Demokrasi dan Budaya Demokrasi

4. Demokrasi dan Budaya Demokrasi

4.1 Toleransi Beragama dan Kehidupan Damai Bersama

Sekali lagi, isu Piagam Jakarta muncul dalam perdebatan tentang konstitusi dalam Sidang Tahunan MPR Agustus 2000. Piagam Jakarta sendiri hanyalah sebuah kalimat tujuh kata, tetapi dapat mengubah sifat dasar negara Indonesia. Jika diterapkan, ia akan membuat kepatuhan kepada hukum syariah wajib bagi semua muslim Indonesia, yang bisa menghapus sifat sekuler dari negara.

Perdebatan mengenai Piagam Jakarta telah berlangsung semenjak kemerdekaan. Para pendukungnya mengharapkan piagam tersebut dimasukkan ke dalam “Pidato Pancasila” tanggal 1 Juni 1945, ketika Soekarno memproklamasikan lima prinsip yang diharapkan menjadi dasar negara baru yang akan dibentuk. Akan tetapi, pada saat-saat akhir, piagam tersebut tidak dimasukkan, hanya menjadi bahan perdebatan di Indonesia. Isu tersebut diangkat oleh delegasi-delegasi muslim dalam Konstituante 1950-an. Usaha mereka dalam menghidupkan Piagam Jakarta gagal di hadapan penentangan kaum nasionalis dan komunis, membuat partai-partai muslim merasa dikhianati sekali lagi.

Kesempatan untuk menghadirkan isu itu kembali diperkecil secara dramatis selama Orde Baru berkuasa. Rezim Soeharto menindas unsur-unsur tertentu “Islam politis” dan mengendalikan semua ekspresi keagamaan agar menggunakan Pancasila, ideologi negara yang merangkum semua ideologi. Menjadi perdebatan bahwa dengan berakhirnya rezim tersebut dan mekanisme kontrolnya yang ketat, pertarungan antaragama akan muncul kembali di tempat ia menghilang. Akan tetapi, kondisi sosial telah berubah secara dramatis selama Soeharto berkuasa ketika perbedaan agama sering menjadi alasan untuk konflik daripada penyebab utama dari konflik. Di balik perbedaan-perbedaan permukaan semacam ini sering terdapat isu-isu pertentangan lainnya, seperti persaingan untuk sumber daya ekonomi dan kekuasaan politik dalam lingkungan transisi, seperti terlihat di Maluku, yang menjadi sebab utama konflik; bukan menyalanya kembali perbedaan agama yang dulu diredam.

Pendahuluan

Sebenarnya masih terdapat sisa dari rezim Soeharto, yaitu sebuah budaya pluralisme agama. Melihat rangkaian konflik yang ada, ini mungkin tak lebih dari sebuah topeng. Tetapi itu tetap citra yang diinginkan kembali oleh sebagian besar rakyat Indonesia. Pemisahan yang saat ini ada telah berakar sangat dalam walaupun sering sebab utamanya dengan sendirinya terlupakan. Karenanya, membuka jalan untuk sebuah penyelesaian perlu dilakukan dengan hati-hati.

Ketika seluruh lingkungan politik mengalami perubahan, isu toleransi beragama tentu saja akan kembali diuji. Transisi sering menjadi masa yang sangat membingungkan dan menantang identitas orang-orang mengingat perubahan terjadi dalam kecepatan tinggi ketika tatanan politik yang lama digantikan dengan yang baru. Satu konsekuensi besarnya adalah kemungkinan akibat mundur yang bersifat primordial, karena orang mencari kepastian dari tradisi. Yang tetap penting kemudian adalah bagaimana tradisi-tradisi tersebut hidup berdampingan dengan prinsip-prinsip demokratis.

Sangat ironis, salah satu dari target-target awal melonjaknya kekerasan antaragama yang dimulai pada akhir 1996 adalah Rengasdengklok. Di tempat inilah para pendiri bangsa Indonesia, Soekarno dan Hatta, menghabiskan jam-jam terakhirnya sebelum proklamasi kemerdekaan, menekankan kesucian toleransi beragama.

4.2 Masyarakat Sipil dan Advokasi

Masyarakat sipil memiliki sebuah sifat paradoks, yaitu bahwa ia dapat menjadi sebuah aset sekaligus sebuah ancaman bagi demokrasi. Menurut pandangan- pandangan yang ada mengenai masyarakat sipil, organisasi-organisasi masyarakat sipil memelihara kepercayaan dan timbal balik di antara rakyat, membuat mereka lebih “sipil” dalam tindakan-tindakan politik. Pada kenyataannya, masyarakat sipil juga membangkitkan organisasi-organisasi yang kegiatannya dapat bersifat antidemokrasi dan antitesis terhadap demokrasi. Yang terakhir dapat terlihat dari kekerasan antar masyarakat di daerah-daerah Nusantara.

Ada dua sisi persoalan bagi masyarakat sipil: satu positif dan satu negatif. Untuk yang pertama, masyarakat perlu memastikan organisasi-organisasi dan perhimpunan-perhimpunan bekerja demi kontribusi positif kepada masyarakat dan untuk terlibat dalam proses konsolidasi demokrasi. Di lain pihak, masyarakat sipil harus berusaha mencegah pecahnya organisasi-organisasi menjadi faksi-faksi yang saling bertarung, menjadi pencari rente, ataupun bekerja dengan cara-cara yang tidak cocok dengan norma-norma dan praktek-praktek demokrasi, ataupun membahayakan perdamaian, keamanan, dan harmoni.

Karakter masyarakat sipil Indonesia telah sangat berubah selama bertahun-tahun. Pada 1950-an terdapat sebuah masyarakat sipil yang kuat dan bersemangat, dengan gerakan massa dan politik massa. Contoh-contoh yang paling terkenal

Penilaian Demokratisasi di Indonesia

adalah Partai Komunis Indonesia (PKI) dan Masyumi, partai yang berbasis muslim. Dengan berkuasanya Orde Baru, politik massa berhenti tiba-tiba, begitu juga perkumpulan bebas dan kemampuan mendirikan partai sesuai kehendak pendirinya. Pada pertengahan 1970-an, demokrasi Pancasila menjadi mapan, dengan hanya tiga pengelompokan politik yang diatur sebelumnya yang diizinkan (salah satunya adalah Golkar yang berkuasa) , yang semuanya harus menerima ideologi negara. Berkat depolitisasi masyarakat oleh negara, organisasi masyarakat sipil menjadi satu-satunya “rumah” untuk oposisi yang telah dijinakkan dan secara umum impoten.

Jika selama Orde Baru kelompok-kelompok masyarakat sipil muncul sebagai “oposisi alami”, dengan runtuhnya Orde Baru dan bangkitnya kembali partai politik berbasis massa, organisasi-organisasi masyarakat sipil kehilangan tempat, menjadi tersesat dalam pencarian mereka terhadap peran dan identitas baru bagi mereka sendiri, pada saat meruyaknya pembentukan organisasi-organisasi baru. Meskipun salah satu pemikiran mengajukan pendapat bahwa organisasi, asosiasi, ataupun kelompok mana pun adalah simbol kebebasan berkumpul, dan karenanya menjadi atribut positif dalam masyarakat, yang terbaik adalah membedakan tipe-tipe organisasi, karena tak semua organisasi terlihat memberi kontribusi positif kepada masyarakat. Banyak di antaranya tampak sebagai kendaraan kepentingan pribadi, dan rumah untuk kepentingan kelas menengah perkotaan.

Sebuah masyarakat sipil yang kuat dan partisipatif adalah komponen terpenting demokrasi. Tetapi di Indonesia, seperti yang disaksikan di negara-negara lain yang menjalani demokratisasi, penting memastikan organisasi-organisasi masyarakat sipil tetap di wilayah masyarakat (publik), bekerja untuk mencapai tujuan-tujuan yang tidak membahayakan keamanan dan keselamatan kelompok lain. Buat banyak orang, mereka juga harus dibimbing oleh contoh, memberikan model peran untuk pemerintah maupun partai politik, di dalam diri mereka sendiri, yang di jiwa mereka sendiri, sering dianggap sebagai lembaga-lembaga ataupun organisasi-organisasi yang terlepas dari massa.

4.3 Partisipasi Politik Perempuan

Dua hari besar nasional yang merayakan perempuan Indonesia adalah Hari Kartini – untuk menghormati seorang perempuan pada masa penjajahan yang berjuang memperluas kesempatan hidupnya melalui pendidikan; dan Hari Ibu — penghormatan bagi kongres nasional perempuan Indonesia pertama yang diadakan 22 Desember 1928. Pertemuan ini menggariskan cita-cita kaum feminis Indonesia pada masa pra-kemerdekaan itu: kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Perhatian utamanya adalah kesetaraan gender di dalam keluarga.

Tujuan asli pekerjaan yang dilakukan oleh para perempuan pada dua masa itu —

Pendahuluan

yang menjadi alasan mengapa warga Indonesia merayakannya — telah hilang di Indonesia selama Orde Baru. Perayaan yang dilakukan kini cuma memuja-muja “nilai-nilai” tanggung jawab isteri dan ibu.

Sebelum kebangkitan Orde Baru, perempuan telah terlibat perjuangan kemerdekaan, berpartisipasi dalam Konstituante, dan mengambil peran dalam pemerintahan demokrasi liberal pada 1950-an dengan dorongan aktif Soekarno.

Namun, hal itu terhenti setelah 1965. Orde Baru membangun ide bahwa politik bukanlah untuk perempuan dengan menghidupkan terus-menerus pandangan mengenai “perempuan politik” sebagai histeris, amoral, tak beragama, dan pendeknya “di luar kontrol sosial”. Pandangan ini didukung oleh sebuah mitos yang sering diulang-ulang dari praduga atas peranan jahat yang dilakukan oleh Gerwani, sayap perempuan Partai Komunis Indonesia, dalam kematian enam jenderal di Lubang Buaya dekat Jakarta pada 30 September 1965. Pembunuhan tersebut, digambarkan sebagai kudeta yang gagal, adalah inti dari penjelasan dan pembenaran Orde Baru untuk berkuasa.

Perempuan di masa Orde Baru selalu disingkirkan dari politik, kecuali ketika dipanggil untuk mendukung kebijakan resmi dalam peran yang telah ditentukan sebelumnya sebagai isteri dan ibu. Perlakuan terhadap perempuan inilah yang ikut membentuk sifat pemerintahan kekeluargaan dan patriarkis Orde Baru dengan kekuasaan terkonsentrasi di atas dan laki-laki ditempatkan sebagai kepala rumah tangga dan negara. Tipe pemerintahan yang dibangun selama tahun-tahun kekuasaan otoriter itu tidak menyediakan ruang politik yang kondusif bagi perempuan, sedangkan peran-peran sosial mereka dengan hati-hati diatur melalui organisasi-organisasi yang didukung negara.

Lingkungan pasca-Orde Baru membuka kesempatan baru bagi perempuan untuk mengembalikan hak-hak demokrasi mereka. Namun usaha ini terhambat oleh kurangnya “gerakan perempuan” yang memiliki kemampuan mengartikulasi dan mengejar agenda-agenda reformasi yang komprehensif dari perempuan. Dengan beban masalah-masalah yang ada di Indonesia, sering dipandang sebagai “isu nasional yang lebih penting”, ada risiko bahwa, sekali lagi, setengah dari populasi akan tetap terpinggirkan dari perdebatan politik, baik di tingkat nasional maupun lokal.