Demokratisasi Aktivitas Ekonomi di Daerah- daerah

4. Demokratisasi Aktivitas Ekonomi di Daerah- daerah

Otonomi daerah memungkinkan daerah-daerah untuk mengoptimalkan ekonomi, potensi geografi, dan sosial-budaya mereka. Paradigma pembangunan ini berpotensi mengurangi jurang perbedaan yang telah muncul di antara daerah- daerah dan yang dewasa ini mengancam negara dengan bahaya disintegrasi. Ada dua pendekatan dalam menghadapi otonomi daerah. Satu menghendaki pendekatan federalis yang mendorong pemerintahan daerah yang proaktif dan yang lain menghendaki pendekatan unitaris dengan sebuah pemerintahan pusat yang proaktif.

Pendekatan pertama membiarkan pemerintah daerah mengindentifikasi strategi- strategi dan menangani semua isu kecuali isu-isu yang berdampak pada integrasi negara dan bangsa. Yang kedua meletakkan tanggung jawab pemerintahan dan administrasi pada pemerintah pusat, kecuali untuk isu-isu yang khusus ditetapkan untuk ditangani oleh daerah-daerah.

Otonomi daerah di Indonesia diatur dalam UU No. 22 dan No. 25/1999. UU No. 22 memperlihatkan tanda-tanda yang mendukung pendekatan federalis. Ini tercermin, misalnya, pada Pasal 7 Ayat 1 yang menyatakan: “otoritas daerah

Pembangunan Sosial-Ekonomi

meliputi semua bidang pemerintahan, kecuali otoritas atas politik luar negeri, pertahanan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal, agama”, dan “wilayah otoritas lainnya”.

Namun, kata-kata di bagian akhir menandakan bahwa otoritas daerah diberikan dengan syarat-syarat. Ayat 2 dari pasal yang sama menetapkan “wilayah otoritas lainnya” termasuk kebijakan-kebijakan yang terkait pada rencana nasional dan pembangunan nasional di tingkat makro, perimbangan anggaran, sistem administrasi negara dan lembaga ekonomi negara, pemberdayaan sumber daya manusia, sumber daya alam dan teknologi tinggi yang strategis, konservasi, dan standardisasi nasional.

Dispensasi otonomi setengah hati ini juga bisa dilihat dari esensi UU No. 25/1999, yang tidak sesuai dengan UU No. 22. Pemberian otoritas yang relatif luas berdasarkan UU No. 22 tidak diikuti oleh perubahan mendasar untuk memperkuat kemampuan daerah dalam hal keuangan. Ini sebuah prasyarat mutlak bagi otonomi daerah yang efektif di mana dua undang-undang ini memiliki bidang-bidang masing-masing dan saling mendukung satu sama lain. Sebelum diajukan kepada parlemen, partai-partai yang terlibat dalam penyusunan undang- undang ini mestinya sudah mendiskusikannya untuk menjamin sebuah visi yang sama, dan meletakkan kedua undang-undang ini agar harmonis sejak awal untuk mendukung tujuan yang sama dari pemberdayaan daerah.

Kerumitan masalah lebih nyata pada tahap penerapan. Otonomi dilimpahkan kepada kabupaten dan kota seperti yang tercantum dalam Pasal 11 Ayat 11: “otoritas kabupaten dan kota meliputi semua otoritas di samping otoritas pengecualian dalam Pasal 7, dan diuraikan dalam Pasal 9”. Kerangka kerja desentralisasi yang dibangun berdasarkan UU No. 22 dan 25 tidak memenuhi tuntutan otonomi yang lebih luas pada tingkat propinsi.

4.1 Otonomi Daerah dalam Menghadapi Kompetisi Global

Otonomi daerah dipahami sebagai pembukaan kesempatan yang lebih luas bagi daerah-daerah untuk mengoptimalkan potensi-potensi mereka. Ini mengganggap setiap wilayah memiliki satu atau lebih kelebihan yang memberikan keuntungan, yang bisa berasal dari lokasi atau kandungan alam dan sumber daya. Namun, untuk mewujudkan manfaat kandungan alam ini, sangatlah penting mempersiapkan daerah-daerah untuk berpartisipasi aktif di pasar global. Ini menuntut adanya struktur dan proses yang meliputi jaminan kebebasan bergerak bagi semua faktor produksi, barang, dan jasa di Indonesia, kerangka kerja peraturan untuk mencegah korupsi di tingkat daerah dan, proses politik yang menjamin otonomi bagi penduduk lokal untuk menentukan aspirasi mereka.

Penilaian Demokratisasi di Indonesia

Rekomendasi:

Jaminan kebebasan bergerak bagi semua faktor produksi, barang dan jasa di Indonesia. Proses politik yang menjamin otonomi penduduk lokal untuk menentukan aspirasi mereka. Menimbang ulang secara bersamaan UU No. 22/1999 dan 25/1999, bersama dengan tiga undang-undang politik yang baru, untuk benar- benar membangun pilar-pilar bagi otonomi, mulai dari tingkat pemerintahan yang rendah hingga yang paling tinggi.

Untuk undang-undang yang melengkapi otonomi daerah dengan mengontrol kekuasaan pemerintahan pusat. Mengatur prinsip-prinsip maupun praktek-praktek di tingkat pusat dan daerah untuk menjamin agar otonomi daerah tidak menciptakan bentuk-bentuk baru korupsi, kolusi, nepotisme.

Mengatur prinsip-prinsip dan praktek-praktek yang membantu kerja sama daerah dalam rangka mengoptimalkan manajemen sumber daya. Perbatasan wilayah tak boleh merintangi keputusan ekonomi yang rasional.

Memperkenalkan sistem insentif untuk menjamin fleksibilitas pelaksanaan otonomi daerah. Menjamin bahwa pemerintahan daerah tidak diharapkan menjadi agen kontrol. Peran mereka haruslah menjadi fasilitator yang menjamin kelompok-kelompok minoritas yang lemah tidak terpinggirkan, dan bahwa pembangunan tidak merusak lingkungan.

4.2 Masyarakat Sipil dan Desentralisasi Ekonomi

Saat ini adalah masa reformasi dan demokratisasi di Indonesia dan setiap tindakan reformasi akan menjdi efektif bila ada partisipasi langsung dari masyarakat sipil di tingkat pusat dan daerah. Partisipasi ini haruslah tercermin dalam undang-undang juga. Dukungan masyarakat internasional, terutama negara-negara donor, diperlukan untuk menjamin lancarnya pelaksanaan proses otonomi itu. Pendekatan yang sentralistis dan dari atas ke bawah ( top-down) adalah kontraproduktif bagi desentralisasi dan akan mengalahkan tujuan-tujuan pemerintah sendiri.

Untuk mencegah terjadinya pergolakan dan distorsi ada keharusan untuk bersiap di tingkat pusat dan daerah untuk membangun strategi, kebijakan, program, dan pranata. Di tingkat pusat, sebagaian parsial ini telah dijalankan melalui

Pembangunan Sosial-Ekonomi

pemberlakuan serangkaian langkah-langkah legislatif menuju desentralisasi, yang dinamakan UU No. 22/1999 dan 25/1999.

Pendekatan-pendekatan yang secara langsung mendesentralisasi ke tingkat yang lebih rendah (kabupaten dan kotamadya) mungkin menimbulkan, dalam jangka pendek, lebih banyak risiko daripada keuntungan. Satu cara untuk memperkecil risiko-risiko ini adalah pemerintah menjalankan desentalisasi secara bertahap, juga menyerahkan wewenang dan sumber daya ke tingkat propinsi. Pendekatan ini mensyaratkan penyesuaian-penyesuaian hukum. Karena itu, ketika proses revisi dan penyesuaian sedang dijalankan, sangat dibutuhkan kerangka kerja pembuat peraturan yang komprehensif dalam bentuk Peraturan Pemerintah (PP) untuk mendukung desentralisasi. Pada kenyataannya masalah-masalah ini ditangani dengan membuat PP No. 25/2000.

Pada tingkat daerah, harapan-harapan yang timbul dari desentralisasi begitu tinggi dengan banyak tuntutan yang diciptakan di pemerintah pusat. Ini sangat alamiah mengingat hingga saat ini daerah-daerah belum mewujudkan reformasi politik apa pun dan ada kecurigaan terhadap komitmen pemerintah pusat.

Langkah-langkah reformasi yang dikonseptualisasikan oleh pusat belum diinternalisasikan dan masih dijalankan di dalam struktrur desentralisasi. Pemerintah masih memutuskan dan memformulasikan kebijakan-kebijakan dan daerah-daerah tinggal menjalankannya.

Rekomendasi :

Membuat kerangka kerja hukum yang memenuhi aspirasi terhadap otonomi di tingkat propinsi untuk mengimplementasikan desentralisasi secara bertahap. Ini termasuk membuat sebuah Perpu mengenai otonomi di tingkat propinsi, meninjau ulang UU No. 22 dan 25, dan memperkuat usaha-usaha untuk meningkatkan kepedulian terhadap hukum di antara masyarakat umum dan di antara parlemen pusat dan daerah.

Mengembangkan sebuah rencana strategis untuk merapkan desentral- isasi, memperhitungkan kebutuhan untuk menjamin penyediaan jasa secara terus-menerus, implementasi keseimbangan di antara daerah-daerah, dan kebijakan fiskal yang konsisten.

Mempertahankan momentum desentralisasi dengan menjamin bahwa pemerintahan pusat secepatnya mengambil langkah-langkah untuk sambungan menjalankan desentralisasi, terutama di kota-kota dan kabupaten-

Penilaian Demokratisasi di Indonesia

kabupaten yang mampu menangani kebutuhan seperti pendidikan, kesehatan, pertanian, dan pembangunan jalan. Strategi ini akan menjamin bahwa kepercayaan dipelihara dan juga akan memberikan lebih banyak waktu untuk bersiap menangani tantangan-tantangan teknis desentralisasi.

Karena membangun otonomi dari sistem yang sangat sentralis adalah proses yang sangat sulit dan mencakup bermacam-macam dimensi politik, hukum, sosial-budaya, dan ekonomi, proses pemindahan kekuasaan ini menuntut koordinasi dan kerja sama dari seluruh menteri kabinet dengan tanggung jawab terhadap pembangunan ekonomi, industri, kesejahteraan sosial dan pengentasan kemiskinan, dan keamanan.

Proses desentralisasi haruslah diperluas sampai ke tingkat “akar rumput” ( grassroots), menghindari konsentrasi baru kekuasaan ekonomi di tingkat elite lokal.

Hubungan horisontal di antara daerah-daerah haruslah ditingkatkan melalui kegiatan ekonomi. Kegiatan pembangunan haruslah ditetapkan di tingkat lokal. Pajak pertambahan nilai harus dipindahkan dari pemerintahan pusat

kepada pemerintah daerah secara bertahap.