Model pengelolaan pencemaran perairan pesisir bagi keberlanjutan perikanan dan wisata pantai Kota Makassar

(1)

MODEL PENGELOLAAN PENCEMARAN PERAIRAN

PESISIR BAGI KEBERLANJUTAN PERIKANAN DAN

WISATA PANTAI KOTA MAKASSAR

HAMZAH

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(2)

(3)

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI

Dengan ini saya menyatakan bahwa disertasi Model Pengelolaan Pencemaran Perairan Pesisir Bagi Keberlanjutan Perikanan dan Wisata Pantai Kota Makassar adalah hasil karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir disertasi ini.

Bogor, Januari 2012

Hamzah


(4)

(5)

ABSTRACT

HAMZAH. Management Pollution Model for Sustainability Tourism and Fisheries in Coastal Areas of Makassar City. Under direction of ACHMAD FAHRUDIN, HEFNI EFFENDI, ISMUDI MUCHSIN

Coastal areas of Makassar have a rapid development growth deployed with various activities including tourism and fisheries. Such resource utilizations have impacted coastal environment particularly its water quality. This research is intended to assess bio-physical condition, water quality, pollution loading, pollution level, land suitability, land carrying capacity for tourism and fisheries activities, and to develop sustainable management model of the activities for the coastal area. Geographical information system was applied to determine land suitability, whereas computation of pollution total loading, assimilative capacity, and pollution index were applied to determine water quality. Sustainable management model was developed using Stella version 9.0.2 software. Research results showed that the coastal area of Makassar was generally suitable for tourism and fisheries activities, with exclusion in several locations. Furthermore, pollution loading from Jenneberang and Tallo rivers along with several major water channels was high. Pollution index of Jenneberang river, harbor, and Tallo river stations were low, and pollution index for Tanjung Bunga, Losari beach, Potere, downstream of Tallo river, Panampu channel, Benteng, H Bau, and Jongaya stations were moderate. Amongst measured water quality parameters, only BOD5 has value below allowed concentration standard, while values of other parameters, specifically COD, NO3 and PO4,

Keywords:

have surpassed allowed standard, and in some stations have even surpassed assimilative capacity. Modeling result using base, pessimistic, and optimistic models showed that coastal management of Makassar City can sustain if water quality of the area was preserved through pollution loading controls.


(6)

(7)

RINGKASAN

HAMZAH. Model Pengelolaan Pencemaran Perairan Pesisir Bagi Keberlanjutan Perikanan dan Wisata Pantai Kota Makassar. Dibimbing oleh ACHMAD FAHRUDIN, HEFNI EFFENDI, ISMUDI MUCHSIN

Kota Makassar adalah salah satu kota yang berada di pesisir pantai dengan perkembangan pembangunan yang cepat dengan daya tarik dan potensi yang besar. Perkembangan dan pertumbuhan Kota Makassar tidak terlepas dari pertumbuhan dan perkembangan bagian pesisir pantai Kota yang sangat dinamis. Hampir semua aspek pemanfaatan untuk pembangunan di Kota makassar dapat kita temui di kawasan pesisir pantai kota, mulai pemanfaatan sumberdaya perikanan, pemukiman, pariwisata, perdagangan, pelabuhan dan pelayaran terjadi kawasan ini. Bentuk-bentuk kegiatan pemanfaatan yang telah dilakukan di lingkungan pantai Kota Makassar antara lain pembukaan kawasan wisata Tanjung Bunga, pembuatan anjungan pantai, pembangunan kawasan pemukiman, pusat perdagangan dan bisnis serta perhotelan. Kegiatan pemanfaatan ini bisa saja berdampak pada perubahan kualitas perairan pantai kota yang diakibatkan dari limbah yang dihasilkan

Pencemaran yang terjadi di sepanjang pantai Kota Makassar diduga berasal dari aktivitas pemanfaatan yang ada di sepanjang kawasan tersebut. Selain itu pencemaran yang terjadi berasal dari limbah yang terbawa aliran Sungai Tallo dan Jenneberang serta aliran kanal dan drainase kota yang kesemuanya bermuara di kawasan pantai. Jumlah dan intensitas limbah yang terbawa oleh aliran sungai dan kanal berasal dari aktivitas industri, pemukiman dan wisata di daerah daratan. Kualitas perairan juga bergantung pada berbagai faktor diantaranya daya asimilasi lingkungan yang bergantung pada berbagai faktor fisik, biologi dan kimia dari perairan tersebut. Kondisi lingkungan perairan yang baik, akan memberikan dukungan pada aktifitas wisata pantai bagi masyarakat pengunjung yang akan merasa lebih nyaman. Aktifitas perikanan dapat juga dilakukan dengan baik apabila didukung oleh kondisi lingkungan perairan yang baik. Kualitas lingkungan yang kurang baik akibat dari pencemaran yang terjadi pada pesisir pantai Kota Makassar dapat memberikan pengaruh pada aktivitas wisata bahari dan perikanan.

Penelitian ini secara khusus bertujuan untuk mengetahui tingkat pencemaran dan mengukur beban limbah serta kapasitas asimilasi di perairan pantai Kota Makassar akibat limbah yang berasal aliran sungai serta kanal yang berasal dari daratan. Selain itu untuk mengetahui kondisi daya dukung lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan wisata dan perikanan di Pantai Kota Makassar akibat pencemaran yang terjadi sertaMembuat model pengelolaan pencemaran yang terjadi di perairan pesisir untuk keberlanjutan perikanan dan wisata di Pantai Kota Makassar

Penelitian ini dilakukan di kawasan pesisir kota Makassar Sulawesi Selatan. Jenis dan sumber data yang digunakan yakni data primer bersumber dari pengukuran langsung (insitu) dan laboratorium, observasi dan wawancara langsung dengan contoh atau responden (wisatawan, industri, pengusaha wisata, masyarakat lokal dan staf pemerintah) di lapangan. Data sekunder diperoleh dari


(8)

spasial dengan pendekatan Sistim Informasi Geografis (SIG), sedangkan untuk mengetahui kualitas perairan pantai dilakukan perhitungan jumlah beban limbah, kapasitas asimilasi perairan dan mengukur indeks pencemaran dari limbah yang masuk melalui sungai dan kanal. Untuk mengetahui keberlanjutan dari pemanfaatan wisata dan perikanan dianalisi dengan membuat model dinamik dengan bantuan software stella versi 9.0.2 yang dibuat dalam 3 skenario yakni basis model, skenario pesismis dan optimis, yang selanjutnya dibuat rekomendasi kebijakan untuk pengelolaan.

Hasil perhitungan daya dukung lahan untuk KJA 8,796 ha, jumlah unit KJA yang dapat di dukung adalah 3.258 unit. Dengan menggunakan metode budidaya sistem long line dengan ukuran 40 x 60 m dan kapasitas lahan yang memungkinkan 50% dari kapasitas lahan, diperoleh 231 unit pada kawasan seluas 554,25 ha. Daya dukung wisata pantai: P kayangan 15 orang;P Lae-lae 53 orang; Tanjung Bayam, Tanjung Bunga dan Akarena 162 orang; pantai Losari 137 orang; Pantai Barombong 47 orang, sedang daya dukung untuk kegiatan wisata selam pada perairan pantai kota Makassar adalah 344 org/hari.

Hasil analisis kualitas perairan menunjukkan bahwa aliran beban limbah yang berasal dari sungai Jenneberang dan Sungai Tallo serta beberapa kanal utama yang bermuara di pantai kota Makassar cukup tinggi. Beban limbah bulanan rata-rata (ton/bulan) adalah BOD5 25596.42, COD 146178.40, NO3 227.82, PO4 1565.28. Indeks pencemaran yang menunjukkan tingkat pencemaran menunjukkan bahwa Sungai Jenneberang, Muara Sungai Jenneberang, Pelabuhan, Sungai Tallo tercemar ringan, sedangkan stasiun Tanjung Bunga, Pantai losari, Potere, Muara Sungai Tallo, Kanal Panampu, Benteng, H Bau, Jongaya termasuk tercemar sedang.Parameter limbah yang belum melampaui kapsitas asimilasi karena mempunyai nilai konsentrasi yang belum melewati batas baku mutu air yang diperkenankan adalah BOD5. Namun untuk parameter COD, NO3 dan PO4

Hasil analisis model pengelolaan dengan penerapan 3 skenario yakni model basis, skenario pesimis dan skenario optimis menunjukkan bahwa pengelolaan pesisir pantai Kota Makassar dapat berkelanjutan dengan tetap memperhatikan kualitas lingkungan perairan yang ada dengan penerapan pengendalian beban limbah. Beberapa kebijakan yang penting dilakukan agar pengelolaan di pantai kota Makassar dapat berkelanjutan diantaranya adalah pengendalian jumlah pertumbuhan penduduk, tingkat kesadaran masyarakat akan lingkungan, penyediaan instalasi pengolahan air limbah untuk setiap sumber pencemar, dan peningkatan alokasi anggaran untuk konservasi lingkungan terutama terumbu karang

telah melewati batas baku mutu dan beberapa stasiun telah melampaui kapasitas asimilasinya.


(9)

© Hak Cipta milik IPB, Tahun 2012 Hak Cipta dilindungi Undang-Undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumber.

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(10)

(11)

MODEL PENGELOLAAN PENCEMARAN PERAIRAN

PESISIR BAGI KEBERLANJUTAN PERIKANAN DAN

WISATA PANTAI KOTA MAKASSAR

HAMZAH

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada

Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR

BOGOR

2012


(12)

Penguji pada Ujian Tertutup : Prof. Dr. Ir. Dietriech G. Bengen, DEA Dr. Ir. Fredinan Yulianda, M.Sc

Penguji pada Ujian Terbuka : Dr. Ir. Isdradjad Setyobudiyandi, M.Sc Prof. Dr. Ir. H.M. Natsir Nessa, M.S


(13)

Judu l Disertasi : Model Pengelolaan Pencemaran Perairan Pesisir Bagi Keberlanjutan Perikanan dan Wisata Pantai Kota Makassar

Nama : Hamzah NRP : C261060051

Program Studi : Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan (SPL)

Disetujui oleh : Komisi Pembimbing

Ketua

Dr. Ir. Achmad Fahrudin, M.Si

Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin

Anggota Anggota

Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phill

Diketahui,

Ketua Program Studi Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr. Ir. Mennofatria Boer, DEA Dr. Ir. Dahrul Syah, MSc.Agr


(14)

(15)

PRAKATA

Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan karunia dan rakhmat-Nya sehingga disertasi ini dapat kami selesaikan. Tema yang penulis kaji adalah pengelolaan pencemaran pantai dengan judul Model Pengelolaan Pencemaran Perairan Pesisir Bagi Keberlanjutan Perikanan dan Wisata Kota Makassar

Tekanan terhadap ekosistem pantai kota dan kualitas perairan pesisir terjadi semakin tinggi akibat Pemanfaatan sumberdaya pesisir pantai yang dilakukan untuk kepentingan pembangunan, terutama beban pencemaran . Hal ini sering terjadi untuk wilayah pesisir yang berada dikawasan perkotaan seperti di Pantai Kota Makassar. Model pengelolaan pesisir dirasa sangat perlu untuk dijadikan sebagai acuan pembangunan dalam pengelolaan pesisir sekaligus memperkirakan keberlanjutan pemanfaatan sumberdaya dan jasa-jasa lingkungan pesisir

Pada kesempatan ini kami ucapkan terima kasih dan penghargaan kepada Komisi Pembimbing yang diketuai oleh Bapak Dr.Ir. Achmad Fahrudin, M.Si serta Bapak Prof. Dr. Ir. Ismudi Muchsin dan Bapak Dr. Ir. Hefni Effendi, M.Phill masing-masing sebagai anggota komisi pembimbing, atas segala bimbingan, arahan, dan dukungannya sehingga disertasi ini dapat kami selesaikan. Tak lupa ucapan terima kasih buat seluruh staf pengajar pada Program studi Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Lautan. Ucapan terima kasih pula penulis haturkan kepada Dirjen DIKTI yang telah memberikan beasiswa BPPS, dan pimpinan Universitas Hasanuddin yang telah memberikan izin studi. ucapan terima terima kasih juga penulis sampaikan kepada Bapak Prof. Koji Tanaka dan Prof okamoto Masaaki atas bimbingan dan izin yang diberikan kepada penulis selama menjalani Program Sandwich di Universitas Kyoto. Tak lupa ucapan terima kasih buat rekan-rekan di SPL yang terus memberikan semangat dan berbagai bantuan yang tidak bisa kami sebutkan satu persatu

Ucapan terima kasih tak terhingga dan terhusus kepada istri tercinta Fatmawaty Amry dan anak-anakku tersayang Nurul Inayah Febriani, dan Anisah Jasmine Puspita yang telah memberikan cinta dan kasih sayang,pengertian, kesabaran, doa dan pengorbanannya, mulai dari awal studi sampai disertasi ini terselesaikan.

Kami menyadari bahwa penelitian ini masih jauh dari sempurna, karena itu saran dan perbaikannya akan sangat kami harapkan. Semoga disertasi ini bermanfaat dan memperkaya khasanah ilmu pengetahuan

Bogor, Januari 2012

Hamzah


(16)

(17)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Ambon pada tanggal 26 Januari 1971 sebagai anak kelima dari enam bersaudara dari pasangan H. Tahang Dg Passanre dan Hj Intang. Selepas lulus dari Sekolah Menengah Atas Negeri 1 Watampone tahun 1991, penulis melanjutkan studi di Universitas Hasanuddin Makassar pada Jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Program Studi Sosial Ekonomi Perikanan, lulus pada tahun 1997. Pada tahun 2001 melanjutkan pendidikan S2 pada program pascasarjana Universitas Hasanuddin dan memperoleh gelar Magister Sains (M.Si) untuk Program Studi Ekonomi Sumberdaya Alam pada tahun 2004. Kesempatan untuk melanjutkan studi program Doktor pada program studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Pesisir dan Laut Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor diperoleh pada tahun 2006 dengan beasiswa BPPS dari Departemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia.

Saat ini penulis berkerja sebagai staf pengajar pada jurusan Perikanan Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin Makassar sejak tahun 2000. Bidang ilmu yang ditekuni adalah ekonomi sumberdaya alam dan lingkungan. Selain itu penulis juga melakukan beberapa penelitian mengenai ekonomi sumberdaya diantaranya di perairan pulau Barrang Lompo serta penelitian-penelitian mengenai terumbu karang dan kaitannya dengan sosial ekonomi pada beberapa lokasi diantara kepulauan Spermonde dan Pulau-pulau Sembilan. Adapun bidang ilmu yang digeluti sejak penelitian disertasi adalah Pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan terutama mengenai pencemaran perairan pesisir. Artikel yang rencananya diterbitkan adalah Beban pencemaran dan Kapasitas Asimilasi dalam Pengelolaan Pesisir Kota Makassar Sulawesi Selatan pada jurnal Mutiara universitas Muslim Indonesia Makassar, serta artikel Kesesuaian Lahan dan Daya dukung Lahan untuk Kegiatan Wisata dan Perikanan di Pantai Kota Makassar Sulawesi Selatan pada jurnal Agrisains Universitas Tadulako. Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari disertasi penulis


(18)

xix

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR TABEL ... xxi

DAFTAR GAMBAR ... xxiii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxv

1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ... 1

1.2 Perumusan Masalah ... 5

1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian ... 6

1.4. Kerangka Pemikiran ... 7

2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Ekosistem Pantai dan Pengelolaannya... 9

2.2 Pencemaran dan Dampak Terhadap Kualitas Perairan …….... 11

2.3 Konsep Kesesuain Lingkungan ... 13

2.4 Konsep Daya Dukung Lingkungan Perairan... 15

2.5 Sistem dan Pemodelan .……… 21

2.6 Pengindraan Jauh dan Sistem Informasi Geografis (SIG) …... 23

2.7 Wisata Pantai ………... 27

2.8 Pemanfaatan Perikanan …...………. 31

2.8 Tinjauan Penelitian Terdahulu ...…….……… 33

3 METODOLOGI PENELITIAN 3.1. Daerah Penelitian ... 39

3.2. Metode Pengumpulan Data ..……… 40

3.2.1 Data Primer .……… 40

3.2.2 Data Sekunder .……… 42

3.3. Analisis Data ..……….. 43

3.3.1 Analisis Pencemaran .………….………. 43

3.3.2 Analisis Daya Dukung ...……….. 46

3.3.3 Analisis Sistem dan Pemodelan .………. 51

4. KARAKTERISTIK UMUM WILAYAH STUDI 4.1 Letak Geografis dan Batas Wilayah ……… 55

4.2 Kondisi Biofisik .……….. 55

4.3 Ekosistem Pantai ……….. 62

4.4 Demografi ……… 63

4.5 Pariwisata .……… 66

4.6 Potensi dan Permasalahan Kawasan Pantai Losari Makassar . 68

4.7 Isu-isu Pengelolaan Sepanjang Pantai Kota Makassar ……… 71

4.8 Arahan Pengendalian Saat ini .………. 72

5. PENCEMARAN PANTAI KOTA MAKASSAR 5.1 Beban Pencemaran Perairan Pantai Kota Makassar ………… 75


(19)

xx

xix

5.3 Kapasitas Asimilasi Perairan Pantai Kota Makassar ………... 80

5.4 Hubungan Pencemaran Perairan dan Perikanan ……….. 83

5.5 Pencemaran dan Daya Dukung lingkungan Pantai ..………… 95

6. MODEL PENGELOLAAN PENCEMARAN 6.1 Penyusunan Skenario Model .……….. 103

6.2 Pembangunan Model .……….. 104

6.3 Simulasi Model Pengelolaan .……….. 107

6.4 Basis Model Pengelolaan Pencemaran ..……….. 112

6.5 Skenario Pesimis ..………... 123

6.6 Skenario Optimis ..………... 133

6.7 Implikasi Kebijakan Pengelolaan Pencemaran Pesisir ……… 144

7. KESIMPULAN DAN SARAN 7.1 Kesimpulan ……….. 147

7.2 Saran ……… 148

DAFTAR PUSTAKA ……… 149


(20)

xix DAFTAR TABEL

No Halaman

1. Baku mutu untuk kegiatan budidaya dan wisata bahari……….……. 14

2. Beberapa aplikasi SIG di wilayah pesisir khususnya di bidang

perikanan ………. 26

3. Nilai beberapa parameter kualitas air di muara sungai Tallo

dan Jenneberang………... 35

4. Jenis dan kelimpahan makrozoobenthos yang ditemukan di muara

Sungai Tallo dan Sungai Jenneberang………. 36

5 Parameter kualitas air yang diukur dan metode analisisnya ………... 41

6. Komponen data dan parameter yang diukur………. 42

7. Potensi ekologis pengunjung (K) dan luas area kegiatan (Lt) ... 50

8. Prediksi waktu yang dibutuhkan untuk setiap kegiatan wisata …….. 51

9. Tujuan dan metode analisis model pengelolaan wisata pantai

dan perikanan……… 53

10. Jumlah penduduk menurut kecamatan, jenis kelamin dan sex rasio

di kota Makassar ………. 64

11. Jumlah penduduk dirinci menurut kecamatan di kota Makassar …….

65 12. Beban pencemaran Bulanan dari Sungai. Jenneberang dan Sungai

Tallo di pantai Kota Makassar ……… 77

13. Tingkat pencemaran di lingkungan pantai kota Makassar ………….. 79

14. Pengaruh pH terhadap komunitas biologi perairan ………. 86

15. Lokasi dan daya dukung untuk wisata pantai ………. 100

16. Nilai dugaan parameter pada sub-sub model pengelolaan

pengelolaan pencemamaran pantai kota Makassar .………. 104

17. Kebijkan dan program pengelolaan pesisir Kota Makassar


(21)

xx


(22)

xix DAFTAR GAMBAR

No Halaman 1. Kerangka pemikiran dinamika dan dampak pencemaran terhadap

aktivitas perikanan dan wisata di pantai Kota Makassar .………. 8

2. Peta lokasi penelitian model pengelolaan pencemaran untuk

keberlanjutan wisata dan perikanan ... 39

3. Grafik hubungan antara beban limbah dan kualitas air (Dahuri,1999) 44

4. Diagram lingkar Sebab Akibat (causal loop) model pengelolaan

wisata dan perikanan berkelanjutan di pantai Kota Makassar ... 52 5. Model pengelolaan pencemaran untuk keberlanjutan wisata dan

perikanan di pantai Kota Makassar..……… 54

6. Pertumbuhan jumlah penduduk Kota Makassar 2007 – 2009 ……… 65

7. Komposisi beban limbah BOD5

77 dan COD berdasarkan aliran sungai

dan kanal ………

8. Komposisi beban limbah NO3 dan PO4 berdasarkan aliran sungai 78

dan kanal ……….

9 . Kapasitas asimilasi BOD5 dan COD di pantai Kota Makassar ……… 81

10. Kapasitas asimilasi NO3 dan PO4 di pantai Kota Makassar………….. 82

11. Sebaran suhu pada berbagai stasiun pengamatan ………. 84

12. Sebaran pH pada berbagai stasiun pengamatan………. 85

13. Sebaran kadar salinitas pada berbagai stasiun pengamatan…………... 87

14. Sebaran kadar DO pada berbagai stasiun pengamatan ………. 89

15.Sebaran kadar BOD5 pada berbagai stasiun pengamatan ………. 91

16. Sebaran kadar COD pada berbagai stasiun pengamatan ……….. 92

17. Sebaran kadar NO3pada berbagai stasiun pengamatan ………... 94

18. Sebaran kadar PO4 pada berbagai stasiun pengamatan ……… 95

19 Model pengelolaan pencemaran perairan Makassar ……… 106

20. Sub model beban limbah BOD5 ………... ……… 108

21. Sub model beban limbah COD ……… 109

22. Sub model beban limbah NO3 ... 110

23. Sub model beban limbah PO4 ……….. 111

24. Sub Model Ekonomi dan IPAL ………... 112

25. Hasil Simulasi Beban limbah BOD5 Skenario Basis ………... 113

26. Hasil Simulasi Beban limbah COD Skenario Basis ……… 114

27. Hasil simulasi beban limbah NO3 skenario basis ……… 115

28. Hasil simulasi beban limbah PO4 skenario basis ………. 115

29. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban


(23)

xx

xix

30. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban

limbah COD skenario basis ………. 117

31. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban

limbah NO3 skenario basis ...……… 118

32. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban

limbah PO4 skenario basis ...………... 119

33. Hasil simulasi nilai kompensasi terhadap manfaat perikanan dan

wisata skenario basis ……….... 120

34. Hasil simulasi nilai efektifitas IPAL terhadap nilai keuntungan

dan manfaat perikanan dan wisata skenario basis ………. 122

35. Hasil simulasi beban limbah BOD5 Skenario pesimis 124

36. Hasil simulasi beban limbah COD Skenario pesimis …...………... 124

37. Hasil simulasi beban limbah NO3 Skenario pesimis 125

38. Hasil simulasi beban limbah PO4 Skenario pesimis ...……….. 126

39. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban

Limbah BOD5 skenario pesimis 127

40. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban

Limbah COD skenario pesimis … ……… 128

41. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban

limbah NO5 skenario pesimis 129

42. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban

Limbah PO4 skenario pesimis 130

43. Hasil simulasi nilai kompensasi terhadap manfaat perikanan dan

wisata skenario pesimis ………... 131

44. Hasil simulasi nilai efektifitas IPAL terhadap nilai keuntungan dan

manfaat perikanan dan wisata skenario pesimis ………... 133

45. Hasil simulasi beban limbah BOD5 Skenario optimis………... 134

46. Hasil simulasi beban limbah COD Skenario optimis ……….……... 135

47. Hasil simulasi beban limbah NO3 Skenario optimis 136

48. Hasil simulasi beban limbah PO4 Skenario optimis ………. 137

49. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban

limbah BOD5 skenario optimis ………. 138

50. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban

limbah COD skenario optimis ……….. 139

51. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban

limbah NO3 skenario optimis 139

52. Status Keberlanjutan Perikanan dan wisata berdasarkan beban

limbah PO4 skenario optimis ...………. 140

53. Hasil simulasi nilai kompensasi terhadap manfaat perikanan dan

wisata skenario optimis ………... 141

54. Hasil simulasi nilai efektifitas IPAL terhadap nilai keuntungan


(24)

xix

DAFTAR LAMPIRAN

No Halaman 1 Data Pengukuran Parameter Fisik di Pantai Kota Makassar ...…..

2 Data Pengukuran Parameter Kimia di Pantai Kota Makassar ..….. 159

3 Perhitungan beban Pencemaran bulanan pantai Kota Makassar … 160

4 Perhitungan Indeks Pencemaran Pantai Kota Makassar …………. 161

5 Sub Model beban Limbah BOD ………. 165

6 Sub Model beban Limbah COD ………. 167

7 Sub Model beban Limbah NO3 ……….. 168

8 Sub Model beban Limbah PO4 ………... 170

9 Sub Model Ekonomi IPAL ………. 172

10 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KepMen LH No.51/MENLH/10/2004 tentang Baku Mutu air laut untuk

wisata Bahari ………... 174

11 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KepMen LH No.51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri ………..………..


(25)

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Kawasan kota pantai merupakan tempat konsentrasi penduduk yang paling padat. Sekitar 75% dari total penduduk dunia bermukim di kawasan pantai. Dua pertiga dari kota-kota di dunia dengan penduduk lebih dari 2,5 juta jiwa terdapat di wilayah pantai (UNESCO, 1993; Edgen, 1993; dalam Kay dan Alder, 1999). Keadaan serupa juga terjadi di Indonesia yang hampir 60% jumlah penduduk kota-kota besar (seperti Jakarta, Surabaya, Semarang, Medan dan Makassar) menyebar di kawasan pantai (Dahuri, dkk, 2001). Pertumbuhan dan konsentrasi penduduk yang tinggi seperti Kota Makassar mengakibatkan tekanan yang tinggi terhadap lingkungan pantai, sepert pencemaran perairan

Berdasarkan rencana tata ruang, wilayah pantai Kota Makassar akan menjadi berbagai kawasan yang dibagi berdasarkan kesesuaian lingkungan dan pemanfaatannya. Kawasan-kawasan tersebut diantaranya kawasan pariwisata, perikanan terpadu, pelabuhan terpadu, bisnis dan perdagangan serta kawasan pemukiman. Dalam perkembangan terakhir, pantai kota Makassar telah banyak mengalami perubahan dan perkembangan akibat dari adanya kegiatan pembangunan. Kawasan pantai Kota Makassar sendiri telah mengalami perubahan sesuai dengan laju pertumbuhan pembangunan yang mengalami kendala dalam penyediaan lahan untuk pembangunan. Salah satu cara untuk mengatasi keterbatasan lahan akibat pembangunan adalah dengan melakukan reklamasi.

Beberapa daerah di Indonesia juga melakukan kegiatan reklamasi untuk memenuhi kebutuhan pembangunan akan lahan seperti reklamasi pantai utara Jakarta untuk kawasan pemukiman, reklamasi laut Bali Benoa seluas 300 Ha, Pantai utara semarang serta reklamasi pantai utara Surabaya. Pada Negara-negara maju lainnya, kegiatan reklamasi merupakan salah satu alternative solusi dalam mengantisipasi kebutuhan lahan untuk pembangunan. Salah satu contoh kegiatan reklamasi pantai dan laut yang terkenal adalah Jepang yang membangun bandara internasional Kansai di tengah laut.


(26)

Sejak tahun 2003 pemerintah Kota Makassar menerapkan sistem manajemen pesisir dan lautan terpadu (integrated coastal zone Management) pada pantai kota dengan revitalisasi, yaitu upaya untuk memperbaiki kembali suatu kawasan atau bagian kota yang dulunya baik tetapi mengalami kemunduran atau

degradasi. Proses revitalisasi sebuah kawasan mencakup perbaikan aspek fisik, aspek ekonomi dan aspek sosial. Pendekatan revitalisasi harus mampu mengenali dan memanfaatkan potensi lingkungan (sejarah, makna, keunikan lokasi dan citra dari suatu tempat) (Danisworo, 2002). Kegiatan revitalisasi yang dilakukan untuk memperbaiki kondisi perairan dan lingkungan pantai kota agar dapat mendukung aktivitas pemanfaatan. Pendekatan pembangunan pesisir secara terpadu sangat diperlukan mengingat adanya berbagai kegiatan pemanfaatan antara lain pariwisata, perikanan, bisnis dan pemukiman, sehingga diharapkan berbagai jenis kegiatan pemanfaatan pada pantai kota dapat berjalan dengan baik.

Kegiatan reklamasi di kawasan pantai kota selain memberikan manfaat ketersediaan ruang untuk pembangunan juga akan menimbulkan sisi negatif berupa perubahan habitat dan ekosistem seperti penurunan kualitas lingkungan, perubahan pola arus, erosi dan sedimentasi yang akan merusak ekosistem pantai diantaranya terumbu karang dan padang lamun. Akibat-akibat negatif ini juga akan terjadi bila kegiatan pembangunan berupa revitalisasi dan reklamasi tidak dilakukan dengan bijak dan pertimbangan yang matang. Reklamasi dalam artian umum adalah suatu pekerjaan penimbunan tanah/pengurukan pada suatu kawasan atau lahan yang relatif tidak berguna/masih kosong dan berair menjadi lahan berguna. Misalnya di kawasan pantai, daerah rawa-rawa, di lepas pantai/di laut, di tengah sungai yang lebar, ataupun di danau. Tekanan terhadap ekosistem pantai kota dan kualitas perairan pesisir terjadi semakin tinggi dengan adanya proyek

Central Point of Indonesia (CPI). Proyek CPI ini sendiri telah dimulai tahun 2009, dengan membangun berbagai fasilitas di sepanjang pantai kota antara lain museum, kawasan bisnis, taman dan lapangan golf. Luas area yang dibangun dari reklamasi pantai adalah sekitar 157 ha

Pada berbagai aktivitas pemanfaatan yang ada di kawasan pantai Kota Makassar seperti kegiatan wisata pantai, pemukiman, pelabuhan, dapat memberikan dampak pada perubahan kualitas perairan. Hal ini dikarenakan


(27)

3 adanya pencemaran dari limbah yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas yang ada.

Limbah yang dihasilkan dapat berupa limbah cair maupun limbah padat. Fardiaz

(1992) mengemukakan bahwa polusi air adalah penyimpangan sifat-sifat air dari keadaan normal, dengan demikian perairan yang sudah tidak lagi berfungsi secara normal dapat dikategorikan sebagai perairan tercemar. Ketchum (1971) lebih jauh menegaskan bahwa pencemaran disebabkan oleh masuknya zat-zat asing ke dalam lingkungan, sebagai akibat dari tindakan manusia, yang merubah sifat-sifat fisik, kimia, dan biologis lingkungannya. Bahan-bahan pencemar tersebut digolongkan ke dalam tiga tipe yaitu: (1) patogenik (menyebabkan penyakit pada manusia), (2) estetik (menyebabkan perubahan lingkungan yang tidak nyaman berdasarkan panca indera) dan (3) ekomorpik (bahan cemar yang menyebabkan perubahan sifat sifat fisika lingkungan).

Pencemaran pada perairan pantai Makassar diduga sangat tinggi karena terdapat 2 sungai besar yakni Jenneberang dan Tallo serta kanal dan drainase kota yang kesemuanya bermuara di Pantai Kota Makassar. Kualitas perairan dapat diperkirakan dengan membandingkan dengan standar baku mutu kualitas air. Dinamika kualitas air pantai ditentukan oleh laju beban limbah yang masuk pada perairan yang terbawa oleh aliran sungai dan kanal. Selain itu tingkat pencemaran yang ada juga berasal dari limbah yang dihasilkan oleh berbagai aktivitas pemanfaatan yang ada disepanjang pantai. Apabila pencemaran berupa limbah yang masuk ke dalam perairan pantai kota tidak tertangani dengan baik, maka diperkirakan daya dukung perairan pantai akan mengalami penurunan dan tidak mampu menopang aktivitas pemanfaatan yang ada

Dalam Perda Kota Makassar No 6 tahun 2006 tentang Tata Ruang Wilayah kota Makassar mencakup kawasan wisata pantai dan perikanan. Aktivitas pada kawasan ini sangat dipengaruhi oleh kualitas lingkungan ekologis yang ada. Selain dari faktor ekologis, aktivitas pemanfaatan pada kawasan ini juga dipengaruhi oleh faktor lain yakni kondisi sosial dan ekonomi. Berbagai faktor sosial dan ekonomi yang dapat mempengaruhi aktivitas wisata dan perikanan diantaranya pertumbuhan penduduk, tingkat kesejahteraan dan tingkat pendapatan


(28)

Faktor sosial seperti jumlah penduduk misalnya selain mempangaruhi banyaknya limbah yang dihasilkan, juga mempengaruhi jumlah pengunjung serta besarnya permintaan terhadap wisata. Jumlah konsumsi ikan yang dihasilkan dari aktivitas perikanan, juga dpengaruhi oleh jumlah penduduk. Adapun faktor ekonomi misalnya tingkat pendapatan akan menentukan kemampuan konsumsi dan daya beli masyarakat yang berkaitan dengan jumlah kunjungan untuk wisata, serta jumlah konsumsi ikan yang dihasilkan dari aktivitas perikanan yang ada di pantai kota Makassar. Jadi keberadaan dan keberlanjutan aktivitas wisata pantai dan perikanan yang ada di Pantai Kota Makassar bukan saja ditentukan oleh kelayakan ekologis berupa daya dukung lingkunan, tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial dan ekonomi

Beban limbah yang masuk ke parairan pesisir Kota Makassar saat ini sedang diusahakan untuk dapat diatasi oleh pemerintah Kota Makassar. Salah satu program yang sedang dilakukan oleh pemerintah adalah membangun sistem pengolahan air limbah (IPAL). Dengan adanya IPAL ini diharapkan beban limbah yang berasal dari penduduk dan industry kecil yang ada di Kota Makassar dapat diatasi, yakni dengan mengalirkan limbah dari rumah penduduk yang dialirkan melalui pipa-pipa limbah untuk diolah di IPAL. Setelah limbah-limbah tersebut diolah sampai memenuhi standar yang aman bagi lingkungan, kemudian akan dibuang ke perairan. Jadi dengan dibangunnya IPAL diharapkan akan membuat lingkungan perairan pesisir Kota Makassar dapat bebas dari limbah. Salah satu kendala yang dihadapi adalah bagaimana IPAL tersebut dapat dibangun oleh pemerintah mengingat biaya pembuatan IPAL yang relatif besar.

Mengacu pada uraian di atas, kegiatan pemanfaaan lingkungan pantai untuk wisata dan perikanan terpadu yang ada di pantai Kota Makassar tidak hanya didukung oleh faktor ekologis tetapi juga dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial dan ekonomi. Terdapat hubungan yang saling mempengaruhi antara aktivitas pemanfaatan lingkungan pantai untuk wisata dan perikanan dengan kualitas perairan dan ekosistem serta kondisi sosial dan ekonomi. Kualitas air yang ada di perairan pantai yang baik, kondisi sosial dan ekonomi yang kondusif akan mendukung aktivitas perikanan dan wisata pantai, sebaliknya wisata pantai dan aktivitas perikanan yang ada juga memberikan kontribusi terhadap kualitas


(29)

5 perairan pantai dari limbah atau sampah yang dihasilkan. Untuk itu diperlukan suatu penelitian yang diarahkan untuk mengelola dan mengatasi beban dan dampak pencemaran terhadap lingkungan pesisir Kota Makassar. Selain itu dibutuhkan suatu model dan rancangan pengelolaan pencemaran yang baik untuk aktivitas wisata dan perikanan yang berkelanjutan di Kota Makassar.

1.2 Perumusan Masalah

Kota Makassar adalah salah satu kota yang berada di pesisir pantai dengan perkembangan pembangunan yang cepat dengan daya tarik dan potensi yang besar. Perkembangangan dan pertumbuhan Kota Makassar tidak terlepas dari pertumbuhan dan perkembangan bagian pesisir pantai Kota yang sangat dinamis. Hampir semua aspek pemanfaatan untuk pembangunan di Kota Makassar dapat kita temui di kawasan pesisir pantai kota, mulai pemanfaatan sumberdaya perikanan, pemukiman, pariwisata, perdagangan, pelabuhan dan pelayaran terjadi kawasan ini. Pengelolaan sumberdaya pesisir pantai Kota Makassar apakah dapat dilakukan dengan konsep dan tujuan pemanfaatan yang terpadu dan berkelanjutan seperti yang dikemukakan Dahuri (2001)

Pemanfaatan yang ada di pantai Kota Makassar selama ini mengalami berbagai perkembangan yang sangat dinamis. Hal ini ditandai dengan adanya berbagai bentuk kegiatan pemanfaatan sumberdaya di sepanjang pantai kota Makassar. Bentuk-bentuk kegiatan pemanfaatan yang telah dilakukan di lingkungan pantai Kota Makassar antara lain pembukaan kawasan wisata Tanjung Bunga, pembuatan anjungan pantai, pembangunan kawasan pemukiman, pusat perdagangan dan bisnis serta perhotelan. Kegiatan pemanfaatan ini bisa saja berdampak pada perubahan kualitas perairan pantai kota yang diakibatkan dari limbah yang dihasilkan

Pencemaran di sepanjang pantai Kota Makassar diduga berasal dari aktivitas pemanfaatan yang ada di sepanjang kawasan tersebut. Selain itu pencemaran yang terjadi berasal dari limbah yang terbawa aliran Sungai Tallo dan Jenneberang serta aliran kanal dan drainase kota yang kesemuanya bermuara di kawasan pantai. Jumlah dan intensitas limbah yang terbawa oleh aliran sungai dan kanal berasal dari aktivitas industri, pemukiman dan pertanian di daerah daratan.


(30)

Pencemaran yang terjadi di sepanjang pantai Kota Makassar dan kontribusi limbah yang dibawa oleh aliran sungai dan kanal akan mempengaruhi kualitas perairan. Kualitas perairan juga bergantung pada berbagai faktor diantaranya daya asimilasi lingkungan yang bergantung pada berbagai faktor fisik, biologi dan kimia dari perairan tersebut. Kondisi lingkungan perairan yang baik, akan memberikan dukungan pada aktifitas wisata pantai bagi masyarakat pengunjung yang akan merasa lebih nyaman. Aktifitas perikanan dapat juga dilakukan dengan baik apabila didukung oleh kondisi lingkungan perairan yang baik

Kualitas lingkungan yang kurang baik akibat dari pencemaran yang terjadi pada pesisir pantai Kota Makassar dapat memberikan pengaruh pada aktivitas wisata bahari dan perikanan. Pengaruh yang terjadi bukan saja pada penurunan daya dukung terhadap aktivitas perikanan dan wisata, akan tetapi sekaligus dapat mengancam keberlanjutannya. faktor sosial dan ekonomi diantaranya laju pertumbuhan penduduk, industri dan perhotelan serta pemukiman juga turut mempengaruhi keberlanjutan dari kegiatan wisata dan perikanan di Pantai Kota Makassar. Dari uraian permasalahan tersebut diatas maka diperlukan suatu penelitian tentang pengelolaan pencemaran di perairan pesisir dan mengukur tingkat keberlanjutan wisata pantai dan perikanan di Kota Makassar yang dirumuskan sebagai berikut :

a) Bagaimana tingkat pencemaran dan beban limbah serta kapasitas asimilasi di perairan pantai Kota Makassar akibat limbah yang berasal aliran sungai serta kanal yang berasal dari daratan

b) Bagaimana pengaruh pencemaran terhadap kondisi daya dukung lahan yang

diperuntukkan bagi kegiatan wisata dan perikanan di Pantai Kota Makassar

c) Apakah kegiatan wisata pantai dan perikanan dapat berkelanjutan dan

bagaimana membentuk model pengelolaan pencemaran di pantai Kota Makassar

1.3 Tujuan dan manfaat

Untuk dapat mengatasi berbagai permasalahan yang berkaitan dengan


(31)

7 pemanfaatan untuk kegiatan pembangunan di sepanjang pantai kota akibat dari pencemaran yang ditimbulkan adalah sebagai berikut :

a) Mengetahui tingkat pencemaran dan mengukur beban limbah serta kapasitas

asimilasi di perairan pantai Kota Makassar akibat limbah yang berasal aliran sungai serta kanal yang berasal dari daratan

b) Mengetahui kondisi daya dukung lahan yang diperuntukkan bagi kegiatan wisata dan perikanan di Pantai Kota Makassar akibat pencemaran yang terjadi

c) Membuat model pengelolaan pencemaran yang terjadi di perairan pesisir

untuk keberlanjutan perikanan dan wisata di Pantai Kota Makassar Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi:

1. Pengembangan ilmu pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, terutama

pengelolaan untuk mengatasi pencemaran di kawasan perikanan dan wisata.

2. Sumber informasi bagi pemerintah dan stakeholder lain dalam upaya

pengelolaan wisata dan perikanan yang berkelanjutan di Kota Makassar. 1.4 Kerangka Pemikiran

Kerangka pemikiran dari dinamika dan dampak pencemaran terhadap aktivitas pemanfaatan sumberdaya pantai bagi kegiatan perikanan dan wisata pantai adalah sebagai berikut :


(32)

Gambar 1 Kerangka pemikiran dampak Pencemaran terhadap aktivitas perikanan dan wisata di Pantai Kota Makassar Sulawesi Selatan

Pertumbuhan penduduk

Pengelolaan Pesisir Kota Makassar

Pemukiman Penduduk

Tata ruang pesisir Kota Makassar

Lingkungan Pesisir

Perikanan Wisata

Daya Dukung (Kelayakan ekologis)

Pencemaran

Industri dan Perdagangan Wisata

Pantai

Perikanan Terpadu

Desain Model pengelolaan pencemaran

Wisata pantai dan Perikanan Berkelanjutan Perubahan Habitat

Aktivitas daratan (Up land)

Pencemaran dari sungai dan Kanal


(33)

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Ekosistem Pantai dan Pengelolaannya

Perairan wilayah pantai merupakan salah satu ekosistem yang sangat produktif di perairan laut. Ekosistem ini dikenal sebagai ekosistem yang dinamik dan unik, karena pada mintakat ini terjadi pertemuan tiga kekuatan yaitu yang berasal daratan, perairan laut dan udara. Kekuatan dari darat dapat berwujud air dan sedimen yang terangkut sungai dan masuk ke perairan pesisir, dan kekuatan dari batuan pembentuk tebing pantainya. Kekuatan dari darat ini sangat beraneka. Sedang kekuatan yang berasal dari perairan dapat berwujud tenaga gelombang, pasang surut dan arus, sedangkan yang berasal dari udara berupa angin yang mengakibatkan gelombang dan arus sepanjang pantai, suhu udara dan curah hujan (Davies, 1972 in Soetikno, 1993).

Wilayah Pesisir memiliki sumberdaya alam yang unik, dinamis, dan produktivitas yang tinggi, terdiri dari sumberdaya yang dapat pulih, sumberdaya yang tidak dapat pulih, serta jasa–jasa lingkungan (Bengen, 2002; Bengen, 2004). Beberapa ekosistim utama yang terdapat di wilayah pesisir adalah estuaria, hutan mangrove, padang lamun, terumbu karang, pantai (berbatu, berpasir, dan berlumpur), dan pulau kecil (Bengen, 2002).

Menurut Bengen (2004) wilayah pesisir menyediakan sumberdaya alam yang produktif baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan energi maupun kawasan rekreasi atau pariwisata. Selain itu, wilayah ini juga memiliki aksesibilitas yang sangat baik untuk berbagai kegiatan ekonomi, seperti transportasi dan kepelabuhanan, industri dan permukiman. Namun demikian, seiring dengan peningkatan jumlah penduduk dan intensitas pembangunan, daya dukung ekosistem pesisir dalam menyediakan segenap sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan terancam rusak.

Selanjutnya Bengen (2004) menyatakan pengalaman membangun sumberdaya pesisir masa lalu, selain telah menghasilkan berbagai keberhasilan, juga telah menimbulkan berbagai permasalahan ekologis dan sosial-ekonomis yang justru dapat mengancam kesimanbungan pembangunan nasional. Secara ekologis, banyak kawasan pesisir, terutama di Pesisir Timur Sumatera, Pantai


(34)

Utara Jawa, Bali dan Makasar, yang telah terancam kapasitas keberlanjutannya akbibat adanya pencemaran, degradasi fisik habitat, over-eksploitasi sumerdaya alam, dan konflik penggunaan lahan (ruang) pembangunan. Secara sosial-ekonomi, sebagian besar penduduk pesisir masih merupakan kelompok sosial termiskin di tanah air, dan kesenjangan pembangunan antar wilayah masih sangat besar.

Berbagai permasalahan yang muncul di kawasan pesisir sebagaimana dikemukakan di atas ternyata banyak diakibatkan oleh faktor eksternal yang terjadi di luar kawasan pesisir itu sendiri (baik dari daratan maupun lautan), sehingga berbagai aktivitas yang dilakukan di kedua kawasan tersebut baik langsung maupun tidak langsung akan memberikan dampak terhadap kawasan pesisir. Untuk mengatasi dampak yang ditimbulkan, misalnya akibat adanya bahan pencemar atau sedimen yang masuk ke pesisir atau adanya abrasi pantai, sangat diperlukan pengelolaan secara terpadu dengan memperhatikan keterkaitan kawasan, bagi keberlanjutan pembangunan wilayah pesisir (Bengen, 2004).

Secara konseptual pembangunan merupakan suatu proses perubahan untuk meningkatkan taraf hidup manusia tidak terlepas dari aktivitas pemanfaatan sumberdaya alam. Dalam skala tertentu setiap pembangunan atau pemanfaatan sumberdaya alam di wilayah pesisir dan lautan dapat menyebabkan terjadinya perubahan-perubahan pada ekosistem pesisir dan lautan itu sendiri. Perubahan-perubahan itu tentunya akan memberikan pengaruh pada mutu lingkungan hidup. Makin tinggi laju pembangunan di wilayah pesisir dan lautan, makin tinggi pula tingkat pemanfaatan sumberdaya alamnya. Pemanfaatan dengan tidak mernpertimbangkan prinsip-prinsip ekologi dapat menurunkan mutu lingkungan hidup dan berlanjut dengan terjadinya kerusakan ekosistem wilayah pesisir (Dahuri et al, 1996).

Kegiatan pembangunan, terutama yang melakukan pembukaan atau pemanfaatan lahan dan atau mengubah suatu bentuk bentang alam secara fisik di wilayah pesisir sudah tentu harus diukur dan dilakukan penilaian untuk menentukan keberlanjutan penggunaan atau pemanfaatan lahan tersebut. Kegiatan pembangunan di wilayah pesisir yang juga melakukan suatu penataan dan peletakan infrastruktur yang berfungsi untuk menunjang kegiatan pembangunan


(35)

11 seperti pengembangan kawasan untuk pemukiman, rekreasi, budidaya, serta kegiatan lainnya, apabila tidak diperhitungkan dengan baik akan mengakibatkan terjadinya degradasi kualitas lingkungan yaitu terjadinya erosi tanah, menurunnya tingkat estetika lingkungan, pencemaran, menurunnya jumlah dan jenis populasi satwa, serta berbagai bentuk vandalism lainnya. Karena itu, pembangunan atau pemanfaatan di wilayah pesisir harus betul – betul dilakukan secara efisien, efektif, optimal, terpadu, dan berkelanjutan sesuai dengan daya dukung lingkungan untuk meminimalisasi kerusakan atau membatasi penggunaan sumberdaya pesisir

2.2 Pencemaran dan Dampak Terhadap Kualitas Perairan

Menurut Dahuri et al. (1996); Dahuri (1999) untuk keberlanjutan

pemanfaatan, salah satu dimensi yang harus diperhatikan adalah dimensi ekologis, dengan tiga persyaratan, yaitu: (1) keharmonisan spasial, (2) kapasitas assimilasi dan daya dukung lingkungan, dan (3) pemanfaatan sumberdaya secara berkesinambungan. Keharmonisan spasial menuntut perlunya penyusunan tata ruang pembangunan wilayah secara tepat dan akurat berdasarkan potensi sumberdaya yang ada

Dampak pembangunan terhadap lingkungan mempunyai dua arti. Pertama adalah perbedaan antara kondisi lingkungan sebelum ada pembangunan dan yang diperkirakan akan ada dampak setelah pembangunan, dan kedua perbedaan antara kondisi lingkungan yang diperkirakan akan ada dampak tampa adanya pembangunan dan yang diperkirakan akan ada dampak setelah adanya pembangunan. Jadi dampak dapat bersifat negatif dan bisa positif. Hal ini seperti yang dinyatakan oleh Sorensen et.al.(1999) dalam Ismail (2000), bahwa antar sektor-sektor kegiatan pemanfaatan yang ada di wilayah pesisir dan lautan saling mempengaruhi dan menimbulkan dua jenis dampak, yaitu dampak positif dan negatif Pencemaran air merupakan akibat logis dari pemanfaatannya, sehingga tidak dapat ditiadakan, namun dapat dikurangi dengan cara-cara pengolahan tertentu (Suriawiria, 1993). Limbah yang dibuang langsung ke perairan bebas tanpa dikelola terlebih dahulu dapat menimbulkan pencemaran yang menyebabkan gangguan serius pada lingkungan, bahkan dapat mematikan hewan, tumbuhan dan manusia (Dix, 1981).


(36)

Dengan pertumbuhan peduduk dan pesatnya kegiatan pembangunan yang sangat tinggi di wilayah pesisir untuk berbagai peruntukkan (pemukiman, perikanan, pelabuhan, dan lain sebagainya), maka tekanan ekologis terhadap ekoistem dan sumberdaya pesisir akan semakin meningkat ( Bengen, 2004). Meningkatnya tekanan ini sudah tentu akan mengancam keberadaan dan kelansungan ekosistem dan sumberdaya di wilayah pesisir baik secara langsung (misal kegiatan konversi lahan) maupun tidak langsung (misalnya pencemaran oleh limbah dari berbagai kegiatan pembangunan).

Pencemaran dapat mengubah struktur ekosistem dan mengurangi jumlah spesies dalam suatu komunitas, sehingga keragamannya berkurang. Dengan demikian indeks diversitas ekosistem yang tercemar selalu lebih kecil dari pada ekosistem alami. Diversitas di suatu perairan biasanya dinyatakan dalam jumlah spesies yang terdapat di tempat tersebut. Semakin besar jumlah spesies akan semakin besar pula diversitasnya. Hubungan antara jumlah spesies dengan jumlah individu dapat dinyatakan dalam bentuk indeks diversitas.(Astirin,dkk. 2001)

Pencemaran organik merupakan limbah paling banyak di perairan yang sumbernya berasal dari pemukiman, pertanian, industri, pengolahan makanan, pengolahan material alam (tekstil). Kebanyakan limbah organik mengandung sebagian besar bahan tersuspensi. Pencemaran oleh bahan organik dapat ditelusuri dari kandungan oksigen terlarut (DO) di air dan sedimen. Persyaratan batas maksimum yang aman bagi budidaya perikanan adalah COD = 50 ppm (Poernomo, 1992)

Menurut Sastrawijaya (2000), adanya amonia merupakan indikator masuknya buangan permukiman. Alerts dan Santika (1987) menyatakan amonia dalam air permukaan berasal dari air seni, tinja dan oksidasi zat organik secara mikrobiologis yang berasal dari buangan pemukiman penduduk. Pendapat ini didukung oleh Kumar De(1997) yang menyatakan bahwa limbah domestik mengandung amonia. Amonia tersebut berasal dari pembusukan protein tanaman/hewan dan kotoran.

Pencemaran dapat berdampak pada suplai air minum, ekosistem, ekonomi, serta kesehatan manusia dan keamanan social (social security). Sekitar 3 – 4 juta jiwa penduduk dunia meninggal setiap tahun disebabkan oleh waterborne disease,


(37)

13 termasuk didalamnya lebih dari 2 juta jiwa anak-anak meninggal karena diare. Negara-negara berkembang sangat rentan terkena dampak negatit dari pencemaran khususnya perkampungan miskin dan kotor (Andreas, et al., 2001) 2.3 Konsep Kesesuaian Lingkungan Perairan

Dalam proses penentuan pola pemanfaatan ruang, menentukan lokasi yang secara biogeofisik sesuai adalah faktor penting yang dapat menjamin kelangsungan kegiatan pada lokasi yang ditentukan. Penempatan kegiatan pembangunan di lokasi yang sesuai, tidak saja mencegah kerusakan lingkungan tetapi juga menjamin keberhasilan ekonomi kegiatan tersebut.

Tahap pertama proses perencanaan pola pemanfaatan ruang adalah penentuan kelayakan biogeofisik dari wilayah pesisir dan laut. Pendugaan kelayakan biogeofisik dilakukan dengan cara mendefinisikan persyaratan biogeofisik setiap kegiatan, kemudian dipetakan (dibandingkan dengan karakteristik biogeofisik wilayah pesisir itu sendiri). Dengan cara ini kemudian ditentukan kesesuaian penggunaan setiap unit (lokasi) peruntukan di wilayah pesisir dan laut. Penentuan kelayakan biogeofisik ini dapat dilakukan dengan menggunakan teknologi Sistem Informasi Geografis (SIG) seperti Arc View (Kapetsy et al, 1987). Informasi dasar biasanya dalam bentuk peta tematik, yang diperlukan untuk menyusun kelayakan biogeofisik ini tidak saja meliputi karakteristik daratan dan hidrometeorologi seperti kelerengan, tutupan lahan, peruntukan lahan, dan lain-lain tetapi juga oseanografi dan biologi perairan pesisir dan laut seperti pasang surut, arus, kedalaman, ekosistem mangrove, lamun, terumbu karang dan lain-lain.

Berdasarkan fungsinya, ruang dapat dikelompokkan menjadi kawasan Iindung dan budidaya yang masing-masing memiliki persyaratan biogeofisik. Kawasan Iindung merupakan kawasan dengan keanekaragaman hayati yang tinggi, yang tidak boleh digunakan untuk kegiatan manusia kecuali penelitian ilmiah atau seremoni keagamaan/budaya oleh masyarakat lokal dan harus dapat diterima dan didukung oleh masyarakat lokal. Sedangkan kawasan budidaya dapat dimanfaatkan untuk berbagai peruntukan sesuai dengan kemampuan lahannya (Dacles et al., 2000).


(38)

Parameter yang digunakan untuk menilai kesesuaian pemanfaatan wisata bahari kategori rekreasi pantai, meliputi (Hutabarat dkk. 2009):

1. Kondisi geologi pantai menyangkut tipe (substrat pasir), lebih lebar, kemiringan pantai (idealnya <25o

2. Kondisi fisik menyangkut kedalaman perairan, kecepatan arus dan gelombang, kecerahan perairan dan ketersediaan air tawar (maksimum 2 km) (Wong 1991).

) dan material dasar perairan pantai (idealnya berpasir) (Wong 1991).

3. Kondisi biota menyangkut tutupan lahan pantai oleh tumbuhan dan keberadaan biota berbahaya (menyangkut kenyamanan dan keselamatan wisatawan).

Kualitas perairan untuk budidaya laut dan pariwisata di analisis dengan berpedoman pada baku mutu air laut yang dikeluarkan Kementerian Lingkungan Hidup melalui SK Menteri Lingkungan Hidup No 51 tahun 2004 tentang baku mutu air laut, seperti yang tertera pada Tabel 1 :

Tabel 1 Baku mutu untuk kegiatan budidaya dan wisata bahari No

Parameter Satuan Baku Mutu Air Laut

Wisata Bahari Budidaya Laut

1 DO mg/l >5 >5

2 pH - 7-8,5 a) 7-8,5

3 Salinitas %o Alami 1b) Alami

4

1b)

Nitrat mg/l 0,008 0.008

5 Fosfat mg/l 0.015 0.015

6 BOD5 mg/l 10 20

7 TSS mg/l 20 coral:20

mangrove:80 e) lamun:20 e) 8 e)

Suhu ºC Alami 1c) Alami

9

1c)

Kecerahan m >6 coral:20

mangrove:-

d)

lamun:>3 d)

Sumber: : Lampiran II dan III SK Menteri Lingkungan Hidup No 51 tahun 2004 Tentang Baku Mutu Air Laut

Keterangan:

1. Alami adalah kondisi normal suatu lingkungan, berva riasi setiap saat (siang, malamdan musim)

a. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <0 .2 satuan pH

b. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <5% salinitas rata -rata musiman


(39)

15 d. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% kedalaman euphotic

(lapisan paling atas dari tubuh air yang menerima cukup cahaya untuk fotosintesis)

e. Diperbolehkan terjadi perubahan sampai dengan <10% konsentrasi rata2 musiman

Tabel Baku mutu ini akan dijadikan sebagai acuan penyusunan matriks kesesuaian, antara lain untuk matriks kesesuaian budidaya laut terdiri pH 6-9, DO >5 mg/lt, salinitas 30-35 ppm, fosfat 0-0.5 mg/lt, nitrat 0-0.5 mg/lt, suhu permukaan laut 26-30 °C, kecepatan arus <=0.5 m/dt, dan kecerahan >5 m . Sementara itu untuk wisata bahari dapat dikelompokkan menjadi 2 (dua) bagian yaitu kesesuaian pariwisata pantai dan pariwisata bahari, untuk kesesuaian pariwisata pantai meliputi jarak dari sumber air tawar <=0.5 km, DO >5 mg/l, kecerahan >5 m, kecepatan arus <=0.3 m/det, dan material dasar perairan berpasir, sedangkan untuk kesesuaian pariwisata bahari meliputi jarak dari sumber air tawar <=0.5 km, DO >5 mg/lt, dan kecerahan >5 m kecepatan arus <=0.5 m/det, tutupan komunitas karang >75% (Bakosurtanal,1996; Dahyar, 1999; Arifin, 2001; Soselisa, 2006).

2.4 Konsep Daya Dukung Lingkungan Perairan

Sejak pertama kali dikembangkan dan diperkenalkan, Odum (1971) menyatakan bahwa daya dukung merupakan pembatasan penggunaan dari suatu areal yang mempunyai beberapa faktor alam dan lingkungan. Handee et.al (1978),

dalam tulisannya di Wilderness Management, menyatakan bahwa daya dukung

merupakan suatu ukuran batas maksimal penggunaan suatu area berdasarkan kepekaan atau toleransinya yang dipengaruhi oleh berbagai faktor alami seperti ketersediaan makanan, ruang untuk tempat hidup dan tempat berlindung atau air. Knudson (1980) menyatakan bahwa daya dukung merupakan penggunaan secara lestari dan produktif dari suatu sumberdaya yang dapat diperbaharui (renewable resources)

Daya dukung merupakan konsep dasar yang dikembangkan untuk kegiatan pengelolaan suatu sumberdaya alam dan lingkungan yang lestari, melalui ukuran kemampuannya. Konsep daya dukung ini dikembangkan terutama untuk mencegah kerusakan atau degradasi dari suatu sumberdaya alam dan lingkungan sehingga kelestarian, keberadaan, dan fungsinya dapat tetap terwujud dan pada


(40)

saat yang bersamaan, masyarakat atau pengguna sumberdaya tersebut akan tetap

berada dalam kondisi sejahtera dan atau tidak dirugikan (Intergenerational

Welfare). Konsep dan penghitungan terhadap daya dukung sumberdaya alam dan lingkungan juga awalnya digunakan untuk mempelajari pertumbuhan populasi dalam suatu unit ekologis (ekosistem). Sebagai contoh dari beberapa penilaian yang umum dilakukan terhadap penghitungan daya dukung ini adalah : (1)

penghitungan terhadap ecological capacity atau daya dukung ekologis yaitu

jumlah individu yang yang dapat didukung oleh sutau habitat dan; (2) penghitungan terhadap grazing capacity yaitu jumlah individu (biota) dalam keadaan sehat dan kuat yang dapat didukung oleh ketersediaan pakannya dalam suatu areal tertentu.

Daya dukung suatu wilayah tidak bersifat statis (a fixed amount), tetapi bervariasi sesuai dengan kondisi biogeofisik (ekologis) wilayah termaksud dan juga kebutuhan manusia akan sumberdaya alam dan jasa – jasa lingkungan dari wilayah tersebut. Misalnya, daya dukung suatu wilayah dapat menurun akibat kegiatan manusia maupun gaya-gaya alamiah (natural forces), seperti bencana alam atau dapat dipertahankan dan bahkan ditingkatkan melalui pengelolaan atau penerapan teknologi. Contoh lain adalah produktivitas tambak udang yang hanya mengandalkan alam tanpa teknologi (tradisional) adalah sekitar 200 kg/ha/tahun, akan tetapi dengan penerapan teknologi pengelolaan tanah dan air, manajemen pemberian pakan produktivitas dapat meningkat 6 ton/ha/thn.

Konsep daya dukung yang paling mendasar adalah menjelaskan hubungan antara ukuran populasi dan perubahan dalam sumber daya dimana populasi tersebut berada. Hal tersebut diasumsikan bahwa terdapat suatu ukuran populasi yang optimal yang dapat didukung oleh sumberdaya tersebut. Penggunaan konsep daya dukung lingkungan tergantung pada tujuan yang ingin dicapai dalam suatu kondisi populasi atau sumber daya. Walau kadang-kadang tidak dinyatakan secara ekspilisit, proses penentuan suatu daya dukung lingkungan untuk berbagai aktivitas memerlukan suatu nilai justifikasi mengenai apa yang akan dioptimumkan.

Konsep daya dukung ini sudah dikemukakan oleh banyak ilmuwan sejak tahun 1940, dimana secara keseluruhan mempunyai kerangka acuan yang tidak


(41)

17 terlalu banyak mengalami perubahan. Hal yang terpenting dari definisi konseptual daya dukung yang diajukan adalah pemeliharaan dan pengendalian integritas dari suatu sumberdaya yang memberikan tingkat kesejahteraan tertinggi dan berkualitas bagi masyarakat atau pengguna sumberdaya tersebut.

Konsep ini pada tahapan dan perkembangan selanjutnya juga digunakan untuk pengelolaan/ pengembangan wilayah pesisir dan laut (ekowisata, budidaya (tambak dan laut), pulau – pulau kecil) serta pengembangan kegiatan lainnya di wilayah pesisir dan laut. Tujuan dari penilaian ini adalah untuk mempertahankan atau melestarikan potensi alami dari kawasan tersebut pada batas – batas penggunaan yang diperkenankan atau yang dimungkinkan.

Batasan daya dukung untuk populasi manusia dinyatakan oleh Soerianegara (1977), yaitu merupakan jumlah individu yang dapat didukung oleh satuan luas sumberdaya dan lingkungan dalam keadaan sejahtera. Daya dukung mempunyai dua komponen utama yang harus diperhatikan (Soerianegara, 1977), yaitu :

1. Besarnya atau jumlah populasi mahluk hidup yang akan menggunakan

sumberdaya tersebut pada tingkat kesejahteraan yang baik

2. Ukuran atau luas sumberdaya alam dan lingkungan yang dapat

memberikan kesejahteraan kepada populasi manusia pada tingkat yang lestari.

Selanjutnya Turner (1988) menyebutkan bahwa daya dukung merupakan populasi organisme akuatik yang ditunjang oleh suatu kawasan/areal atau volume perairan yang ditentukan tanpa mengalami penurunan mutu (destorasi). Sementara, Kechington dan Hudson (1984) mendefinisikan daya dukung sebagai kuantitas maksimum ikan yang dapat didukung oleh suatu badan air selama jangka waktu yang panjang. Definisi lain menyebutkan bahwa daya dukung adalah batasan untuk banyaknya orgnanisme hidup dalam jumlah atau massa yang

dapat didukung oleh suatu habitat. Jadi daya dukung merupakan ultimate

constrain yang diperhadapkan pada biota oleh adanya keterbatasan lingkungan seperti ketersediaan makanan, ruang atau tempat berpijah, atau penyakit, siklus predator, temperatur, cahaya matahari, atau salinitas. Sistem daya dukung lingkungan dapat berkurang akibat kerusakan yang ditimbulkan oleh manusia


(42)

yang mengurangi ketersediaan suplai energi atau penggunaan energi (Clark, 1974).

Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi (UNEP, 1993). Piper et al (1982 in

Meade, 1989) mendefinisikan daya dukung sebagai suatu sistem yang dapat mendukung beban hewan yang dinyatakan sebagai pound ikan per kubik air (lb/ft3

Haskel (1995 in Meade, 1989) membuat dua asumsi yang menyangkut

daya dukung sebagai berikut : ).

1. Daya dukung yang dibatasi oleh laju konsumsi oksigen dan akumulasi

metabolit

2. Laju konsumsi oksigen dan akumulasi tersebut sebanding dengan jumlah

pakan yang dimakan per hari

Daya tampung kawasan pesisir adalah kemampuan badan air atau perairan di kawasan tersebut dalam menerima limbah organik termasuk didalamnya adalah kemampuan untuk mendaur ulang atau mengasimilasi limbah tersebut sehingga tidak mencemari lingkungan perairan yang berakibat terganggunya keseimbangan ekologisnya (Krom, 1996). Sedangkan daya dukung suatu lahan perairan untuk budidaya udang adalah biomassa udang yang dapat hidup di dalamnya secara berkesinambungan untuk ukuran dan situasi tertentu, dan bila keadaan lahannya berubah, daya dukungnya juga akan berubah.

Faktor penentu daya dukung lingkungan perairan adalah volume perairan, kualitas perairan, dinamika perairan, dan beban pencemar yang ada /limbah dari

hulu. Daya dukung perairan pesisir untuk menerima limbah dipengaruhi oleh

beberapa faktor (Rompas, 1998) antara lain : (1) kualitas air perairan pesisir; (2)dinamika perairan; (3) tingkat kesuburan perairan (oligotrofik, mesotrofik, atau eutrofik); (4) beban limbah; (5) jenis dan jumlah mikroba; (6) aktivitas manusia di pesisir. Karena itu, pengukuran kualitas air perairan pesisir penerima limbah atau tingkat pencemarannya sangat penting untuk memperkirakan level pengenceran dan kemampuan asimilasinya, apakah sudah berada pada level rendah (tingkat pencemaran tinggi) atau masih pada level tinggi (tingkat pencemaran rendah).


(43)

19 Penentuan besarnya nilai daya dukung juga dapat dilakukan dengan membangun suatu model hubungan kuantitatif antara faktor pembatas dan peubah pertumbuhan, dimana nilai maksimum dan minimum pada suatu tingkat pertumbuhan akan ditentukan pada faktor pembatas tertentu (Ortolano, 1994).

Menurut Hendee et al. (1978), bahwa penilaian kemampuan suatu kawasan

berdasarkan pendekatan daya dukung cenderung merupakan suatu probabilistic

concept atau teori kemungkinan jadi bukan merupakan suatu yang bersifat absolut/ mutlak karena hasil perhitungan yang diperoleh merupakan nilai optimasi atau perpaduan dari kemampuan sumberdaya alam dan lingkungan tersebut denga tingkat pengelolaan yang tersedia atau yang mungkin dapat dilakukan.

Selanjutnya dikatakan oleh Hendee et al (1978) bahwa penggunaan IPTEK yang

tidak bijaksana dan tidak terencana dengan baik dalam upaya untuk mengatasi kerusakan sumberdaya justru akan menghancurkan lingkungan.

Proses penentuan daya dukung lingkungan untuk suatu aktivitas ditentukan umumnya dengan dua cara, yaitu : (1) suatu gambaran hubungan antara tingkat kegiatan yang dilakukan pada suatu kawasan dan pengaruhnya terhadap parameter-parameter lingkungan, dan (2) suatu penilaian kritis terhadap dampak-dampak lingkungan yang diinginkan dalam rejim manajemen tertentu.

Daya dukung ekologis adalah maksimum (jumlah maupun volume) dalam penggunaan suatu ekosistem atau kawasan baik berupa jumlah maupun kegiatan yang diakomodasikan didalamnya sebelum terjadi suatu penurunan kualitas

ekologis kawasan tersebut (Supriharyono, 2002). Scones dalam Prasetyawati

(2001) mengatakan juga bahwa daya dukung ekologis (ecological carrying

capacity) adalah jumlah maksimum hewan – hewan pada suatu lahan (tambak) yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan maupun terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen (irreversible). Hal ini ditentukan oleh faktor – faktor lingkungan seperti suhu, pH, salinitas, CO, dan kandungan oksigen. Menurut Piagram (1983) bahwa daya dukung ekologis dinyatakan sebagai tingkat maksimum penggunaan suatu kawasan atau ekosistem, baik berupa jumlah maupun kegiatan yang diakomodasikan didalamnya, sebelum terjadi suatu penurunan dalam kualitas ekologis kawasan atau ekosistem tersebut, termasuk lingkungan alami yang dimilikinya. Kawasan yang menjadi perhatian


(44)

utama adalah berbagai kawasan yang rapuh (fragile) dan yang tidak dapat pulih (unrenewable) seperti berbagai ekosistem lahan basah (wetlands) antara lain rawa payau, danau, laut, pesisir, dan sungai. Ekosistem yang digunakan sebagai dasar dari penilaian daya dukung dinyatakan sebagai suatu sistem (tatanan) kesatuan yang utuh antara semua unsur lingkungan hidup yang saling mempengaruhi.

Odum (1971) menyatakan bahwa ekosistem adalah suatu sistem dalam alam yang mengandung makhluk hidup (unsur biotik) dan lingkungannya yang terdiri dari zat – zat yang tidak hidup (unsur abiotik) dan saling mempengaruhi dan diantara keduanya terjadi pertukaran zat atau energi yang dperlukan dalam dan untuk mempertahankan kehidupannya. Kondisi ekosistem ini harus dipertahakan walaupun secara alamiah kondisi ini tidak statik, karena setiap biota yang ada dan hidup didalamnya akan menjadi tua dan mati dan selanjutnya akan digantikan oleh biota lainnya yang sejenis. Namun apabila ada gangguan yang melampaui batas pemulihan dari ekosistem ini, maka proses pemulihannya akan memakan waktu yang sangat panjang.

Daya dukung fisik. Daya dukung fisik suatu kawasan atau areal merupakan jumlah maksimum penggunaan atau kegiatan yang dapat diakomodasikan dalam kawasan atau areal tersebut tanpa menyebabkan kerusakan atau penurunan kualitas kawasan tersebut secara fisik (Piagram, 1983). Kawasan yang telah melampaui kondisi daya dukungnya secara fisik, antara lain dapat dilihat dari tingginya tingkat erosi, pencemaran lingkungan, konflik sosial yang terjadi pada masyarakat karena terbatasnya ruang. Daya dukung fisik pada hakekatnya juga merupakan suatu bentuk ukuran kapasitas rancangan dan juga model rancangan untuk berbagai infrastruktur yang diakomodasikan pada suatu kawasan. Sebagai contoh misalnya model konservasi yang akan dilakukan pada kawasan yang mengalami erosi yang berlebihan. Tingkat atau jumlah erosi tanah yang terjadi pada kawasan ini merupakan gambaran telah terlampauinya batas daya dukung kawasan tersebut secara fisik. Penggunaan umum dari daya dukung fisik ini adalah penghitungan terhadap jumlah populasi penduduk disuatu kawasan berdasarkan ukuran dan kebutuhan untuk kelangsungan hidup. Contoh penghitungan lain yang umum untuk daya dukung fisik ini adalah ketersediaan air bersih pada pulau – pulau kecil untuk mendukung pengembangannya sebagai


(45)

21 areal atau kawasan wisata yang reaktif, ketersediaan air irigasi untuk persawahan produktif, jumlah sarana transpor dalam suatu kawasan serta daya dukung tanah yang dinyatakan berdasarkan ukuran kemampuan dan kesesuaiannya.

2.5 Sistem dan Pemodelan

Fauzi (2005) menyatakan bahwa model adalah representasi dari suatu realitas dari seorang pemodel, dengan kata lain, model adalah jembatan antara dunia nyata (real world) dengan dunia berpikir (thinking) untuk memecah suatu masalah. Proses penjabaran atau merepresentasikan ini disebut modelling atau pemodelan yang tidak lain merupakan proses berpikir melalui sekuen yang logis. Selanjutnya dikatakan bahwa proses interpretasi dunia nyata tersebut ke dalam dunia model, berbagai proses transformasi atau model dapat dilakukan. Ada model yang lebih mengembangkan interpretasi verbal (bahasa), ada yang diterjemahkan ke dalam bahasa simbolik seperti bahasa matematika sehingga menghasilkan model kuantitatif. Untuk menjembatani dunia nyata yang dalam presepsi manusia bersifat kualitatif menjadi model yang bersifat kuantitatif diperlukan proses transformasi berupa alat pengukuran dan proses pengembilan keputusan

Sistem dinamik merupakan sebuah pendekatan yang menyeluruh dan terpadu, yang mampu menyederhanakan masalah yang rumit tanpa kehilangan esensi atau unsur utama dari obyek yang menjadi perhatian (Muhamadi, 2001). Metodologi sistem dinamik dibangun atas dasar tiga latar belakang disiplin yaitu manajemen tradisional, teori umpan balik atau cybernetic, dan simulasi komputer. Prinsip dan konsep dari ketiga disiplin ini dipadukan dalam sebuah metodologi untuk memecahkan permasalahan manajerial secara holistik, menghilangkan kelemahan dari masing – masing disiplin, dan menggunakan kekuatan setiap disiplin untuk membentuk sinergi.

Metode pendekatan sistem merupakan salah satu cara penyelesaian persoalan yang dimulai dengan dilakukannya identifikasi terhadap adanya sejumlah kebutuhan-kebutuhan, sehingga dapat menghasilkan suatu operasi dari sistem yang dianggap efektif (Eriyatno,1999). Dalam pendekatan sistem umumnya ditandai oleh dua hal, yaitu: (1) mencari semua faktor penting yang ada dalam mendapatkan solusi yang baik untuk menyelesaikan masalah; dan (2)


(46)

dibuat suatu model kuantitatif untuk membantu keputusan rasional. Pengkajian dalam pendekatan sistem seyogyanya memenuhi tiga karakteristik, yaitu: (1) kompleks, dimana interaksi antar elemen cukup rumit; (2) dinamis, dalam arti faktor yang terlibat ada yang berubah menurut waktu dan ada pendugaan ke masa depan; dan (3) probabilistik, yaitu diperlukannya fungsi peluang dalam inferensi kesimpulan maupun rekomendasi (Eriyatno, 1999).

Menurut Kholil (2005), pengembangan model dinamik secara garis besar terdiri dari 4 tahap, yaitu :

1) Tahap seleksi konsep dan variabel

Pada tahap ini dilakukan pemilihan konsep dan variabel yang memiliki relevansi cukup nyata terhadap model yang akan dikembangkan. Dengan kerangka berfikir sistem (system thinking) dilakukan pemetaan pengetahuan

(cognitive map), yang bertujuan untuk mengembangkan model abstrak dari keadaan yang sebenarnya. Kemudian dilanjutkan dengan penelaahan secara teliti dan mendalam terhadap asumsi – asumsi, serta konsistensinya terhadap variable dan parameter berdasarkan hasil diskusi dengan pakar. Variabel yang dinyatakan tidak konsisten dan kurang relevan dibuang.

2) Konstruksi model (tahap pengembangan model)

Model abstrak yang telah dikembangkan, direpresentasikan (dibuat) kedalam model dinamiknya dengan bantuan soft ware tool Powersim versi 2.5 berbasis sistem operasi Windows. Model yang telah dibuat kemudian dilakukan validasi dan verifikasi model simulasi.

3) Tahap analisis sensivitas

Tahap ini dilakukan untuk mengetahui variabel mana yang mempunyai pengaruh nyata terhadap model, sehingga perubahan variabel tersebut akan mempengaruhi model secara keseluruhan. Variabel – variabel yang kurang (tidak) berpengaruh dalam model dihilangkan, dan sebaliknya perhatian dapat difokuskan pada variabel kunci.

4) Analisis kebijakan,

kegiatan ini dilakukan dengan memberikan perlakuan khusus terhadap model melalui intervensi struktural atau fungsional, tujuannya untuk mendapatkan alternatif kebijakan terbaik berdasarkan simulasi model


(47)

23

Menurut DePinto, et al.(2004) yang melakukan pemodelan terhadap total

maksimum load dari limbah dimana ditemukan bahwa model yang baik mempunyai beberapa syarat diantaranya : definisi masalah dan pembangunan model konseptual, sintesa data, pilihan model dan pembenaran, penjabaran teoritis, konfigurasi spesifik, okasi dan dugaan kunci, kalibrasi dan strategi konfirmasi dan hasil

Kerangka berfikit epistimologi dalam ICZM saling sinergis dengan karakteristik wilayah pesisir yang merupakan suatu sistem dinamis dan saling terkait antara sistem manusia / komunitas dengan sistem alam sehingga kedua

sistem inilah yang bergerak dinamik dalam kesamaan besaran (magnitude),

sehingga diperlukan integrasi pengetahuan dalam implementasi pengelolaan pesisir secara terpadu. Integrasi inilah yang dikenal dengan paradigma Social-Ecological System disingkat SES. (Adrianto and Aziz, 2006). Social-Ecological System (SES) didefinisikan sebagai : "a ... system of biological unit / ecosystem unit linked with and affected by one or more social systems" (Anderies, et.al, 2004

dalam Andrianto, 2006). Salah satu contohnya adalah konsep Coastal Livelihood System Analysis (CLSA) yang dikembangkan dalam kerangka pengelolaan sumberdaya pesisir dan lautan, di mana aspek sistem alam (ekologi/ekosistem) dan sistem manusia tidak dapat dipisahkan

2.6 Pengindraan Jauh dan Sistem Informasi Geografis

Karakteristik lingkungan, modeling, dan proses pengambilan keputusan melalui evaluasi berdasarkan survey lapangan dengan sistem informasi geografis terdapat tiga tahapan antara lain (Carver et al., 1996) : (1) Pra-lapangan, koleksi data/prosessing terhadap sumber-sumber data primer dan sekunder ; (2) lapangan, koleksi data di lapangan, verifikasi, update dan modeling ; (3) pengembangan

sistem pengambilan keputusan secara spasial (SDSS; Spatial Decision Support

System), merupakan penggunaan data base dan model yang dikembangkan untuk strategi pengembilan keputusan

Sistem informasi geografis (SIG) adalah suatu sistem komputer yang mempunyai kemampuan pemasukan, pengambilan, analisis data dan tampilan data geografis yang sangat berguna bagi pengambilan keputusan. Sistem komputer ini terdiri dari perangkat keras (hardware), perangkat lunak (software) dan manusia


(48)

(personal) yang dirancang untuk secara efisien memasukkan, menyimpan, memperbaharui, memanipulasi, menganalisa dan menyajikan semua jenis informasi yang berorientasi geografis (ESRI, 1995). Yang paling utama adalah kemampuan SIG menyajikan data spasial yang dilengkapi dengan informasi sebab SIG dapat menangkap data spasial baik dari peta ataupun data atribut yang memiliki informasi geografis. SIG juga mampu menerima peta dari berbagai skala dan proyeksi dan mentransformasi menjadi skala yang standar sehingga hasilnya yang diperoleh juga menjadi standar. Aplikasi SIG sudah banyak digunakan untuk pengelolaan penggunaan lahan di bidang perikanan, pertanian, kehutanan serta pembangunan pemukiman penduduk dan fasilitasnya. Hanya dalam beberapa tahun penggunaan SIG telah tersebar luas pada bidang ilmu lingkungan, perairan dan sosial ekonomi. SIG juga telah digunakan di bidang militer, pemodelan perubahan iklim global dan geologi bahkan pada bidang politik.

Inderaja disefenisikan sebagai ilmu dan seni untuk memperoleh informasi tentang objek atau fenomena melalui analisis data yang diperoleh dengan suatu alat tampa kontak langsung dengan objek, daerah atau fenomena yang dikaji. Dalam indera sistem satelit, informasi keadaan permukaan bumi direkam oleh sensor yang dapat menangkap sinyal gelombang elektromagnetik yang dipantulkan oleh penampakan atau gejala yang terdapat dipermukaan bumi. Sensor yang dipasang pada satelit harus peka terhadap beberapa panjang gelombang elektromagnetik. Sinyal dapat memberikan data dan informasi tentang keadaan permukaan bumi. Sinyal tersebut ditangkap dan kemudian dikirim ke stasiun bumi atau direkam terlebih dahalu bila satsiun yang ada tidak dapat dijangkau (lillesand & Kiefer, 1990).

Menurut Hartanto (1995) paling tidak terdapat beberapa fungsi inderaja dalam perencanaan tata ruang di wilayah pesisir dan lautan ; pertama memberikan informasi perubahan keruangan (spatial) dari waktu ke waktu. Kedua, menggambarkan ruang saat ini untuk berbagai kegiatan. Mendapatkan data awal yang akan ditransformasikan kedalam perangkat lain seperti GIS (Sistem informasi geografis) untuk analisis perencanaan tata ruang wilayah pesisir dan lautan lebih lanjut. Keempat memberikan data luasan setiap penggunaan ruang dengan menggunakan software tertentu (IDRISI, ERDAS, ErMapper), sehingga


(49)

25 akan memberikan gambaran yang lebih jelas dalam peruntukan ruang sesuai dengan daya dukung ruang pada wilayah pesisir dan lautan. Dan kelima, memudahkan perencanaan dalam melakukan pemetaan (manual maupun digital), sehingga akan menghasilkan peta yang lebih akurat dalam perencanaan tata ruang di wilayah pesisir dan lautan.

Beberapa cara untuk mengintegrasikan indraja dengan SIG dikemukakan oleh Campbell (1997) adalah :

1. Foto udara dan hasil photography dari citra satelit (setelah diolah dan diklasifikasikan) dintepretasikan secara manual dan dijadikan peta tematik seperti : penutupan lahan, dapat didigitasi kedalam SIG

2. Data digital INDERAJA dianalisis dan diklasifikasikan secara digital, output dari proses tersebut berupa peta konvensional kemudian didigitasi ke dalam SIG 3. Data digital dianalisis dan diklasifikasikan dengan menggunakan metode digital otomatis dan hasilnya langsung dapat ditransfer ke dalam SIG.

4. Data mentah hasil INDERAJA dimasukkan langsung ke dalam SIG apabila terdapat perangkat lunak yang dapat menganalisis data citra dan SIG sekaligus

Aplikasi SIG sudah banyak digunakan untuk pengelolaan penggunaan lahan dibidang pertanian, kehutanan, serta pembangunan pemukiman penduduk dan fasilitasnya (transportasi). Hanya dalam beberapa tahun penggunaan SIG telah tersebar luas pada bidang ilmu lingkungan, perairan, dan sosial ekonomi. SIG juga telah digunakan dibidang militer, pemodelan perubahan iklim global dan geologi, terutama dengan menggunakan SIG tiga dimensi

Cara yang terbaik untuk integrasi INDERAJA dan SIG adalah proses digital dan transfer data diantara kedua sistem tersebut. Penelitian yang menggunakan data inderaja yang dioleh secara digital, otomatis, intepretasi dan analisis data citra belum dapat diterima seutuhnya pada tingkatan ketelitian yang diperlukan SIG. Banyak penelitian masih difokuskan pada aspek pemerosesan digital seperti minimalisasi distorsi dan kesalahan selama transformasi data, teknik otomatisasi yang lebih baik untuk mengintepretasi dan meningkatkan ketelitian pada proses klasifikasi (David and Simon ; Davis et al., 1991)


(50)

Tabel 2 Beberapa aplikasi SIG di wilayah pesisir khususnya dibidang perikanan

APLIKASI KETERANGAN

1. Pengelolaan Lahan

Pembuatan beberapa profil DAS di areal kehutanan, lahan budidaya, daerah permukiman, perubahan garis pantai, tanah payau, tanah pasir dengan kemiringan 3-6% dan parameter lain dengan memperkirakan sumber air.

2. Pengelolaan habitat air tawar

Studi kasus dalam analisis dampak pencemaran. Membangun basis data untuk habitat potensial, data atribut dari kondisi habitat dan aliran arus, DAS, lokasi pembuangan bahan pencemar. Menggambarkan dampak di bagian hilir sungai terhadap potensi kehilangan produksi ikan. Analis habitat yang terpengaruh oleh bahan pencemar, dan konversi areal habitat untuk pemiliharaan ikan

3. Pengelolaan habitat laut

Membangun basis data untuk beberapa data atribut. Membangun kriteria untuk model kesesuaian habitat dengan menggambarkan hubungan antara variabel spasial. Overlay peta untuk memproduksi data yang dihasilkan.

4. Potensi

Pengembangan budidaya

Dalam penentuan lokasi untuk sesuai dengan budidaya udang diperlukan beberapa data, antara lain ; salinitas, jenis tanah, pola curah hujan, penggunaan lahan (mangrove dan non-mangrove). Data yang digunakan merupakan parameter-parameter lingkungan dan infrakstruktur yang tersedia, penggunaan lahan, jenis tanah, hidrologi, geomorfologi pantai dan karakteritik meteorologi. Sedangkan untuk lokasi yang sesuai untuk pembenihan udangdan ikan data yang diperlukan adalah sebagai berikut : kualitas air, pola penggunaan lahan, jarak dari sumber air, geomorfologi dan jarak dari tambak 5. Studi

Sumberdaya wilayah Pesisir

Identifikasi variabel sosial ekonomi yang terpengaruh akibat pembangunan diwilayah pesisir. Data yang digunakan adalah populasi, ketenagkerjaan, tingkat pendapatan, tingkat pendidikan, infrakstruktur dan fasilitas umum.

6. Studi indeks kepekaan lingkungan

Klasifikasi P. Sumatera bagian timur dan jawa barat bagian utara, kedalam 5 kelas tingkat kepekaan lingkungan terhadap pencemaran minyak

7. Perencanaan di wilayah pesisir

Berdasarkan karakteristik biofisik/ekologi dari wilayah pesisir dibandingkan dengan kriteria kebutuhan biofisik untuk berbagai kegiatan pembangunan. Wilayah pesisir Kalimantan Timur dapat dibagi menjadi beberapa tipe kegiatan

pembangunan seperti pemukiman, sawah, tambak,

pertambangan dan padang penggembalaan. Sumber : Dahuri et al., 1996

Memadukan berarti ‘menyatukan’ memberikan implikasi adanya kesatuan (dan konsistensi) dalam pengolahan data mulai dari awal sampai akhir, yang mempertimbangkan adanya masalah ketidakkompitebelan antar data yang disebabkan oleh bentuk, struktur asli serta sifat-sifatnya. Memadukan indraja dan


(51)

27 SIG sudah lama menjadi masalah, sehubungan dengan adanya perbedaan struktur dan karakteristk data yang diperoleh melalui prosedur yang berbeda-beda

Terdapat beberapa keuntungan pada kombinasi pengunaan INDERAJA dan SIG pada pengolahan informasi untuk studi (Davis and Simonet 1991 ; Davis et al, 1991) yaitu :

1. Data INDERAJA dapat digunakan dengan cepat pada saat memperbaharui peta, khususnya pada data hasil survey lapang yang lambat dan belum tentu selesai pada selang waktu proyek.

2. Basis data dan SIG dapat menyediakan data tambahan untuk membantu dalam klasifikasi atau analisis data INDERAJA, dengan demikian dapat meningkatkan ketepatan peta yang dihasilkan. Sebagai contoh penambahan data seperti topography, geologi tanah, dan sebagainya, dapat berguna sebagai penunjuk yang vital bagi intepretasi penutupan lahan dibandingkan respon dari informasi spektral data INDERAJA.

3. Data INDERAJA sangat bermanfaat sekali apabila dikombinasikan dengan SIG dari sumber data lainnya, atau citra dari berbagai waktu dan spektrum yang berbeda disajikan secara bersama-sama. SIG memiliki fasilitas untuk menerima (integrasi) dari berbagai format data. Pekerjaan dengan SIG membutuhkan data, khususnya data spasil yang teliti, penutupan spektral dan temporal untuk analisis dan pemodelan fenomena-fenomena alami yang kompleks dan INDERAJA dapat memberikan semua tuntutan data tersebut

2.7 Wisata Pantai

“Wisata” merupakan suatu bentuk pemanfaatan sumberdaya alam yang mengandalkan jasa alam untuk kepuasan manusia. Kegiatan wisata yang dapat dikembangkan dengan konsep ekowisata bahari dapat dikelompokan menjadi 2 (dua) yaitu wisata pantai dan wisata laut (bahari). Wisata pantai lebih mengutamakan sumberdaya pantai dan budaya masyarakat, sedangkan wisata laut (bahari) lebih mengutamakan sumberdaya bawah laut dan dinamika air lautnya (Yulianda, 2007).

Kota Makassar mempunyai potensi dan daya tarik pariwisata yang cukup banyak dan dapat dikembangkan (81 objek). Objek-objek tersebut adalah objek wisata pulau, sungai dan pantai (26 objek), objek wisata budaya dan sejarah (11


(1)

Lampiran 7 (lanjutan) INFLOWS:

LT_NO3 = BLBT_NO3+BLHB_NO3+BLJA_NO3+BLJN_NO3+BLPN_NO3+BLTL_NO3 debit_Jn = 1028.5

debit_PN = 39.1545 debit_TL = 387.85 debit__BT = 1.49 debit__HB = 1.90 debit__JA = 24.92 faktor_konv = 2.592 Fr_tumbuh_hotel = 0.2/12 IPAL = 0.30

juml__tamu = juml_kamar*okupansi kapasitas__Asimilasi = 234.4459459 KKPBT_NO3 = 0.000324881030 KKPHB_NO3 = 0.000276331764 KKPJA__NO3 = 0.000009528551 KKPJN_NO3 = 0.000000067906 KKPPN_NO3 = 0.000009007890 KKPTL_NO3 = 0.000000060024

klanjut_BT = BLBT_NO3-kapasitas__Asimilasi klanjut_HB = BLHB_NO3-kapasitas__Asimilasi klanjut_JA = BLJA_NO3-kapasitas__Asimilasi klanjut_PN = BLPN_NO3-kapasitas__Asimilasi klanjut_TL = BLTL_NO3-kapasitas__Asimilasi klanjut__JN = BLJN_NO3-kapasitas__Asimilasi lahir = 0.0163/12

mati = 0.0005/12 okupansi = 0.4706

TPSHB = TSP*0.001280345 TPSJA = TSP*0.016795171 TSP = Jml_pddk+juml__tamu TSPBT = TSP*0.001006915 TSPJN = TSP*0.693143663 TSPPN = TSP*0.026387646 TSPTL = TSP*0.261386261 Not in a sector


(2)

Lampiran 8 Sub Model beban Limbah PO4

BLBT_PO4(t) = BLBT_PO4(t - dt) + (LBT_PO4 - PBT_PO4) * dtINIT BLBT_PO4 = LBT_PO4

INFLOWS:

LBT_PO4 = debit__BT*faktor_konv*KKPBT_PO4*TSPBT OUTFLOWS:

PBT_PO4 = BLBT_PO4*IPAL

BLHB_PO4(t) = BLHB_PO4(t - dt) + (LHB_PO4 - PHB_PO4) * dtINIT BLHB_PO4 = LHB_PO4

INFLOWS:

LHB_PO4 = debit__HB*faktor_konv*KKPHB_PO4*TPSHB OUTFLOWS:

PHB_PO4 = BLHB_PO4*IPAL

BLJA_PO4(t) = BLJA_PO4(t - dt) + (LJA_PO4 - PJA_PO3) * dtINIT BLJA_PO4 = LJA_PO4

INFLOWS:

LJA_PO4 = debit__JA*faktor_konv*KKPJA__PO4*TPSJA OUTFLOWS:

PJA_PO3 = BLJA_PO4*IPAL

BLJN_PO4(t) = BLJN_PO4(t - dt) + (LJN_PO4 - PJN_PO4) * dtINIT BLJN_PO4 = LJN_PO4

INFLOWS:

LJN_PO4 = debit_Jn*faktor_konv*KKPJN_PO4*TSPJN OUTFLOWS:

PJN_PO4 = IPAL*BLJN_PO4

BLPN_PO4(t) = BLPN_PO4(t - dt) + (LPN_NO3 - PPN_PO4) * dtINIT BLPN_PO4 = LPN_NO3

INFLOWS:

LPN_NO3 = debit_PN*faktor_konv*KKPPN_PO4*TSPPN OUTFLOWS:

PPN_PO4 = IPAL*BLPN_PO4

BLTL_PO4(t) = BLTL_PO4(t - dt) + (LTL_PO4 - PTL_PO4) * dtINIT BLTL_PO4 = LTL_PO4

INFLOWS:

LTL_PO4 = debit_TL*faktor_konv*KKPTL_PO4*TSPTL OUTFLOWS:

PTL_PO4 = IPAL*BLTL_PO4

Jml_pddk(t) = Jml_pddk(t - dt) + (tambah__pddk - kurang__pddk) * dtINIT Jml_pddk = 1272349

INFLOWS:

tambah__pddk = Jml_pddk*lahir OUTFLOWS:

kurang__pddk = Jml_pddk*mati

juml_kamar(t) = juml_kamar(t - dt) + (tumbuh_hotel) * dtINIT juml_kamar = 5064 INFLOWS:


(3)

Lampiran 8 (lanjutan)

tumbuh_hotel = Fr_tumbuh_hotel*juml_kamar

TL_PO4(t) = TL_PO4(t - dt) + (LT_PO4) * dtINIT TL_PO4 = LT_PO4 INFLOWS:

LT_PO4 = BLBT_PO4+BLHB_PO4+BLJA_PO4+BLJN_PO4+BLPN_PO4+BLTL_PO4 debit_Jn = 1028.5

debit_PN = 39.1545 debit_TL = 387.85 debit__BT = 1.49 debit__HB = 1.90 debit__JA = 24.92 faktor_konv = 2.592 Fr_tumbuh_hotel = 0.2/12 IPAL = 0.30

juml__tamu = juml_kamar*okupansi kapasitas_Asimilasi = 503.6244444 KKPBT_PO4 = 0.000338125581 KKPHB_PO4 = 0.000172171232 KKPJA__PO4 = 0.000030967790 KKPJN_PO4 = 0.000000509296 KKPPN_PO4 = 0.000011207837 KKPTL_PO4 = 0.000000840343

klanjut_BT = BLBT_PO4-kapasitas_Asimilasi klanjut_HB = BLHB_PO4-kapasitas_Asimilasi klanjut_JA = BLJA_PO4-kapasitas_Asimilasi klanjut_JN = BLJN_PO4-kapasitas_Asimilasi klanjut_PN = BLPN_PO4-kapasitas_Asimilasi klanjut_TL = BLTL_PO4-kapasitas_Asimilasi lahir = 0.0163/12

mati = 0.0005/12 okupansi = 0.4706

TPSHB = TSP*0.001280345 TPSJA = TSP*0.016795171 TSP = Jml_pddk+juml__tamu TSPBT = TSP*0.001006915 TSPJN = TSP*0.693143663 TSPPN = TSP*0.026387646 TSPTL = TSP*0.261386261 Not in a sector


(4)

Lampiran 9 Sub Model Ekonomi IPAL

Jml_pddk(t) = Jml_pddk(t - dt) + (tambah__pddk - kurang__pddk) * dtINIT Jml_pddk = 1272349

INFLOWS:

tambah__pddk = Jml_pddk*lahir OUTFLOWS:

kurang__pddk = Jml_pddk*mati

juml_kamar(t) = juml_kamar(t - dt) + (tumbuh_hotel) * dtINIT juml_kamar = 5064 INFLOWS:

tumbuh_hotel = Fr_tumbuh_hotel*juml_kamar

KU_PW_total(t) = KU_PW_total(t - dt) + (KU_PW) * dtINIT KU_PW_total = KU_PW INFLOWS:

KU_PW = KBRL+KKJA+KWPt

manfaat__bersih_PW(t) = manfaat__bersih_PW(t - dt) + (manfaat__PW - Biaya_PW) * dtINIT manfaat__bersih_PW = KU_PW-Biaya_PW

INFLOWS:

manfaat__PW = KU_PW_total OUTFLOWS:

Biaya_PW = (FR_alaokasi_kompensasi*nilai__kompensasi)*TSP PAD(t) = PAD(t - dt) + (PPAD) * dtINIT PAD = PPAD

INFLOWS:

PPAD = KU_PW_total*Pajak_Retribusi biaya__operasi = 0.1

DD_KJA = 3258 DD__BRL = 554 DD__wisata = 414

efektifitas__kerja_ipal = FR_alaokasi_kompensasi FR_alaokasi_kompensasi = 0.3

Fr_tumbuh_hotel = 0.2/12

Imbangan_Insentif__manfaat = manfaat__bersih_PW/TSP juml__tamu = juml_kamar*okupansi

KBRL = DD__BRL*NKBRL*penurunan_DD KKJA = DD_KJA*NKKJA*penurunan_DD KWPt = DD__wisata*NKWPt*penurunan_DD lahir = 0.0163/12

mati = 0.0005/12

Nilai_IPAL = 407000000000 nilai__kompensasi =

(Nilai_IPAL+biaya__operasi)/Umur__IPAL/TSP*FR_alaokasi_kompensasi NKBRL = 833333

NKKJA = 1483755 NKWPt = 1500000 okupansi = 0.4706 Pajak_Retribusi = 0.15

penurunan_DD = efektifitas__kerja_ipal

Total_Nilai__Kompensasi = nilai__kompensasi*TSP TSP = Jml_pddk+juml__tamu


(5)

Lampiran 10 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KepMen LH No. 51/MENLH/10/2004 tentang Baku Mutu air laut unuk wisata Bahari


(6)

Lampiran 11 Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KepMen LH No. 51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri.