distribusi Gas Bumi.

4. mengkaji dan menyampaikan

rencana (UU No 22 tahun 2001)

pengembangan lapangan yang pertama kali

akan diproduksikan dalam suatu Wilayah Kerja

kepada Menteri untuk

mendapatkan

persetujuan;

5. memberikan persetujuan rencana kerja dan anggaran;

6. melaksanakan monitoring dan melaporkan kepada Menteri mengenai pelaksanaan Kontrak Kerja Sama;

7. menunjuk penjual minyak bumi dan/atau gas bumi bagian negara yang dapat memberikan keuntungan sebesar-besarnya bagi negara.

(UU No 22 tahun 2001)

Kewenangan & Tanggung Jawab PT Pertamina

1. Sebagai Kuasa Pertambangan untuk melaksanakan usaha pertambangan minyak dan gas bumi yang mencakup eksplorasi, eksplotasi, pemurnian dan pengolahan, pengangkutan, dan penjualan.

2. Membangun dan memelihara ketahan enerji nasional.

3. Menyediakan dan melayani kebutuhan bahan bakar minyak dan gas bumi untuk dalam negeri

4. Mengelola Kontrak Kerja Sama (persisnya, Kontrak Bagi Hasil (Kontrak Production Sharing) dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap

(UU Pertambangan 1960 dan UU Pertamina 1971)

Pembubaran BP Migas tersebut dituangkan dalam butir 1.1 sampai dengan 1.4 Amar Putusan MK 2012. Butir-butir tersebut terkait dengan 12 pasal, yang seluruhnya atau sebagian ayat-ayatnya dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat. Selain itu, butir 1.5 dan 1.6 Amar Putusan MK ini menyatakan seluruh hal yang terkait dengan

Badan Pelaksana dalam Penjelasan UU Migas 2001 adalah bertentangan dengan UUD 1945 dan oleh karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

Ada beberapa pertimbangan hukum MK2012 ini untuk membubarkan entitas BP Migas itu. Walaupun demikian, pertimbangan hukum yang terkait dengan tafsir “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD1945 secara berulang dijadikan acuan dalam pertimbangan-pertimbangan hukum yang lain. Tafsir tersebut merujuk ke tafsir yang tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan MK 2004 yaitu bahwa penguasaan oleh negara, atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan/atau menguasai hajat hidup orang banyak termasuk atas “bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya,” atau dapat kita disingkat menjadi sumber daya alam (SDA), adalah pemerintah melaksanakan lima fungsi secara setara dan/atau terintegrasi. Kelima fungsi tersebut adalah: 1.kebijakan (beleid); 2.pengurusan (bestuursdaad); 3.pengaturan (regelendaad); 4.pengelolaan(beheersdaad); dan 5.pengawasan (toezichthoudensdaad). Kecuali untuk unsur kebijakan (beleid), keempat unsur yang lain disertai dengan penjelasan pengertian masing-masing unsur tersebut. Selain itu, penjelasan tentang fungsi pengelolaan (beheersdaad) dalam pertimbangan hukum Putusan MK2012 menyimpang dengan penjelasan yang tertuang dalam pertimbangan hukum Putusan MK2004.

Sementara itu untuk melengkapi pengertian fungsi dikuasai oleh negara, coba kita lihat pengertian unsur beleid (kebijakan) menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI). Beleid/be·leid/ /beléid/ Bld n cara (langkah) yang ditempuh untuk melaksanakan program dan sebagainya; kebijaksanaan: usaha ekspor yang mereka lakukan semakin seret karena terjegal oleh -- negara asing. Contoh KBBI itu menyatakan kebijakan impor negara asing membuat usaha eskpor mereka menjadi seret. Kebijakan impor itu dapat berupa kebijakan hambatan tarif atau hambatan bukan tarif.

Contoh lain adalah kebijakan OJK yang dirilis oleh Detik.com baru-baru ini yaitu tentang beleid asuransi digital. Disini OJK memberikan izin dan/atau kesempatan pada perusahaan asuransi untuk menjual asuransinya secara online (lewat internet). Kebijakan OJK ini menyusul realita sudah banyaknya produk lain yang sudah lebih dulu dijual secara online seperti tiket pesawat, paket wisata/hotel, baju, dan lain sebagainya.

Untuk lebih memahami konsep terintergasinya fungsi- fungsi “dikuasai oleh negara” menurut Putusan MK 2004 itu, berikut ini diuraikan masing-masing dari keempat fungsi termaksud. Kutipan langsung dari masing-masing pengertian keempat fungsi tersebut menurut Putusan MK 2004 adalah sebagai berikut.

“Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perijinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan “Fungsi pengurusan (bestuursdaad) oleh negara dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perijinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie). Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad) dilakukan melalui kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Demikian pula fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad) dilakukan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan

Kita mulai dulu dari pengawasan. Fungsi pengawasan oleh negara (toezichthoudensdaad). Menurut putusan MK2004 ini, ini dilakukan oleh Negara, c.q. Pemerintah, dalam rangka mengawasi dan mengendalikan agar pelaksanaan penguasaan oleh negara atas sumber-sumber kekayaan dimaksud benar-benar dilakukan untuk sebesar-besarnya kemakmuran seluruh rakyat. ” Ini merupakan fungsi umum manajemen yaitu fungsi untuk mengarahkan agar pelaksanaan dari kebijakan/perencanaan dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien.

Selanjutnya kita ke fungsi pengurusan. Fungsi pengurusan (bestuursdaad) menurut putusan MK2004 ini dilakukan oleh Pemerintah dengan kewenangannya untuk mengeluarkan dan mencabut fasilitas perijinan (vergunning), lisensi (licentie), dan konsesi (consessie). Tidak ada penjelasan lebih lanjut baik tentang fungsi ini maupun keempat fungsi yang lainnya. Walaupun demikian, kita tentu saja dapat menguraikannya sendiri dengan memperlihatkan beberapa contoh yang logis. Misalnya, untuk melaksanakan fungsi ini pemerintah menerbitkan/mencabut Izin Usaha Pertambangan batubara, tembaga, emas, dan Minerba yang lainnya. Contoh yang lain adalah penerbitan/pencabutan izin pengusahaan hutan yang berupa konsensi Hak Pengusahaan Hutan (HPH), Hak Pemungutan Hasil Hutan

(HPHH), dan konsensi Hutan Tanaman Industri (HTI). Contoh yang selanjutnya adalah penerbitan/pencabutan hak-hak atas tanah yang mencakup hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan, hak pakai, hak sewa, dan hak membuka tanah .

Fungsi pengaturan oleh negara (regelendaad). Menurut putusan MK ini, ini dilakukan sesuai dengan kewenangan legislasi oleh DPR bersama Pemerintah, dan regulasi oleh Pemerintah. Ini dapat kita urai lebih lanjut sebagai berikut. Kewenangan legislasi itu mencakup pembuatan dan revisi UU seperti UU Migas, UU Agraria, UU Kehutanan, UU Pajak, dan lain sebagainya. Regulasi itu adalah peraturan perundang-undangan yang lebih rendah dari UU dan sifatnya adalah pengaturan lebih lanjut dan lebih teknis.

Peraturan/Keputusan Presiden, Peraturan/Keputusan Menteri, dan regulasi-regulasi lain yang lebih teknis lagi. Fungsi pengelolaan (beheersdaad). Ini merupakan fungsi kunci dalam analisa tafsir frasa “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD1945. Menurut putusan MK ini, ini dilakukan melalui mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara sebagai instrumen kelembagaan , yang melaluinya negara, c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Ada dua unsur penting yang perlu kita cermati disini. Pertama unsur pemilikan saham (share-holding) dan/atau keterlibatan langsung dalam manajemen BUMN. Kedua unsur instrumen kelembagaan BHMN. Kita coba menafsirkan konsep yang pertama dulu yaitu pemilikan saham dan keterlibatan langsung dalam manejemen BUMN.

Ini mencakup penerbitan

Peraturan

Pemerintah,

Badan usaha dikendalikan oleh para investornya yaitu para pemilik modal yang menanamkan uang di badan usaha itu. Pemilik saham mayoritas (50% + 1) memegang kendali yang besar dan akan memegang kendali penuh jika 100 persen saham dimiliki. Saham mayoritas BUMN dimiliki oleh negara dan banyak BUMN yang seratus persen sahamnya dimiliki oleh negara.

Dengan demikian, mungkin maksud frasa kepemilikan saham dan/atau keterlibatan langsung dalam manajemen BUMN tersebut dalam pertimbangan hukum MK tersebut adalah pemerintah memberikan wewenang dan tanggungjawab kepada badan usaha milik negara (BUMN) untuk mengelola sumber-sumber kekayaan negara seperti yang dimaksud oleh Pasal 33 UUD1945. BUMN itu yang akan melakukan kegiatan usaha yang bersifat operasional dan investasi. Misalnya, kegiatan operasional dan

investasi itu mencakup kegiatan eksplorasi dan eksplotasi untuk sektor hulu Migas 6 . Kegiatan eksplorasi bertujuan memperoleh informasi mengenai kondisi geologi untuk menemukan dan memperoleh perkiraan cadangan minyak dan gas bumi. Sedangkan kegiatan eksploitasi bertujuan untuk menghasilkan minyak dan gas bumi, yang terdiri atas pengeboran dan penyelesaian sumur, pembangunan sarana pengangkutan, penyimpanan, dan pengolahan untuk pemisahan dan pemurnian minyak dan gas bumi di lapangan serta kegiatan lain yang mendukungnya.

Konsep kedua adalah instrumen kelembagaan. Instrumen kelembagaan ini biasanya diartikan sebagai Satker (Satuan Kerja) Instansi Pemerintah seperti Satker Direktorat Jenderal, atau, Badan, yang langsung bertanggungjawab kepada Menteri Kabinet. Selain itu, instrumen kelembagaan ini dapat juga kita artikan sebagai suatu entitas yang berdiri sendiri dan mencakup yang langsung bertanggungjawab kepada presiden. Entitas ini lebih umum disebut sebagai badan hukum milik negara (BHMN). Contoh entitas ini adalah Badan Pusat Statistik (BPS), Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), dan Badan Koordinasi Keluarga Berencana Nasional (BKKBN). BHMN untuk sektor hulu MIgas yang kita kenal adalah BP dan SKK MIgas.

Sampai disini, pengabungan konsep pertama dan kedua itu mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa ada dua opsi penyerahan wewenang pengelolaan sumber-sumber kekayaan negara tersebut. Opsi pertama adalah BUMN dan opsi kedua adalah Satker pemerintah atau badan hukum milik negara. Opsi mana yang akan dipilih dan/atau bagaimana cara memilihnya dan/atau cara menetapkan prioritas pilihan tidak disinggung dalam pertimbangan hukum MK2004 itu.

Walaupun demikian, kita dapat menyimpulkan bahwa Tim Hakim Konstitusi MK 2004 ini memposisikan kesetaraan BUMN dengan BHMN. Entitas mana yang akan diserahkan untuk mengelola sumber-sumber kekayaan negara termaksud tergantung dari parameter efisiensi. Entitas mana yang dipilih adalah tidak menjadi masalah sepanjang entitas yang terpilih itu memang lebih efisien untuk mengelola sumber-sumber kekayaan negara tersebut. Bahkan walaupun BUMN yang diserahkan tugas itu nantinya akan diprivatisasi tidak bertentangan dengan konstitusi sepanjang tujuan privatisasi dan/atau kompetisi adalah untuk pencapaian efisiensi yang lebih tinggi dan prinsip negara tetap menguasai atau mengendalikan BUMN itu masih tetap terjaga. Pertimbangan hukum pengujian materil yang tertuang dalam Putusan MK2004 berbunyi:

“Menimbang bahwa di samping itu untuk menjamin prinsip efisiensi yang berkeadilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 33 ayat (4) UUD 1945 …..maka penguasaan dalam

arti kepemilikan privat itu juga harus dipahami bersifat relatif, dalam arti tidak mutlak harus 100 persen, asalkan penguasaan oleh Negara, c.q. Pemerintah, atas pengelolaan

6 Definisi eksplotasi dan eskploitasi menurut UU Migas 2001. Definisi ini pada prinsipnya sama dengan defisini yang tertuang dalam UU Pertambangan tahun 1960.

sumber-sumber kekayaan dimaksud tetap terpelihara sebagaimana mestinya. ….Mahkamah berpendapat, ketentuan Pasal 33 UUD 1945 tidaklah menolak privatisasi, …juga tidak menolak ide kompetisi di antara para pelaku usaha, …...”

Kelihatannya pertimbangan hukum ini dijadikan pertimbangan utama oleh Tim Hakim Konstitusi MK2004 untuk menolak permohonan pembubaran BP MIgas dan/atau membatalkan UU Migas 2001 secara keseluruhan. Ironinya, pertimbangan hukum ini digunakan oleh Tim Hakim Konstitusi MK2012 untuk mengabulkan permohonan pembubarkan BP MIgas. Untuk melakukan ini, Tim MK2012 terlebih dahulu merekayasa dan/atau menggunakan pendekatan alternatif bertingkat tiga untuk menafsirkan frasa “dikuasai oleh negra” Pasal 33 UUD1945. Butir [3.12] pertimbangan hukum MK2012 ini berbunyi:

“…..kelima peranan negara/pemerintah dalam pengertian penguasaan negara ……. harus dimaknai secara bertingkat berdasarkan efektifitasnya untuk mencapai sebesar-besarnya kemakmuran rakyat . … peringkat pertama dan yang paling penting …. Peringkat kedua adalah … dan fungsi negara dalam peringkat ketiga…”

Pengertian masing-masing tingkatan itu menurut MK2012 adalah sebagai berikut. Tingat pertama dan yang paling penting dari makna dikuasai oleh negara itu adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam Migas. Sedangkan penguasaan negara pada tingkat kedua adalah negara sebagai pembuat kebijakan dan melakukan pengurusan. Tingkat ketiga adalah negara melaksanakan fungsi-fungsi pengaturan dan pengawasan.

Pengelolaan langsung yang dimaksud dalam pertimbangan hukum MK2012 ini adalah pengelolaan yang dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang dengannya negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam. Pertimbangan hukum [3,12] Putusan MK2012 berbunyi:

“…..Menurut Mahkamah, bentuk penguasaan negara peringkat pertama dan yang paling penting adalah negara melakukan pengelolaan secara langsung atas sumber daya alam, dalam hal ini Migas, sehingga negara mendapatkan keuntungan yang lebih besar dari pengelolaan sumber daya alam….Pengelolaan langsung yang dimaksud di sini, baik dalam bentuk pengelolaan langsung oleh negara (organ negara) melalui Badan Usaha Milik Negara …”

Seperti sudah disampaikan diatas, untuk sektor hulu Migas itu ada dua kegiatan utama yaitu kegiatan eksplorasi dan kegiatan eksploitasi. Kedua kegiatan ini harus dilakukan oleh BUMN dan BUMN yang ada untuk itu sekarang ini hanya PT Pertamina. Dengan kata lain, MK 2012 ini secara tidak langsung menghendaki PT Pertamina untuk melaksanakan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi.

PT Pertamina memang melakukan kegiatan eksploitasi (memproduksi Migas) untuk ladang Migas dan kilang minyak, yang dimilikinya. Namun demikian, kegiatan eksplorasi, yang membutuhkan modal dan kapasitas manajemen yang tinggi serta mengandung risiko yang sangat tinggi juga, bukan dilakukan oleh PT Pertamina. Kegiatan eksplorasi dilakukan oleh perusahaan swasta yang disebut sebagai badan usaha

dan bentuk usaha tetap 7 . Perusahaan-perusahan swasta ini juga, yang sebagian besar adalah perusahaan

7 Bentuk Usaha Tetap (BUT) merupakan terjemahan dari kata Permanent Establishment. Bentuk BUT itu mencakup cabang perusahaan asing yang beroperasi di luar negeri termasuk di Indonesia.

asing, juga memproduksi Migas (melakukan kegiatan eskploitasi). Lebih jauh lagi, seperti nanti dijelaskan secara lebih terurai, produksi kegiatan eksploitasi Migas (produksi Migas) PT Pertamina sangat kecil dibandingkan dengan produksi Migas nasional Indonesia. Misalnya, di tahun 2013, produksi Migas PT Pertamina hanya 12% dari produksi nasional. Selebihnya, 82% diproduksi oleh badan usaha dan bentuk usaha tetap itu.

Ini berarti bahwa hanya sebagain kecil saja dari kegiatan-kegiatan sektor hulu Migas yang dikelola secara langsung oleh PT Pertamina. Sebagian besarnya dikelola oleh perusahaan swasta yang berbadan hukum badan usaha dan bentuk usaha tetap.

Dengan demikian, pertimbangan hukum MK2012 itu masih belum terpenuhi seandainya BUMN yang ditugaskan untuk itu adalah PT Pertamina. Itu juga masih belum terpenuhi seandainyapun dibuat BUMN baru untuk menggantikan dan/atau mendampingi PT Pertamina. Indonesia belum memiliki kemampuan dan/atau kecukupan modal dan/atau teknologi dan manajemen untuk melakukan seluruh kegiatan eksplorasi dan eksploitasi SDA Migas. Selain itu, sebagian besar kegiatan eksploitasi (memproduksi Migas) yang dilakukan oleh perusahaan swasta yang ada sekarang ini sudah memiliki kontrak jangka panjang dengan Indonesia, yang sebagian lebih dari 20 tahun. Sangat sulit sekali untuk membatalkan kontrak-kontrak yang sudah ada tersebut dan/atau menerapkan kebijakan (beleid) nasionalisasi perusahaan-perusahaan pertambangan Migas swasta tersebut.

Kemustahilan untuk melaksanakan pertimbangan hukum ini juga sudah diantisipasi oleh Tim Hakim Konstitusi MK2012 tersebut. Ini terlihat dari pertimbangan hukum lebih lanjut dari Tim Hakim Konstitusi MK2012 tersebut, yang menyatakan bahwa pengelolaan langsung oleh BUMN ini tidak mutlak. Pengelolaan itu dapat juga diserahkan kepada asing sepanjang negara belum memiliki kemampuan dan/atau kecukupan modal dan/atau teknologi dan manajemen. Untuk memperkuat argumen ini, MK 2012 ini juga menyatakan bahwa tafsir ini adalah tafsir seperti yang dikehendaki oleh Proklamator Mohammad Hatta. Untuk itu MK2012 menyatakan:

“……Cita-cita yang tertanam dalam Pasal 33 UUD 1945 ialah produksi yang besar-besar sedapat-dapatnya dilaksanakan oleh Pemerintah dengan bantuan kapital pinjaman dari luar. Apabila siasat ini tidak berhasil, perlu juga diberi kesempatan kepada pengusaha asing menanam modalnya di Indonesia ….

Uraian-uraian diatas mengarahkan kita pada dua kesimpulan penting. Pertama, negara akan lebih diuntungkan jika SDA yang dalam hal ini Migas dikelola oleh BUMN. Kedua, keuntungan yang lebih besar itu hanya mungkin terjadi jika negara memiliki kemampuan dan/atau kecukupan modal dan/atau teknologi dan manajemen. Jika tidak memiliki hal-hal tersebut, maka akan lebih menguntungkan jika SDA Migas itu tidak dikelola secara langsung oleh pemerintah. Beri kesempatan kepada badan usaha dan bentuk usaha tetap untuk melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi SDA Migas.

Dengan demikian, isu kritis yang perlu kita bahas sekarang adalah menentukan pilihan entitas yang diserahkan wewenang dan tanggungjawab untuk mengelola deals dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap itu. Maksud melakukan deals itu termasuk melakukan rangkaian kegiatan yang mencakup penandatanganan kontrak. Dan, pertimbangan hukum MK2012 menghendaki bahwa yang melakukan deals itu adalah BUMN. Butir [3.14] pertimbangan hukum MK dalam putusan ini berbunyi:

“…dikonstruksi dalam bentuk KKS 8 ….. BUMN yang diberikan konsesi ….sehingga BUMN tersebut yang melakukan KKS dengan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap ……”

8 KKS adalah Kontrak Kerja Sama yang merupakan padanan frasa Kontrak Production Sharing.

Tidak ada penjelasan mengapa MK2012 ini menghasilkan pertimbangan hukum seperti diatas. Tidak ada penjelasan bagaimana negara diuntungkan dengan menunjuk BUMN untuk melakukan deals tersebut. Diatas kesemua ini, tidak ada penjelasan apakah kegiatan BP MIgas selama 11 tahun terakhir untuk melakukan deals dengan perusahaan swasta tidak membuat negara lebih diuntungkan. Yang ada hanyalah petimbangan bahwa BP Migas tidak melakukan kegiatan pengelolaan SDA Migas secara langsung. BP Migas hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam Migas.

Pertimbangan hukum Putusan MK 2012 pada butir [3.13.1], yang menyatakan bahwa BP Migas tidak melakukan pengelolaan langsung SDA Migas tetapi hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan, berbunyi:

“….BP Migas hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam Migas ….”

Seperti sudah disampaikan diatas, memang betul, fungsi pengelolaan (beheersdaad) tidak dilakukan oleh BP Migas. Tetapi, hal yang sama berlaku juga untuk PT Pertamina. PT Pertamina hanya melakukan sebagian kecil saja dari fungsi pengelolaan tersebut. Lebih persis lagi, wewenang dan tanggungjawab PT Pertamina dalam melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan tersebut yang mencakup melakukan deals dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap adalah persis sama dengan yang melekat pada BP Migas. Dalam kaitan ini Hasan (2013) menyatakan:

“…..tugas BP Migas sebagaimana ditetapkan ….. pada prinsipnya tidak berbeda dengan apa yang dilakukan oleh PT PERTAMINA berdasarkan …..Tentang Syarat-Syarat dan Pedoman Kerja Sama Kontrak Bagi Hasil Minyak dan Gas Bumi. …dalam pelaksanaan KKS

yang menjangkau hingga ke manajemen operasi. Disini tanggung jawab BP Migas mencakup memberikan persetujuan mengenai Rencana Kerja dan Anggaran (RKA) yang diajukan oleh Kontraktor, termasuk pelaksanaan dari RKA seperti misalnya memberikan persetujuan untuk pengeluaran biaya (Authorization for Expenditure atau AFE), dan penetapan pihak ketiga sebagai sub-kontraktor. ”

Dengan demikian dapatlah kita simpulkan bahwa pertimbangan hukum butir [3.14] MK2012 termaksud adalah cacat hukum. Pertimbangan hukum tersebut memihak ke PT Pertamina walaupun BP Migas berada pada posisi yang sama dengan PT Pertamina. Baik PT Pertamina maupun BP Migas tidak melakukan pengelolaan SDA Migas secara langsung. Masing-masing entitas tersebut hanya melakukan fungsi pengendalian dan pengawasan terhadap pengelolaan sumber daya alam Migas untuk wilayah kerja pertambangan yang dikelola oleh badan usaha dan bentuk usaha tetap.

Selanjutnya, coba kita lihat unsur lain dari pokok pikiran pertimbangan hukum MK 2012 yang menyebabkan pembubaran BP Migas. Disini MK berpendirian bahwa jika BP Migas yang membuat deals dengan perusahaan-perusahaan pertambangan, maka Pemerintah kehilangan diskresi dalam membuat regulasi yang bertentangan dengan kontrak tersebut. Kehilangan diskresi ini, menurut putusan MK Ini, berarti negara kehilangan kedaulatan dan/atau keleluasaan membuat aturan yang diperlukan demi tercapainya manfaat bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Pokok pikiran kehilangan diskresi ini tertuang dalam kalimat-kalimat yang lebih awal dari butir [3.14], yang berbunyi:

Tafsir Pasal 33 UUD 1945 dalam “….ketika

kontrak telah Putusan MK 2004:

ditandatangani, negara menjadi Text Box 5 terikat pada isi KKS. Akibatnya, negara kehilangan diskresi untuk

1.kebijakan (beleid); membuat regulasi …. kehilangan 2.pengurusan(bestuursdaad);

kedaulatannya dalam penguasaan 3.pengaturan (regelendaad);

sumber daya alam ……. Padahal 4.pengelolaan(beheersdaad);

….harus memiliki 5.pengawasan(toezichthoudensdaad).

negara,

keleluasaan membuat aturan yang Fungsi pengelolaan (beheersdaad) dilakukan melalui

membawa manfaat bagi sebesar- mekanisme pemilikan saham (share-holding) dan/atau

besarnya kemakmuran rakyat. ” melalui keterlibatan langsung dalam manajemen Badan

Mungkin kita sependapat

bahwa pokok pikiran MK itu cacat sebagai instrumen kelembagaan, yang melaluinya Negara,

Usaha Milik Negara atau Badan Hukum Milik Negara

hukum. Pertama, MK tidak dapat c.q. Pemerintah, mendayagunakan penguasaannya atas

menunjukan satupun bukti tentang sumber-sumber kekayaan itu untuk digunakan bagi

terjadinya ketidakleluasaan pemerin- sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. ”

tah untuk menerbitkan regulasi Catatan: BHMN atau BUMN untuk melakukan pengelolaan

termaksud, jika ada, dalam kurun SDA Migas secara tidak langsung adalah tidak bertentangan

waktu 11 tahun Rezim KKS BP Migas. dengan konstitusi. Juga, yang patut dicermati bahwa Dari sisi sebaliknya, MK juga tidak keempat unsur selain unsur keempat, pengelolaan

(beheersdaad), pada prinsipnya otomatis melekat pada dapat menunjukan satupun bukti, fungsi atau peran negara dan ini bersifat universal juga jika ada, tentang tersedianya ke-

leluasaan pemerintah untuk mener- Putusan Nomor 002/PUU-I/2003 Tahun 2004

bitkan regulasi termaksud selama 51 tahun rezim KKS PT pertamina.

Kedua, Pemerintah tidak dapat sesuka hati (sewenang-wenang), dengan dalih apapun, membuat regulasi yang bertentangan dengan kesepakatan yang tertuang dalam kontrak yang sudah ditandatangani, terlepas apakah kontrak itu ditandatangani oleh BUMN atau BHMN. Badan usaha atau bentuk usaha tetap yang merasa dirugikan dengan terbitnya regulasi baru pemerintah tetap saja dapat memperkarakan regulasi itu ke badan arbitrase internasional, terlepas dari apakah itu BUMN, atau, BHMN yang menandatangani kontrak termaksud.

Lebih jauh lagi, perlu dipahami bahwa kapasitas diskresi pemerintah dalam membuat regulasi dan/atau peraturan perundang-undangan dengan tujuan pencapaian “kemakmuran” tersebut, tetap terbatas sekalipun pada rezim konsesi dan bukan rezim KKS. Diskresi yang berlebihan dan menjurus kesewenang-wenangan akan menyebabkan investasi di sektor hulu Migas menjadi tidak menarik lagi dan para kontraktor hengkang ke luar negeri. Ini tentu saja tidak menguntungkan dan oleh karena itu tidak diingini serta bertentangan dengan semangat pengelolaan SDA Proklamator Mohamad Hatta.

Faktor penting yang menyebabkan ini adalah besarnya nilai investasi dan/atau risiko dalam bidang usaha sektor pertambangan. Selain itu, sektor ini membutuhkan highly skilled manpower dan tingginya tingkat efisiensi dalam pengelolaan organisasi perusahaan.

Contoh terkini tentang terbatasnya diskresi pemerintah untuk membuat regulasi yang bertentangan dengan kontrak-ontrak yang sudah ditandatangani adalah kasus UU Minerba 2009 yang mulai diberlakukan dalam tahun 2010. UU ini menyatakan bahwa KKS-KKS pengusahaan batubara dan/atau mineral yang sudah ditandatangani masih tetap berlaku. Pasal 169 huruf a berbunyi:

“Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, kontrak karya dan perjanjian karya pengusahaan pertambangan batubara yang telah ada sebelum berlakunya Undang- Undang ini tetap diberlaltukan sampai jangka waktu berakhirnya kontrak/perjanjian ”

Ketentuan tersebut berlaku secara umum dan terlepas apakah dengan deals PT (Persero) Bukit Asam, atau, PT (Persero) Antam, atau, deals yang dibuat langsung oleh Pemerintah c.q. Kementerian ESDM (d/h Kementerian Pertambangan). Misalnya, kasus KKS antara PT Bukit Asam (Persero) dengan PT Gunung Bayan Pratama Coal tetap dinyatakan berlaku walaupun banyak regulasi yang tertuang dalam UU Minerba 2009 bertentangan dengan isi kontrak antara kedua perusahaan pertambangan batubara tersebut. Hal yang sama juga berlaku untuk KKS yang ditandatangani oleh Menteri Pertambangan dan Energi, I.B. Sudjana dengan PT Kalimantan Energi Lestari.

Jauh ke belakang, hal yang serupa juga berlaku dalam kasus pemberlakuan UU Pertambangan 1960. UU ini jelas menyatakan bahwa rezim pengelolaan sektor pertambangan Indonesia adalah kontrak kerja sama (KKS). Walaupun, demikian perusahaan-perusahaan asing yang beroperasi dengan konstruksi izin (konsesi) dan juga diterbitkan oleh Pemerintah Hindia Belanda, utamanya tiga terbesar perusahaan asing ketika itu yaitu Shell, Stanvac, dan Caltex tidak secara otomatis mengganti konstruksi hukum usaha mereka. Diperlukan negosiasi yang memakan waktu bertahun-tahun untuk mencapai kesepakatan perubahan konstruksi konsesi menjadi konstruksi kontrak (lihat uraian terdahulu).

Terlepas dari cacatnya pokok-pokok pikiran pertimbangan hukum MK diatas, kita masih dapat mengatakan bahwa pertimbangan hukum tersebut adalah sebagai tafsir “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UUD 1945. Disini kelihatannya yang ingin dikatakan adalah bahwa “pengelolaan cabang produksi hulu Migas dengan konstruksi (pola) Kontrak Kerja Sama (KKS), yang mencakup penandatanganan (KKS) dengan

badan usaha atau bentuk usaha tetap, harus diserahkan ke BUMN seperti PT Pertamina 9 .” Perlu juga kita cermati kata kunci “konstruksi”. Kata konstruksi Ini perlu kita artikan sebagai batasan dari tafsir tersebut yaitu keharusan penyerahan pengelolaan sektor hulu Migas kepada BUMN hanya sebatas jika konstruksi pengelolaan tersebut adalah Kontrak Kerja Sama (KKS). Keharusan BUMN tersebut gugur dengan sendirinya jika menggunakan konstruksi lain seperti Izin Usaha Pertambangan (IUP) Migas. Disini tidak ada kontrak yang perlu dibuat antara Pemerintah dan/atau BUMN dengan perusahaan-perusahaan yang melakukan eksplorasi dan eksploitasi sektor hulu Migas. Yang diperlukan oleh perusahaan-perusahaan tersebut adalah izin konsesi atau izin usaha.