Model kebijakan pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan di perairan pantai Makassar Sulawesi Selatan

(1)

MODEL KEBI JAKAN PENGELOLAAN WI LAYAH PESI SI R

SECARA TERPADU DAN BERKELANJUTAN DI PANTAI

MAKASSAR SULAWESI SELATAN

RIDWAN BOHARI

SEKOLAH PASCASARJANA

I NSTI TUT PERTANI AN BOGOR

BOGOR

2010

PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI

DAN SUMBER INFORMASI


(2)

Saya yang tertanda tangan di bawah ini menyatakan bahwa disertasi yang berjudul: ModelKebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Berkelanjutan di Pantai Makassar Sulawesi Selatan adalah karya saya sendiri dengan arahan komisi pembimbing dan belum pernah diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber data dan informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam daftar pustaka di bagian akhir disertasi.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenar-benarnya.

Bogor, Januari 2009

Ridwan Bohari P062050191


(3)

ABSTRACT

RIDWAN BOHARI. 2009. Integrated and sustainable Management Policy Models in the coast of Makassar, Sulawesi Selatan. Under supervision of Bambang Pramudya, Hadi S. Ali Kodra and Sugeng Budi Harsono.

Decreasing of water quality in the coastal area of Makassar probably comes from three dominant resources i.e. population concentration in the city, industrial activities surround the city and agricultural activities in up land area of Jeneberang river. This research is aimed to design integrated and sustainable management models for coastal area: a) knowing sustainability status of coastal area of Makassar, b) knowing the rate of land use for coastal area of Makassar, c) arranging policy strategies for coastal area d) developing management for coastal area of Makassar. In order to know sustainability status for coastal area of Makassar, Multidimensional scaling (MDS) by using Rapfish computer software was applied. Prospective analysis is applied to create a scenario of sustainable development for coastal area of Makassar in the future by defining key factors which influence on system work. In general there are four steps of suitability analysis were conducted, i.e. (i) develop maps of the area, (ii) develop suitability matrix of every activities would be done (iii) ranking and standardizing and (iv) conducting spatial analysis for knowing suitability in every further activities. To analyze total source of pollution, landscape and water quality in period of 2002 – 2028 dynamic model methods of powersim tool 2.5d and powersim STUDIO were used. Several efforts to reduce total waste burden by means of functional intervention were decreasing population development fractions in the form of socialization policy for family planning (KB), limitation of marital age and limitation of migration in to coastal area of Makassar. While technical policies would be done for reducing waste burden were training in utilizing of wastes from the hotels and municipal such as creating compost and biogas by using such approach: reduce, reuse, recycle, recovery and participation (4R + P) in order to empower people in handling of waste in the coastal area of Makassar. The results of this research indicate that ecological dimension is in the status of less sustainable (47.13%), economical dimension is sustainable enough (53.89%), social-culture dimension is less sustainable (34.82 %), infrastructure and technology dimension is not sustainable (13.28%), law and institutional dimension is sustainable enough (50.74%) and from 45 attributes were analyzed, 20 attributes were urge to be handled because of their sensitivities in increasing indexes and status of sustainability.


(4)

RINGKASAN

Sebagai suatu negara kepulauan terbesar yang memiliki sekitar 17.508 pulau dengan panjang garis pantai sekitar 81.000 km, Indonesia memiliki potensi sumberdaya wilayah pesisir yang sangat besar. Salah satu wilayah pesisir yang penting secara ekonomi dan ekologi adalah wilayah pesisir Kota Makassar. Di wilayah ini terdapat kegiatan ekonomi yang berbasiskan sumberdaya alam seperti perikanan, pelabuhan, perhotelan, industri dan pariwisata bahari.

Adanya berbagai aktivitas di wilayah pesisir Kota Makassar telah menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan berupa pencemaran dan kerusakan terumbu karang dan perubahan morfologi pantai. Berdasarkan hasil penelitian Monoarfa (2002), penyebab menurunnya kualitas perairan pesisir Kota Makassar diduga berasal dari tiga sumber yang dominan yaitu adanya pemusatan penduduk di Kota, kegiatan industri di sekitar Kota Makassar dan kegiatan pertanian di hulu sungai Jeneberang dan sungai Tallo. Terpusatnya penduduk kota menghasilkan limbah yang cukup besar, baik limbah padat maupun limbah cair.

Salah satu wilayah pesisir yang penting adalah wilayah pesisir Kota Makassar. Wilayah ini merupakan wilayah pesisir yang memiliki ciri pemanfaatan beragam dan berkaitan satu sama lain. Di wilayah ini terdapat kegiatan ekonomi yang berbasiskan sumberdaya alam seperti perikanan, pelabuhan, perhotelan, permukiman, industri, dan pariwisata bahari.

Untuk mengetahui status keberlanjutan wilayah pesisir pantai Makassar. Menggunakan metode analisis Multidimensional Scaling (MDS) dengan bantuan software Rapfish yang dimodifikasi menjadi Rap-COASTALMAK (Rapid Apraisial Wilayah Pesisir Kota Makassar). Hasil penelitian menunjukkan bahwa dimensi ekologi berada pada status kurang berkelanjutan (47,13%) dimensi ekonomi cukup berkelanjutan (53,89%), dimensi sosial-budaya kurang berkelanjutan (34,82%), dimensi infrastruktur dan teknologi tidak berkelanjutan (13,28%), dimensi hukum dan kelembagaan cukup berkelanjutan (50,74%). dari 45 atribut yang dianalisis, 20 atribut yang perlu segera ditangani karena sensitif berpengaruh terhadap peningkatan indeks dan status keberlanjutan.

Dalam pengelolaan wilayah pesisir agar tetap lestari melibatkan multistakeholder yaitu: (1) Pelaku usaha baik yang bergerak di kawasan pesisir maupun diluar kawasan pesisir, (2) Pemerintah yakni Pemda, Dinas Perikanan dan Kelautan, Dinas Kehutanan, dan Dinas Perhubungan, (3) Perguruan Tinggi, Lembaga Swadaya Masyarakat/Yayasan Lingkungan Hidup, dan masyarakat umum, baik masyarakat nelayan dan non nelayan. Disamping itu masih ada faktor lain sangat penting dalam pengelolaan wilayah pesisir, seperti kualitas sumberdaya manusia, organisasi, kelembagaan,regulasi, dan infrastruktur.

Kenyataan tersebut diatas menunjukkan bahwa pengelolaan wilayah pesisir menjadi sangat penting, kompleks dan dinamis. penting karena wilayah pesisir memiliki fungsi ekologi, kompleks karena melibatkan multistakeholders dengan karakteristik yang berbeda, dan dinamis karena tingkat pencemaran dapat berubah seiring dengan perubahan waktu. Hal ini menunjukan bahwa penanganan masalah-masalah yang berkaitan dengan pengelolaan wilayah pesisir harus dilakukan secara integratif – holistik dengan pendekatan kesisteman, bukan secara parsial – sektoral. Pendekatan kesisiteman, pendekatan kesisteman ini didasarkan pada sebernetic, holistic,dan efektiveness (SHE), dengan melibatkan seluruh stakeholders.

Adanya berbagai aktivitas di wilayah pesisir Kota Makassar telah menyebabkan terjadinya penurunan kualitas lingkungan berupa pencemaran


(5)

dan kerusakan terumbu karang dan perubahan morfologi pantai. Adanya berbagai macam permasalahan tersebut maka diperlukan suatu strategi kebijakan pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan agar ciri khas Kota Makassar sebagai ”Water Front City” akan tetap terjaga. Tujuan utama penelitian ini adalah untuk menganalisis strategi kebijakan pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan. untuk mencapai tujuan utama tersebut, maka ada beberapa kegiatan yang perlu dilakukan sebagai tujuan khusus yaitu (1) mengidentifikasi faktor penentu di masa depan (2) menentukan tujuan strategis dan kepentingan pelaku utama; dan (3) mendefinisikan dan mendeskripsikan evolusi kemungkinan masa depan.

Analisis prospektif dilakukan dalam rangka menghasilkan skenario pengembangan wilayah pesisir secara berkelanjutan di Kota Makassar untuk masa yang akan datang dengan menentukan faktor kunci yang berpengaruh terhadap kinerja sistem. Dari berbagai kemungkinan yang terjadi, dirumuskan tiga skenario pengembangan wilayah pesisir Kota Makassar untuk masa yang akan datang, yaitu :

(1) Konservatif-pesimistik dengan melakukan perbaikan seadanya terhadap atribut-atribut (faktor) kunci,

(2) Moderat-Optimistik dengan melakukan perbaikan sekitar 50 % atribut-atribut (faktor) kunci,

(3) Progresif-Optimistik dengan melakukan perbaikan terhadap seluruh atribut-atribut (faktor) kunci.

Berdasarkan kondisi existing lokasi penelitian, dimensi ekologi termasuk dalam status kurang berkelanjutan, dimensi ekonomi, dimensi sosial-budaya, dan dimensi hukum dan kelembagaan cukup berkelanjutan, sedangkan dimensi infrastruktur dan teknologi tidak berkelanjutan.

Secara multidimensi, wilayah pesisir Kota Makassar berstatus kurang berkelanjutan dengan 18 atribut yang sensitif berpengaruh dalam meningkatkan nilai indeks keberlanjutan. Adapun atribut-atribut tersebut meliputi 4 atribut pada dimensi ekologi, 3 atribut pada dimensi ekonomi, 3 atribut pada dimensi sosial dan budaya, 5 atribut pada dimensi infrastruktur dan teknologi, serta 3 atribut pada dimensi hukum dan kelembagaan. Untuk meningkatkan status keberlanjutan ke depan (jangka panjang), skenario yang perlu dilakukan untuk meningkatkan status keberlanjutan pengembangan wilayah pesisir di wilayah Kota Makassar adalah skenario Progresif-Optimistik dengan melakukan perbaikan secara menyeluruh terhadap semua atribut yang sensitif sehingga semua dimensi menjadi berkelanjutan untuk pengembangan wilayah pesisir.


(6)

@ Hak Cipta milik IPB, tahun 2009 Hak Cipta dilindungi Undang-undang

1. Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencamtumkan atau menyebutkan sumber

a. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik atau tinjauan sutau masalah

b. Pengutipan tidak merugikan kepentingan yang wajar IPB

2. Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis dalam bentuk apapun tanpa izin IPB


(7)

MODEL KEBIJAKAN PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR

SECARA TERPADU DAN BERKELANJUTAN DI PERAIRAN

PANTAI MAKASSAR SULAWESI SELATAN

Oleh:

RIDWAN BOHARI

P062050191

Disertasi

sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor

pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

SEKOLAH PASCASARJANA

INSTITUT PERTANIAN BOGOR


(8)

Judul Disertasi : Model Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Berkelanjutan di Perairan Pantai Makassar Sulawesi Selatan

Nama : Ridwan Bohari

NRP : P062050191

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr Ir Bambang Pramudya, M Eng

Ketua

Prof. Dr Ir Hadi S. Alikodra Dr Ir Sugeng Budiharsono

Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi PSL Dekan Sekolah Pascasarjana

Prof. Dr Ir Surjono Hadi Sutjahjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.


(9)

Judul Disertasi : Model Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Berkelanjutan di Perairan Pantai Makassar Sulawesi Selatan

Nama : Ridwan Bohari

NRP : P062050191

Program Studi : Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan

Disetujui,

Komisi Pembimbing

Prof. Dr Ir Bambang Pramudya, M Eng

Ketua

Prof. Dr Ir Hadi S. Alikodra Dr Ir Sugeng Budiharsono

Anggota Anggota

Diketahui,

Ketua Program Studi PSL Dekan Sekolah Pascasarjana

Dr Ir Surjono Hadi Sutjahjo, M.S. Prof. Dr. Ir. Khairil Anwar Notodiputro, M.S.


(10)

PRAKATA

Alhamdulillah puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, atas segala karuniaNya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Disertasi ini berjudul “ Model Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Berkelanjutan di Pantai Makassar Sulawesi Selatan”. Pengelolaan Wilayah pesisir sangat penting untuk dikaji, karena ekosistem ini sangat rentan terhadap perubahan lingkungan. Ekosistem ini memiliki sumberdaya hayati yang sangat potensil dan perlu dilestarikan dan menopang kepentingan pemerintah daerah serta mata pencaharian masyarakat yang berada di sekitar ekosistem tersebut.

Disertasi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Ilmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.

Seiring dengan selesainya penulisan disertasi ini, penulis mengucapkan terimakasih sebesar-besarnya kepada :

1. Prof. Dr. I r. Surjono H. Sutjahjo, M.S, sebagai Ketua Program Studi I lmu Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana I PB, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk melakukan penelitian serta arahannya dalam menyelesaikan studi.

2. Prof. Dr. Ir. Bambang Pramuya, M. Eng, sebagai ketua komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan, dorongan dan nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan disertasi ini. 3. Prof. Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, sebagai anggota komisi pembimbing yang

telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan, dorongan dan nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan disertasi ini.

4. Dr. Ir. Sugeng Budiharsono, sebagai anggota komisi pembimbing yang telah banyak memberikan bimbingan, pengarahan, dorongan, dan nasehat kepada penulis dalam menyelesaikan disertasi ini.

5. Departemen Pendidikan Nasional yang telah memberikan beasiswa BPPS.

6. Rektor Universitas Hasanuddin, yang telah memberikan rekomendasi kepada penulis untuk melanjutkan studi S3 di IPB Bogor.

7. Dekan Fakultas Kelautan dan Ilmu Perikanan yang telah memberikan izin untuk melanjutkan pendidikan S3 di IPB Bogor.


(11)

8. Ketua Jurusan Perikanan yang telah memberikan kesempatan untuk melanjutkan pendidikan S3 di IPB Bogor.

9. Cormap – II yang telah memberikan bantuan dana penelitian.

10. Yayasan Dana Sejahtera Mandiri (Damandiri) yang telah memberikan bantuan dana untuk penyelesaian studi.

11. PT. Antang Pomalaa yang telah memberikan bantuan dana penyelesaian studi.

12. Penghargaan tak terhingga penulis sampaikan kepada isteri tercinta Drg. Indriyani, dan anak-anakku tersayang Putri Aishah (15 tahun), Muhammad Ghifari (14 tahun) dan Ahmad Zein Rizal (12 tahun) atas segala kasih sayang dan telah banyak berkorban , dengan penuh kesabaran serta pengertiannya sehingga penulis tetap bersemangat menyelesaikan studi ini.

13. Sembah sujud kepada kedua orang tua H. Bohari dan H.Siti Nursiah (Alm) dan Ibu Mertua H.Hasnah Mahmud atas segala perhatiannya yang tak mungkin terbalaskan serta doa yang tak pernah putus dipanjatkan. Kakak dan adikku atas segala kasih sayang dan dorongan semangatnya. 14. Rekan - rekan PSL tahun 2005

15. Kakak Prof. Dr. Ir. Syamsu Alam dan Prof. Dr. Heri Tahir, SH. MH, atas doa dan dorongan semangatnya dalam penyelesaian studi S3 di IPB Bogor.

16. Dr. Ir.Thamrin, Msi, Dr. Auldry Walukow, Msi, Sigit Yudantoro, Ssi, Msi, dan Surya Widyanto atas bantuan tenaga,informasi dan bahan bacaan, serta kesediaan berdiskusi yang telah diberikan kepada penulis.

17. Semua pihak yang telah membantu secara langsung maupun tidak langsung yang tidak mungkin disebutkan satu persatu. Semoga Allah SWT. memberkatinya. Amin

Bogor, April 2009


(12)

RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan di Watampone pada tanggal 4 Maret 1966 sebagai anak keempat dari sembilan bersaudara dari pasangan keluarga Bapak H.Bohari dan Ibu H.Siti Nursiah (Alm).

Tahun 1984 penulis lulus SMA Neg. 1 Watampone dan pada tahun yang sama penulis lulus seleksi masuk Universitas Hasanuddin. Tahun 1989 Penulis lulus pada Jurusan Perikanan Fakultas Peternakan Universitas Hasanuddin. Pada Tahun 1998 penulis diterima di Program Kajian Ilmu Lingkungan, Program Pascasarjana, Universitas Indonesia. Tahun 2005 penulis diterima pada program doktor di Program Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Program Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Beasiswa pendidikan pascasarjana diperoleh dari BPPS-DIKTI. Tahun 2006 – 2007 Keua Umum Forum Komunikasi Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor Asal Sulawesi Selatan.

Penulis bekerja sebagai staf pengajar di Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan Universitas Hasanuddin sejak tahun 1991. Sebelum melanjutkan pendidikan, penulis aktif sebagai staf PPLH Universitas Hasanuddin sampai sekarang. Mengikuti berbagai seminar,pelatihan dan lokakarya serta menulis berbagai artikel. Pada tahun 1993 penulis menikah dengan drg. Indriyani dan dikaruniai tiga orang anak yaitu Putri Aisyah (15 Tahun), Muhammad Ghifari (14 Tahun) dan Ahmad Zein Rizal (12 Tahun).


(13)

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI ………... xii

DAFTAR TABEL ... xv

DAFTAR GAMBAR ... xvii

DAFTAR LAMPIRAN ... xxiv

I. PENDAHULUAN ... 1

1.1. Latar belakang ... 1

1.2. Rumusan Masalah... 2

1.3. Tujuan Penelitian... 3

1.4 Manfaat Penelitian... 3

1.5. Kerangka Pemikiran ... 4

1.6. Kebaruan (Novety) ... 6

II. TINJAUAN PUSTAKA ... 8

2.1. Konsep Pembangunan Berkelanjutan ... 8

2.2. Daya Dukung Lingkungan ... 9

2.3. Eksternalitas ... 12

2.4. Konsep dan Definisi Pengelolaan Wilayah Pesisir ... 15

2.4.1. Batasan wilayah pesisir ... 15

2.4.2. Perencanaan terpadu pembangunan wilayah pesisir ... 16

2.4.3. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan ... 18

2.5. Ekologi penting wilayah pesisir ... 21 2.5.1. Ekosistem Estuaria ... 21 2.5.2. Ekosistem Mangrove ... 21 2.5.3. Ekosistem Padang Lamun ... 22 2.5.4. Ekosistem Terumbu Karang ... 23 2.6. Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Berkelanjutan ... 24

2.6.1. Model Pengembangan Kebijakan Wilayah Pesisir secara Berkelanjutan ... 24

2.6.2. Konsep kebijakan Publik ... 26

2.6.3. Regulasi yang Terkait Pengelolaan Wilayah Pesisir ... 29

2.6.4. Pengembangan Wilayah Pesisir melalui Konsep Megapolitan ... 30

2.6.5. Lanskap Wilayah Pesisir Kota Makassar ... 30

2.6.6. SIG dan Peranannya dalam Pengelolaan Wilayah Pesisir ... 35

2.7. Konsep Sistem ... 37


(14)

2.8.1. Sistem ... 38

2.8.2. Sistem Dinamik ... 40

2.8.3. Pola-pola Dasar Sistem Dinamik ... 42

2.9. Pengembangan Analisis Sistem ... 49

2.9.1. Tahapan Pendekatan Sistem ... 49

2.9.2. Analisis Kebutuhan ... 50

2.9.3. Formulasi Masalah ... 53

2.9.4. Identifikasi Sistem ... 54

2.9.5. Pengembangan Model Dinamik ... 55

2.9.6. Uji Validasi dan Sensitifitas Model ... 56

2.9.7. Analisis Kebijakan ... 58

III KEADAAN UMUM WILAYAH PENELITIAN ... 59

3.1. Kondisi Fisik ... 59

3.2. Demografi ... 59

3.2.1. Penduduk ... 59

3.2.2. Penyebaran Penduduk ... 59

3.3. Kondisi Sosial dan Ekonomi ... 63

3.3.1. Pendidikan ... 63

3.3.2. Kesehatan ... 63

3.3.3. Kemiskinan ... 63

3.3.4. Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ... 64

3.4. Gambaran Umum Kota Makassar .. ... 65

3.4.1. Gambaran Umum Kota Makassar dan Pantai Makassar ... 65

3.4.2. Kondisi Fisik ... 69

3.4.2.1. Geologi Pantai ... 69

3.4.2.2. Bathimetri dan Hidrologi ... 70

3.4.2.3. Oceanografi ... 71

3.4.2.4. Morfologi Pantai ... 72

3.4.2.5. Pola Angin di Makassar ... 72

3.4.2.6. Ombak ... 73

3.4.2.7. Klimatologi ... 73

3.4.3. Kimiawi ... 74

3.4.3.1. Kualitas Air Perairan ... 74

3.4.3.2. Kecerahan Perairan ... 75

IV METODOLOGI PENELITIAN ... 82


(15)

4.2. Tahap Penelitian ... 84

4.3. Rancangan dan Pemodelan Penelitian ... 85

4.3.1. Teknik Pengumpulan Data ... 85

4.3.2. Jenis dan Sumber Data ... 86

4.3.3. Teknik Sampling Kualitas Air ... 86

4.3.4. Teknik Analisis dan Pemodelan ... 87

4.3.5. Pemodelan Perubahan Penggunaan Lahan ... 88

4.4 Rancang Bangun Model ... 88

4.4.1. Kerangka Model Sistem Dinamik ... 91

4.4.1.1. Model Sosial ... 94

4.4.1.2. Model Ekonomi ... 95

4.4.1.3. Model Lingkungan ... 97

4.4.1.4. Model Penggunaan Lahan ... 99

4.4.2. Model Spatial Dinamik ... 100

V HASIL DAN PEMBAHASAN ... 126

5.1. Analisis Keberlanjutan Wilayah Pesisir Perairan Pantai Makassar Sulawesi Selatan ... 126 5.2. Analisis Kesesuaian Lahan Wilayah Pesisir Pantai Makassar Sulawesi Selatan ... 139 5.3. Analisis Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Berkelanjutan di Perairan Pantai Makassar ... 160 5.4. Analisis Kualitas air di Perairan Pantai Makassar ... 174

5.5. Model Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Berkelanjutan di perairan Patai Makassar... 182 5.5.1. Model Dinamik Beban Limbah dan Kualitas Air ... 182

5.5.2. Analisis Kecenderungan Sistem ... 189

5.5.3. Uji Validitas ... 190

5.5.4. Verifikasi Model ... 194

5.6. Model Kebijakan Pengelolaan Landscape Wilayah Pesisir Kota Makassar ... 197 5.6.1. Model Dinamik Landscape ... 197

5.6.2. Analisis Kecenderungan Sistem ... 198

5.6.3. Uji Validitas ... 198

5.6.4. Verifikasi Model Landscape ... 200

5.6.5. Analisis Kebijakan ... 200

5.7. Analisis Perubahan Penggunaan Lahan Wilayah Pesisir Kota Makassar ... 209 VI KESIMPULAN DAN SARAN ... 218


(16)

6.2. Saran ... 220 DAFTAR PUSTAKA ... 221 LAMPIRAN ... 227


(17)

DAFTAR TABEL

Halaman

1. Analisis kebutuhan aktor/stakeholder yang terlibat dalam pengelolaan wilayah pesisir terpadu ...

52

2. Konversi rumus statistik kepersamaan powersim ... 57

3. Penduduk dan persentase menurut Kecamatan tahun 2004 ... 60

4. Luas wilayah, jumlah penduduk dan kepadatan menurut Kecamatan di Kota Makassar, tahun 2004 ... 62 5. PDRB Sulawesi Selatan dan PDRB Kota Makasar atas dasar harga berlaku, tahun 2000 – 2004 ... 65 6. Keadaan daerah kepulauan Kota Makassar (RIPPP Kota Makassar 2000 diolah tahun 2009) ... 80 7. Atribut-atribut dan skor keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir Kota Makassar ... 108 8. Kategori status keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir berdasarkan nilai indeks hasil analisis Rap-COASTALMAK ... 108 9. Parameter fisika dan kimia ... 111

10. Kebutuhan stakeholders dalam pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan ... 111 11. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman penduduk ... 116

12. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan pelabuhan umum ... 117

13. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya tambak ... 118

14. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan pariwisata pantai ... 119

15. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi ... 120

16. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya rumput laut ... 121

17. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya kajapung ... 122

18. Matriks kesesuaian lahan untuk kawasan pelabuhan perikanan pantai ... 123 19. Matriks kriteria kesesuaian lahan untuk kawasan industri ... 124 20. Pedoman penilaian prospektif dalam pengembangan wilayah pesisir

Kota Makassar ... 125 21. Pengaruh antar faktor dalam pengembangan wilayah pesisir Kota

Makassar ... 125 22. Keadaan yang mungkin terjadi di masa depan pada pengembangan

wilayah pesisir Kota Makassar ... 127 23. Hasil analisis skenario pengembangan wilayah pesisir Kota

Makassar ... 127 24. Perbedaan nilai indeks keberlanjutan nilai Rap-COASTALMAK (MDS)

dengan analisis Montecarlo ...

138 25. Hasil analisis Rap-COASTALMAK untuk nilai stress dan koefisien

determinasi (R2) ……….. 139


(18)

Halaman

26. Luas dan lokasi kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman ... 142

27. Luas dan lokasi kesesuaian lahan untuk kawasan industri ... 146

28. Kesesuaian lahan dibandingt RTRW ... 146

29. Kesesuaian lahan untuk kawasan budidaya budidaya tambak ... 149

30. Luas dan lokasi kesesuaian lahan untuk kawasan pelabuhan umum . 151 31. Luas dan lokasi kesesuaian lahn untuk kawasan pelabuhan pantai .... 153

32. Luas dan lokasi kesesuaian lahn untuk kawasan pariwisata pantai .... 156

33. Luas dan lokasi kesesuaian lahn untuk kawasan karamba jaring apung di lokasi penelitian ... 158 34. Luas dan lokasi kesesuaian lahn untuk kawasan budidaya rumput laut di lokasi penelitian ... 159 35. Distribusi kesesuaian Lahan untuk konservasi ... 161

36. Faktor-faktor kunci yang berpengaruh dalam pengembangan wilayah pesisir berdasarkan analisis keberlanjutan ... 164 37. Keadaan masing-masing faktor kunci dalam pengembangan wilayah pesisir Kota Makassar ... 165 38. Hasil analisis skenario strategi pengembangan wilayah pesisir Kota Makassar ……… 168 39. Perubahan nilai skoring atribut yang berpengaruh pada scenario 1 terhadap peningkatan status wilayah pesisir ……… 169 40. Perubahan nilai indeks keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar untuk pengembangan wilayah pesisir berdasarkan skenario 1... 170 41. Perubahan nilai skoring atribut yang berpengaruh pada skenario 2 terhadap peningkatan status wilayah pesisir ... 171 42. Perubahan nilai indeks keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar untuk pengembangan wilayah pesisir berdasarkan skenario 2 ... 1772 43. Perubahan nilai skoring atribut yang berpengaruh pada skenario 3 terhadap peningkatan status wilayah pesisir ... 173 44. Perubahan nilai indeks keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar untuk pengembangan wilayah pesisir berdasarkan skenario 3 ... 173 45. Populasi penduduk dan jumlah sumber pencemar 2002-2028 ... 192


(19)

DAFTAR GAMBAR

Halaman

1. Kerangka rumusan masalah ... 3

2. Kerangka pikir pengelolaan wilayah pessir ... 6

3. Prinsip-prinsip keberlanjutan (Munasinghe,1992) ... 9

4. Batasan wilayah pesisir ... ... 16

5. Pilar pengelolaan wilayah pesisir (Budiharsono,2006) ... ... 18

6. Proses SIG dalam menangkap dan menampilkan data ... ... 35

7. Proses SIG dalam identifikasi lokasi sesuai dengan kriteria yang diinginkan ... ... 37

8. Garis besar pengembangan model dinamik ... 41

9. Diagram input-output sistem (Hartisari,2007) ... ... 42

10. Struktur dasar model perbaikan yang gagal ... ... 43

11. Struktur dasar pemindahan beban ... ... 44

12. Diagram simpal kausal model batas keberhasilan ... ... 45

13. Struktur dasar sasaran yang berubah ... ... 45

14. Diagram simpal kausal model pertumbuhan dan kekurangan modal ... 47

15. Struktur dasar sukses bagi yang berhasil ... ... 47

16. Diagram simpal kausal model eskalasi ... ... 48

17. Struktur dasar kesulitan bersama ... 48

18. Pendekatan sistem ... 50

19. Diagram input output model pegelolaan wilayah pesisir ... ... 55

20. Hubungan Interaksi sejumlah Sub sistem (Sub Model) yang Berbeda ... ... 56

21. Grafik penduduk Kota Makassar menurut Kecamatan Th 2004 ... ... 61

22. Grafik kepadatan penduduk menurut Kecamatan di Kota Makassar Tahun 2004 ... 62

23a. Peta lokasi penelitian di wilayah pesisir Pantai Makassar ... ... 83

23b. Peta lokasi wilayah studi penelitian di Kota Makassar ... ... 84

24. Tahapan penelitian ... 85

25. Tahapan analisis penggunaan lahan ... 88

26. Unsur-unsur pembangunan berkelanjutan ... ... 89

27. Hubungan antara Faktor Biofisik dan Sosial Ekonomi serta Komponen lain dalam Sistem Penggunaan/Tutupan Lahan ... 90


(20)

29. Hubungan keterkaitan (diagram sebab akibat) antar sub sistem

ekologi subsistem ekonomi dan penggunaan lahan ... 93

30. Mental model sosial ... ... 95

31. Mental model sub model ekonomi untuk parameter penerimaan pemerintah dan penerimaan rumah tangga ... ... 96

32. Mental model lingkungan ... ... 99

33. Blok diagram model penggunaan lahan ... ... 101

34. Gabungan sistem dinamik dan spatial dinamik ... ... 102

35. Peta rencana tata ruang wilayah pesisir Kota Makassar ... ... 105

36. Illustrasi indeks keberlanjutan pengelolaan wilayah pesisir Kota Makassar ... ... 108

37. Illustrasi indeks keberlanjutan setiap dimensi pengelolaan wilayah pesisir ... ... 109

38. Tahapan analisis status keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar ... 109

39. Diagram simpal kausal ... ... 112

40. Diagram Input-output ... ... 113

41. Penentuan elemen kunci pengembangan wilayah pesisir ... ... 126

42 Kerangka pemikiran analisis keberlanjutan wilayah pesisir pantai Makassar Sulawesi Selatan ... ... 130

43. Hasil analisis MDS dan leverage pada dimensi ekologi wilayah pesisir Kota Makassar ... 131

44. Indeks dan status keberlanjutan serta atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan pada dimensi ekonomi ... ... 132

45. Indeks dan status keberlanjutan serta atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan pada dimensi sosial budaya ... ... 133

46. Indeks dan status keberlanjutan serta atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan pada dimensi infrastruktur dan teknologi ... 134

47. Indeks dan status keberlanjutan serta atribut yang sensitif mempengaruhi keberlanjutan pada dimensi hukum dan kelembagaan . ... ... 136

48. Diagram layang (kite diagram) nilai indeks keberlanjutan wilayah pesisir Kota Makassar ... ... 137

49 Peta kesesuaian lahan untuk kawasan pemukiman di lokasi penelitian ... ... 142


(21)

50. Peta kesesuaian lahan untuk kawasan industri di lokasi penelitian ... 145

51. Peta kesesuaian lahan untuk budidaya tambak di lokasi penelitian ... 149

52. Peta kesesuaian lahan untuk pelabuhan umum di lokasi penelitian ... 151

53. Peta kesesuaian lahan untuk pelabuhan perikanan di lokasi penelitian ... ... 154

54. Peta kesesuaian lahan untuk wisata pantai di lokasi penelitian ... 155

55. Peta kesesuaian lahan untuk karamba jaring apung di lokasi penelitian ... 157

56. Peta kesesuaian lahan untuk budidaya rumput laut di lokasi penelitian ... 159

57. Peta kesesuaian lahan untuk kawasan konservasi di lokasi penelitian ... 161

58. Kerangka pemikiran strategi kebijakan pengelolaan wilayah pesisir secara berkelanjutan ... ... 163

59. Perubahan temperatur di lokasi penelitian ... 174

60. Konsentrasi PH di lokasi penelitian ... 175

61. Perubahan Salinitas di lokasi penelitian ... 175

62. Konsentrasi Oksigen terlarut di lokasi penelitian ... 176

63. Konsentrasi nilai BOD di lokasi penelitian ... 177

64. Konsentrasi nilai COD di lokasi penelitian ... ... 178

65. Konsentrasi nilai Cd di lokasi penelitian ... ... 179

66. Konsentrasi nilai Pb di Lokasi Penelitian ... ... 182

67. Konsentrasi nilai Cu di Lokasi Penelitian ... ... 182

68. Model Terpadu Pengelolaan Wilayah Pesisir ... ... 183

69. Model Dinamik Beban Limbah DAS Tallo ... ... 186

70. Model Dinamik Beban Limbah DAS Jeneberang ... 188

71. Model Dinamik Kualitas Air di Pesisir Makassar ... ... 189

72. Kecenderungan populasi penduduk total ... ... 190

73. Kecenderungan jumlah masing-masing beban limbah yang masuk keperairan ... ... 190

74. Hubungan jumlah penduduk dan total beban sumber pencemar ... 193

75. Grafik perbandingan perkembangan jumlah penduduk hasil simulasi dengan data empiris ... ... 194

76. Grafik perbandingan total sumber pencemar hasil simulasi dan aktual .. ... 194 77. Nilai kapasitas asimilasi BOD dan perkembangan beban


(22)

limbah BOD ... ... 195 78. Nilai kapasitas asimilasi BOD ... 195 79. Nilai kapasitas asimilasi COD dan perkembangan beban

pencemaran COD ... 196 80. Nilai kapasitas asimilasi COD ... 196 81. Nilai baku mutu COD dan perkembangan konsentrasi COD ... ... 197 82. Nilai baku mutu BOD dan perkembangan konsentrasi BOD ... ... 197 83. Model dinamik jumlah pohon di pesisir Makassar ... ... 198 84. Kecenderungan jumlah pohon ... ... 199 85. Grafik perbandingan jumlah pohon hasil simulasi dan aktual ... ... 201 86. Perkembangan jumlah pohon ... ... 201 87. Hasil skenario model kebijakan pengelolaan wilayah

pesisir secara berkelanjutan .... ... 203 88. Pertambahan jumlah penduduk berdasarkan intervensi fraksi

pertambahan penduduk ... 204 89. Penurunan luas lahan pesisir berdasarkan intervensi fraksi

Pertambahan penduduk ... ... 206 90. Penurunan luas pemukiman di wilayah pesisir berdasarkan

intervensi fraksi pertambahan penduduk ... ... 206 91 Penurunan total beban limbah hotel berdasarkan intervensi

fungsional ... ... 207 92 Tampilan awal program MoPPeM ... ... 209 93. Tampilan input data dan output data hasil simulasi model

beban limbah ... ... 210 94. Tampilan input data dan output data hasil simulasi model

kualitas air ... ... 211 95. Peta proyeksi penggunaan lahan di wilayah pesisir Kota

Makassar tahun 2008 ... ... 213 96. Peta proyeksi penggunaan lahan di wilayah pesisir Kota

Makassar tahun 2013 ... ... 214 97. Peta proyeksi penggunaan lahan di wilayah pesisir Kota

Makassar tahun 2018 ... ... 215 98. Peta proyeksi penggunaan lahan di wilayah pesisir Kota

Makassar tahun 2023 ... ... 216 99. Peta proyeksi penggunaan lahan di wilayah pesisir Kota


(23)

DAFTAR LAMPIRAN

Halaman

1. Foto-foto Wilayah Pesisir Pantai Makassar... 227 2. Data kualitas air Pantai Makassar 1 . .………... 231 3. Data kualitas air Pantai Makassar 2 ...………... 231 4. Data kualitas air Pantai Makassar 3 ……….... 232 5. Data kualitas air Pantai Makassar 4 ...………. 232 6. Data kualitas air Pantai Makassar 5 ... 232 7. Data kualitas air Pantai Makassar 6 ... 233 8. Data kualitas air Pantai Makassar 7 ... 233 9. Data kualitas air Pantai Makassar 8 ... 233 10. Data kualitas air Pantai Makassar 9 ... 234 11. Data kualitas air Pantai Makassar 10 ... 234 12. Data kualitas air Pantai Makassar untuk Logam Berat ... 235 13. Persamaan Model Dinamik Beban Limbah dan Kualitas air ... 242 14. Persamaan Model Dinamik Landscape ... 247 15. Proyeksi Penggunaan Lahan Tahun 2008 – 2028 ... 250 16. Validasi Jumlah Penduduk ... 252 17. Validasi total sumber pencemar ... 255 18. Validasi jumlah pohon pada model Lanscape ... 258 19. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KepMen LH

No. 51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri Tanggal 23 Oktober 1995. ... 261


(24)

I. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah pesisir dan laut, merupakan aset pembangunan Indonesia yang penting, karena wilayah ini didukung oleh dua komponen utama yang menjadi tulang punggung pengembangannya. Pertama, komponen biofisik; wilayah pesisir dan laut Indonesia yang membentang kurang lebih 81.000 km garis pantai dan menyebar pada sekitar 17.508 pulau dengan sekitar 5,8 juta km2 wilayah perairan termasuk Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI), memiliki potensi sumberdaya hayati yang melimpah dan beragam jenisnya. Sumberdaya tersebut memiliki nilai penting baik dari sisi pasar domestik maupun pasar internasional. Kedua, Komponen sosial ekonomi; sebagian besar penduduk Indonesia (kurang lebih 60 %) hidup di wilayah pesisir (dengan pertumbuhan rata-rata 2 % pertahun). Hal ini disebabkan secara administratif, sebagian besar daerah kabupaten dan kota terletak di wilayah pesisir. Berdasarkan wilayah kecamatan, dari 4.028 kecamatan yang ada terdapat 1.129 kecamatan yang dari segi topografi terletak di wilayah pesisir, dan dari 62.472 desa yang ada sekitar 5.479 desa merupakan desa-desa pesisir (Dahuri et al, 2001).

Wilayah pesisir merupakan salah satu ekosistim yang sangat produktif. Namun dibalik potensi tersebut, pembangunan biasanya juga dipusatkan di daerah pesisir, sehingga sering menimbulkan dampak negatif terhadap potensi sumberdaya tersebut. Aktifitas manusia dalam memanfaatkan sumberdaya alam seperti industri, pertanian, perikanan, permukiman, pertambangan, navigasi, dan pariwisata, sering tumpang tindih, sehingga tidak jarang manfaat atau nilai guna ekosistim tersebut turun. Aktifitas-aktifitas tersebut seringkali memberikan dampak pencemaran dan sedimentasi di wilayah pesisir.

Pemanfaatan kawasan pesisir selama ini memberikan dampak positif berupa peningkatan pendapatan masyarakat pesisir dan devisa negara. Namun, pada kegiatan pemanfaatan ekosistim ini cenderung dilakukan secara tidak terkendali, sehingga memberikan implikasi munculnya dampak negatif yaitu terjadinya kerusakan ekosistim pesisir dan laut (Sugandhy, 1996). Jika kondisi ini dibiarkan berlangsung terus menerus akan menimbulkan resiko terhadap perubahan serta pencemaran lingkungan pesisir dan laut yang semakin parah dan pada akhirnya akan berdampak lanjut pada penurunan kondisi kehidupan manusia khususnya di wilayah pesisir Kota Makassar.


(25)

Konflik penggunaan ruang di kawasan pesisir dan laut Kota Makassar sering terjadi karena belum adanya pola pemanfaatan tata-ruang yang baku dan dapat dijadikan acuan oleh segenap sektor yang berkepentingan. Disamping itu, potensi multi-guna yang inherent pada sumberdaya pesisir dan laut menyebabkan banyak pihak yang berupaya untuk memanfaatkannya sehingga menimbulkan konflik pemanfaatan. Untuk menanggulangi masalah tersebut di atas, diperlukan suatu bentuk pemanfaatan ruang kawasan pesisir dan laut yang berdimensi ekologis, teknologis, ekonomis dan sosial politik yang bertolak pada aspek berwawasan lingkungan. Sehubungan dengan itu, maka dibutuhkan suatu penelitian tentang “model pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan” yang dapat digunakan sebagai acuan bagi segenap sektor yang berkepentingan.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian di atas diketahui bahwa wilayah pesisir dan laut merupakan ekosistim unik yang tersusun dari berbagai komponen yang saling berhubungan timbal balik satu sama lain. Wilayah pesisir dan laut Kota Makassar memiliki empat dimensi persoalan yang saling terkait satu sama lain (Gambar 2). Keempat dimensi itu adalah: kependudukan, degradasi lahan, konflik kepentingan dan pencemaran. Keempat dimensi itu pada dasarnya merupakan penjabaran dari tiga dimensi utama, yaitu: sosial, ekonomi dan lingkungan. Untuk memperjelas saling keterkaitan kelima dimensi itu, disusun pertanyaan penelitian sebagai berikut:

a. Bagaimana membuat konsep penataan ruang berdimensi sosial, ekonomi dan lingkungan di kawasan pesisir secara terpadu dan berkelanjutan.

b. Bagaimana membuat model pengelolaan wilayah pesisir yang memberikan manfaat semua stakeholders tanpa mengabaikan prinsip konservasi lingkungan.


(26)

SUSTAINABLE DEVELOPMENT

WILAYAH PESISIR ISU LINGKUNGAN GLOBAL

EKOLOGI SOSIAL

EKONOMI

EXISTING

TAMBAK INDUSTRI

PERMUKIMAN PERDAGANGAN PELABUHAN

MODEL PENGELOLAAN WILAYAH SECARA BERKELANJUTAN MANGROVE

PERIKANAN

DEGRADASI PENCEMARAN

LIMBAH

KONFLIK

KEPENTINGAN KEPENDUDUKAN

Gambar 1. Kerangka rumusan masalah (Bohari,2003)

1.3. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk merancang model pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan;

a. Mengetahui status keberlanjutan wilayah pesisir perairan pantai Makassar b. Mengetahui tingkat kesesuaian lahan pesisir Kota Makassar bagi berbagai

peruntukan yang mengintegrasikan kepentingan ekosistem darat dan laut c. Menyusun strategi kebijakan pengelolaan wilayah pesisir perairan pantai

Makassar secara berkelanjutan

d. Membangun model pengelolaan wilayah pesisir Kota Makassar dilihat dari aspek ekonomi, sosial, ekologi dan landskap terhadap ruang

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut:

a. Bagi pemerintah penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu masukan dalam menyusun rencana pembangunan wilayah pesisir dan laut.


(27)

b. Bagi pelaku industri dan jasa penelitian ini bermanfaat untuk memahami strategi dan prospek pengembangan usaha sehingga terbangun kemitraan (partnership) dengan berbagai pihak terkait atas dasar saling menguntungkan. c. Bagi penduduk setempat penelitian ini bermanfaat untuk membantu

memahami proses perencanaan pembangunan wilayah sehingga masyarakat bisa ikut berpartisipasi aktif dalam pembangunan.

1.5. Kerangka Pemikiran

Wilayah pesisir merupakan salah satu wilayah perairan yang sangat produktif yang sangat potensial untuk dikembangkan dan salah satunya wilayah pesisir Kota Makassar. Sebagai salah satu wilayah unggulan daerah. Pola pengelolaan wilayah pesisir yang belum menerapkan konsep pengelolaan yang berkelanjutan, sehingga berbagai kendala sering dihadapi terutama masyarakat yang bergerak diwilayah pesisir adalah pada sistem budidaya dan penangkapan diantaranya adalah limbah pencemaran dan wilayah pemanfaatan, tingkat mortalitas dalam budidaya sangat tinggi, dan zona penangkapan serta wilayah pelayaran sering tumpang tindih.

Pengelolaan wilayah pesisir dikatakan berkelanjutan jika sistem tesebut menerapkan konsep pembangunan berkelanjutan sehingga dapat memberikan solusi yang optimal terhadap konflik antara pembangunan ekonomi dengan pelestarian lingkungan hidup. WCED (1987) mendifinisikan pembangunan berkelanjutan sebagai pembangunan untuk memenuhi kebutuhan ummat manusia saat ini, tanpa menurunkan atau menghancurkan kemampuan generasi mendatang dalam memenuhi kebutuhannya. Atas dasar definisi tersebut, pembangunan berkelanjutan mengandung lima dimensi utama yaitu dimensi ekologi, ekonomi, sosial budaya, teknologi, hukum dan kelembagaan. Masing-masing dimensi tersebut memiliki atribut dan kriteria tersendiri yang mencerminkan keberlanjutan dari dimensi yang bersangkutan. untuk menentukan keberlanjutan dari sistem ini secara keseluruhan (multi dimensi) maupun masing-masing dimensi dilakukan dengan menghitung indeks keberlanjutan wilayah pesisir (Ikb-Coastal) dengan menggunakan metode multivariabel non parametrik yang disebut multidimensional scalling (MDS).

Untuk menjawab permasalahan tersebut, maka akan digunakan analisis sistem dinamis dengan aplikasi program “Powersim” agar dinamika antar variabel dapat terlihat. Model dinamis yang akan digunakan dalam analisis ini adalah model batas keberhasilan (Muhammadi et al., 2001). Pada model ini


(28)

kinerja variabel pada awalnya memberi keberhasilan (pertumbuhan) yang makin meningkat, namun dengan berjalanya waktu, keberhasilan itu sendiri menyebabkan sistem mencapai batas, sehingga tingkat pertumbuhannya mulai diperlambat dan menjadi pembatas pertumbuhan itu sendiri. Untuk membangun model pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan ditentukan salah satu variabel yang mewakili masing-masing dimensi tersebut.

Dalam rangka mendukung pelaksanaan otonomi daerah melalui pembangunan bidang perikanan secara terpadu dan berkelanjutan, maka perlu dirumuskan kebijakan dan formulasi strategi kedepan dengan berbagai skenario pengelolaan untuk dapat menghasikan model pengelolaan yang optimal dalam memprediksi semua kemungkinan keadaan yang akan terjadi dimasa datang digunakan anlisis Sistem Dinamik dan Spatial Dinamik sehigga permasalahan yang terjadi diwilayah pesisir dapat dilihat secara menyeluruh (holistik) yang melibatkan semua stakeholders yang ada didalamnya. Secara skematis kerangka pemikiran model kebijakan pengelolaan Wilayah Pesiisr secara terpadu dan berkelanjutan di sajikan pada Gambar 1.


(29)

Dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, berikut ini disajikan kerangka pemikiran pada Gambar 2.

Gambar 2. Kerangka Pikir Pengelolaan Wilayah Pesisir (modifikasi dari Munasinghe, 1992 , Tunner dan Edgar,1996 dan Elgar, 2000, Kavanagh 2001)

1.6. Kebaruan (Novelty)

Kebaruan (novelty) dalam penelitian ini mencakup dua hal, yaitu dari segi pendekatan dan dari segi hasil. Dari segi pendekatan menggunakan analisis secara komprehensif dengan memadukan beberapa teknik analisis, yaitu : (1) analisis sistem dinamik dan spatial dinamik, rapfish serta dinamik modeling untuk dapat menghasilkan model pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan (2) analisis secara komprehensif wilayah pesisir berdasarkan karakteristik wilayah untuk keberlanjutan wilayah pesisir.

Penelitian ini menggunakan metode analisis yang menggabungkan antara sistem dinamik dan spatial dinamik yang memasukkan tiga (3) aspek pembangunan berkelanjutan yaitu ekonomi, sosial dan ekologi serta aspek spatial.

KONDISI EKSISTING

SD WIL PESISIR TEKANAN

EKSPLOITASI LIMBAH

DAYA DUKUNG

MANFAAT EKONOMI

FUNGSI

LINGKUNGAN MANFAAT SOSIAL

KONFLIK PEMANFAATAN W ILAYAH PESISIR

ALTERNATIF PENGELOLAAN W ILAYAH PESISIR

EKONOMI EKOLOGI SOSIAL

TEKNOLOGI HUKUM DAN

KELEMBAGAAN

MENINGKATKAN KEMANPUAN

EKONOMI

MENINGKATKAN KUALITAS LINGKUNGAN

MENINGKATKAN MANFAAT SOSIAL

Pengelolaan W ily. Pesisir Berkelanjutan


(30)

Hasil dari model ini menggunakan prinsip-prinsip keterpaduan dalam pengelolaan wilayah pesisir antara lain (1) keterpaduan sektor , yaitu antar berbagai sektor pembangunan migas, perhubungan dan pelabuhan, permukiman, pertanian dll; (2) keterpaduan wilayah/ ekologis yaitu antara daratan dan perairan (laut) yang masuk dalam satu sistem ekologis, (3) keterpaduan stakeholder dan tingkat pemerintahan yaitu dengan melibatkan seluruh komponen stakeholder yang terdapat diwilayah pesisir dan juga adanya keterpaduan antara pemerintah pada berbagai level seperti, pusat, provinsi dan kota; (4) keterpaduan antara berbagai disiplin ilmu, yaitu melibatkan berbagai bidang ilmu yang terkait dengan pesisir dan laut, seperti ilmu sosial budaya, ekonomi, fisika, kimia, biologi, keteknikan, ekologi, hukum dan kelembagaan dan lain-lain


(31)

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Konsep Pembangunan Berkelanjutan

Pembangunan merupakan upaya untuk mencapai tujuan bersama dengan memanfaatkan berbagai sumberdaya yang dimiliki dan dikuasai oleh berbagai pihak untuk kepentingan seluruh masyarakat (Alikodra,2006). Konsep pembangunan berkelanjutan diinterpretasikan oleh para ahli secara berbeda-beda. Namun demikian konsep pembangunan berkelanjutan sebenarnya didasarkan pada kenyataan adanya keterbatasan kemampuan sumberdaya alam dan adanya kenyataan bahwa kebutuhan manusia terus meningkat. Kondisi seperti ini membutuhkan suatu strategi pemanfaatan sumberdaya alam yang efisien (Salim,1988 dan Djajadiningrat,2001). Disamping itu perhatian dari konsep pembangunan yang berkelanjutan adalah adanya tanggung jawab moral untuk memberikan kesejahteraan bagi generasi yang akan datang, sebagaimana konsep pembangunan berkelanjutan yang berwawasan lingkungan dalam undang-undang Republik Indonesia nomor 23 Tahun 1997 tentang pengelolaan lingkungan hidup didefinisikan adalah upaya sadar dan terrencana, yang memadukan lingkungan hidup, termasuk sumberdaya, ke dalam proses pembangunan untuk menjamin kemampuan, kesejahteraan, dan mutu hidup generasi masa kini dan generasi masa datang.

Konsep pembangunan yang berkelanjutan dan tetap memperhatikan kepentingan generasi mendatang menjadi penting. Konsep pembangunan yang berkelanjutan (sustainable development) mulai digunakan secara umum oleh Komisi Pembangunan dan Lingkungan Dunia (World Commission on Environmental and Development) atau The Brundlan Commission pada tahun 1987. Budiharsono (2006) menyatakan bahwa pembangunan berkelanjutan pada dasarnya mencakup tiga dimensi penting yakni ekonomi, sosial (budaya), dan lingkungan. Dimensi ekonomi antara lain berkaitan upaya meningkatkan pertumbuhan ekonomi, memerangi kemiskinan, serta mengubah pola konsumsi kearah yang seimbang. Dimensi sosial merupakan upaya pemecahan masalah kependudukan, perbaikan pelayanan masyarakat, peningkatan kualitas pendidikan, adapun dimensi lingkungan adalah upaya pengurangan dan pencegahan terhadap pencemaran serta konservasi sumberdaya alam (Munasinghe,1992 dan Moffatt, 2001), menjelaskan bahwa konsep pembangunan yang berkelanjutan mengintegrasikan tiga aspek kehidupan


(32)

(ekonomi, sosial dan lingkungan) dalam suatu hubungan yang sinergis, ketiga aspek kehidupan dan tujuan pembangunan berkelanjutan tersebut digambarkan dalam suatu ”segitiga mobius” pada Gambar 3.

Gambar 3. Prinsip-prinsip keberlanjutan (Munasinghe, 1992) Selanjutnya dikatakan bahwa prinsip-prinsip keberlanjutan ada tiga yaitu : (i) dimensi pembangunan; (2) dimensi keadilan; dan (3) prinsip-prinsip sistemik. Dimensi pembangunan mencakup tiga hal yaitu: (a) menghargai integritas ekologi dan warisan budaya lingkungan manusia (dimensi lingkungan); (b) pemuasan terhadap kebutuhan manusia melalui efisiensi pemanfaatan sumberdaya (dimensi ekonomi); dan (c) konservasi dan pengembanganm manusia dan potensi sosial (dimensi sosial budaya).

2.2. Daya Dukung Lingkungan.

Permasalahan yang berhubungan dengan pengelolaan pembangunan wilayah pesisir seperti pencemaran, kelebihan tangkap, erosi, sedimentasi, kepunahan jenis dan konflik penggunaan ruang merupakan akibat dari terlampauinya tekanan lingkungan yang ditimbulkan oleh penduduk serta segenap aktifitas pembangunan terhadap lingkungannya dimana memiliki kemanpuan yang terbatas (Dahuri et al., 1996).


(33)

Turner (1988) menyatakan bahwa daya dukung merupakan populasi organisme akuatik yang dapat ditampung oleh suatu kawasan /areal atau volume perairan yang ditentukan tanpa mengalami penurunan jumlah atau mutu. Quano (1993) menyatakan, daya dukung perairan adalah kemampuan air atau sumber air dalam menerima pencemaran limbah tanpa menyenankan terjadinya penurunan kualitas air yang ditetapkan sebagai peruntukannya.

Daya dukung lingkungan pesisir diartikan sebagai kemampuan suatu ekosistem untuk menerima jumlah limbah tertentu sebelum sebelum ada indikasi terjadinya kerusakan lingkungan (Krom,1986). Daya dukung lingkungan sangat erat kaitannya dengan kapasitas asimilasi dari lingkungan yang menggambarkan jumlah limbah yang dapat dibuang ke dalam lingkungan tanpa menyebabkan polusi (UNEP,1993).

Scones (1993) membagi daya dukung lingkungan menjadi 2 yaitu : 1. daya dukung ekologis adalah jumlah maksimum hewan-hewan pada suatu lahan yang dapat didukung tanpa mengakibatkan kematian karena faktor kepadatan, serta terjadinya kerusakan lingkungan secara permanen. Hal ini ditentukan oleh faktor-faktor lingkungan; 2. daya dukung ekonomi adalah tingkat produksi (skala usaha) yang memberikan keuntungan maksimum dan ditentukan oleh tujuan usaha secara ekonomi. Menurut Poernomo (1997) daya dukung untuk lingkungan perairan adalah suatu yang berhubungan erat dengan produktivitas lestari perairan tersebut. Artinya daya dukung lingkungan itu sebagai nilai mutu lingkungan yang ditimbulkan oleh interaksi dari semua unsur atau komponen (kimia, fisika,dan biologi) dalam suatu kesatuan ekosistem.

Salah satu faktor utama yang menentukan daya dukung perairan pesisir adalah ketersediaan oksigen terlarut. Suatu perairan khususnya untuk areal budidaya ikan harus diperhaikan pengurangan oksigen terlarut yang terjadi serta diikuti oleh meningkatnya krbondioksida, penurunan pH air, meningkatnya amoniak dan nitrit serta sejumlah faktor lainnya.

Oksigen dipasok melalui dua cara yaitu 1) permukaan air atau transport melewati kolom air oleh difusi dan turbelensi serta 2) melalui hasil proses fotosintesa. Aktivitas hewan, tanaman dan bakteri di dalam kolom air dan sedimen akan mengkonsumsi oksigen melalui proses resfirasi. Jika proses respirasi memerlukan paokan oksigen yang berlebih, maka ketersediaan oksigen akan mempengaruhi kehidupan ikan dan organisme perairan lainnya. Konsentrasi minimum oksigen terlarut digunakan untuk menduga laju beban


(34)

maksimum yang diperkenankan atau daya dukung (McLean et al., 1993). Kebuthan oksigen juga dikontrol oleh laju pasokan bahan organik. Nutrien diduga mempengaruhi pasokan oksigen melalui stimulasi produktivitas primer yang pada akhirnya akan kembali dikonsumsi oleh bakteri dan hewan. Karena itu, ketersediaan oksigen terlarut dan beban nutrien akan menentukan daya dukung dari suatu perairan.

Daya dukung suatu wilayah tidak bersifat statis tetapi bervariasi sesuai dengan kondisi biogeofisik wilayah dan kebutuhan manusia akan sumberdaya alam dan jasa-jasa lingkungan (goods and services) di wilayah tersebut. Oleh karena itu daya dukung suatu wilayah dapat dapat ditentukan atau diperkirakan secara : 1). Kondis biogeofisik yang menyusun kemampuan wilayah pesisir dalam memproduksi/menyediakan sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang ada di wilayah pesisir (Dahuri, 2000). Dengan demikian, tahapan utuk menetapkan atau menentukan daya dukung wilayah pesisir untuk mewujudkan pembangunan secara berkelanjutan adalah :

1) Menetapkan batas-batas, vertikal, horisontal terhadap garis pantai, wilayah

pesisir sebagai suatu unit pengelolaan

2) Menghitung luasan wilayah pesisir yang di kelola

3) Mengalokasikan (zonasi) wilayah pesisir terseut menjadi tiga (3) zona utama yaitu : zona peservasi, zona konsevasi, dan zoa pemanfaatan

4) Menyusun tata ruang pembangunan pada zona konservasi dan zona pemanfaatan.

Selain tahapan yang tersebut di atas juga dilakuan penghitungan tenang potensi dan dstribusi sumberdaya alam dan jasa lingkngan yang tersedia, misalnya stock assessment sumberdaya perikanan, potensi hutan mangrove, pengkajian keersediaan air tawar, pengkajian tentang kapasitas asimilasi dan pengkajian tentang permintaan internal terhadap sumberdaya alam dan jasa lingkungan.

Anlisis tentang konsep daya dukung untuk pembangunan wilayah pesisir yang lestari harus memperhatikan keseimbangan kawasan. Untuk kegiatan yang bernilai ekonomi, Dahuri (2000) membagi menjadi 3 kawasan yaitu :

a). Kawasan preservasi yaitu kawasan yang memiliki nilai ekologis tinggi seperti tempat berbagai hewan untuk melakukan kegiatan reproduksinya, dan sifat-sifat alami yang dimiliki seperti green belt, kegiatan yang boleh dilakukan di kawasan ini adalah untuk yang bersifat penelitian dan pendidikan, rekreasi


(35)

alam yang tidak merusak, kawasan ini paling tidak meliputi 20 % dari total areal.

b). Kawasan konservasi yaitu kawasan yang dapat dikembangkan namun tetap dikontrol, seperti perumahan, perikanan rakyat, dan kawasan ini meliputi tidak kurang dari 30 % dari total area.

c). Kawasan pengembangan intensif termasuk didalamnya kegiatan budidaya secara intensif. Limbah yang dibuang dari kegiatan ini tidak boleh meleati batas kapasitas asimilasi kawasan perairan. Zona ini mencakup 50 % dari total kawasan.

2.3. Eksternalitas

Sebelum berkembangnya ilmu ekonomi mikro yang membahas tentang eksternalitas, putusan optimal dapat diperoleh tanpa melibatkan pengaruh pengelolaan sumberdaya yang ada terhadap lingkungan. Masyarakat sekarang mulai menyadari bahwa disamping adanya dampak positif terhadap lingkungan, pengelolaan sumberdaya juga menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan. sebagai konsekwensinya, masyarakakat menyadari bahwa lingkungan perlu dilestarikan agar kehidupan sekarang maupun dimasa yang akan datang menjadi baik. (Sudjana dan Riyanto, 1999).

Masalah yang sering muncul dalam pengelolaan sumberdaya alam adalah berbagai dampak negatif yang mengakibatkan manfaat yang diperoleh dari sumberdaya sering tidak seimbang dengan biaya sosial yang harus ditanggung (Fauzi, 2004)

Menurut Daraba (2001), dalam suatu perekonomian modern, setiap aktivitas mempunyai keterkaitan dengan aktifitas lainnya. Apabila semua keterkaitan antara suatu kegiatan dengan kegiatan lainnya dilaksanakan melalui mekanisme pasar adalah apa yang disebut eksternalitas.

Dalam ilmu ekonomi, konsep eksternalitas telah lama dikenal. Istilah ini mengandung pengertian bahwa suatu proses produksi dapat menimbulkan adanya manfaat atau biaya yang masih belum termasuk dalam perhitungan biaya proses produksi. Dalam pengertian ekonomi, diketahui bahwa pemilikan atau pemanfaatan atau produksi suatu barang oleh seseorang akan menimbulkan manfaat akan menghasilkan produk yang bernilai guna pada pemiliknya atau pada orang lain. Hal sebaliknya juga dapat diteliti, yaitu menghasilkan dampak atau barang yang merugikan. Keadaan seperti ini, yaitu adanya output suatu


(36)

proses yang menimbulkan manfaat maupun dampak negatif pada orang lain disebut eksternalitas. Bila manfaat yang dirasakan oleh orang lain, maka disebut ekternalitas positif dan bila kerugian disebut eksternalitas negatif karena mekanisme pasar sistem perekonomian yang berlangsung saat ini pada umumnya tidak memasukkan biaya eksternalitas dalam biaya produksi (WWF, 2004).

Dampak lingkungan atau eksternal negatif timbul ketika satu variabel yang dikontrol oleh suatu agen ekonomi tertentu mengganggu fungsi utilitas (kegunaan) agen ekonomi yang lain. Dalam pengertian lain, efek samping atau eksternalitas terjadi ketika kegiatan konsumsi atau produksi dari suatu individu atau kelompok atau perusahaan mempunyai dampak yang tidak diinginkan terhadap utilitas atau fungsi produksi individu, kelompok atau perusahaan lain (Fauzi, 2004).

Faktor-Faktor Penyebab Eksternalitas

Eksternalitas timbul pada dasarnya karena ektivitas manusia yang tidak mengikuti prinsip-prinsif ekonomi yang berwawasan lingkungan. Dalam pandangan ekonomi, eksternalitas dan ketidak efisienan timbul karena salah satu atau lebih dari prinsip-prinsip alokasi sumberdaya yang efisien tidak terpenuhi. Karakteristik barang atau sumberdaya publik, ketidak sempurnaan pasar, kegagalan pemerintah merupakan keadaan-keadaan dimana unsur hak pemilikan atau pengusahaan sumberdaya (property rights) tidak terpenuhi. Sejauh semua faktor ini tidak ditangani dengan baik, maka eksternalitas dan ketidakefisienan ini tidak bisa dihindari. Kalau ini dibiarkan, maka ini akan memberikan dampak yang tidak menguntungkan terhadap ekonomi terutama dalam jangka panjang. Adapun penjelasan mengenai faktor-faktor penyebab terjadinya eksternalitas adalah sebagai berkut (Ginting,2002)

1). Keberadaan Barang Publik

Barang publik (public goods) adalah barang yang apabila dikonsumsi oleh individu tertentu tidak akan mengurangi konsumsi orang lain akan barang tersebut, selanjutnya, barang publk sempurna (pure public good) didefinisikan sebagai barang yang harus disediakan dalam jumlah dan kualitas yang sama terhadap seluruh anggota masyarakat. Ada dua ciri utama dari barang publik ini. Pertama, barang ini merupakan konsumsi umum yang dicirikan oleh penawaran gabungan (joint supply) dan tidak


(37)

bersaing dalam mengkonsumsinya (non-rivalry in consumption). Ciri kedua adalah tidak eksklusif (non-exclusion) dalam pengertian bahwa penawaran tidak hanya diperuntukkan untuk seseorang dan mengabaikan yang lainnya. Satu-satunya mekanisme yang membedakannya adalah dengan menetapkan harga (nilai monoter) terhadap barang publik tersebut sehingga menjadi bidang privat (dagang) sehingga benefit yang diperoleh dari harga itu bisa dipakai untuk mengendalikan atau memperbaiki kualitas lingkungan itu sendiri. Tapi dalam menetapkan harga ini menjadi masalah tersendiri dalam analisa ekonomi lingkungan. Karena ciri-cirinya diatas, barang publik tidak diperjualbelikan sehingga tidak memiliki harga, barang publik dimanfaatkan berlebihan dan tidak mempunyai insentif untuk melestarikannya. Keadaan seperti ini akhirnya cenderung mengakibatkan berkurangnya insentif atau ransangan untuk memberikan kontribusi terhadap penyediaan dan pengelolaan barang publik. Kalaupun ada kontribusi, maka sumbangan itu tidaklah cukup besar untuk membiayai barang publik yang efisien, karena masyarakat cenderung memberikan nilai lebih rendah dari yang seharusnya (udervalued).

2). Sumberdaya Bersama

Keberadaan sumberdaya bersama-SDB (common resources) atau akses terbuka terhadap sumberdaya tertentu ini tidak jauh berbeda dengan keberadaan barang publik diatas.

Sumber-sumberdaya milik bersama, sama halnya dengan barang-barang publik, tidak eskludabel. Sumber-sumbernya ini terbuka bagi siapa saja yang ingin memanfaatkannya, dan cuma-cuma. Namun tidak seperti barang publik, sumberdaya milik bersama memiliki persaingan. Pemanfaatannya oleh seseorang, akan mengurangi peluang bagi orang lain untuk melakukan hal yang sama. Jadi, keberadaan sumberdaya milik bersama ini, pemerintah juga perlu mempertimbangkan seberapa banyak pemanfaatannya yang efisien. Contoh klasik tentang bagaimana eksternalitas terjadi pada kasus SDB ini adalah seperti yang diperkenalkan oleh Hardin (1968) yang dikenal tragedi barang umum (the tragedy of the commons).

3). Ketidaksempurnaan Pasar

Masalah lingkungan bisa juga terjadi ketika salah satu partisipan didalam suatu tukar-menukar hak-hak kepemilikan (property rights) mampu


(38)

mempengaruhi hasil yang terjadi (outcome). Hal ini bisa terjadi pada pasar yang tidak sempurna (Inperfect Maket) seperti pada kasus monopoli (penjual tunggal).

4). Kegagalan Pemerintah

Sumber ketidak efisienan dan atau eksternalitas tidak saja diakibatkan oleh kegagalan pasar tetapi juga karena kegagalan pemerintah (government failure). Kegagalan pemerintah banyak diakibatkan tarikan kepentingan pemerntah sendiri atau kelompok tertentu (interest groups) yang tidak mendorong efisiensi. Kelompok tertentu ini memanfaatkan pemerintah untuk mencari keuntungan (rent seeking) melaui proses politik, melalui kebijaksanaan dan sebagainya.

2.4. Konsep dan Definisi Pengelolaan Wilayah Pesisir

Pengelolaan wilayah peisir secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management /ICZM) merupakan sebuah wawasan baru dengan cakupan yang luas, sehingga dikatakan sebagai cabang ilmu baru bagi masyarakat dunia. Pengelolaan pemanfaatan sumberdaya dan jasa lingkungan (environmental services) yang terdapat di kawasan pesisir, dengan cara melakukan penilaian menyeluruh (comphrehensive assessment) tentang kawasan pesisir serta sumberdaya alam dan jasa lingkungan yang terdapat di dalamnya, menentukan tujuan dan sasaran pemanfaatan, dan kemudian merencanakan dan mengelola segenap kegiatan pemanfaatannya guna mencapai pembangunan yang optimal dan berkelanjutan. Proses pengelolaannya dilakukan secara kontinyu dan dinamis dengan mempertimbangkan aspek social, ekonomi, dan budaya serta aspirasi masyarakat pengguna kawasan pesisir serta konflik kepentingan dan konflik pemanfaatan kawasan pesisir dan lautan yang tersedia.

2.4.1. Batasan wilayah pesisir

Terdapat suatu kesepakatan umum di dunia bahwa pesisir adalah suatu wilayah peraliahan antara daratan dan lautan. Apabila ditinjau dari garis pantai (coastline), maka suatu wilayah pesisir memiliki dua kategori batas (boundaries), yaitu : batas yang sejajar garis pantai (longshore) dan batas yang tegak lurus dengan garis pantai (crosshore) (Gambar 4.). Untuk kepentingan pengelolaan batas-batas wilayah pesisir dan laut yang sejajar dengan garis pantai relatif mudah. Akan tetapi penetapan batas-batas suatu wilayah pesisir yang tegak


(39)

lurus terhadap garis pantai,sejauh ini masih berbeda antara satu negara dengan negara lain, hal ini dapat dimengerti sebab suatu negara memiliki karakteristik lingkungan, sumberdaya dan sistem pemerintahan tersendiri (Pernetta dan Milliman,1995 dalam Bengan 2001).

Menurut Bengen (2001), wilayah pesisir didefinisikan sebagai wilayah dimana daratan berbatasan dengan laut; batas di daratan meliputi daerah-daerah yang tergenang dengan air maupun yang tidak tergenang air yang masih dipengaruhi proses-proses laut seperti pasang surut, angin laut, intrusi garam, sedangkan batas di laut ialah daerah-daerah yang dipengeruhi oleh proses-proses alami di daratan seperti sedimentasi dan mengalirnya air tawar ke laut yang dipengaruhi oleh kegiatan-kegiatan manusia di daratan.

2.4.2. Perencanaan terpadu pembanguan wilayah pesisir

Perencanaan terpadu dimaksudkan untuk mengkoordinasikan dan mengarahkan berbagai aktivitas dari dua atau lebih sektor perencanaan pembangunan dalam kaitannya dengan pengelolaan wilayah pesisir dan lautan. Perencanaan terpadu lebih merupakan upaya secara terprogram untuk mencapai tujuan dengan mengharmoniskan dan mengoptimalkan berbagai kepentingan untuk memelihara lingkungan, keterlibatan masyarakat dan pembangunan ekonomi. Keterpaduan juga diartikan sebagai koordinasi antara tahapan pembangunan di wilayah pesisir dan lautan yang meliputi : pengumpulan dan

Gambar 4. Batasan wilayah pesisir

CONTINENTAL INTERIOR OPEN OCEAN COASTAL ZONE z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z z RIVER BASIN UPLAND LOWLAND CONTINENTAL SHELF

INNER SHELF OUTER SHELF

NEARSHORE ESTUARY BALTMARSH DURES SHELF SEA NEARSHORE WATERS ESTUARINE WATERS ESTUARINE PLUME SHELF

EDGE ZONE

OCEAN FLOOR CONTINENTAL SLOPE SHELF BREAK SHELF

SEA / OCEAN INTERFACE

SHORE LINE LAND / SEA INTERFACE


(40)

analisis data, perencanaan, implementasi, dan kegiatan konstruksi (Sorensen et al., 1984). Sedangkan Dahuri, dkk., (1996) dan Rustiandi (2003) menyarankan agar keterpaduan perencanaan dan pengelolaan sumberdaya alam, termasuk di pesisir dan lautan, dilakukan pada ketiga tataran yaitu : tataran teknis, konsultatif, dan koordinasi. Pada tataran teknis, semua pertimbangan teknis, ekonomi, sosial dan lingkungan secara proporsional dimasukkan ke dalam setiap perencanaan dan pembanguanan sumberdaya pesisir dan lautan. Pada tatanan Konsultatif, segenap aspirasi dan kebutuhan pihak-pihak yang terlibat ataupun yang terkena dampak pembangunan di wilayah pesisir hendaknya diperhatikan sejak tahap perencanaan sampai tahap pelaksanaan. Sedangkan pada tataran Koordinasi, diisyaratkan perlunya kejasama yang harmonis antara stakeholders

(pemerintah, swasta, dan masyarakat).

Konsep pembangunan wilayah pesisir dan lautan berkelanjutan (PWPLB) mengacu kepada perpaduan antara prinsip pembanguan berkelanjutan ke dalam praktek pembangunan wilayah (Budiharsono.S, 2006). Lebih lanjut dikatakan bahwa ada sepuluh pilar yang merupakan penopang bagi pembangunan wilayah berkelanjutan yaitu; (1) pembangunan sumberdaya alam berkelanjutan (sustainable natural resources management); (2) perencanaan partisifatif (participatory planning and sustainable budgeting); (3) Pemberdayaan ekonomi rakyat (economic empowerment); (4) Peningkatan kapasitas kelembagaan dan sumberdaya manusia (capacity building and human resource development); (5) Pembangunan sarana dan prasarana (infrastructure development); (6) Perlindungan sosial (Social protection); (7) Pengembangan tata pemerintahan yang baik (good governance development); (8) pengembangan demokrasi substantif inklusif (democration substantive inclusive development); (9) Perdagangan internasional dan antar wilayah (interregional and international trade); dan (10) pertahanan keamanan (defense and security development). Kesepuluh pilar berada dalam satu bingkai spartial seperti Gambar 5.


(41)

Gambar 5. Pilar pengelolaan wilayah pesisir (Budiharsono, 2006)

2.4.3. Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu dan berkelanjutan

Berdasarkan Djojobroto (1998), bahwa daerah pesisir Indonesia berbeda-beda menurut kondisi geografis dan kependudukan. Oleh karena itu, tujuan dan keadaan lokal juga berbeda sehingga setiap rencana akan memerlukan perlakuan yang berbeda. Cicin-Sain (1998) menyatakan bahwa urutan yang terdiri dari 10 tahap dapat direkomendasikan sebagai suatu pedoman perencanaan. Tiap tahap mewakili suatu kegiatan spesifik atau suatu rangkaian kegiatan yang hasilnya memberikan informasi untuk tahap-tahap berikut : (1) tentukan sasaran dan kerangka acuan, (2) aturlah pekerjaan, (3) analisis kesulitan yang ada, (4) Identifikasi kesempatan untuk perubahan, (5) evaluasi

y PERTUMBUHAN EKONOMI y PENURUNAN

KEMISKINAN y KEADILAN y KEBERLANJUTAN PEMBERDAYAAN

EKONOMI RAKYAT

PERLINDUNGAN

SOSIAL PENINGKATAN KAPASITAS KELEMBAGAAN DAN SUMBER

DAYA MANUSIA

PERTAHANAN DAN KEAMANAN PRASARANA

DAN SARANA

PERENCANAAN PARTISIPATIF DAN

ANGGARAN BERKELANJUTAN

PENGELOLAAN SUMBER DAYA ALAM

BERKELANJUTAN

PERDAGANGAN INTERNASIONAL DAN

ANTAR WILAYAH

TATA PEMERINTAH

AN YANG BAIK

DEMOKRASI SUBTANTIF


(42)

kemampuan sumberdaya, (6) Penilaian alternatif, (7) ambil pilihan yang paling baik, (8) siapkan rencana, (9) Implementasi, (10) Penentuan revisi rencana. Kesepuluh tahapan ini meringkaskan proses perencanaan yang menggambarkan langkah-langkah yang terlibat dalam perencanaan zona pesisir secara terpadu.

Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu merupakan pendekatan pengelolaan yang melibatkan dua atau lebih ekosistem, sumberdaya dan kegiatan pemanfaatan secara terpadu, agar tercapai tujuan pembangunan wilayah pesisir secara berkelanjutan (sustainable), sehingga keterpaduaannya mengandung tiga dimensi ; dimensi sektoral, bidang ilmu, dan keterkaitan ekologis (Dahuri, et.al., 1996). Keterpaduan sektor diartikan sebagai perlunya koordinasi tugas, wewenang dan tanggung jawab antara sektor atau instansi pemerintah pada tingkat pemerintah tertentu (horizontal integration) ; dan antara tingkat pemerintah mulai tingkat desa, kecamatan, kabupaten, dan propinsi sampai tingkat pusat (vertical integration).

Didasari kenyataan bahwa wilayah pesisir terdiri dari sistem sosial dan alam yang terjalin secara kompleks dan dinamis, maka keterpaduan bidang ilmu mensyaratkan di dalam pengelolaan wilayah pesisir hendaknya dilaksanakan dengan pendekatan interdisiplin ilmu, yang melibatkan bidang ilmu; ekonomi, ekologi, teknik, sosiologi, hukum, dan lainnya yang terkait. Karena wilayah pesisir terdiri dari berbagai ekosiostem (mangrove, terumbu karang, lamun, estuaria dan lain-lain) yang saling terkait satu sama lain, disamping itu wilayah ini juga dipengaruhi oleh berbagai kegiatan manusia, proses-proses alamiah yang terdapat di lahan atas (upland areas) maupun laut lepas, kondisi ini mensyaratkan bahwa Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu (PWPLT) harus memperhatikan keterkaitan ekologis tersebut.

Pengelolaan sumberdaya pesisir dan laut bersifat unik dan sangat berbeda dengan sumberdaya terresterial, untuk itu diperlukan program pengelolaan khusus yang disebut dengan Pengelolaan wilayah pesisir secara terpadu (Integrated Coastal Zone Management, ICZM). ICZM adalah sistim pengelolaan sumberdaya yang dilakukan oleh pemerintah pada level lokal/ regional dengan bantuan pemerintah pusat. ICZM berfokus pada pemanfaatan sumberdaya pesisir berkelanjutan, konservasi biodiversitas, perlindungan lingkungan pantai, dan penanggulangan bencana alam di wilayah pantai. Konsep ICZM (Clark,1998) diarahkan untuk mewarnai pembangunan wilayah


(43)

pantai melalui pendidikan, pengaturan pengelolaan sumberdaya, dan penilaian lingkungan. Beberapa instrumen utama ICZM adalah:

a. Peraturan pemerintah tentang perlindungan bidiversitas dan pengendalian pemanfaatan sumberdaya pesisir.

b. Penilaian lingkungan yang dapat memprediksi dampak dari berbagai kegiatan pembangunan.

ICZM dipandang efektif untuk memecahkan berbagai permasalahan lingkungan yang melibatkan interaksi daratan-lautan (termasuk persoalan konflik pemanfaatan sumberdaya) melalui tahapan-tahapan proses penilaian lingkungan. Menurut Clark (1996) dan Kay (2005) menyatakan bahwa beberapa persoalan penting yang dihadapi ICZM adalah sebagai berikut:

a. Deplesi sumberdaya; demand terhadap sumberdaya pesisir sampai saat ini dinilai telah melampaui supplay yang tersedia. ICZM menawarkan konsep

sustainable use management untuk menjamin ketersediaan sumberdaya terbarui (renewable)

untuk saat ini dan masa yang akan datang.

b. Polusi ; polusi menyebabkan terjadinya penurunan daya dukung biologis dan kualitas area wisata.

c. Biodiversitas ; konsekuensi dari pertumbuhan penduduk dan perkembangan ekonomi adalah tekanan terhadap species yang memiliki nilai etik dan ekonomi tinggi. Pengaturan melalui kebijakan pemerintah diperlukan untuk melindungi species yang terancam punah.

d. Bencana alam; ICZM mengintegrasikan perlindungan kehidupan dan sumberdaya pantai dari bencana alam (seperti; banjir, siklon dan amblesan tanah) kedalam perencanaan pembangunan.

e. Kenaikan permukaan air laut; kenaikan permukaan air laut lebih dari 1 kaki (30 cm) dalam kurun waktu 100 tahun terakhir yang di sebabkan oleh tingginya konsentrasi gas rumah kaca (GRK) di Atmosfer berpotensi menimbulkan banjir yang mengancam kehidupan masyarakat.

f. Abrasi pantai; abrasi pantai adalah masalah yang mengancam masyarakat yang tinggal didekat bibir pantai. ICZM merekomendasikan pendekatan non-sturuktural seperti penataan kembali garis pantai dan memberikan jarak aman dari garis pantai untuk semua kegiatan pembangunan.

g. Pemanfaatan lahan; pemanfaatan lahan (misalnya: untuk industri dan permukiman) menimbulkan dampak negatif terhadap ekosistim pesisir


(44)

(misalnya: penurunan bidiversitas karena polusi). ICZM mengantisipasi hal itu dan merekomendasikan solusinya.

h. Hinterlands; ICZM berperan dalam menyusun strategi untuk mengurangi dampak negatif pemanfaatan lahan hinterlands terhadap sumberdaya pesisir.

i. Landscape; landscape wilayah pesisir bersifat unik sehingga memerlukan perhatian khusus untuk melindungi dan untuk menjamin akses masyarakat ke wilayah tersebut. Salah satu program ICZM adalah melakukan preservasi keindahan landscape pesisir.

j. Konflik pemanfaatan sumberdaya ; wilayah pesisir adalah tempat terjadinya konflik di antara para pengguna sumberdaya. ICZM menyediakan platform

metodologi resolusi konflik secara internal.

2.5. Ekologi Penting Wilayah Pesisir

Ekosistem pesisir dan laut tropis seperti: estuaria, hutan bakau, padang lamun dan terumbu karang mempunyai potensi besar untuk menunjang produksi perikanan. Karena produktifitasnya yang tinggi di perairan tersebut maka ekosistim pesisir merupakan habitat yang baik bagi ikan-ikan, baik untuk tempat pemijahan (spawning ground), pengasuhan (nursery ground), atau sebagai tempat mencari makan atau pembesaran (feeding ground).

2.5.1 Ekosistem Estuaria

Estuaria adalah perairan semi tertutup yang berhubungan bebas dengan laut, sehingga air laut dengan salinitas tinggi dapat bercampur dengan air tawar. Kombinasi pengaruh air laut dan air tawar tersebut akan menghasilkan suatu komunitas yang khas dengan kondisi lingkungan yang bervariasi, antara lain (Supriharyono, 2002; Dahuri, 2004):

1. Tempat bertemunya arus air sungai dengan arus pasang surut yang berlawanan menyebabkan suatu pengaruh yang kuat pada sedimentasi, percampuran air dan ciri-ciri fisika lainnya serta membawa pengaruh besar pada biotanya.

2. Percampuran kedua macam air tersebut menghasilkan suatu sifat fisika lingkungan khusus yang tidak sama dengan sifat air sungai maupun sifat air laut.

3. Perubahan yang terjadi akibat adanya pasang surut mengharuskan komunitas mengadakan penyesuaian secara fisiologis dengan lingkungan sekelilingnya.


(45)

4. Kadar garam di daerah estuaria tergantung pada pasang surut air laut, banyaknya aliran air tawar dan arus-arus lain, serta tofografi daerah eustuaria tersebut.

2.5.2 Ekosistem Mangrove

Ekosistim mangrove adalah kesatuan ekologis dari berbagai biota teresterial (insekta, ular, primata dan burung) dan akuatik (ikan, udang, kepiting, kerang-kerangan dan organisme pengurai) serta vegetasi hutan mangrove itu sendiri. Vegetasi hutan mangrove ini merupakan vegetasi pantai tropis yang didominasi oleh beberapa jenis pohon mangrove yang mampu tumbuh dan berkembang pada daerah pasang surut dan pantai berlumpur. Selanjutnya Alikodra (2004) menyatakan bahwa hutan mangrove dalam skala ekologis, merupakan ekosistem yang sangat penting, terutama dukungannya bagi stabilitas ekosistem kawasan pesisir. Alikodra (2004) dan Dahuri (2004) selanjutnya menyatakan bahwa fungsi dan manfaat hutan mangrove adalah: 1. Bagi ekosistim daratan, sebagai peredam gelombang dan angin badai, serta

pelindung dari abrasi. Bagi ekosistim laut terutama terumbu karang dan sekitarnya, mangrove berfungsi sebagai pelindung terutama untuk penahan lumpur dan perangkap sedimen yang berasal dari daratan;

2. Penghasil sejumlah detritus dari serasah (daun dan dahan) mangrove. Produktivitas primer yang tinggi, dapat mencapai 2.920 gC/m²/tahun menjamin keberlangsungan proses tropik pada ekosistim hutan mangrove. 3. Daerah asuhan (nursery ground , daerah mencari makan (feeding ground)

dan daerah pemijahan ( spawning ground ). Berbagai jenis ikan, udang dan biota laut lainnya;

4. Penghasil kayu untuk bahan konstruksi, kayu bakar dan bahan baku arang dan kertas (pulp);

5. Lokasi pariwisata.

2.5.3. Ekosistem Padang Lamun

Tumbuhan lamun yang merupakan pembentuk ekosistim padang lamun adalah jenis vegetasi yang telah beradaptasi untuk hidup di bawah permukaan air laut. Di Indonesia, terdapat sedikitnya 7 marga dan 13 species, di antaranya marga Hydrocharitaceae dengan speciesnya Enhalus acroides (Dahuri, 2003 dan Iriana, 1999).


(46)

Seperti halnya ekosistim hutan mangrove, maka ekosistim padang lamun juga mempunyai potensi biotik yang sangat besar. Hal ini terlihat dari beberapa fungsi ekologis ekosistem padang lamun, antara lain:

1. Sistem perakaran lamun yang padat dan saling menyilang dapat menstabilkan dasar laut dan mengakibatkan kekokohan tanaman lamun itu sendiri.

2. Padang lamun berfungsi sebagai perangkap sedimen kemudian mengendapkan dan menstabilkan.

3. Padang lamun segar merupakan makanan bagi ‘ikan’ duyung, penyu laut, bulu babi. Beberapa jenis ikan ekonomis penting seperti kerapu, baronang, kuda laut hidup di lamun.

4. Daun lamun yang gugur menjadi sumber serasah yang dapat diuraikan menjadi detritus yang merupakan bahan makanan bagi biota detrivora.

5. Berfungsi sebagai habitat perlindungan alami ikan-ikan kecil, udang dan rajungan (swimming crab).

6. Pada permukaan daun lamun, hidup melimpah ganggang-ganggang renik (biasanya bersel tunggal), hewan-hewan renik dan mikroba yang merupakan makanan bagi bermacam-macam jenis ikan yang hidup di padang lamun; padang lamun dapat meredam kekuatan hidrodinamis dan berfungsi sebagai pelindung dari sengatan sinar matahari.

7. Dapat dijadikan bahan makanan dan pupuk, misalnya samo-samo, Enhalus acroides, oleh penduduk Kepulauan Seribu telah dimanfaatkan bijinya sebagai bahan makanan.

2.5.4. Ekosistem Terumbu Karang

Ekosistim terumbu karang mencakup beberapa komunitas biota laut ikan, krustase/ udang, moluska/ kekerangan, plankton, ekinodermata dan hewan karang batu itu sendiri yang hidup pada habitat yang sama. Keseluruhan biota dan habitatnya tersebut terkait satu dengan lainnya melalui interaksi ekologis, baik berupa aliran energi maupun aliran materi.

Terumbu karang sesungguhnya adalah hewan klasik yang rangkanya tersusun oleh ± 98% bahan kalsium karbonat (kapur). Hewan ini tergolong Filum Onidaria yang mempunyai 2 (dua) kelas yaitu: Anthozoa dan Hydrozoa dengan keseluruhan jenis diperkirakan mencapai 2.500 species (Supriharyono, 2000 dan Dahuri, 2003).


(47)

Struktur morfologinya dan produktivitas yang tinggi menjadikan terumbu karang ini berperan dalam kesatuan ekosistim perairan pesisir dalam menunjang ketersediaan sumberdaya perikanan. Lebih dari 30% ikan-ikan yang merupakan pemasok protein ditangkap di daerah terumbu karang. Beberapa sumberdaya perikanan karang yang bernilai ekonomis sangat penting seperti ikan napoleon, kerapu, baronang, udang lobster, udang kipas, kima, kerang mutiara dan ikan-ikan hias. Potensi ikan-ikan karang (consumable) yang diperkirakan sebesar 81.000 ton/tahun telah dimanfaatkan melebihi dari potensinya sebesar 106.000 ton. Sementara potensi lobster diperkirakan sebesar 12.380 ton/tahun juga telah dimanfaatkan melebihi potensinya, yaitu 50.000 ton. Potensi ikan hias Indonesia diperkirakan sebesar 1.214 juta ekor. Selain manfaat dari sumberdaya perikanan, juga terdapat sumberdaya farmaseutik yaitu terdapatnya senyawa bioaktif yang dapat digunakan sebagai obat-obatan, suplemen makanan dan kosmetika yang sangat prospektif (Dahuri, 2003).

Ketersediaan sumberdaya biotik perikanan menyebabkan tereksploitasi dengan sangat intensif. Berbagai teknik penangkapan ikan karang seperti penggunaan bom dan racun potasium sianida sangat membahayakan ekosistim ini. Hal ini menjadi sangat krusial karena pertumbuhan terumbu karang relatif sangat lambat; tipe Acropora (genus Folliaceous) yang mempunyai laju pertumbuhan terbesar hanya bertumbuh sebesar 5-10 cm/tahun (diameter) dan 2,5 cm/tahun (tinggi); sedangkan tipe terumbu karang massif misalnya Mostastrea annularis hanya bertumbuh sebesar 0,5-2,0 cm/tahun (diameter) dan 0,25 - 0,75/tahun (tinggi).

Tahun 1995 di Indonesia luas keseluruhan terumbu karang diperkirakan 50.000 km². Namun demikian laju kerusakan jauh lebih tinggi dibandingkan dengan daya pulih (pertumbuhan) sehingga diperkirakan luas penutupan karang sudah jauh berkurang dengan kondisi sebelumnya. Berbagai aktivitas manusia mempengaruhi ekosistim karang antara lain: Penambangan karang, penggunaan bahan peledak dan sianida, pengerukan sekitar terumbu karang, pembuangan limbah, penggundulan hutan di daerah upland, kepariwisataan yang tidak terkontrol dan penangkapan ikan hias. Lebih jauh dinyatakan Jompa,1996 bahwa kondisi terumbu karang di daerah Pantai Makassar sudah dalam kategori jelek dengan tutupan karang hidup kurang dai 10 %.


(48)

2.6. Kebijakan dan Strategi Pengelolaan Wilayah Pesisir Secara Terpadu dan Berkelanjutan

2.6.1. Model pengembangan kebijakan wilayah pesisir berkelanjutan

Dalam menganalisis realitas sosial dan ekonomi komunitas masyarakat yang menggantungkan hajat hidupnya pada keberlangsungan sumberdaya laut dan pesisir, perlu terlebih dulu kita memahami pola pemanfaatan dan distribusi sumberdaya tersebut, dan konsep dasar (paradigma) yang melatar-belakangi mekanisme pengelolaan tersebut. Pengembangan kebijakan pembangunan kawasan pesisir dan pemanfaatan sumberdaya perikanan dan kelautan, sangat erat terkait dengan politik ekonomi pembangunan, perkembangan teknologi, kualitas sumberdaya manusia, dan juga didorong oleh ide atau gagasan baru mengenai paradigma pembangunan (Dunn 1994 dan Dahuri 2003).

Rancangan model pengembangan kebijakan pengelolaan sumberdaya pesisir yang dibahas berikut, merupakan suatu tawaran untuk membangun kerangka berfikir yang ideal dalam memanfaatkan sumberdaya sekaligus mengendalikan kerusakan ekosistem pesisir dan laut dengan menggunakan pendekatan pembangunan berkelanjutan (Dunn,1996 dan Charles 2001), yang kemudian diterjemahkan dalam bentuk Paradigma OSY (optimum sustainable yield). Secara garis besar, model ini ditopang oleh empat komponen utama yang saling berinteraksi, yakni:

1. Keberlanjutan ekologis 2. Keberlanjutan ekonomi

3. Keberlanjutan sosial budaya (komunitas)

4. Keberlanjutan kelembagaan (administrasi, legal dan politik)

Dalam derivasi bentuk strategi selanjutnya, maka komponen-komponen kebijakan ini kemudian diturunkan kedalam suatu kerangka arah kebijakan. Ada 5 (lima) arah kebijakan yang perlu diperhatikan (Dahuri, 2003), yakni:

a. Memahami faktor ketidak-pastian (uncertainty) yang sudah merupakan faktor inherent (built-in) dan tidak terpisahkan dalam mengelola sumberdaya alam. Dari arah kebijakan ini perlu disusun sejumlah strategi untuk mengantisipasi hal ini.

b. Mengatasi persoalan kompleksitas ekosistim, terutama mengingat bahwa daerah tropik merupakan wilayah dimana keragaman biologis dan struktur habitat sangat tinggi. Salah satu jalan keluar adalah penerapan prinsip


(49)

kehati-hatian (precautionary principle) untuk mengantisipasi dinamika ekosistim yang kompleks dan serba tidak pasti tersebut.

c. Memperkuat struktur kelembagaan masyarakat lokal; misalnya melalui Program-program pemberdayaan masyarakat atau peningkatan kapasitas kelembagaan untuk mencapai kemandirian lokal.

d. Mengkaji kemungkinan aplikasi sejumlah bentuk dan mekanisme alternatif hak-hak pemanfaatan sumberdaya sesuai kebutuhan komunitas dan

stakeholders. Misalnya pengelolaan berdasarkan hak adat dan hak ulayat. e. Diversifikasi aktifitas ekonomi masyarakat pesisir untuk pengembangan mata

pencaharian alternatif. Perlu dihindari kelebihan investasi dalam pengembangan industri penangkapan ikan agar tidak terjadi over-capacity

seperti banyak dialami di negara maju yang mengalami kolaps sumberdaya perikanan akibat over investment.

2.6.2 Konsep Kebijakan Publik

Secara umum istilah kebijakan dipergunakan untuk menunjuk prilaku seorang aktor atau sejumlah aktor dalam suatu bidang kegiatan tertentu (Anderson,1999). Kebijakan publik didefinisikan oleh Eyestone (1971) sebagai hubungan suatu unit pemerintah dengan lingkungan. Dunn (1999) memberikan pengertian kebijakan publik adalah apapun yang dipilih oleh pemerintah untuk dilakukan dan tidak dilakukan. Jadi kebijakan merupakan arah tindakan yang mempunyai maksud yang ditetapkan oleh seorang aktor atau sejumlah aktor dalam mengatasi suatu masalah atau suatu persoalan.

Santoso (1993) dengan mengkompilasi berbagai definisi yang dikemukakan para ahli menyimpulkan bahwa pada dasarnya pandangan mengenai kebijakan publik dapat dibagi dalam dua kategori, yaitu 1) para ahli yang berpendapat bahwa kebijakan publik adalah semua tindakan pemerintah disebut kebijakan publik, (2) para ahli yang memberikan perhatian khusus pada pelaksanaan kebijakan. Para ahli yang terkelompok dalam pandangan kategori kedua terbagi pula kedalam dua kubu pendapat, yakni mereka yang memandang kebijakan publik sebagai keputusan-keputusan pemerintah yang mempunyai tujuan dan maksud-maksud tertentu. Sedangkan kubu yang lainnya menganggap kebijakan publik sebagai memiliki akibat-akibat yang bisa diramalkan.


(1)

(2)

(3)

(4)

(5)

(6)

Lampiran 19. Keputusan Menteri Negara Lingkungan Hidup Nomor : KepMen LH No. 51/MENLH/10/1995 tentang Baku Mutu Limbah Cair Bagi Kegiatan Industri. Tanggal 23 Oktober 1995.

No Parameter Satuan Golongan

Mutu Limbah Cair

Fisika

1 Temperatur oC 38 40

2 Zat padat terlarut mg/L 2000 4000

3 Zat padat tersuspensi mg/L 200 400

Kimia

1 pH - 6,0-9,0

2 Besi terlarut (Fe) mg/L 5,0 10

3 Mangan terlarut (Mn) mg/L 2,0 5,0

4 Barium (Ba) mg/L 2,0 3,0

5 Tembaga (Cu) mg/L 2,0 3,0

6 Seng (Zn) mg/L 5,0 10

7 Krom Heksavalen (Cr6+) mg/L 0,1 0,5

8 Krom total (Cr) mg/L 0,5 1,0

9 Cadmium (Cd) mg/L 0,05 0,1

10 Air Raksa (Hg) mg/L 0,002 0,005

11 Timbal (Pb) mg/L 0,1 1,0

12 Stanum (Sn) mg/L 2,0 3,0

13 Arsen (As) mg/L 0,1 0,5

14 Selenium (Se) mg/L 0,05 0,5

15 Nikel (Ni) mg/L 0,2 0,5

16 Kobalt (Co) mg/L 0,4 0,6

17 Sianida (CN) mg/L 0,05 0,5

18 Hidrogen Sulfida (H2S) mg/L 0,05 0,1

19 Fluorida (F) mg/L 2,0 3,0

20 Klorin bebas (Cl2) mg/L 1,0 2,0

21 Amonia bebas (NH3-N) mg/L 1,0 5,0

22 Nitrat (NO3-N) mg/L 20 30

23 Nitrit (NO2-N) mg/L 1,0 3,0

24 BOD5 mg/L 50 150

25 COD mg/L 100 300

26 Senyawa aktif biru metilen mg/L 5,0 10

27 Fenol mg/L 0,5 1,0

28 Minyak nabati mg/L 5,0 10