PENGARUH PENDAPATAN PER KAPITA DAN DISTR

Muhammad Nur, S.E., M.Si.

PENGARUH PENDAPATAN PER KAPITA DAN DISTRIBUSI PENDAPATAN TERHADAP TINGKAT KESEJAHTERAAN MASYARAKAT PROPINSI SULAWESI TENGGARA Muhammad Nur

Hak Cipta 2017, Pada Penulis

Desain Cover : Adi Tata Letak Isi : Yanti

Cetakan Pertama: Agustus 2017

Isi diluar tanggung jawab percetakan Hak Cipta dilindungi Undang-Undang No 19 Tahun 2002. Dilarang memfotokopi, atau memperbanyak isi buku ini tanpa izin tertulis dari Penerbit.

Copyright © 2017 Penerbit Gawe Buku All Right Reserved

Penerbit Gawe Buku (group Penerbit CV. Adi Karya Mandiri)

Modinan Pedukuhan VIII, RT 034/RW 016 Brosot, Galur, KulonProgo, Yogyakarta 55661 Telp: 08562866766, e-mail: [email protected]

Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)

NUR, Muhammad

Pengaruh Pendapatan Per Kapita dan Distribusi Pendapatan Terhadap Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Propinsi Sulawesi Tenggara/oleh Muhammad Nur.--Ed.1, Cet. 1-- Yogyakarta: Penerbit Gawe Buku, Agustus 2017.

v, 135 hlm.; Uk:14x20 cm

ISBN 978-602-50228-8-3

1. Ekonomi I. Judul 330

KATA PENGANTAR

Puji Syukur kepada Allah SWT atas tersusunnya Buku Pengaruh Pendapatan Per Kapita dan Distribusi

Pendapatan Terhadap Tingkat Kesejahteraan Masyarakat Propinsi Sulawesi Tenggara.

Tujuan dari buku ini adalah untuk mengetahui distribusi pendapatan masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara, mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara, serta mengetahui pengaruh pendapatan perkapita dan distribusi pendapatan terhadap kesejahteraan masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara. Harapannya untuk pengambilan keputusan dalam kebijakan

pembangunan daerah, tidak hanya memperhatikan pertumbuhan ekonomi semata tetapi juga hendaknya

memperhatikan masalah pemerataan pendapatan. Semoga penelitian ini dapat bermanfaat dan memberikan wawasan yang lebih luas kepada pembaca. Dalam buku ini masih banyak memiliki kekurangannya. Penulis mohon untuk saran dan kritiknya. Terima kasih.

Penulis

iii

BAB I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pembangunan ekonomi didefenisikan sebagai suatu proses yang menyebabkan kenaikan pendapatan riil per kapita penduduk suatu negara dalam jangka panjang, yang disertai oleh perbaikan sistem kelembagaan (Arsyad,1999:11).

Dari defenisi ini pembangunan ekonomi mempunyai pengertian bahwa suatu proses yang berarti perubahan yang terjadi terus menerus, usaha untuk menaikkan pendapatan per kapita, kenaikan pendapatan per kapita tersebut harus terus berlangsung dalam jangka panjang dan perbaikan sistem kelembagaan di segala bidang.

Sebagai suatu proses, maka pembangunan ekonomi mempunyai kaitan dan pengaruh antara faktor- faktor didalamnya yang menghasilkan pembangunan ekonomi. Selanjutnya pembangunan ekonomi akan tercermin pada kenaikan pendapatan per kapita dan perbaikan tingkat kesejahteraan pada masyarakatnya. Indikator dari laju pertumbuhan ekonomi suatu daerah salah satunya ditunjukkan dengan tingkat pertumbuhan Produk Domestik Regional Bruto.

Dalam suatu daerah, keberhasilan pembangunan tidak semata-mata hanya diukur dari kemampuannya untuk meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto serta pendapatan per kapita dari penduduknya. Keberhasilan pembangunan juga diukur dari keberhasilan usaha daerah tersebut untuk mendistribusikan pendapatan secara Dalam suatu daerah, keberhasilan pembangunan tidak semata-mata hanya diukur dari kemampuannya untuk meningkatkan Produk Domestik Regional Bruto serta pendapatan per kapita dari penduduknya. Keberhasilan pembangunan juga diukur dari keberhasilan usaha daerah tersebut untuk mendistribusikan pendapatan secara

Sigit (1980) menyatakan distribusi pendapatan yang merata antar penduduk/rumah tangga mengandung dua segi penting. Pertama adalah meningkatkan tingkat hidup mereka yang berada di bawah garis kemiskinan. Kedua

pendapatan secara menyeluruh, dalam arti mempersempit perbedaan tingkat pendapatan antar rumah tangga (Rudatin,2000:1).

adalah

pemerataan

Di daerah-daerah yang sedang berkembang termasuk Provinsi Sulawesi Tenggara perhatian utama terfokus pada dilema kompleks antara pertumbuhan versus distribusi pendapatan. Keduanya sama-sama penting, namun hampir selalu sulit diwujudkan secara bersama. Pengutamaan yang satu akan menuntut dikorbankannya yang lain. Pembangunan ekonomi menghendaki yang lebih tinggi dan untuk itu diperlukan tingkat pertumbuhan yang lebih tinggi. Namun yang menjadi masalah bukan hanya soal bagaimana cara memacu pertumbuhan, tetapi juga siapa yang melakukan dan berhak menikmati hasil-hasilnya, kalangan elit kaya raya yang minoritas ataukah mayoritas masyarakat yang miskin. Persoalan pemerataan pendapatan ini semakin terasa karena adanya pertumbuhan ekonomi yang cukup pesat dan tidak disangsikan dalam proses pembangunan yang berorientasi pertumbuhan.

Oleh karena itu pembangunan ekonomi tidak saja diharapkan dapat mengubah struktur produksi nasional melalui perubahan komposisi PDRB, melainkan juga harus mampu mengubah distribusi pendapatan agar makin merata. Hal ini terutama untuk menghindari adanya Oleh karena itu pembangunan ekonomi tidak saja diharapkan dapat mengubah struktur produksi nasional melalui perubahan komposisi PDRB, melainkan juga harus mampu mengubah distribusi pendapatan agar makin merata. Hal ini terutama untuk menghindari adanya

Selama pertumbuhan ekonomi ini dinikmati secara adil oleh masyarakat maka persoalan pemerataan pendapatan ini tidak akan muncul. Persoalan ini timbul jika terjadi perubahan status quo dari golongan kaya dan golongan miskin, berupa perbedaan tingkat pendapatan yang semakin melebar.

Sebagai bagian integral dari pembangunan nasional, Provinsi Sulawesi Tenggara juga diarahkan untuk meningkatkan kesejahteraan seluruh kabupaten dan kota baik di wilayah perdesaan maupun di wilayah perkotaan. Provinsi Sulawesi Tenggara telah melaksanakan berbagai pendekatan dan terobosan-terobosan secara mendasar sebagai penjabaran dari pola pembangunan nasional, yang disesuaikan dengan potensi sumber daya alam, potensi sumber daya manusia, potensi-potensi lainnya yang dimiliki.

Provinsi Sulawesi Tenggara terletak di jazirah Pulau Sulawesi bagian tenggara. Wilayah daratan sebagian besar terdapat di daratan Pulau Sulawesi dan wilayah kepulauan lainnya. Luas wilayah daratan Provinsi Sulawesi Tenggara 38.140 km 2 atau 25 % dari seluruh

wilayah Sulawesi Tenggara yang tersebar dibeberapa wilayah daratan dan kepulauan. Sedangkan wilayah

lautnya seluas 114.879 km 2 atau 75 % dari seluruh wilayah Sulawesi Tenggara. Penduduk Provinsi Sulawesi

Tenggara pada tahun 2007 sebesar 1.919.273. Sedangkan laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Tenggara Tenggara pada tahun 2007 sebesar 1.919.273. Sedangkan laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Tenggara

Pertumbuhan ekonomi dan pendapatan Provinsi Sulawesi Tenggara ternyata memberikan dampak yang cukup berarti

pada usaha peningkatan tingkat kesejahteraan yang diukur dengan Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang berada pada kisaran angka 68,30 dan berada pada peringkat 25 dari 30 provinsi di Indonesia. Bila ditelusuri menurut komponen pembentukan IPM, maka angka melek huruf penduduk dewasa Sulawesi Tenggara sebesar 91,9 persen. Angka harapan hidup rata-rata 67,2 lebih rendah dari rata-rata nasional yaitu 68,8. Pengeluaran riil perkapita disesuaikan adalah Rp. 605,000, juga lebh rendah dari angka Nasional yang mencapai Rp. 624.400. Berbeda dengan ketiga komponen pembentukan IPM lainnya, rata-rata lama sekolah 7,7 tahun sedikit lebih tinggi dari Nasional yang menunjukkan angka 7,5 tahun. (Bappeda Provinsi Sultra)

Namun demikian peningkatan pendapatan perkapita yang tidak disertai dengan pendistribusian pendapatan yang tidak merata maka akan terjadi ketimpangan tingkat kesejahteraan antar penduduk. Provinsi Sulawesi Tenggara terdapat penduduk miskin pada tahun 2005 berjumlah 4.209.000 jiwa, atau sekitar 21,49 % dari total penduduk. (BKKBN, 2004: 22).

Gambaran ketimpangan distribusi pendapatan Provinsi Sulawesi Tenggara khususnya di Kota Kendari dikalangan masyarakat miskin, dapat dilihat dari hasil penelitian Apoda (2001) yang mengungkapkan bahwa rasio Gini distribusi pendapatan masyarakat Kota Kendari di Kecamatan Poasia adalah sebesar 0,18 atau berada dalam kategori ketimpangan distribusi pendapatan yang sangat rendah (relatif merata). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dalam lingkup wilayah Kota Kendari masih terdapat masyarakat yang berada pada kategori ” merata dalam kemiskinan”

Hal tersebut menggambarkan adanya kesenjangan pembangunan antardaerah di Kota Kendari yang terjadi karena distribusi pendapatan penduduk yang tidak merata, sumber-sumber ekonomi dan struktur ekonomi masing- masing daerah mempunyai potensi yang berbeda. Sehingga setiap upaya pembangunan ekonomi daerah ditujukan untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja bagi masyarakat agar pendapatan masyarakat lebih meningkat. Seperti yang terjadi pada tahun 2007 pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki angka pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yaitu diatas 7 % sebagai salah satu indikator peningkatan Hal tersebut menggambarkan adanya kesenjangan pembangunan antardaerah di Kota Kendari yang terjadi karena distribusi pendapatan penduduk yang tidak merata, sumber-sumber ekonomi dan struktur ekonomi masing- masing daerah mempunyai potensi yang berbeda. Sehingga setiap upaya pembangunan ekonomi daerah ditujukan untuk meningkatkan jumlah dan jenis peluang kerja bagi masyarakat agar pendapatan masyarakat lebih meningkat. Seperti yang terjadi pada tahun 2007 pertumbuhan ekonomi Provinsi Sulawesi Tenggara memiliki angka pertumbuhan ekonomi yang cukup tinggi yaitu diatas 7 % sebagai salah satu indikator peningkatan

kesejahteraan dengan melakukan pendistribusian hasil-hasil pembangunan ekonomi bagi seluruh masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara.

Berdasarkan keadaan tersebut diatas menunjukkan bahwa masalah distribusi pendapatan dan tingkat kesejahteraan di Provinsi Sulawesi Tenggara perlu dikaji secara sistematis dan mendalam. Sehubungan dengan hal ini, maka dinilai penting untuk melakukan analisis mengenai ”Pengaruh Pendapatan Perkapita dan Distribusi Pendapatan Terhadap Tingkat Kesejahteraan Masyarakat

Provinsi Sulawesi Tenggara”.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang, maka penelitian ini difokuskan pada masalah sebagai berikut :

1. Bagaimana distribusi pendapatan masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara.

2. Bagaimana tingkat kesejahteraan masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara.

3. Bagaimana pengaruh pendapatan per kapita dan distribusi pendapatan terhadap kesejahteraan masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara.

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah, maka tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah :

1. Untuk mengetahui distribusi pendapatan masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara.

2. Untuk mengetahui tingkat kesejahteraan masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara.

3. Untuk mengetahui pengaruh pendapatan perkapita dan distribusi pendapatan terhadap kesejahteraan masyarakat Provinsi Sulawesi Tenggara.

1.4. Manfaat penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara praktis maupun ilmiah adalah :

1. Secara ilmiah sebagai sumbangan pemikiran bagi ilmu pengetahuan khususnya dalam ekonomi pembangunan serta penelitian yang berkaitan dengan distribusi pendapatan di Provinsi Sulawesi Tenggara.

2. Secara praktis, hasil penelitian ini sebagai informasi bagi Pemerintah Provinsi Sulawesi Tenggara dalam menentukan kebijakan pembangunan sehingga alternatif pembangunan yang dipilih dapat mengurangi ketimpangan yang terjadi dan memperbaiki tingkat kesejahteraan.

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Pembangunan Ekonomi

Tujuan pembangunan ekonomi yang harus dicapai adalah pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang dimaksud adalah pertumbuhan yang mampu memberikan kesejahteraan bagi seluruh penduduk disuatu negara atau daerah.

Pertumbuhan ekonomi adalah proses kenaikan output per kapita dalam jangka panjang dalam defenisi ini ditekankan pada aspek-aspek sebagai berikut:

1. Perekonomian berkembang dari waktu ke waktu;

2. kenaikan output per kapita karena kenaikan pendapatan akan mengakibatkan peningkatan kesejahteraan perekonomian masyarakat, agar pendapatan per kapita naik maka pertumbuhan ekonomi harus lebih tinggi dari pada kenaikan jumlah penduduk;

3. Aspek lainnya adalah pertumbuhan ekonomi harus berlangsung dalam jangka panjang yang akan meningkatkan

pertumbuhan pendapatan. Pertumbuhan ekonomi terjadi apabila dalam jangka waktu yang cukup panjang output per kapita mempunyai kecenderungan yang meningkat, walaupun bisa saja pada suatu tahun tertentu output per kapita menurun. (Boediono 1999:1).

pada umumnya dimaksudkan agar kesejahteraan rakyat di suatu negara

Pembangunan

ekonomi ekonomi

2.2. Konsep Dasar Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi yang terjadi disuatu daerah, melalui perubahan yang dilakukannya terhadap struktur ekonomi, secara potensial mempengaruhi distribusi pendapatan. Secara empiris berdasarkan data antar Negara

(cross-section). (Simon Kuznets,1955) mempelopori penelitian mengenai hubungan antara pertumbuhan

ketidakmerataan pendapatan. Kuznets menemukan adanya suatu hubungan antara pertumbuhan ekonomi dengan ketidakmerataan pendapatan, yang kemudian lebih dikenal sebagai hipotesa “Inverted U-curve”. Hipotesa tersebut menyatakan

ekonomi

dengan

bahwa ketidakmerataan pendapatan dalam suatu daerah meningkat

pada tahap-tahap awal pertumbuhan ekonominya, cenderung tidak berubah pada tahap menengah, dan terus menurun ketika daerah tersebut menjadi sejahtera.

Hipotesa Kuznets bersandar pada asumsi bahwa terdapat dua sektor ekonomi dalam suatu daerah, yaitu sektor pertanian tradisional didaerah perdesaan dengan pendapatan perkapita dan ketidakmerataan pendapatan yang rendah dan sektor modern (sektor industri dan jasa- jasa) didaerah perkotaan dengan pendapatan per kapita dan ketidakmerataan pendapatan yang tinggi. Akibatnya terjadi migrasi tenaga kerja dari sektor tradisional ke sektor Hipotesa Kuznets bersandar pada asumsi bahwa terdapat dua sektor ekonomi dalam suatu daerah, yaitu sektor pertanian tradisional didaerah perdesaan dengan pendapatan perkapita dan ketidakmerataan pendapatan yang rendah dan sektor modern (sektor industri dan jasa- jasa) didaerah perkotaan dengan pendapatan per kapita dan ketidakmerataan pendapatan yang tinggi. Akibatnya terjadi migrasi tenaga kerja dari sektor tradisional ke sektor

Kuznets juga menekankan terjadinya perubahan struktural dalam pembangunan ekonomi, dimana dalam prosesnya sektor industri dan jasa-jasa cenderung berkembang dan terjadi pergeseran dari sektor tradisional ke sektor modern. Selama masa transisi tersebut, produktivitas dan upah tenaga kerja di sektor modern lebih tinggi daripada sektor tradisional, sehingga pendapatan per kapita yang diharapkan juga lebih tinggi, akibatnya ketidakmerataan pendapatan antara kedua sektor tersebut meningkat pada awal-awal pembangunan.

Kevalidan hipotesa “Inverted U-curve” membawa implikasi bahwa jika suatu daerah berada pada tahap- tahap awal pembangunan, pertumbuhan ekonomi akan lebih meningkatkan ketidakmerataan pendapatan sehingga pengurangan kemiskinan akan memakan waktu yang lebih lama (Adams, 2004).

Karenanya hipotesa ini sangat controversial dan menjadi bahan perdebatan, mempengaruhi pemikiran, dan penelitian selanjutnya mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan pendapatan. Penelahan terhadap penelitian-penelitan selanjutnya juga menjadi sangat menarik karena begitu beragamnya kesimpulan-kesimpulan yang diperoleh dari berbagai penelitian yang hasilnya mendukung penuh hipotesa,

“Inverted U-curve” (Oshima, 1962), mendukung sebagian (Ahluwalia, 1976a dan 1976b). Akan tetapi, ketiga penelitian tersebut diatas dilakukan dengan menggunakan pendekatan data panel internasional (bukan negara tunggal), sehingga apapun hasil penelitianya harus

ketika membahas beragamnya hasi-hasil penelitian yang menggunakan data penelitian Deininger dan Squire.

hal

tersebut

Perkembangan terakhir dari penelitian-penelitian mengenai pembangunan ekonomi, juga tidak lagi berfokus pada berlaku atau tidaknya hipotesa “Inverted U-curve” dari Kuznets, tapi lebih kepada pengaruh positif pertumbuhan ekonomi terhadap pengurangan kemiskinan dengan kemungkinan terjadi peningkatan ketidakmerataan pendapatan yang mengurangi efektivitas dari pengurangan kemiskinan, seperti yang ditunjukan oleh Wodon (1999) di Bangladesh dan Lin (2003) di China. Selanjutnya berkembang penelitian-penelitian dengan fokus pada efektivitas pengurangan kemiskinan oleh pertumbuhan ekonomi (Pro-poor Growth Index) yang dipelopori oleh Kakwani dan Pernia (2000) dan dilanjutkan oleh Ravallion dan Chen (2003), Son (2003), dan Ravallion (2004), dimana dikatakan bahwa sekalipun pertumbuhan ekonomi meningkatkan ketidakmerataan pendapatan akan tetapi hal itu mungkin tidak mengurangi efektivitas pengurangan kemiskinannya seperti yang juga diperlihatkan oleh Ravallion (2005).

Kemudian hasil estimasi yang sudah diketahui merupakan

parameter elastisitas ketidakmerataan

mengkaji meningkatnya ketidakmerataan pendapatan ini, terjadi karena disebabkan hasil dari pertumbuhan ekonomi tersebut tidak dinikmati secara merata oleh seluruh kelompok penduduk. Jika bagian terbesar dari pertumbuhan ekonomi dinikmati oleh penduduk tidak miskin, sedangkan sisanya dinikmati secara merata oleh penduduk miskin, maka akan terjadi peningkatan

Penelitian

ini

pada ketidakmerataan pendapatan (kemungkinan pertama). Kemungkinan kedua yang terjadi adalah jika bagian terbesar dari pertumbuhan ekonomi dinikmati oleh penduduk miskin, sedangkan sebagian kecil penduduk tidak miskin menikmati bagian yang lebih kecil, akibatnya

akan terjadi pula peningkatan pada ketidakmerataan pendapatan.

2.3. Konsep Kesejahteraan

Kesejahteraan sosial yang didefinisikan oleh PBB (1950) adalah sebagai suatu keadaan atau kondisi sejahtera penuh, baik jasmani, mental maupun sosial dan bukan hanya keburukan-keburukan sosial tertentu saja. Sesuai dengan Undang-undang No.6 tahun 1974 tentang ketentuan-ketentuan

pokok

kesejahteraan sosial

Tingkat kepuasan dan kesejahteraan adalah dua pengertian yang sangat berkaitan. Tingkat kepuasan merujuk kepada keadaan individu atau kelompok, sedangkan tingkat kesejahteraan mengacu kepada keadaan komunitas atau masyarakat luas. Kesejahteraan adalah kondisi agregat dari kepuasan individu-individu. Pengertian dasar itu mengantarkan kepada pemahaman kompleks yang terbagi dari dua area perdebatan. Pertama adalah apa lingkup dari subtansi kesejahteraan. Kedua adalah bagaimana intensitas subtansi tersebut bisa direpresentasikan secara agregat.

Meskipun tidak ada suatu batasan subtansi yang tegas tentang kesejahteraan, namun tingkat kesejahteraan mencakup pangan, pendidikan, kesehatan dan seringkali diperluas kepada perlindungan sosial lainnya seperti kesempatan kerja, perlindungan hari tua, keterbebasan dari kemiskinan, dan sebagainya. Dengan kata lain lingkup subtansi kesejahteraan seringkali dihubungkan dengan lingkup kebijakan sosial.

Sebagai atribut agregat, kesejahtraan merupakan representasi yang bersifat kompleks atas suatu lingkup subtansi kesjahteraan tersebut. Kesejahteraan bersifat

dimensi yang sulit direpresentasikan. Kesejahteraan tidak cukup dinyatakan sebagai suatu intensitas tunggal yang merepresentasikan keadaan masyarakat, tetapi juga membutuhkan suatu representasi distribusional dari keadaan itu.

dan

ada

lingkup subtansi kesejahteraan tidak mudah, namun berbagai penelitian awal mengenai kesejahteraan

Meskipun

penentuan

secara sederhana menggunakan output ekonomi perkapita sebagai proksi tingkat kesejahteraan. Pada perkembangan selanjutnya, output ekonomi perkapita digantikan dengan pendapatan perkapita. Namun untuk mengukur relevansi peningkatan pendapatan perkapita terhadap perkembangan tingkat kesejahteran digunakan indikator lain yang lebih komprehensif. Atas promosi yang dilakukan Perserikatan Bangsa-Bangsa, saat ini indeks konsumsi, kesehatan, dan pendidikan masyarakat digunakan secara luas untuk mengukur perkembangan tingkat kesejahteraan.

Pendekatan kebutuhan dasar bertujuan untuk memenuhi kebutuhan pokok penduduk tiap negara dalam kurun waktu satu generasi. Untuk tujuan itu ditetapkan dua perangkat sasaran yang tersendiri tapi saling melengkapi. Pertama kebutuhan konsumsi perorangan seperti pangan, pemukiman dan sandang, sedangkan yang kedua meliputi jasa, pelayanan umum dasar seperti keselamatan, sanitasi, persediaan air minum yang bersih, pendidikan dan fasilitas-fasilitas budaya.

Pemenuhan kebutuhan dasar yang lebih baik dapat memecahkan “lingkaran setan” kemiskinan di mana kekurangan gizi, keadaan buta huruf dan penyakit

pada umumnya didefinisikan sebagai

Pembangunan

ekonomi

proses yang akan menyebabkan pendapatan per kapita penduduk suatu negara meningkat dalam jangka panjang. Oleh karena itu indikator keberhasilan pembangunan ekonomi dapat dilihat berdasarkan besarnya kenaikan pendapatan per kapita penduduk. Hal lain yang perlu diperhatikan adalah bagaimana pendapatan tersebut didistribusikan kepada penduduk.

suatu

Pembangunan ekonomi Indonesia mempunyai tujuan untuk mencapai masyarakat adil dan makmur. Untuk mencapai maksud tersebut dikehendaki suatu pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat. Keinginan ini juga tertuang dalam GBHN yang menghendaki pemerataan distribusi

hanya antarlapisan masyarakat, namun juga antardaerah sebagaimana yang tercantum dalam Trilogi pembangunan yang menjadikan pemerataan pembangunan sebagai prioritas.

pendapatan

tidak

Distribusi pendapatan dapat diukur dengan berbagai cara. Dalam studi ini pengukuran menggunakan indeks Gini. Indeks ini merupakan ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan (pendapatan/kesejahteraan) agregat (secara keseluruhan) yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna).

Menurut Todaro (2000:188) untuk negara-negara sedang berkembang dapat dinyatakan bahwa distribusi pendapatan sangat tidak merata jika angka indeks Gini terletak antara 0,5 sampai dengan 0,7. Distribusi pendapatan dengan ketidakmerataan sedang, jika angka indeks Gini terletak antara 0,36 sampai dengan 0,49. Distribusi pendapatan relatif merata jika angka indeks Gini antara 0,2 sampai 0,35.

Untuk mengukur tingkat kesejahteraan masyarakat, sejak tahun 1990 United Nations for Development Program (UNDP) mengembangkan suatu indeks yang sekarang dikenal dengan istilah Indeks Pembangunan manusia (Human Development Indeks =HDI). Indikator-indikator yang digunakan untuk menyusun indeks ini adalah; (1) tingkat harapan hidup, (2) tingkat melek huruf masyarakat, (3) tingkat pendapatan riil perkapita berdasarkan daya beli masing-masing negara atau daerah. Indeks ini besarnya antara 0 sampai dengan 100. semakin mendekati 1 berarti indeks pembangunan manusianya tinggi, demikian sebaliknya. (Lincolin Arsyad, 2004;37-38).

Untuk masing-masing indikator, kinerja ekonomi suatu negara atau daerah dinyatakan dalam skala 1 hingga 100, di mana 1 merupakan kinerja terjelek, sedangkan 100 adalah kinerja terbaik. Untuk indikator harapan hidup, batas atas upper limit seratus ditetapkan

77 tahun yang dicapai oleh Swedia tahun 1973, sedangkan batas bawah lower limit satu ditetapkan 28 tahun dan ini merupakan tingkat harapan hidup terendah yang ditemukan di Guinea-Bissau pada tahun 1950. Untuk angka kematian bayi, batas atasnya adalah 9/1000 kelahiran (angka ini dicapai Swedia di tahun 1973),

Untuk mengetahui pengaruh pendapatan per kapita terhadap distribusi pendapatan dan tingkat kesejahteraan digunakan data panel dengan model fixed effect. Regresi untuk data panel adalah regresi dengan kombinasi antara data runtut waktu time series yang memiliki observasi temporal biasa pada suatu unit analisis pada suatu titik waktu tertentu dengan data silang tempat atau suatu unit analisis pada suatu titik waktu tertentu dengan observasi atas sejumlah vaiabel. Alasan penggunaan data panel ini adalah untuk meningkatkan jumlah observasi (mengatasi masalah keterbatasan jumlah data runtut waktu) dan dengan data panel akan diperoleh variasi antar unit yang berbeda menurut ruang dan variasi yang muncul menurut waktu (Kuncoro, 2001:124).

Lebih lanjut Prayitno dan Santosa (1996:110) menjelaskan bahwa untuk melihat gambaran tingkat distribusi pendapatan ada berbagai macam ukuran. Secara umum ukuran pokok distribusi pendapatan dibedakan menjadi dua, yaitu distribusi pendapatan perorangan (personal distributions) dan distribusi pendapatan fungsional atau distribusi pendapatan berdasarkan peranan masing-masing faktor yang bisa didistribusikan (distribution factor share).

Distribusi pendapatan perseorangan merupakan ukuran ketimpangan yang paling umum digunakan. Distribusi ini menyangkut segi manusia sebagai perorangan atau rumah tangga dan total pendapatan

Sedangkan distribusi pendapatan fungsional merupakan

yang mencoba menerangkan bagian dari pendapatan nasional atau daerah yang diterima oleh masing-masing faktor produksi. Distribusi pendapatan fungsional merupakan prosentase dari penghasilan tenaga kerja secara keseluruhan (bukan sebagai badan usaha yang terpisah secara individual) dan membandingkannya dengan prosentase total pendapatan yang dibagikan dalam bentuk sewa bunga dan keuntungan (yaitu perolehan dari tanah, uang dan modal fisik).

ukuran

ketimpangan

Prayitno dan Santosa (1996:117) mengemukakan bahwa pengamatan distribusi pendapatan dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Pengamatan secara langsung

memakai data pendapatan/pengeluaran rumah tangga yang biasanya diperoleh dari survei. Sedangkan pengamatan secara tidak langsung dilakukan dengan mengamati konstribusi (share) dari tenaga kerja (labour) dalam total value added PDB.

adalah

dengan

merupakan ukuran kemiskinan relatif. Artinya, jika kemiskinan yang terjadi adalah kemiskinan relatif, maka salah satu penyebab utamanya adalah distribusi pendapatan.

Distribusi

pendapatan

2.4. Teori Kesejahteraan Masyarakat

Sen, (2002) mengatakan bahwa welfare economic merupakan suatu proses rasional kearah melepaskan masyarakat dari hambatan untuk memperoleh kemajuan. Kesejahteraan sosial dapat diukur dari ukuran-ukuran seperti tingkat kehidupan, pemenuhan kebutuhan pokok, kualitas hidup dan pembangunan manusia.

Nichlson (1992), mengemukakan prinsipnya mengenai kesejahteraan sosial yaitu keadaan sosial maksimum tercapai bila tidak ada seorangpun yang dirugikan. Dengan demikian kedudukan individu adalah sebagai mahluk sosial yang harus ditonjolkan dalam ilmu ekonomi utamanya dalam pembangunan ekonomi yang bertujuan menuju kesejahteraan masyarakat.

Menurut BKKBN (badan Kordinasi Keluarga Berencana

Nasional), Kesejahteraan Keluarga digolongkan kedalam 3 golongan, yaitu: Keluarga Sejahtera Tahap I dengan kriteria sebagai berikut:

1. Anngota keluarga melaksanakan ibadah agama.

2. Pada umumnya anggota keluarga makan 2 kali sehari atau lebih.

3. Anggota keluarga memiliki pakaian berbeda di rumah/ pergi/bekerja/sekolah.

4. bagian lantai yang terluas bukan darai tanah. Keluarga Sejahtera Tahap II, meliputi :

1. Anggota keluarga melaksanakan ibadah agama secara teratur.

2. Paling kurang

seminggu lauk daging/ikan/telur.

sekali

3. Setahun terakhir anggota keluarga menerima satu stel pakaian baru.

4. Luas lantai paling kurang 8 m 2 untuk tiap penghuni.

5. Tiga bulan terakhir anggota keluarga dalam keadaan sehat da dapat melaksanakan tugas.

6. Ada anggota keluarga umur 15 tahun keatas berpenghasilan tetap.

7. Anggota keluarga umur 10 – 60 tahun bisa baca tulis latin.

8. Anak umur 7-15 tahun bersekolah.

9. PUS dengan anak hidup 2 atau lebih saat ini memakai alat kontrasepsi.

Keluarga Sejahtera Tahap III, meliputi:

1. Keluarga berupaya meningkatkan pengetahuan agama.

2. Sebagian penghasilan keluarga ditabung.

3. Keluarga makan bersama paling kurang sekali sehari untuk berkomunikasi.

4. Keluarga sering ikut dalam kegiatan masyarakat dilingkungan tempat tinggal.

5. Keluarga rekreasi bersama paling kurang sekali dalam enam bulan.

berita dari surat kabar/majalah/TV/radio.

6. Keluarga

memperoleh

Keluarga Sejahtera Tahap III Plus, meliputi:

1. Keluarga secara teratur memberikan sumbangan.

2. Ada anggota keluarga yang aktif sebagai pengurus yayasan/institusi masyarakat.

Kesejahteraan/kemakmuran dapat pula diartikan sebagai suatu keadaan dimana kebutuhan yang dirasakan oleh manusia relatif lebih banyak dapat dipenuhi karena kebutuhan seimbang dengan alat pemuas kebutuhan yang ada (Bintari. 1986: 10-11). Hal ini sejalan dengan penjelasan BAPPENAS dan DEPDAGRI (1993;3) bahwa kemiskinan terjadi karena situasi serba kekurangan yang terjadi bukan karena dikehendaki si miskin, melainkan tidak dapat dihindari dengan kekuatan yang ada padanya. Maka berdasarkan teori kesejahteraan, maka masyarakat yang tidak memenuhi standar kebutuhan hidup yang layak disebut kemiskinan.

Remi dan Tjiptoherijanto (2002:34) menjelaskan bahwa BPS menggunakan tiga jenis indikator kemiskinan, yakni kemiskinan absolut (termasuk timbulnya kemiskinan), indeks jurang kemiskinan, dan indeks kesulitan kemiskinan. Kemiskinan absolut mengukur jumlah dari penduduk miskin, sedangkan timbulnya kemiskinan ditunjukkan sebagai persentase kemiskinan pada total penduduk. Jurang kemiskinan mengukur rata-rata jurang pemisah antara pendapatan kaum miskin dengan garis kemiskinan. Indeks kesulitan kemiskinan adalah jurang kemiskinan yang sensitif didistribusikan.

Prayitno dan Santosa (1996:102) mengemukakan bahwa para pemikir tentang kemiskinan kebanyakan melihat kemiskinan sebagai kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural adalah kemiskinan yang diderita oleh suatu golongan masyarakat yang disebabkan oleh struktur sosial, sehingga masyarakat tersebut tidak dapat ikut menggunakan sumber-sumber pendapatan yang sebenarnya tersedia untuk mereka. Beberapa indikator

Peny (1990:43-44) menjelaskan bahwa informasi tentang pendapatan riil total memberikan petunjuk untuk memastikan apakah seseorang termasuk kaya, miskin atau sekedar miskin, melarat bertahan untuk hidup, atau menderita kelaparan dan terancam maut. Implikasi dari pengertian ini adalah mereka yang tidak memenuhi kebutuhannya menurut ukuran tertentu akan digolongkan bertaraf hidup rendah atau tidak sejahtera (miskin).

Walaupun kemiskinan dapat dikaji dari berbagai aspek, namun dalam prakteknya pengukuran atau penentuan garis kemiskinan ada dua macam yakni kemiskinan absolut dan kemiskinan relatif (Rusminingsih 1997:21).

Indikator kemiskinan ada bermacam-macam. Indikator itu antara lain konsumsi beras per kapita per tahun, tingkat pendapatan, tingkat kecukupan gizi, kebutuhan fisik minimum (KFM) dan tingkat kesejahteraan.

Biro Pusat Statistik (1994) menggunakan batas miskin dari besarnya rupiah yang dibelanjakan perkapita sebulan untuk memenuhi kebutuhan minimum makanan dan bukan makanan. Untuk kebutuhan minimum makanan

Secara lebih rinci indikator kemiskinan tersebut dibagi menjadi 3 kelompok seperti berikut

Perkotaan 1. Melarat

Perdesaan

270 kg 2. Sangat miskin

180 kg

360 kg 3. Miskin

Garis kemiskinan yang ditetapkan oleh BPS (1996) dengan memperhatikan pendapatan minimum yang diperlukan agar masyarakat atau kelompok dapat melepaskan diri dari kategori miskin, seperti dalam tabel berikut

Tabel 2.1 Batas Garis Kemiskinan, 1976-1996 (Rp/kapita/bulan)

Tahun

Perdesaan 1976

Perkotaan

Dari tabel di atas terlihat bahwa pendapatan penduduk di daerah perdesaan agar terlepas dari kriteria miskin lebih kecil daripada mereka yang tinggal di perkotaan. Hal ini dapat dipahami karena dinamika kehidupan diantara keduanya berbeda. Penduduk di daerah perkotaan mempunyai kebutuhan yang relatif lebih banyak dan beragam bila dibandingkan dengan mereka yang tinggal di daerah perdesaan .

2.5. Teori distribusi pendapatan

Setiap daerah baik daerah maju maupun daerah berkembang, umumnya sangat memperhatikan masalah distribusi pendapatan yang terjadi pada sebuah daerah. Beberapa ekonom berpendapat bahwa perbedaan pendapatan timbul karena adanya perbedaan dalam kepemilikan sumber daya dan faktor produksi, terutama kepemilikan barang modal (capital stock). Pihak yang memiliki barang modal lebih banyak akan memperoleh pendapatan yang lebih banyak pula dibandingkan dengan pihak yang memiliki sedikit barang modal. Perbedaan pendapatan karena perbedaan kepemilikan awal faktor produksi tersebut menurut teori Neoklasik akan dapat dihilangkan atau dikurangi melalui suatu proses penyesuaian otomatis. Dengan proses tersebut hasil pembangunan akan menetes (trickle down) dan menyebar sehingga menimbulkan keseimbangan baru. Bila setelah proses tersebut masih ada perbedaan pendapatan yang cukup timpang, maka dapat dilakukan pendekatan Keynesian yaitu melalui sistem perpajakan dan subsidi. Perpajakan dan subsisdi dapat dipergunakan

Pendapat lain mengatakan bahwa adanya ketidakmerataan pembagian pendapatan terjadi akibat dari ketidaksempurnaan pasar. Ketidaksempurnaan pasar disini diartikan sebagai adanya gangguan yang mengakibatkan persaingan dalam pasar tidak dapat bekerja secara sempurna. Gangguan-gangguan tersebut selain berupa perbedaan dalam kepemilikan sumber daya juga dalam bentuk perbedaan dalam kepemilikan informasi, adanya intervensi pemerintah melalui berbagai peraturannya, dan yang sering kali terjadi di daerah baru berkembang adalah adanya keterkaitan antara beberapa pelaku ekonomi dengan pemerintah.

Ada tiga pandangan yang berkembang mengenai ketidakmerataan distribusi pendapatan yaitu :

1. Kuznets (1955) berpendapat bahwa pada tahap- tahap awal pertumbuhan, distribusi pendapatan atau kesejahteraan cenderung memburuk, namun pada tahap-tahap berikutnya hal itu akan membaik atau lebih dikenal dengan kurva “ U terbalik”, dalam (Todaro,2000:207);

2. pendapat Lewis (1950) mengaitkannya dengan kondisi-kondisi dasar perubahan yang bersifat struktural. Tahapan pertumbuhan awal akan terpusat pada sektor industri modern. Pada tahap ini, lapangan pekerjaan terbatas namun tingkat upah

terhitung tinggi. Kesenjangan pendapatan antara sektor industri modern dengan sektor pertanian tradisional pada awalnya akan melebar dengan cepat sebelum pada

dan

produktivitas

3. peneliti lain menyatakan bahwa faktor penentu utama atas pola-pola distribusi pendapatan bukanlah laju pertumbuhan ekonomi, tetapi adalah struktur ekonomi, dalam (Todaro, 2000:211).

Secara umum ketidakmerataan distribusi pendapatan di negara sedang berkembang menurut Adelman dan Morris disebabkan oleh: dalam (Arsyad,1999 :226).

1. Pertambahan penduduk yang tinggi yang mengakibatkan menurunnya pendapatan per kapita;

2. inflasi di mana pendapatan uang bertambah tetapi tidak

proporsional dengan pertambahan produksi barang-barang;

diikuti

secara

3. ketidakmerataan pembangunan antar daerah;

4. investasi yang sangat banyak dalam proyek-proyek yang padat modal (capital intensive) sehingga persentase pendapatan modal dari harta tambahan lebih besar dibandingkan dengan persentase pendapatan yang berasal dari kerja, sehingga pengangguran bertambah;

5. rendahnya mobilitas sosial;

6. pelaksanaan kebijaksanaan industri substitusi impor yang mengakibatkan kenaikan harga-harga hasil industri untuk melindungi usaha-usaha golongan kapitalis;

7. memburuknya nilai tukar term of trade bagi NSB dalam perdagangan dengan negara-negara maju,

8. hancurnya industri-industri kerajinan rakyat seperti pertukangan, industri rumah tangga dan lain-lain.

2.6. Pengukuran distribusi pendapatan.

Remi dan Tjiptoherijanto (2002:22) mengemukakan bahwa distribusi pendapatan adalah pengukuran untuk mengukur kemiskinan relatif. Hal ini senada dengan penjelasan Prayitno dan Santosa (1996:103) bahwa kemiskinan relatif berkaitan dengan distribusi pendapatan yang mengukur ketidakmerataan atau kemiskinan relatif sering

indikator ketimpangan (ketidakmerataan). Lebih lanjut Prayitno dan Santosa (1996:110) menjelaskan bahwa untuk melihat gambaran tingkat distribusi pendapatan ada berbagai macam ukuran. Secara umum ukuran pokok distribusi pendapatan dibedakan menjadi dua, yaitu distribusi pendapatan perorangan (personal distributions) dan distribusi pendapatan fungsional atau distribusi pendapatan berdasarkan peranan masing-masing faktor yang bisa didistribusikan (distribution factor share).

diartikan

sebagai

Distribusi pendapatan perseorangan merupakan ukuran ketimpangan yang paling umum digunakan. Distribusi ini menyangkut segi manusia sebagai perorangan atau rumah tangga dan total pendapatan yang mereka terima. Cara yang dilakukan oleh keluarga atau perorangan untuk mendapatkan pendapatan tersebut, berapa besar penerimaan masing-masing

Sedangkan distribusi pendapatan fungsional merupakan

yang mencoba menerangkan bagian dari pendapatan nasional atau daerah yang diterima oleh masing-masing faktor produksi. Distribusi pendapatan fungsional merupakan persentase dari penghasilan tenaga kerja secara keseluruhan (bukan sebagai badan usaha yang terpisah secara individual) dan membandingkannya dengan persentase total pendapatan yang dibagikan dalam bentuk sewa bunga dan keuntungan (yaitu perolehan dari tanah, uang dan modal fisik).

ukuran

ketimpangan

Prayitno dan Santosa (1996:117) mengemukakan bahwa pengamatan distribusi pendapatan dapat dilakukan secara langsung atau tidak langsung. Pengamatan secara langsung adalah dengan memakai data pendapatan/ pengeluaran rumah tangga yang biasanya diperoleh dari survei. Sedangkan pengamatan secara tidak langsung dilakukan dengan mengamati konstribusi (share) dari tenaga kerja (labour) dalam total value added PDB. Pengukuran distribusi pendapatan secara langsung dapat dilakukan dengan berbagai cara, seperti: ukuran statistik, indeks Kuznets, indeks Oshima, dan kriteria relative inguality.

Di Indonesia pengukuran distribusi pendapatan secara relatif menggunakan harga dari bahan-bahan kebutuhan pokok dimana akan diperoleh anggaran minimum absolute. Angka ini dapat digunakan untuk menentukan upah minimum regional. Sedangkan untuk menentukan pemerataan distribusi pendapatan, Bank Dunia membagi penduduk dalam tiga kelompok, yaitu:

1. 40% berpendapatan rendah

2. 40% berpendapatan rendah

3. 20% berpendapatan tinggi. Apabila kelompok penduduk yang berpendapatan

rendah menguasai: < 12 % PNB berarti terdapat kesenjangan tinggi, < 12% - 17% PNB berarti terdapat kesenjangan sedang, >17% PNB berarti terdapar kesenjangan rendah. Pendapatan dianggap didistribusikan sempurna apabila setiap individu mendapat bagian yang sama dari output perekonomian. Distribusi pendapatan dianggap kurang adil jika sebagian besar output nasional dikuasai sebagian kecil penduduk.

Remi dan Tjiptoherijanto (2002:41) menjelaskan bahwa cara lain untuk menguraikan distribusi pendapatan adalah dengan kurva Lorenz. Kurva ini merupakan sebuah diagram yang memperlihatkan hubungan antara kelompok- kelompok penduduk dan porsi pendapatan yang mereka terima. Pengukuran distribusi pendapatan yang diperoleh dengan

Lorenz kemudian dijumlahkan dengan memberikan densitas relatif dari ketidakmerataan distribusi pendapatan atau yang dikenal sebagai rasio Gini.

menggunakan

kurva

Menurut Todaro (1983: 195-196) tidak ada negara yang memperlihatkan kemerataan yang sempurna ataupun ketidakmerataan yang sempurna dalam distribusi pendapatannya. Oleh karena itu kurva Lorenz untuk negara yang berbeda akan berada disebelah kanan garis diagonal atau garis keseimbangan. Berdasarkan pendapat ini, Apoda (2001:49) menegaskan bahwa dalam menganalisis distribusi pendapatan penduduk antara wilayah atau antar sektor, kurva Lorenz ini dapat menunjukkan mana yang lebih timpang. Dan untuk memahami tingkat ketimpangannya seringkali dipadu dengan indeks Gini atau Gini ratio.

Ukuran distribusi yang sering digunakan oleh para ahli ekonomi pada umumnya adalah distribusi ukuran yang lebih dikenal dengan distribusi pendapatan antar kelompok size distribution of income yang menjelaskan besarnya pembagian antar perorangan atau rumah tangga. Untuk menentukan distribusi pendapatan ini digunakan dua macam cara.

1. Kurva Lorenz

Metode yang lazim digunakan adalah deciles dan quintiles yaitu berdasarkan persentase pendapatan secara komulatif dan persentase penerima pendapatan secara komulatif pula. Tingkat distribusi pendapatan cara deciles yaitu dengan membagi pendapatan menjadi 5 kelompok penerima pendapatan secara berurutan dari kelompok 20% penduduk termiskin sampai 20% penduduk terkaya berdasarkan proporsi pendapatannya, sedangkan cara quintiles yaitu dengan membagi pendapatan menjadi 10 kelompok penerima pendapatan secara berurutan pula dan 10% penduduk termiskin sampai 10% penduduk terkaya.

Hasil pengelompokan tersebut merupakan dasar untuk menggambarkan sebuah kurva Lorenz. Kurva Lorenz yaitu kurva yang memperlihatkan hubungan kuantitatif aktual antara persentase jumlah penduduk penerima pendapatan tertentu dari total penduduk dengan persentase pendapatan yang benar-benar mereka peroleh dari total pendapatan selama satu tahun (Todaro, 2000:183).

Remi Sutyastie dan Tjiptoherijanto (2002:41) menjelaskan cara lain untuk menguraikan distribusi pendapatan adalah dengan kurva Lorenz. Kurva ini merupakan sebuah diagram yang memperlihatkan hubungan antara kelompok-kelompok penduduk dan porsi pendapatan yang mereka terima. Pengukuran distribusi pendapatan yang diperoleh dengan menggunakan kurva Lorenz kemudian dijumlahkan dengan memberikan identitas relatif dari ketidakmerataan distribusi pendapatan atau yang dikenal dengan rasio Gini.

dikemukakan Kuncoro (1987:147) bahwa indikator yang sering digunakan untuk mengetahui kesenjangan distribusi pendapatan adalah rasio Gini. Nilai rasio Gini (Gini ratio) berkisar antara nol dan satu. Bila rasio Gini sama dengan nol berarti distribusi pendapatan sangat merata karena setiap golongan penduduk menerima bagian pendapatan yang sama. Secara grafis, hal ini ditunjukkan oleh berimpitnya kurva Lorenz dengan garis kemerataan sempurna. Namun, bila rasio Gini sama dengan satu menunjukkan bahwa terjadi ketimpangan distribusi pendapatan yang sempurna karena seluruh pendapatan hanya dinikmati oleh satu orang saja. Singkatnya semakin tinggi nilai rasio Gini, maka distribusi

Penjelasan

senada

Wie (1983: 69), mengemukakan bahwa Gini Lorenz Concentration ratio (indeks Gini), adalah variabel yang dinamis dalam arti besarnya berubah-ubah baik antara waktu, antara daerah, maupun antara sektor. Semakin besar indeks Gini (mendekati 1) berarti distribusi pendapatan semakin timpang, dan sebaliknya semakin mendekati nol berarti semakin merata.

Dalam gambar 2.1 dapat dilihat bahwa garis lengkung AC menggambarkan kurva Lorenz dan garis lurus AC menggambarkan garis kemerataan. Semakin melengkung kurva Lorenz atau semakin jauh dari garis kemerataan berarti semakin tinggi tingkat ketimpangan pembagian pendapatan dan sebaliknya semakin lurus kurva Lorenz atau semakin mendekati garis kemerataan berarti semakin merata pembagian pendapatan.

Gambar 2.1 Kurva Lorenz

2. Indeks Gini

Berdasarkan kurva Lorenz besarnya indeks Gini dapat diketahui dengan menghitung bidang yang terletak antara garis kemerataan dengan kurva Lorenz dibagi dengan separuh bidang di mana kurva Lorenz berada. Pada gambar 2.1 di atas ketidakmerataan pendapatan ditunjukkan oleh daerah P yang terletak antara garis lurus AC (garis kemerataan mutlak) dan garis lengkung AC (garis distribusi pendapatan yang sebenarnya) dibagi dengan segitiga ABC. Dari besarnya nilai indeks Gini tersebut tingkat ketimpangan distribusi pendapatan dalam masyarakat dapat diketahui.

Todaro (2000:188) menyatakan bahwa indeks Gini atau koefisien Gini adalah ukuran ketidakmerataan atau ketimpangan (pendapatan/kesejahteraan) agregat secara keseluruhan yang angkanya berkisar antara nol (pemerataan sempurna) hingga satu (ketimpangan yang sempurna). Dalam kenyataan, nilai indeks Gini sebesar nol atau satu tidak mungkin terjadi karena tidak mungkin distribusi pendapatan suatu negara mengalami merata sempurna atau tidak merata sempurna. Indeks ini mempunyai

seperti teknik penghitungannya yang relatif mudah dan tidak terikat pada distribusi/penyebaran pendapatan yang sedang diamati dan digunakan sebagai alat pembanding dalam mengamati kecenderungan sifat distribusi pendapatan masyarakat.

beberapa

kelebihan

Kurva Lorenz ini memperlihatkan hubungan kuantitatif yang aktual antara persentase penerima pendapatan dengan presentase jumlah pendapatan yang diterimanya. Kriterianya adalah semakin jauh dari keseimbangan berarti semakin timpang, sebaliknya

3. Tingkat Distribusi Pendapatan Menurut Kriteria Bank Dunia

Distribusi pendapatan menurut kriteria yang dikemukakan oleh Bank Dunia (Worl Bank). Pengukuran ketimpangan distribusi pendapatan suatu daerah dengan melihat besarnya kontribusi dari 40% penduduk termiskin. Pengukuran tersebut dapat dilihat dari sisi pendapatan maupun pengeluaran. Akan tetapi seringkali digunakan adalah pengukuran dari sisi pengeluaran karena datanya lebih mudah diperoleh. Walaupun demikian dari sisi pengeluaran tersebut memiliki banyak kelemahan yaitu data yang disajikan akan underestimate jika dibandingkan bila data yang dipergunakan adalah data yang berdasarkan pendapatan. Beberapa kelemahan diataranya adalah yang menyangkut tabungan (saving). Adanya bagian pendapatan yang ditabung menyebabkan jumlah pengeluaran lebih kecil dari pendapatan. Hal ini dalam kenyataan adanya trasfer pendapatan. Dalam masyarakat kita adalah lumrah bila seseorang memberikan sebagian pendapatannya sebagai sokongan kepada saudara yang tidak mampu. Dengan demikian kembali tingkat pengeluaran tidak mencerminkan pendapatan yang diperoreh. Masalah lain adalah sering tidak tercatatnya pengeluaran-pengeluaran terutama bagi masyarakat berpendapatan tinggi. Dengan

demikian pendekatan tersebut akan memberikan suatu gambaran yang bias. Kriteria yang dipergunakan oleh Bank Dunia tersebut adalah:

1. Bila kelompok 40% penduduk termiskin pengeluarannya lebih kecil dari pada 12% dari keseluruhan pengeluaran, maka dikatakan bahwa daerah yang bersangkutan berada dalam tingkat ketimpangan tinggi.

2. Bila kelompok 40% penduduk termiskin pengeluarannya

12%-17% dari keseluruhan pengeluaran, maka dikatakan bahwa terjadi tingkat ketimpangan sedang (moderat).

antara

3. Bila kelompok 40% penduduk termiskin pengeluarannya lebih dari pada 17% dari keseluruhan