Pluralisme Agama: Produksi Orde Baru?
2. Pluralisme Agama: Produksi Orde Baru?
Tidak ada hal yang baru dalam pengamatan bahwa Soeharto menggunakan suatu wacana pluralitas yang harmonis sebagai suatu jalan untuk mempertahankan kontrol atas suatu masyarakat yang sangat beragam dan berbeda. Para peneliti dari luar dan dari dalam Indonesia sendiri juga telah menunjukkan bahwa Orde Baru melanjutkan gagasan suatu kultur Jawa yang mengatasi banyak pertikaian
Penilaian Demokratisasi di Indonesia
kecil, untuk menyajikan suatu gambaran Indonesia sebagai suatu masyarakat yang penuh toleransi dan tak mengenal konflik. Dalam hal ini, para ahli umumnya menunjuk pada efek simbolis dari Taman Mini, yakni taman hiburan yang dibangun isteri Soeharto pada 1975. Taman Mini menawarkan suatu model miniatur Indonesia yang mewakili negeri ini sebagai suatu koleksi indah keragaman kebudayaan, bahasa, dan tradisi etnis, keramahan hidup bersama, bukan sebagai suatu entitas yang berdiri sendiri, namun sebagai jalinan dalam sulaman bangsa Indonesia.
Dalam kenyataannya, pluralisme agama tampil lebih dari sekedar suatu tantangan terhadap rezim Orde Baru atau pluralisme kultur. Islam mewakili mayoritas penduduk — 88 persen dibandingkan dengan 9 persen umat Kristen, 2 persen umat Hindu dan 1 persen orang Budha, dan kenyataan ini merupakan ancaman laten baik terhadap pluralisme agama yang sesungguhnya dan terhadap rezim Soeharto.
2.1 Orde Baru dan Tantangan Terhadap Pluralisme Agama
Baik orang Indonesia beragama Islam maupun nonmuslim telah melihat tantangan terhadap pluralisme agama dalam debat tentang diterapkan atau
tidak diterapkannya Piagam Jakarta 1 , yang setuju bahwa semua muslim harus menjalankan syari’ah atau hukum Islam, seperti juga halnya negara Indonesia harus lebih didasarkan pada syari’ah.
Bagaimanapun juga, ini bukan isu-isu baru. Sejak sebelum kemerdekaan, telah ada perdebatan apakah negara harus didasarkan atas ajaran Islam, atau apakah Islam harus menduduki posisi yang sama seperti agama-agama lain di Indonesia. Debat ini muncul dengan sendirinya selama rezim Soekarno dalam bentuk suatu perdebatan atas Piagam Jakarta.
Soeharto menanggapi tantangan-tantangan ini dengan sejumlah cara, mungkin untuk melindungi pluralisme agama itu sendiri dan tentu saja untuk melindungi rezimnya. Namun tanggapan-tanggapan ini sekarang diserang sebagai suatu contoh bagaimana negara melangkahi hak prerogatifnya dengan mencampuri urusan keagamaan.
2.2 Pembedaan Orde Baru antara Islam “Spiritual” dan Islam “Politis”
Menghadapi ancaman atas pluralisme agama dan atas rezimnya oleh mereka yang berusaha mendapatkan peran politik Islam yang lebih kuat di dalam negara, Soeharto meniru strategi Snouck Hurgronje, seorang pakar Islam dan administrator kolonial Belanda.
Pluralisme Agama
Antara 1889 dan 1905, Hurgronje menciptakan pembedaan antara “Islam kultural” dan “Islam politik”, mendukung bentuk yang pertama, tetapi mengekang gerakan bentuk yang lainnya.
Dengan jalan yang hampir serupa, Soeharto mengadopsi strategi untuk mendukung dan memfasilitasi ekspresi “spiritual” Islam, seperti halnya menyediakan dana untuk naik haji dan untuk membangun mesjid-mesjid. Pada saat yang sama, tanda-tanda pemberontakan warga Islam politik diberangus, seperti dalam kasus pembantaian di Tanjung Priok pada 1984. Lembaga bentukan Soeharto seperti ICMI (Ikatan Cendekiawan Muslim Indonesia) juga secara luas dapat dibaca sebagai suatu upaya untuk mengkooptasi pimpinan muslim demi kepentingan negara.
2.3 Penggunaan Institusi Negara oleh Orde Baru
Soeharto juga menggunakan pranata negara untuk menyingkirkan “Islam politik” dan mengontrol semua ekspresi keagamaan. Menteri Agama diberi kekuasaan untuk membatasi jumlah agama yang boleh dijalankan di Indonesia menjadi lima, dengan suatu bias terhadap agama-agama Ibrahim.
Undang-Undang Perkawinan 1974 merupakan suatu upaya untuk melemahkan pengadilan agama Islam dan untuk meniadakan poligami, yang menyebabkan kegemparan luar biasa di antara beberapa pimpinan muslim. Contoh lain dari campur tangan negara dalam kehidupan keagamaan termasuk sistem pengadilan agama dan Hukum Perkawinan, yang mengatur perkawinan antaragama.
Jenis campur tangan ini menguatkan peran negara dalam mendefinisikan berbagai identitas agama dan memberi mereka pengakuan yang berbeda. Sering terlihat bahwa hal itu menguntungkan satu agama dan merugikan yang lain dan dampaknya telah membuat cacat pembangunan mekanisme sosial yang otonom di dalam setiap agama, yang nantinya akan menyejahterakan komunalisme.
Lebih lanjut lagi, sikap curiga dan stigmatisasi di antara agama-agama telah menjadi penghalang bagi dialog keagamaan. Negara menjadi jembatan antaragama, tetapi ongkosnya adalah terciptanya perbedaan di antara mereka dan pencegahan kritik terhadap rezim. Karena terus mendapat kebaikan dari rezim dan birokrasinya, agama telah dihalangi menjadi suatu kekuatan demokrasi.
2.4 Penggunaan Pancasila oleh Orde Baru
Selain menggunakan pranata negara untuk mengontrol agama, Soeharto juga menggunakan “filsafah negara”, Pancasila , untuk tujuan yang sama. Sila pertama dari kelima prinsip Pancasila adalah Ketuhanan yang Maha Esa, meski itu tidak
Penilaian Demokratisasi di Indonesia
menjadikan negara berdasarkan atas agama tertentu. Walau diciptakan oleh Soekarno, Soeharto adalah yang membangun Pancasila
menjadi doktrin negara yang sakral. Manakala negara Pancasila dikukuhkan, agama-agama diberikan tugas-tugas nasionalis, sementara negara telah mengambil tugas-tugas keagamaan.
Prinsip-prinsip Pancasila menjadi suatu jembatan antara agama dan negara, dan di antara agama-agama itu sendiri. Pancasila menekankan bahwa Indonesia bukanlah suatu negara yang sekuler maupun negara agama. Pendekatan serba-bukan ini telah menunda dirumuskannya hubungan paripurna antara negara dan agama, dan akhirnya mencegah agama menjadi suatu kekuatan kritis terhadap negara.
Pada 1984, kekuasaan Pancasila berlipatganda lewat suatu keputusan yang meminta agar semua organisasi sosial-politik, termasuk organisasi keagamaan, mengadopsinya sebagai satu-satunya dasar filosofisnya. Langkah ini diarahkan lebih terhadap organisasi-organisasi Islam, yang terlihat sebagai benteng pertahanan terakhir dari kekuasaan Soeharto.
2.5 Reaksi Komunitas Keagamaan terhadap Orde Baru
Selama rezim Orde Baru, umat Kristen di Indonesia menemukan apa yang mereka lihat sebagai suatu “surga yang aman”. Umat Islam, sebagai mayoritas, merasa bahwa mereka telah dipinggirkan, atau paling tidak peran mereka tidaklah proporsional dengan fakta bahwa elite-elite umat Kristen telah diberi keuntungan ekonomi dan politis oleh rezim. Upaya pengkristenan di kalangan kaum muslim meningkatkan rasa benci mereka.
Reaksi di antara kaum muslim menumbuhkan kelompok-kelompok garis keras dan jargon politik “proporsionalisme”. Untunglah tumbuh suatu pendekatan baru di dalam Islam, dan di dalam agama Kristen hingga tingkat tertentu, yang melihat bahwa agama bukan suatu kekuatan politik sektarian dan lebih sebagai suatu kekuatan etis yang memperjuangkan prinsip-prinsip demokrasi. Hal ini dipahami meliputi toleransi, keterbukaan, hak-hak asasi manusia, aturan hukum dan bahkan pemisahan antara agama dan negara.