Demokrasi dan Supremasi Hukum

3. Demokrasi dan Supremasi Hukum

3.1 Peninjauan Ulang Konstitusi

Ide bahwa tak pernah ada demokrasi tanpa kaum demokrat dengan rapi membungkus perdebatan terkini tentang UUD 1945. Seperti banyak diskusi yang berlangsung tentang demokrasi, perdebatan kontroversial tentang amandemen selama Sidang Tahunan Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Agustus 2000 adalah kelanjutan dari sebuah diskusi yang dimulai justru jauh sebelum Indonesia merdeka pada 1945.

Ada tiga kesamaan antara perdebatan konstitusional pada 1950-an dan yang saat ini terjadi. Pertama, para pendukung amandemen konstitusi menunjukkan bahwa para pendiri bangsa Indonesia yang membuat UUD 1945 berada dalam situasi darurat dan menganggapnya sebagai konstitusi sementara yang memerlukan perubahan kemudian. Kedua, UUD 1945 memberikan kekuasaan luas pada presiden melebihi parlemen, dan karenanya memungkinkan kekuasaan otoriter. Ketiga, hanya ada sangat sedikit ketentuan untuk melindungi hak asasi manusia.

Untuk alasan-alasan tersebut, UUD 1945 segera diikuti oleh konstitusi kedua pada 1950 yang dimaksudkan untuk memberikan perimbangan setara antara eksekutif dan parlemen. Tetapi meski isinya lebih demokratis, konsitusi ini tidak

Pendahuluan

disusun oleh lembaga yang terpilih secara demokratis. Untuk alasan inilah, sebuah majelis konstitusi (Konstituante) segera bersidang setelah pemilihan umum yang bebas pada 1955 dengan tugas mengganti konstitusi.

Meski Konstituante dibubarkan pada 1959 sebelum ia menyelesaikan mandatnya, perdebatan-perdebatan di dalamnya menggarisbawahi pentingnya pemerintahan yang baik dalam periode demokrasi liberal Indonesia. Konstituante mendesak agar prinsip-prinsip itu menjadi tanggung jawab menteri kepada parlemen dan menghormati hak asasi manusia, khususnya kebebasan berpendapat, kebebasan berekespresi, dan kebebasan berserikat dan berorganisasi. Ironis mungkin, tapi bukanlah kebetulan jika penekanan yang dibuat oleh Konstituante terbaca seperti sebuah daftar hak-hak yang ditindas dari 1959 sampai 1998. Melihat perdebatan konstitusional sekarang, pelajaran yang dapat ditarik dari masa 1950-an adalah ketentuan-ketentuan konstitutional untuk hak-hak asasi manusia mungkin tidak dengan sendirinya mencegah kebangkitan otoriterisme, tetapi ketidakhadirannya pastilah membuat tugas-tugas diktator jauh lebih mudah.

Sebuah bab penting tentang hak asasi manusia telah ditambahkan ke konstitusi sekarang melalui amandemen-amandemen yang dibuat pada Agustus 2000. Ada ketentuan yang memberikan hak kepada warga negara untuk berbeda pendapat dengan negara, berbeda dengan kewajiban-kewajiban yang terdapat di dalam UUD 1945. Ada juga yang membuka ruang bagi kemajuan di wilayah persamaan gender. Pasal 28 H (2) menyatakan bahwa “setiap orang harus memiliki hak untuk memperoleh kesempatan dan perlakuan khusus untuk mendapatkan kesempatan dan keuntungan yang sama demi terciptanya kesetaraan dan keadilan”. Pasal

28 I (2) menyatakan “setiap orang dijamin haknya untuk bebas dari perlakuan diskriminatif atas dasar apa pun dan dijamin haknya untuk dilindungi dari perlakuan diskriminatif seperti itu”.

Pasal-pasal tersebut dilihat sebagai kemajuan untuk persamaan gender. Tetapi Pasal 28 H (2) bukanlah pernyataan aksi positif seperti yang tampak. Bahasanya dimaknai dengan cara sedemikan rupa sehingga ayat tersebut tetap terbuka terhadap penafsiran, dan usaha untuk menggunakan kata “pria dan wanita” ke dalam kalimat tersebut gagal. Tantangan para anggota legislatif, dengan dukungan dan tekanan dari masyarakat sipil adalah mengubah pasal-pasal tentang hak asasi manusia menjadi kebijakan-kebijakan yang akan dilaksanakan dengan tepat dan untuk memastikan akibat yang diinginkan.

Sebuah keputusan dari Sidang Tahunan MPR tersebut yang mengejutkan banyak pihak adalah penolakan terhadap amandemen konstitusional yang membolehkan pemilihan presiden langsung. Lebih dari dua pertiga wakil rakyat menyatakan dukungan bagi pemilihan tak langsung, meski pengumpulan pendapat mutakhir juga menunjukkan dukungan kuat masyarakat untuk pemilihan presiden secara

Penilaian Demokratisasi di Indonesia

langsung. Biarpun seorang presiden yang terpilih langsung bisa dipercaya sampai batas tertentu, ada juga potensi bahaya karena pemilihan presiden secara langsung menghapuskan pengawasan nyata terhadap eksekutif dan sudah lama dikaitkan dengan rezim otoriter. Reformasi pemilihan umum di negeri-negeri yang baru saja mengalami demokratisasi menunjukkan bahwa pemilihan yang dijalankan dengan benar sama pentingnya dengan pilihan-pilihan sistem pemilihan. Karenanya, jika sebuah negeri memutuskan untuk menjalankan reformasi pemilihan umum, perubahan semacam itu akan lebih mungkin menciptakan lembaga perwakilan yang lebih baik jika komisi pemilihan dapat melaksanakan pemilihan dengan tepat.