Penelitian Terdahulu

2.8. Penelitian Terdahulu

Lyons (1997) hasil penelitiannya menunjukkan distribusi pendapatan di Propinsi Post-Mao China. Studi Lyons menggambarkan bahwa kesenjangan dalam propinsi di Post-Mao China benar-benar tidak hanya diukur dengan output aggregate (GDP per kapita) tetapi juga dengan indikator melek huruf, tingkat kematian bayi dan indikator ekonomi sosial yang lain. Beberapa indikator ini mempunyai hubungan yang relatif lemah satu sama lainnya

Penelitian yang dilakukan oleh Windu (2002) tentang distribusi pendapatan dan tingkat kesejahteraan di daerah Istimewa Yogyakarta tahun 1994-2000. Variabel

Hasil penelitian Emil Salim dalam Prayitno dan Santosa (1996:102) mengemukakan lima ciri-ciri penduduk yang hidup dibawah garis kemiskinan.

Pertama, pada umumnya mereka tidak mempunyai faktor

modal ataupun keterampilan, sehingga kemampuan untuk memperoleh pendapatan menjadi terbatas. Kedua, mereka tidak memiliki kemungkinan untuk memperoleh aset produksi dengan kekuatan sendiri. Ketiga, tingkat pendidikan rendah, waktu mereka tersita untuk mencari nafkah dan mendapatkan penghasilan. Keempat, kebanyakan mereka tinggal di perdesaan. Kelima, mereka yang hidup di kota masih berusia muda dan tidak didukung oleh keterampilan yang memadai.

Remi Sutyastie dan Tjiptoherijanto (202:6-7) mengungkapkan bahwa selama periode 1976-1998 jumlah kaum miskin di wilayah perkotaan telah meningkat pada hampir besaran yang sama dengan yang terjadi di wilayah perdesaan yaitu sebesar 61,1% (4,44 juta jiwa) untuk wilayah perkotaan 62,72% (9,60 juta jiwa) bagi perdesaan. Perubahan persentase timbulnya kemiskinan terhadap total populasi adalah lebih besar di wilayah perdesaan ketimbang di wilayah perkotaan (7,78% dibanding dengan 4,72%). Meskipun demikian, jika konsistensi diabaikan, jumlah absolut kaum miskin meningkat sekitar 140% (10,4 juta jiwa) selama dua tahun

Raharjo (1998:114) melaporkan bahwa wujud kemiskinan di daerah perkotaan sangat berbeda dengan perdesaan. Kemiskinan di daerah perkotaan lebih mudah dikenali secara fisik dari pada kemiskinan di daerah perdesaan. Di DKI Jakarta misalnya, dapat ditemukan orang-orang yang meminta sedekah di berbagai pelosok kota, dan mereka digolongkan orang-orang miskin, sedangkan di desa-desa yang meminta sedekah di pinggir jalan atau dari rumah ke rumah tidak mudah ditemukan.

Lebih lanjut Raharjo menjelaskan bahwa sebagai kota metropolitan, DKI Jakarta masih banyak memiliki kantong kemiskinan, ciri utamanya adalah padat penduduk dan kumuh. Kemiskinan di daerah Jakarta lebih disebabkan oleh rendahnya daya beli masyarakat dari pada faktor keterpencilan fisik. Kondisi sosial ekonomi yang kontras antar kelompok masyarakat, yang tercermin dalam perbedaan pemanfaatan berbagai fasilitas dan akses terhadap hasil pembangunan, menimbulkan kesan wujud kemiskinan di perkotaan bersifat struktural. Kelompok miskin tidak mampu bersaing dalam memanfaatkan sumber-sumber daya pembangunan sehingga terasa adanya kesenjangan sosial antar kelompok masyarakat.

Usaha-usaha penanggulangan kemiskinan makin difokuskan dan diarahkan pada lokasi-lokasi penduduk miskin. Pemda DKI Jakarta menempuh dua pendekatan untuk mengatasi kemiskinan. Pertama, memberdayakan penduduk miskin di bidang ekonomi. Selain program IDT yang dilaksanakan secara nasional, Pemda DKI Jakarta meluncurkan program Instruksi Gubernur (In-Gub) sebagai upaya khusus memberdayakan penduduk miskin. Disamping itu, Pemda DKI Jakarta juga mengarahkan program-program sektoral, program Muhamad Husni Thamrin atau MHT, partisipasi dunia usaha, serta kegiatan LSM maupun organisasi-organisasi keagamaan dalam menanggulangi kemiskinan. Kedua, memperkuat lembaga- lembaga ekonomi masyarakat ditingkat kelurahan dengan memantapkan koperasi-koperasi (Koperasi Serba Usaha atau KSU) dan warung-warung serba ada (WASERDA).

Heredia dan Pueblo (1999:2) menjelaskan bahwa pemberantasan kemiskinan tidak saja menjadi keinginan dari pihak rakyat miskin itu sendiri, akan tetapi lebih merupakan tugas yang harus ditangani oleh pemerintah, sektor swasta, organisasi kemasyarakatan, dan lembaga- lembaga multilateral. Dijelaskan pula bahwa sebab-sebab yang mempengarui kemiskinan struktur mencakup: (1) kurangnya demokrasi: hubungan kekuasaan yang menghilangkan kemampuan warga negara atau suatu negara untuk memutuskan masalah yang menjadi perhatian mereka; (2) kurangnya memperoleh alat-alat produksi (lahan dan teknologi) dan sumberdaya (pendidikan, kredit dan akses pasar) oleh mayoritas penduduk; (3) kurangnya mekanisme yang memadai untuk akumulasi dan distribusi; (4) disintegrasi ekonomi nasional,

Penjelasan teoritis diatas memberikan suatu pengertian bahwa pengentasan kemiskinan merupakan tanggung jawab oleh semua pihak. Upaya untuk pengentasan kemiskinan harus memperhitungkan faktor strategi dan kebijakan pembangunan, jumlah dan pola distribusi pemilikan faktor produksi (seperti lahan, tenaga kerja, keahlian, teknologi, dan modal), pendidikan, akses pasar dan fasilitas kredit.

Brata (2005:10) melaporkan hasil penelitiannya bahwa investasi sektor publik atau pengeluaran sosial (pendidikan dan kesehatan) mempengaruhi pembangunan manusia. Pengeluaran sosial dan pembangunan manusia mempengaruhi pengurangan tingkat kemiskinan melalui peningkatan kualitas manusia.

Lebih lanjut Brata menjelaskan bahwa distribusi pendapatan ikut menentukan pencapaian pembangunan manusia dan kondisi kemiskinan. Bahkan pertumbuhan ekonomi tidaklah cukup untuk menekan tingkat kemiskinan jika bersamaan dengan itu terjadi ketimpangan distribusi pendapatan. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa distribusi pendapatan yang merata adalah lebih baik

Berdasarkan hasil kajian empiris diatas, maka dapat disimpulkan bahwa kualitas sumber daya manusia (pendidikan dan kesehatan) mempengaruhi kemiskinan, sebaliknya kemiskinan mempengaruhi upaya peningkatan kualitas sumber daya manusia.

Dillon (2001:6) mengemukakan bahwa program prioritas penanggulangan kemiskinan dalam PORPENAS (program pembangunan nasional) adalah pemenuhan kebutuhan dasar dan pengembangan usaha bagi kelompok miskin dengan target: (1) tercapainya keamanan dan stabilitas bagi aktivitas perekonomian skala kecil; (2) tercapainya peningkatan dan pengembangan sarana dan kualitas kesehatan serta pelayanan pendidikan; dan (3) tercapainya peningkatan produktivitas. Dijelaskan pula bahwa dalam pelaksanaan program pembangunan terdapat tiga pilar utama, yaitu: (1) mengembangkan kesempatan-kesempatan

bagi kelompok masyarakat miskin; (2) memberdayakan kapasitas dan kemampuan kelompok masyarakat miskin; dan (3) meningkatkan kualitas jaring pengaman sosial.

ekonomi

Penjelasan tersebut dapat dimaknai bahwa strategi pembangunan nasional saat ini adalah strategi pemenuhan kebutuhan dasar dengan mengembangkan usaha ekonomi skala kecil, mengembangkan peluang usaha bagi masyarakat miskin, mendorong produktivitas, mengembangkan potensi yang dimiliki masyarakat miskin dan melindungi masyarakat miskin dari akibat buruk kebijakan pembangunan.

Dartanto (2005:9) mengemukakan bahwa kenaikan harga kebutuhan pokok dapat meningkatkan kemiskinan secara tajam, oleh karena itu pemerintah seharusnya mampu mengendalikan harga kebutuhan pokok ditingkat yang wajar sehingga tidak memberatkan kalangan konsumen miskin dan kalangan petani sebagai produsen. Pendapat ini mengindikasikan bahwa kemiskinan terjadi karena harga kebutuhan pokok menjadi penyebab meningkatnya tingkat kemiskinan.

Insukidri (2006:2) menjelaskan bahwa distribusi pendapatan antar kelompok dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu distribusi pendapatan mutlak dan distrubusi pendapatan relatif. Konsep yang disebut pertama berkaitan dengan proporsi jumlah penduduk yang pendapatannya dapat mencapai suatu tingkat tertentu atau lebih kecil dari itu. Disisi lain konsep distribusi pendapatan relatif menunjukkan perbandingan pendapatan yang diterima oleh berbagai kelompok atau kelas penerima pendapatan. Pada umumnya pembicaraan mengenai distribusi pendapatan lebih ditekankan pada pengertian atau konsep distribusi pendapatan relatif.

Penelitian-penelitian yang pernah dilakukan tersebut, mempunyai kesamaan yaitu menggunakan indeks Gini, indeks mutu hidup. Perbedaan dengan penelitian yang akan dilakukan adalah tempat dan waktu penelitian. Penelitian yang akan dilakukan juga meneliti hal yang sama, yaitu memb ahas masalah ”Distribusi Pendapatan dan Tingkat Kesejahteraan Masyarakat di Provinsi Sulawesi Tenggara”.