Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi

Putusan Mahkamah Konstitusi untuk permohonan ini praktis tidak berdampak sama sekali. Putusan ini tidak menyentuh sama sekali keberadaan entitas BP Migas, yang mengelola sektor hulu Migas, dan entitas BPH Migas, yang mengelola sektor Hilir Migas. Pasca, Putusan MK ini, semuanya berjalan seperti biasa, dan ini lebih populer dengan kata business as usual.

Mahkamah Konstitusi mengabulkan permohonan yang hanya terkait dengan pasal-pasal dan/atau ayat-ayatnya yang tidak strategis. Itupun hanya terkait dengan tiga pasal saja dari UU Migas 2001 yang digugat secara keseluruhan; 14 Bab dan 66 Pasal. Lebih jauh lagi, itupun hanya beberapa bagian/ayat dari pasal-pasal termaksud. Pasal dan/atau ayat-ayatnya yang dibatalkan oleh MK tersebut adalah:

“Pasal 12 ayat (3) sepanjang mengenai kata-kata “diberi wewenang”, Pasal 22 ayat (1) sepanjang mengenai kata- kata “paling banyak”, dan Pasal 28 ayat (2) dan (3) Undang- undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi ….”

Coba kita lihat Pasal 12 ayat (3) yang kata- kata “diberi wewenang” dibatalkan.

“Menteri menetapkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang diberi wewenang melakukan kegiatan usaha Eksplorasi dan Eksploitasi pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)”.

Dengan dibatalkannnya kata “diberi wewenang,” maka Pasal 12 ayat 3 berbunyi: “Menteri menetapkan Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap yang melakukan kegiatan

usaha Eksplorasi dan Eksploitasi pada Wilayah Kerja sebagaimana dimaksud dalam ayat (2)”.

Penghapusan dua kata tersebut tidak ada pengaruhnya sama sekali baik bagi perusahaan- perusahaan Migas maupun bagi BP Migas . Ada atau tidak ada kata “diberi wewenang,” perusahaan- perusahaan tersebut tetap melakukan kegiatan eksplorasi dan eksploitasi Migas seperti biasanya.

Yang lebih menarik adalah ketika penulis mengunduh UU Migas 2001 di tahun 2015; 11 tahun pasca keputusan MK 2004 ini. Penulis belum menemukan Copy PDF yang Pasal 12 ayat 3 tersebut sudah hilang kata- kata “diberi wewenang.” Copy PDF yang berhasil diunduh adalah seperti naskah asli UU Migas 2001 tersebut yaitu yang masih tercantum kata- kata “diberi wewenang”.

Kita lihat juga Pasal 22 ayat (1) yang kata- kata “paling banyak” dibatalkan/dicabut dari pasal ini.

“Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan paling banyak 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. ”

Dengan dibatalkannya kata “paling banyak tersebut,” maka pasal ini berbunyi:

“Badan Usaha atau Bentuk Usaha Tetap wajib menyerahkan 25% (dua puluh lima persen) bagiannya dari hasil produksi Minyak Bumi dan/atau Gas Bumi untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. ”

Pasal ini menjadi janggal sebab jika pemerintah hanya membutuhkan kurang dari 25%, maka apa pemerintah wajib membeli dalam volume yang lebih besar dari kebutuhan? Juga, misalkan tidak ada kesepakatan harga antara BU dan/atau BUT tersebut, apa arus pasokan itu tidak terkendala? Lebih jauh lagi, MK gagal menghadirkan bukti kuantitas pasokan dan kebutuhan Migas dalam negeri Indonesia.

Terakhir kita lihat Pasal 28 ayat (2) dan (3) yang sepenuhnya dicabut/dibatalkan oleh MK.

“(2) Harga Bahan Bakar Minyak dan harga Gas Bumi diserahkan pada mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar; (3) Pelaksanaan kebijaksanaan harga sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak mengurangi tanggung jawab sosial Pemerintah terhadap golongan masyarakat tertentu”.

Dengan demikian Pasal 28 hanya memiliki satu ayat saja yaitu ayat (1), yang berbunyi:

“Bahan Bakar Minyak serta hasil olahan tertentu yang dipasarkan di dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan masyarakat wajib memenuhi standar dan mutu yang ditetapkan oleh Pemerintah. ”

Ini pernyataan normatif dan bersifat universal. Pemerintah di negara manapun wajib melakukannya terlepas ada atau tidak adanya UU yang berlaku di negara masing-masing. Bahkan setiap produk olahan dan/atau fabrikan wajib mengikuti standar dan mutu yang ditetapkan pemerintah.

Harga bahan bakar minyak dan harga gas bumi tetap mengikuti mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar. Kenapa? Karena BBM dan BBG itu dibelinya dari mekanisme persiangan usaha yang sehat dan wajar. Misalnya, ketika itu subsidi BBM dan BBG tetap diberlakukan seperti biasanya. Sekarang subsidi pemerintah untu BBM dan BBG tinggal sedikit sekali dan dengan demikian sudah mendekati titik harga yang searah dengan mekanisme persaingan usaha yang sehat dan wajar.