Strategi-Strategi untuk Membangun Pluralisme Agama

5. Strategi-Strategi untuk Membangun Pluralisme Agama

Dengan kenyataan adanya konflik dan kekerasan agama di berbagai tempat di Indonesia, apa yang dapat dilakukan oleh kekuatan pro-demokratis, baik di tingkat nasional dan internasional, untuk mendukung pertumbuhan ideologi ini? Tiga strategi muncul: dialog, aktivitas partisipatif, dan menyuburkan budaya nasional berdasarkan pluralisme agama.

5.1 Peranan Dialog

Dialog adalah metode yang sering digunakan di Indonesia. Namun, kebanyakan dialog antaragama terjadi di tingkat elite antara tokoh intelektual dan pimpinan agama di Jakarta, atau antara mahasiswa dan aktivis di tingkat regional. Meskipun hal ini berguna dalam batas tertentu, banyak aktivis yang bekerja pada hubungan antar-kepercayaan atau antar-komunitas merasa bahwa tingkat dialog ini harus diubah dari tingkat elite ke tingkat “akar-rumput” dan bahwa isi dari dialog harus difokuskan pada proses rekonsiliasi.

Kelompok pemuda, kelompok mahasiswa radikal, dan unsur-unsur masyarakat yang terpinggirkan harus diidentifikasi, diajak, dan ditarik ke dalam lingkungan dialog jika perubahan diharapkan terjadi. Strategi-strategi untuk menjangkau kelompok-kelompok ini dan melibatkan mereka dalam dialog akan berbeda dari strategi-strategi untuk kalangan elite, dan perlu waktu untuk meneliti dan mengembangkan strategi yang ditargetkan untuk mencapai kelompok- kelompok ini.

Ada juga kecenderungan pada dialog antaragama di Indonesia untuk memusatkan perhatian pada agama-agama Ibrahim dan menyingkirkan Hinduisme dan Budhisme. Kecenderungan ini lebih banyak terjadi karena ketegangan hubungan antara umat Islam dan Kristen, dan membatasi cakupan dialog yang mestinya bisa lebih kaya lagi jika bersumber dari peserta dialog yang lebih luas.

5.2 Aktivitas Partisipatoris

Telah diketahui dari waktu ke waktu manakala ingin mencari cara untuk mendobrak rintangan, baik etnis, agama, maupun kelas, bahwa kontak nyata dengan anggota dari “yang lain” merupakan satu cara yang amat efektif untuk mengurangi stereotip, gosip yang salah, dan permusuhan.

Selama pemilu 1999 di Indonesia, beberapa organisasi internasional menarik anggota dari berbagai kelompok agama dan etnis yang berbeda yang dapat

Pluralisme Agama

bekerja bersama dalam jaringan pendidikan pemilih, dan dari pengalaman bekerja sama ini dihasilkan persepsi dan pengertian yang lebih positif di kedua belah pihak.

Sejumlah ornop dan organisasi sosial Indonesia telah menerapkan metode “jambore” untuk mendudukkan anggota dari kelompok etnis dan agama yang berbeda dalam suatu periode waktu di mana pengalaman hidup berdampingan, bekerja, dan bermain bersama menjadi sarana efektif untuk melihat bahwa “mereka juga seperti saya”.

Sekali lagi, kehati-hatian dalam memilih kelompok target yang spesifik sangat penting, agar bisa membawa kelompok-kelompok yang jika tidak begitu tak akan pernah sekalipun bertemu. Ini pun jelas seperti strategi pencegahan daripada suatu strategi untuk membenahi. Di wilayah-wilayah tempat terjadi konflik dan kekejaman, dapat diadaptasi cara menghimpun kelompok-kelompok korban bersama-sama dan berbagi pengalaman sebagai cara terapi yang membolehkan penyaluran rasa pedih, maupun untuk menunjukkan bahwa kedua belah pihak yang berseteru telah mengalami sejumlah trauma yang pahit. Dalam kasus ini, pembagian bantuan kemanusiaan atau bantuan medis akan menjadi “aktivitas partisipatoris” yang digunakan untuk mempertemukan anggota-anggota dan kelompok agama yang bertikai.

5.3 Membangun Kesadaran akan Kultur Nasional tentang Pluralisme Agama

Telah ditunjukkan dalam bab ini bahwa ada sejumlah tingkat komitmen kemauan politik dalam masyarakat Indonesia terhadap pluralisme. Komitmen ini dapat tumbuh subur dengan menciptakan wacana publik tentang unsur budaya nasional ini dan dengan memberi pendidikan tentang rasa harga diri di antara masyarakat Indonesia.

Hal ini dapat dilakukan sebagaimana wacana publik diciptakan: lewat media, acara bincang-bincang, esai dan kolom, kelompok studi, dan seterusnya. Tujuannya adalah menciptakan diskusi publik tentang pluralisme agama yang akan membuat terang cara-cara bagaimana Indonesia pasca-Soeharto sudah menerimanya sebagai bagian penting dari identitas nasional. Dengan pengertian lain, ini menggunakan teknik Pancasila ala Soeharto untuk mempromosikan pluralisme agama dan bukan semata untuk suatu instrumen kontrol. Jika sikap pluralis dan toleran ini menjadi cocok dengan “menjadi orang Indonesia”, maka kaum anti-pluralis, kelompok-kelompok sektarian, akan berhadapan dengan ideologi nasionalisme yang berbobot.

Penilaian Demokratisasi di Indonesia

Sudah jelas bahwa yang membangun demokrasi di Indonesia menghadapi tantangan yang cukup kompleks di hadapan mereka. Pluralisme agama, sebagai satu dari bangunan penting demokrasi, harus menjadi pokok perhatian utama. Melihat penggunaan pluralisme agama secara historis sebagai instrumen hegemoni Orde Baru, ini secara khusus akan menjadi upaya yang kompleks.

Walau begitu, ada indikasi bahwa pluralisme agama telah berevolusi menjadi kekuatan sendiri dan telah diakui oleh masyarakat Indonesia sebagai bagian penting dari kultur nasional Indonesia. Kini tugas kekuatan-kekuataan demokratisasi di Indonesia adalah untuk merengkuh pluralisme yang masih bayi ini dan merawatnya hingga tumbuh menjadi kekuatan politik yang tak terelakkan yang dapat melawan unsur-unsur sektarian dan anti-pluralistis.