Text Box: 9 Gugatan atau permohonan pengujian UU No. 22/2001 tentang Minyak dan

Text Box: 9 Gugatan atau permohonan pengujian UU No. 22/2001 tentang Minyak dan

Penggugat:

Gas Bumi ke Mahkamah Konsitusi (MK)

1. Zainal Arifin; 2. Sonny Keraf; 3. Alvin Lie; 4. Ismayatun; 5.

sudah dilakukan sebanyak tiga kali.

Hendarso Hadiparmono; 6. Bambang Wuryanto; 7. Dradjad Wibowo; dan 8. Tjatur Sapto Edy. (Kesemuanya adalah

Gugatan pertama, 2003 – 2005, dan

anggota DPR RI 2004 – 2009)

Hakim Konstitusi:

1. Jimly Asshidiqie; 2. H.A.S. Natabaya; 3. H.M. Laica

mendasar yang sama yaitu menggugat

Marzuki; 4. H Achmad Roestandi; 5. H. Abdul Mukthie

agar kewenangan pengelolaan sektor

Fadjar; 6. Soedarsono; 7. H. Harjono; 8. Maruarar Siahaan;

minyak dan gas bumi Indonesia

dan 9. I Dewa Gede Palguna

diserahkan kembali ke BUMN seperti

PT Pertamina. Ini menurut para penggugat adalah wujud/implementasi yang paling benar dari semangat Pasal 33 UUD 1945. Dengan demikian, institusi seperti BP Migas perlu dibubarkan karena bertentangan dengan Pasal 33 UUD 1945.

Dalam gugatan ketiga ini, seperti sudah disajikan diatas, sebagian besar permohonan pengujian pasal-pasal UU Migas a quo diterima oleh Mahkamah dan diantaranya yang paling penting adalah pembubaran BP Migas. Sebaliknya, dalam gugatan pertama hanya permohonan yang tidak prinsipil dan tidak memiliki dampak penting yang diterima oleh Mahkamah. Selanjutnya, gugatan kedua mencakup substansi yang berbeda dibandingkan dua gugatan yang disebutkan terdahulu itu. Gugatan kedua ini lebih terkait dengan fungsi dan wewenang DPR dalam persetujuan/pengawasan perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintah. Gugatan kedua ini ditolak sepenuhnya sebab MK berpendapat bahwa para pemohon tidak memiliki kualifikasi (legal standing) untuk mengajukan permohonan pengujian suatu UU terhadap UUD 1945.

Gugatan kedua

Substansi gugatan kedua ini, yang dimohonkan oleh perseorangan sebanyak delapan orang dan mereka ini semuanya adalah anggota DPR RI ketika itu, menuntut adanya persetujuan DPR atas kontrak yang Substansi gugatan kedua ini, yang dimohonkan oleh perseorangan sebanyak delapan orang dan mereka ini semuanya adalah anggota DPR RI ketika itu, menuntut adanya persetujuan DPR atas kontrak yang

Internasional yang dibuat oleh Pemerintah Indonesia. Catatan text box 16 .

Pasal-Pasal UUD 1945 yang mereka rujuk adalah Pasal 11 ayat (2), yang berbunyi: “Presiden dalam membuat perjanjian internasional lainnya yang menimbulkan akibat

yang luas dan mendasar bagi kehidupan rakyat yang terkait dengan beban keuangan negara, dan/atau mengharuskan perubahan atau pembentukan undang-undang harus dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat .”

Menurut para pemohon tersebut, Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 tersebut sudah sudah dilanggar oleh Pasal

11 Ayat (2) UU Migas No. 22/2001, yang selengkapnya berbunyi: “Setiap Kontrak Kerja Sama yang sudah ditandatangani harus diberitahukan secara

tertulis kepada Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia .”

Perjanjian internasional tersebut menurut UUD 1945 harus mendapat persetujuan terlebih dahulu dari DPR. Sebaliknya, itu tidak perlu menurut UU Migas karena perjanjian/kontrak yang dibuat oleh BP Migas tersebut tidak termasuk Perjanjian Internasional seperti yang dimaksud oleh UUD 1945 tersebut. Dengan kata lain, para pemohon menyatakan pasal dalam UU Migas diatas bertentangan dengan Pasal 11 ayat (2) UUD 1945 dan untuk itu perlu diputuskan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai “bertentangan dengan konstitusi dan oleh karena itu tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.” Persisnya, mereka menuntut agar Pasal 11 ayat (2) tersebut dicabut.

Gugatan kedua ini ditolak secara keseluruhan oleh MK sebab para pemohon tidak memenuhi syarat (legal standing) untuk menyampaikan permohonan pengujian UU a quo terhadap UUD 1945. Pendapat MK [3.13] bullet 8 berbunyi:

“…para Pemohon sebagai perorangan warga negara Indonesia yang bertindak selaku Anggota DPR tidak memenuhi kualifikasi sebagaimana ketentuan Pasal 51 Ayat (1) huruf

a UU MK, .. Dengan demikian, para Pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum (legal standing) selaku para Pemohon dalam permohonan pengujian undang-undang a quo .”

Mahkamah juga memberikan penjelasan tambahan bahwa jikapun permohonan tersebut dikabulkan, artinya Pasal 11 ayat (2) UU Migas termaksud dicabut, posisi DPR dalam kaitan kontrak BP Migas ini bertambah buruk dengan tidak tersedianya akses informasi langsung terhadap kontrak-kontrak tersebut. BP Migas tidak mempunyai lagi kewajiban untuk menyampaikan secara tertulis atas kontrak kerja sama yang sudah ditandatanganinya. Keterangan ini konsisten dengan Putusan Mahkamah tahun 2012 yang tidak mencabut pasal ini ketika sebagian besar pasal-pasal dalam UU Migas a quo dinyatakan tidak berlaku (tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat).

Mungkin bermanfaat untuk mengetahui bahwa para pemohon tidak dapat dapat menghadirkan bukti yang kuat tentang kerugian yang sudah mereka alami dan/atau berpotensi untuk dialami dengan berlakunya UU a quo ini. Mereka hanya menyatakan bahwa terdapat arus uang yang demikian besar dalam pengelolaan sektor hulu Migas dan oleh karena itu penandatanganan kontrak KKS harus mendapat

16 Nama Hakim I Dewa Gede Palguna tidak tercantum dalam File PDF Putusan MK No. 20/PUU-V/2007 16 Nama Hakim I Dewa Gede Palguna tidak tercantum dalam File PDF Putusan MK No. 20/PUU-V/2007

“……betapa besarnya pendapatan yang diperoleh dari pengelolaan minyak dan gas bumi yang ada di bumi dan air Indonesia, yang apabila tanpa …..diawasi secara ketat

oleh DPR-RI dalam bentuk pemberian persetujuan, akan sangat berpotensi merugikan Negara, …..”

Gugatan pertama Tuntutan utama para pemohon

Disini para pemohon tidak menggugat pasal-pasal tertentu dari UU Migas 2001 ini melainkan mereka menggugat UU a quo secara keseluruhan. Untuk itu para pemohon menyampaikan 20 alasan/unsur yang

menurut mereka membuktikan bahwa UU Persyaratan Legal Standing

Migas a quo bertentangan dengan Pasal 33 Text Box: 10

UUD 1945. Untuk mendukung alasan ini,

a) Adanya hak konstitusional Pemohon yang kemudian mereka tambahkan penjelasan diberikan oleh UUD 1945;

tentang lima dampak buruk (negatif) dari

b) Bahwa hak konstitusional Pemohon tersebut berlakunya UU Migas ini, yang dilengkapi dianggap oleh Pemohon telah dirugikan oleh

dengan uraian/paparan tentang kontribusi undang-undang yang diuji;

c) Bahwa kerugian konstitusional Pemohon yang

monopoli alamiah sektor dimaksud bersifat spesifik (khusus) dan aktual

efisiensi

pertambangan Migas Indonesia yang atau setidak-tidaknya bersifat potensial yang

dimiliki oleh PT Pertamina selama ini. menurut penalaran yang wajar (logis) dapat

20 alasan/unsur dipastikan akan terjadi;

Penyampaian

yang menurut para pemohon tersebut

d) Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) bertentangan dengan konstitusi, dimulai antara kerugian dan berlakunya undang-undang

dengan pengungkapan fakta sejarah yang dimohonkan untuk diuji;

tentang tafsir frasa “dikuasai oleh negara”.

e) Adanya kemungkinan bahwa dengan Disini frasa itu mereka identikan dengan dikabulkannya permohonan tersebut maka

pemberian hak eksklusif monopoli kepada kerugian konstitusional yang didalilkan tidak

PT Pertamina (d/h PN Pertamina) dalam akan atau tidak lagi terjadi .

pengelolaan pertambangan minyak dan gas bumi Indonesia termasuk pengelolaan

sektor hilir (kilang) dan distribusi BBM dan Putusan MK No. 006/PUU-III/2005

gas. Kesemua ini sebetulnya hanyalah perintah UU Pertambangan tahun 1960 dan UU Pertamina tahun 1971. Kedua UU ini dibatalkan oleh UU Migas 2001.

Butir 1.c. pertimbangan pemohon berbunyi:

“Dalam hal ini pengertian "dikuasai oleh negara" di dalam Pasal 33 UUD 1945 bagi kekayaan alam minyak dan gas bumi ……secara fakta historis ditunjukkan oleh kenyataan dikuasainya lapangan MIGAS berikut kilang ….. oleh negara (c.q. Perusahaan Milik Negara/BUMN). ….. secara prinsipiil “Dalam hal ini pengertian "dikuasai oleh negara" di dalam Pasal 33 UUD 1945 bagi kekayaan alam minyak dan gas bumi ……secara fakta historis ditunjukkan oleh kenyataan dikuasainya lapangan MIGAS berikut kilang ….. oleh negara (c.q. Perusahaan Milik Negara/BUMN). ….. secara prinsipiil

Dalam pengungkapan fakta sejarah ini juga para pemohon menyebut dua orang founding fathers Indonesia, Mr. Wilopo dan Bung Hatta, dalam kapasitas sebagai Ketua dan Penasehat Komisi Anti Korupsi tahun 1969/70. Mereka juga menyatakan bahwa Bung Hatta (Mantan Wapres Presiden Soekarno) sebagai arsitek dari Pasal 33 UUD 1945. Disini para pemohon mengemukakan bahwa Beliau berdua itulah yang menginisiasi pembentukan PN Pertamina di tahun 1971 dan dengan demikian pemberian hak eksklusif monopoli PN Pertamina untuk mengelola sektor (cabang produksi) minyak dan gas bumi Indonesia adalah wujud nyata dari pelaksanaan Pasal 33 ayat (2) dan ayat (3) UUD !945.

Selanjutnya pemohon menyatakan bahwa PN Pertamina diberikan wewenang untuk menandatangani kontrak dengan badan usaha swasta. Ini merupakan bagian dari pertimbangan butir 1.b pemohon, yang berbunyi:

“PERTAMINA diperbolehkan menjalin kerjasama dengan perusahaan swasta nasional maupun asing dalam bentuk Production Sharing Contract (selanjutnya disingkat PSC) sehingga para pengusaha asing dan nasional hanya berperan sebagai kontraktor jasa dari BUMN .”

Dengan kata lain, para pemohon berpendapat bahwa Pasal 33 UUD 1945 menghendaki agar yang melakukan deals dengan perusahaan Migas swasta hanyalah BUMN dan BUMN itu adalah PT Pertamina. Namun demikian, terlepas dari adanya perintah dari UU pertambangan dan UU Pertamina yang sudah dibatalkan tersebut, para pemohon tidak memberikan penjelasan lebih jauh tentang pentingnya untuk mempertahankan PT Pertamina sebagai pengelola deals dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap.

Para pemohon hanya memberikan alasan-alasan secara parsial, sepotong-sepotong, dan tidak komprehensif. Misalnya, mereka menyampaikan beberapa isu terkait dengan keberlanjutan dan/atau investasi pada kegiatan eksplorasi dan eksploitasi. Sebagai contoh adalah utang untuk investasi seperti utang investasi invetasi pembangunan LNG Arun. Menurut pemohon, utang ini akan jadi utang PT Pertamina tetapi jika dilakukan oleh BP Migas itu akan jadi utang Pemerintah. (Penjelasan Tim Ahli Pemohon: Ir. Ramses Octavianus Hutapea). Tidak disampaikan perbandingan tingkat efektifitas dan efisiensi penggunaan utang antara jika dilakukan oleh PT Pertamina dan jika dilakukan oleh BP Migas.

Contoh lain yang disampaikan oleh para pemohon terkait dengan rendahnya kinerja penandatangan kontrak kerja sama (KKS) yang dilakukan oleh BP Migas. Menurut mereka, hingga gugatan ini disampaikan ke MK (2002 – 2003) hanya ada 1 (satu) KKS yang berhasil ditandatangani oleh BP Migas. Dilanjutkan dengan pernyataan bahwa seharusnya minimal 10 KKS yang ditandatangani setiap tahun agar Indonesia dapat menambah produksi minyak sebesar 500 juta barrel setiap tahunnya dalam kerangka menghindari posisi Indonesia sebagai net importer minyak mentah.

Pemerintah menyatakan bahwa pendapat para pemohon ini salah. Sudah ada 17 KKS yang disetujui (ditandatangani?) hingga saat gugatan ini disampaikan ke MK. Namun demikian, pemerintah tidak menyampaikan perkembangan produksi minyak mentah Indonesia dibawah rezim BP Migas.

Jika kita melihat grafik perkembangan produksi minyak mentah Indonesia diatas, terlihat bahwa BP MIgas tidak mampu mencegah penurunan produksinya. Selain itu, seperti sudah disampaikan terdahulu bahwa baik PT Pertamina, BP Mgas, maupun SKK Migas tidak dapat berbuat apa-apa untuk mengrem laju penurunan produksi tersebut.

17 Sebetulnya bukan ladang migas itu saja yang kembali ke pemeritah tetapi aset lain perusahaan pertambangan kontraktor tersebut yang mencakup mesin dan peralatan juga harus diserahkan ke pemerintah. Ini disebabkan

pemerintah sudah membayar aset termaksud melalui mekanisme cost recovery.

Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa kesimpulan para pemohon bahwa deals yang dilakukan oleh BHMN seperti SKK MIgas adalah bertentangan dengan konstitusi, hanyalah retorika frasa hukum belaka. Ini tidak terkait dengan tindakan konkrit peningkatan efisiensi yang mencakup efisinsi peningkatan produksi minyak mentah yang gagal dilaksanakan. Selain itu, itu juga tidak terkait dengan bukti konkrit implementasi untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat dengan bersandar kepada tolok ukur efisiensi.

Para pemohon lebih banyak mengulas dan mengkutak-katik frasa hukum yang terkait. Misalnya, pandangan mereka bahwa hanya PT Pertamina yang diperintahkan oleh Pasal 33 UUD 1945 untuk melakukan deals dengan badan usaha dan bentuk usaha tetap tertuang dalam pertimbangan hukum pemohon (butir lima). Alinea terakhir dari butir 5 ini berbunyi:

“Pengertian dikuasai oleh negara sebenarnya telah dengan tepat diterjemahkan dan atau diartikan oleh Undang-undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 dan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1971, yaitu sebagai: ……..1. ………3. Khusus untuk endapan Migas, pelaksanaan pertambangan Migas hanya diusahakan oleh negara dan dilakukan oleh Perusahaan negara yang diberi Kuasa

Pertambangan oleh negara. ”

Gugatan Pertama UU Migas 2001 Selanjutnya dalam 20 alasan Putusan No: 002/PUU-I/2003, 15 Desember 2004

atau pertimbangan tersebut, pemohon Text Box: 11 menyatakan minimal ada dua alasan

dari Pengaturan Kuasa Penggugat:

pokok

Pertambangan (KP) di dalam UU