Sektor Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba)

Sektor Pertambangan Mineral dan Batubara (Minerba)

Pengertian pertambangan mineral dan batubara menurut UU No. 4/1999 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara, yang mulai berlaku pada tanggal 1 Januari 2010, adalah seperti berikut ini.

“Pertambangan Mineral adalah pertambangan kumpulan mineral yang berupa bijih atau batuan, di luar panas bumi, minyak dan gas bumi, serta air tanah ,” (Pasal 1 Angka 4), dan Angka 5

berbunyi: “Pertambangan Batubara adalah pertambangan endapan karbon yang terdapat di dalam bumi,

termasuk bitumen padat, gambut, dan batuan aspal. ” Perlu diingat bahwa menurut UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan, yang

antara lain sudah diganti dengan UU Menerba tahun 2009 ini, jenis bahan galian panas bumi, minyak dan antara lain sudah diganti dengan UU Menerba tahun 2009 ini, jenis bahan galian panas bumi, minyak dan

1980 21 menjelaskan ada tiga kelompok jenis pertambangan (bahan-bahan galian), yaitu: a. golongan bahan galian strategis; b. golongan bahan galian vital; dan c. golongan bahan galian yang tidak termasuk golongan a atau b. Golongan bahan galian a mencakup minyak bumi dan gas alam, serta batubara, timah dan nikel/kobalt. Sedangkan bahan galian golongan b mencakup besi, tembaga, emas, bauksit dan intan. Terakhir, bahan galian golongan c mencakup nitrat-nitrat, asbes, marmer, dan pasir (sepanjang tidak mengandung mineral golongan a dan b).

Selanjutnya, UU Minerba tahun 2009 ini secara eksplisit menyatakan bahwa peran (kewenangan) pemerintah hanya sebatas regulator yang mencakup penerbitan Izin Usaha Pertambangan (IUP), yaitu, izin untuk melaksanakan usaha pertambangan. Dengan kata lain, tafsir frasa “dikuasai oleh negara” dari Pasal 33 UUD 1945 dilaksanakan oleh UU Minerba ini dalam bentuk penerbitan izin usaha pertambangan (IUP). Pemerintah tidak terlibat sama sekali, misalnya melalui instansi/jawatan/dinas pemerintah, dalam kegiatan usaha pertambangan. Yang melakukan kegiatan usaha pertambangan adalah badan usaha milik negara/daerah, koperasi, perseorangan, dan badan usaha (perusahaan) swasta. Posisi badan usaha milik negara/daerah adalah sama dengan poisi yang dimiliki oleh perseorangan dan/atau badan usaha milik swasta.

Lebih persisnya, Pasal 38 UU/2009 ini menyatakan:

“IUP diberikan kepada: a. badan usaha; b. koperasi; dan c. perseorangan.”

Sedangkan pengertian badan usaha menurut Pasal 1 UU Minerba/2009 adalah:

“Badan Usaha adalah setiap badan hukum yang bergerak di bidang pertambangan yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan dalam wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia.”

Sederhananya, badan usaha tersebut adalah perusahaan pertambangan mineral batubara yang berbadan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Ini dapat berupa perusahaan swasta atau perusahaan milik negara (BUMN) dan BUMD serta Koperasi.

Pada tanggal 30 Juni 2011 kementerian ESDM mempublikasikan daftar perusahaan MInerba dengan IUP yang masuk dalam kategori C and C (Clear and Clean). Kategori C and C adalah yang sudah memenuhi persyaratan PP 23 Tahun 2010 serta Surat Edaran Menteri ESDM No 03.E/31/DJB/2009, yang mencakup: wilayah tidak tumpang tindih, diterbitkan sebelum 1 Mei 2010, dan lain sebagainya. Jumlah usaha pertambangan dengan IUP yang sudah memenuhi kriteria CNC ini banyak sekali dan dalam hitungan ribuan. Walaupun demikian, jumlah kumulatif BUMN/D/koperasi yang memiliki IUP C and C ini sangat kecil dibandingkan dengan yang dimiliki oleh perusahaan swasta. Seluruh provinsi di Indonesia memiliki

21 Perubahan PP No. 25/1964 dan di UU No. 11/1967 tentang Pokok-pokok Pertambangan, tidak ada definisi tentang masing-masing golongan bahan galian. Disini hanya dikatakan bahwa bahan-bahan galian terdiri dari tiga

golongan yaitu a, b, dan bukan a dan b.

kegiatan usaha pertambangan yang sudah IUP C and C. Daftar perusahaan pertambangan kategori C and

C untuk 10 provinsi disajikan dibawah ini.

Tabel 6. Daftar Jumlah IUP C and C Pertambangan Mineral dan Batubara di 10 Provinsi Indonesia No

Provinsi

Jumlah IUP Badan Hukum Pemegang IUP

1 Bangka Belitung

16 BUMN dan 287 Perusahaan Swasta

2 Banten

14 Semua perusahaan swasta

3 Bengkulu

68 2 BUMN dan 66 perusahaan swasta

4 Yogyakarta

2 Semua usaha perseorangan

5 Gorontalo

11 1 Koperasi dan 10 perusahaan swasta

6 Jawa Barat

3 BUMD, 2 BUMN, 11 Koperasi, dan 296 perusahaan swasta/perseorangan

7 Jambi

90 3 BUMN dan 87 perusahaan swasta

8 Jawa Tengah

1 BUMN dan 117 perusahaan swasta/perseorangan

9 Jawa Timur

2 BUMN, 3 BUMD, 5 Koperasi, dan 199 usaha perseorangan dan perusahaan swasta

10 Kalimantan Barat

2 BUMN, 2 BUMD, dan 231 perusahaan swasta

Pola yang sama seperti no 1 s/d 10 yaitu hanya terdapat Selatan,

11 Kalimantan

dan beberapa koperasi, beberapa BUMN/D, selebihnya adalah provinsi

di

perusahaan swasta.

Indonesia yang lain Sumber: Ditjen Mineral dan Batubara, Kementerian ESDM, 2011. Pengumuman Hasil Rekonsialisasi IUP

Sekarang coba kita mundur sedikit untuk melihat tafsir “dikuasai oleh negara” Pasal 33 UD 1945 tersebut di sektor (cabang produksi) mineral dan batubara ini dalam periode-periode sebelum diberlakukannya UU Mineral dan Batubara tahun 2009 ini. Dalam periode-periode tersebut masih berlaku UU No. 11/1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan. Sejauh yang penulis dapat akses sampai saat ini, ada enam peraturan pelaksana UU ini yang terkait lansgung dengan tafsir frasa “dikuasai

oleh negara” Pasal 33 UUD 1945. Tiga dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) 22 dan tiga dalam bentuk Keputusan Presiden (Keppres). Ketiga Keppres tersebut hanya terkait dengan subsektor pertambangan batubara.

Selanjutnya coba kita lihat aturan utamanya dulu yaitu UU No. 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan- ketentuan Pokok Pertambangan. Tafsir “dikuasai oleh negara” di undang-undang ini tidak tegas dan berbelit- belit. Namun demikian, dapat kita tafsirkan “dikuasai oleh negara” adalah dikuasai oleh Menteri Pertambangan. Menteri pertambangan diberikan mandat oleh UU ini untuk memberikan izin kegiatan usaha pertambangan, hak kuasa pertambangan, di setiap wilayah pertambangan, baik kepada instansi pemerintah/perusahaan negara (badan usaha milik negara) maupun kepada perusahaan swasta. Menteri Pertambangan lah nantinya akan memutuskan ada tidaknya hak eksklusif monopoli kuasa pertambangan

22 1. PP No 32/1969; 2. PP No 79/1992; dan 3. PP No. 75 tahun 2001.

baik untuk instansi pemerintah maupun untuk badan usaha milik negara (d/h perusahaan negara). Ini dapat berlaku di seluruh subsektor pertambangan (seluruh golongan bahan galian) atau hanya untuk satu dan/atau beberapa subsektor saja. Jika nantinya tidak ada dan/atau dalam perkembangan terkini ternyata tidak ada, maka dengan demikan, ini dapat berarti bahwa posisi instansi pemerintah/BUMN dengan perusahaan swasta akan relatif sama di sektor pertambangan ini. Untuk lebih mempertajam tafsir frasa tersebut, berikut ini disajikan beberapa kasus golongan bahan baku.

Bahan Galian Golongan a UU Pertambangan tahun 1967 ini membagi sektor pertambangan kedalam tiga subsektor yaitu:

1. Bahan galian golongan a (bahan galian strategis); 2. Bahan galian golongan b (bahan galian vitaL; dan 3. Bahan galian yang tidak termasuk a dan b. Pasal 3 Huruf (1) berbunyi:

“Bahan-bahan galian dibagi atas tiga golongan: a. golongan bahan galian strategis; b. golongan bahan galian vital; c. Golongan bahan galian yang tidak termasuk a atau b .”

PP No. 27 /1980 23 tentang Penggolongan Bahan Galian mendefinisikan pengertian masing-masing golongan bahan galian tersebut sebagai berikut. Bahan galian strategis mencakup minyak bumi dan gas alam, nikel, timah dan batubara; Bahan galian vital mencakup besi, tembaga, emas, platina, perak, seng, belerang, dan arsin. Bahan galian bukan a dan b mencakup nitra-nitrat, asbes. Yarosit, batu permata, pasir kwasa, dan pasir sepanjang tidak mengandung bahan yang ada di golongan a dan/atau b.

Coba kita lihat beberapa Pasal UU No. 11/1967 ini, misalnya pada Pasal 6 dan Pasal 7 UU ini, yang merujuk ke Pasal 3 huruf (1) diatas.

Pasal 6 berbunyi: “usaha pertambangan bahan galian tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf (a) dilakukan oleh: a. Instansi Pemerintah yang ditunjuk oleh Menteri. b. Perusahaan Negara. ”

Pasal 6 ini mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa instansi pemerintah dan/atau perusahaan negara perlu diprioritaskan dan/atau hak ekslusif monopoli untuk melakukan usaha pertambangan golongan a (golongan bahan galian startegis). Namun demikian, Pasal 7 dibawah ini mementahkan kesimpulan pemberian prioritas dan/atau hak eksklusif monopoli tersebut. Pasal 7 ini mengarahkan kita pada kesimpulan bahwa posisi instansi pemerintah dan/atau perusahaan negara dengan perusahaan swasta adalah setara. Masing-masing memiliki hak yang sama untuk mendapatkan izin usaha pertambangan.

Pasal 7 berbunyi: “Bahan galian tersebut dalam pasal 3 ayat (1) huruf a, dapat pula diusahakan oleh pihak swasta yang memenuhi syarat-syarat sebagai dimaksud dalam pasal 12 ayat (1), apabila menurut pendapat Menteri berdasarkan pertimbangan-pertimbangan dari segi ekonomi dan

23 PP No. 27/1980 ini mencabut PP No. 25 tahun 1964 tentang Penggolongan Bahan Galian.Namun demikian, kedua PP ini pada prinsipnya tidak berubah banyak. Untuk minyak dan gas bumi, batubara, emas, tembaga,

misalnya, tetap berada dalam golongan bahan galian yang sama.

perkembangan-perkembangan, lebih menguntungkan bagi negara apabila diusahakan oleh pihak swasta. ”

Kata “lebih menguntungkan bagi negara” dapat kita tafsirkan usaha pertambangan tersebut dapat lebih besar memberikan kontribusi keuangan ke negara, dapat lebih baik dan lebih berkelanjutan dalam melakukan eksplorasi dan eksploitasi serta komersialisasi, dan/atau dapat lebih baik memelihara lingkungan hidup dan konservasi sumber daya alam pertambangan, dan lain sebagainya dari tujuan-tujuan yang hendak dicapai oleh pemerintah dengan pengorbanan sumber-sumber langkah yang paling kecil.

Secara sederhana, pertimbangan efisiensilah yang menentukan kepada siapa suatu wilayah pertambangan tertentu akan diberikan. Menteri Pertambangan memutuskan pemberian hak kuasa pertambangan kepada siapa saja, ya itu, bisa BUMN/D, koperasi, perseorangan, atau, perusahaan swasta tergantung dari kemampuan masing-masing untuk menciptakan efisiensi yang lebih baik. Dengan demikian, kesan prioritas apalagi hak eksklusif monopoli di sektor Pertambangan untuk BUMN/D menjadi hilang disini. Tidak adanya ketentuan prioritas tersebut lebih diperkuat oleh Pasal 1 PP No. 32/1969 yang berbunyi:

“Setiap usaha pertambangan bahan galian jang termasuk dalam golongan bahan galian strategis dan golongan bahan galian vital baru dapat dilaksanakan apabila terlebih dahulu telah mendapatkan Kuasa Pertambangan dari Menteri Pertambangan ……”

Dengan demikian, terlepas apakah itu instansi pemerintah, atau, perusahaan negara, atau, perusahaan swasta, masing-masing wajib memiliki Kuasa Pertambangan yang diberikan oleh Menteri Pertambangan untuk dapat melakukan usaha pertambangan. Selanjutnya, Kuasa Pertambangan tersebut dapat berbentuk salah satu dari: a. Surat Keputusan Penugasan Pertambangan; b. Surat Keputusan Izin Pertambangan Rakyat; dan c. Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan. (Pasal 2 Ayat (1) PP No. 32/1969 tersebut diatas.