Perdebatan Konstitusional
1. Perdebatan Konstitusional
1.1 Warisan Sejarah
Komitmen awal para pendiri Republik Indonesia, seperti yang tertuang dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945, adalah menciptakan bangunan politik demokrasi yang representatif dan pluralistis, sesuai dengan nilai “keadilan sosial”, “kesejahteraan rakyat” dan “kemanusiaan”.
Namun, pengalaman Indonesia dengan pemerintahan demokratis berjalan singkat. Kegagalan pemerintahan pas ca-kemerdekaan untuk menjalankan stabilitas ekonomi dan politik memicu rasa kecewa dan membuka jalan bagi pengekangan politik di bawah Demokrasi Terpimpin Presiden Soekarno dan kemudian Orde Baru Presiden Soeharto. Selama Orde Baru, kekuatan politik rezim ditopang oleh dukungan militer, dan masyarakat menerima pengekangan politik dengan diam demi pembangunan ekonomi dan stabilitas.
Pemindahan kekuasan pada waktu kemerdekaan tidak disertai oleh pembentukan sebuah pemerintahan demokratis yang kuat. Akibatnya, budaya politik di Indonesia berkembang di sebuah lingkungan yang tak mengenal praktek-praktek, pranata-pranata, dan proses-proses demokratis. Akibatnya pula, hanya ada sedikit modal politik dewasa ini yang bisa dimanfaatkan oleh masyarakat dan membangun kerangka bagi masa depan.
Pengalaman politik Indonesia adalah pemerintahan eksekutif yang berkuasa, dengan dukungan militer, berhadap-hadapan dengan lembaga legislatif yang tidak efektif dan lemah. Selama pemerintahan Presiden Soeharto, begitu banyak upaya dikeluarkan untuk membangun suatu “negara yang kuat”. Tapi di dalam prosesnya, perhatian dan kepekaan kelompok-kelompok etnis dan keagamaan dilupakan. Banyak kelompok dan wilayah menderita karena kurang menikmati pembangunan, termasuk wilayah-wilayah yang kaya sumber daya alam. Bila ada protes yang bersifat lokal, kerap itu dihadapi dengan kekerasan. Dalam beberapa kasus, sejarah pelanggaran hak asasi yang mengenaskam kini menimbulkan tuntutan pemisahan diri. Dalam banyak kasus, kerusakan lingkungan dan habisnya sumber daya yang tak dapat diperbaharui semakin memiskinkan komunitas- komunitas itu. Apa lagi, protes-protes lokal dihadapi dengan kekerasan, sehingga kelompok-kelompok mengarah pada tuntutan-tuntutan memisahkan diri, karena sejarah yang kelam dan pelanggaran hak asasi manusia. Pelanggaran hak asasi manusia terjadi di komunitas-komunitas, seperti juga pada perorangan, dan tak ada kerangka kerja atau mekanisme hukum yang dapat dijadikan pelindung atau dari mana mereka bisa memperoleh kompensasi.
Penilaian Demokratisasi di Indonesia
Sementara, baik di Indonesia maupun di dalam masyarakat internasional, banyak pujian terhadap “pembangunan ekonomi yang cepat” dan pengakuan status Indonesia sebagai salah satu dari Macan Asia, sementara dasar bagi pembangunan tersebut jelas-jelas tidak stabil. Ketika ekonomi melorot selama krisis moneter di Asia, terungkaplah bahwa pondasi pembangunan ekonomi Indonesia ternyata rapuh, bahwa jumlah utang bangsa sangat besar, dan tingkat korupsi mengerogoti seluruh sistem. Sepertinya tak ada transparansi pada pemerintahan, atau pada mekanisme untuk akuntabilitas publik melalui lembaga legislatif nasional, pers atau melalui komisi-komisi khusus yang berwenang. Praktik-praktik bisnis yang palsu tidak menurun, bertumpuknya utang-utang yang terus bertambah setiap waktu. Dengan demikian, kebobrokan ekonomi Indonesia berdampak sangat besar pada rakyatnya.
1.2 Tantangan dan Kesempatan Reformasi Demokratik di Indonesia
Gerakan reformasi yang menumbangkan Presiden Soeharto dan Orde Baru telah menciptakan suatu kesempatan bagi Indonesia untuk keluar dari masa otoriter yang lalu dan menuju pembangunan sistem ekonomi dan politik yang demokratis, transparan dan dapat diandalkan. Pemilu yang bebas dan adil pada 1999 semakin mendorong perubahan ini, tetapi juga diketahui bahwa di samping euforia dan optimisme, transisi menuju demokrasi berlangsung dalam kondisi yang sulit. Ekonomi tetap rapuh. Kepercayaan publik pada pemerintahan dan institusi-institusi pemerintah, termasuk militer, sangat rendah., termasuk kepercayaan kepada orang-orang yang terpilih. Konflik etnis dan agama telah meledak di banyak tempat dari negara ini dan gerakan pemisahan diri mulai muncul. Kemudian kemiskinan dan pengangguran tinggi dapat merusak stabilitas.
Sangatlah sulit bagi negeri ini untuk terus maju tanpa menyelesaikan perkara dari masa lampau. Banyak yang menginginkan keadilan bagi pelanggaran hak asasi manusia di masa lalu dan perhitungan publik terhadap korupsi dan penyalahgunaan kekuasaan yang menghancurkan ekonomi nasional. Mereka juga ingin agar pemerintah terus maju dalam membentuk suatu kerangka kerja yang dengannya Indonesia dapat kembali duduk dalam komunitas bangsa-bangsa. Untuk melakukan ini berarti menuntut hal-hal mendasar dari keadaan politik, ekonomi, sistem hukum, dan masyarakat negara ini.
Indonesia sedang berjuang untuk mencari keseimbangan antara mempertahankan dan menyelamatkan negara dan melindungi serta memajukan hak-hak rakyatnya. Rakyat menikmati kepribadian sebagai individu, sebagai laki-laki dan perempuan, sebagai anggota dari kelompok kepentingan, sebagai anggota dari komunitas etnis dan keagamaan, dan sebagai putra daerah. Identitas-identitas ini dikenakan secara tumpang tindih. Rakyat dan komunitas-komunitas memiliki hak-hak sosial, ekonomi, dan politik yang harus diakui, dan mereka harus bisa menikmati keuntungan-keuntungan dari hak-hak ini dalam kehidupan sehari-hari. Debat
Konstitutionalisme dan Aturan Hukum
mengenai Indonesia tak lagi berkisar di seputar bagaimana menyeimbangkan hak-hak ekonomi dan atau hak-hak politik. Ini juga tentang bagaimana menyadari hak-hak dan kemerdekaan politik dan ekonomi.
1.3 Peran Konstitusi
Konstitusi diakui sebagai kerangka kerja yang dengannya isu-isu ini ditentukan. Sebuah konstitusi menjadi sumber dari segala sumber hukum. Konstitusi mengatur bunyi, semangat, dan kerangka kerja menyeluruh yang menjadi dasar legitimasi seluruh ketentuan hukum yang lain dan seluruh bentuk pemerintahan. Konstitusi ini menjamin kerangka kerja sistem hukum dan politik dan figur mendasar. Adalah konstitusi yang menentukan dan mengatur kekuasaan dan hubungan antara kepresidenan, lembaga legislatif, dan lembaga peradilan. Dalam hal pemerintahan bersifat desentralisasik, konstitusi juga mengatur hubungan antara pemerintahan pusat dan daerah, dan antara pemerintah di daerah.
Konstitusilah yang menyediakan dan mengamankan kerangka kerja bagi demokrasi, desentralisasi, dan deregulasi untuk tujuan-tujuan pembangunan negara. Ketika sulit untuk diamandemen, ia memberikan rasa aman dan jaminan bagi masyarakat. Dengan menyatakan kembali aspirasi orang banyak, ia juga menjadi dasar bagi identitas nasional yang baru. Diharapkan agar hukum- hukum dasar itu jelas tujuannya, dan sesuai dengan kebutuhan, aspirasi, dan semangat negeri ini.
1.4 Kesempatan bagi Reformasi Konstitusional
Konstitusi-konstitusi yang diadopsi pada satu situasi tertentu akan kehilangan relevansinya dalam situasi yang lain, seperti halnya yang terjadi di Indonesia. Undang-Undang Dasar (UUD) Indonesia dirancang sebagai konstitusi sementara pada 1945 setelah perjuangan kemerdekaan yang sangat berkepanjangan. Lima tahun kemudian, undang-undang itu digantikan oleh konstitusi lain yang memberikan lebih banyak peran kuat bagi parlemen daripada versi tahun 1945 dan sangat dipengaruhi oleh Deklarasi Hak Asasi Manusia PBB di 1948.
Konstitusi ini juga berlangsung sementara, dan setelah sembilan tahun gejolak di dalam demokrasi parlementer sebelum akhirnya diganti oleh Presiden Soekarno dengan mengembalikan UUD 1945 yang lebih otoriter. Putusan Soekarno juga mengakhiri diskusi selama empat tahun di antara partai politik, yang dikenal sebagai Konstituante, tentang konstitusi yang tetap untuk Indonesia. UUD 1945 telah menjadi referensi selama lebih dari empat dasawarsa, dan kini secara luas disadari bahwa konstitusi Indonesia harus direvisi secara menyeluruh sebagai suatu pelopor untuk mendukung konsolidasi demokratis.
Di antara para anggota Forum, ada pandangan yang berbeda mengenai isu dan proses reformasi konstitusional. Beberapa anggota mengadvokasikan penyusunan
Penilaian Demokratisasi di Indonesia
suatu dokumen konstitusional baru lewat suatu proses yang terbuka seperti halnya suatu Konvensi Konstitusional atau Dewan yang dibentuk oleh MPR. Yang lain menerima perlunya melakukan pengkajian mendasar tetapi berharap mempertahankan hal-hal dan pranata-pranata mendasar dari Undang-Undang Dasar 1945, misalnya pembukaan dan perwakilan kelompok-kelompok fungsional maupun partai politik.
Namun ada persetujuan umum di antara para peserta proses ini bahwa konstitusi yang kini ada tidak mencukupi untuk menentukan dengan jelas peran institusional dari kekuasaan badan-badan legislatif, eksekutif, dan hubungan kesaling- tergantungan di antara mereka. UUD ini tidak juga memberi petunjuk arah yang cukup atau memberi jaminan berlangsungnya pemerintahan demokratis.
Para peserta membahas beberapa masalah pemerintahan yang paling penting yang dihadapi Indonesia dan berusaha mengidentifikasinya dalam kerangka prinsip-prinsip pemerintahan yang membutuhkan dukungan atau kompensasi lewat konstitusi. Maka, rekomendasi-rekomendasi reformasi konstitusional ini mengkaji masalah-masalah pemerintahan berdasarkan prinsip-prinsip konstitusional.
Seorang sarjana hukum Afrika Selatan menggambarkan sebuah konstitusi sebagai “otobiografi suatu bangsa”. Karenanya, konstitusi tidak saja harus mencerminkan cerita suatu bangsa tapi juga ditulis oleh bangsa itu. Rakyat Indonesia berada pada saat-saat yang menantang itu ketika mereka menulis sejarah bangsanya untuk meyakinkan bahwa hal itu akan menjadi dokumen yang siap untuk berhadapan dengan tantangan pemerintahan di abad ke-21.
Diskusi kelompok kerja mengidentifikasi beberapa isu mendasar yang harus diamandemen di dalam kerangka kerja konstitusional. Hal ini meliputi:
Pendefinisian kembali peranan dan hubungan antara lembaga eksekutif dan legislatif. Memperkuat proses demokratis lewat penerapan otonomi daerah yang efektif. Memperkuat aturan hukum dan peran lembaga peradilan. Mendukung dan melindungi prinsip-prinsip demokrasi lewat sarana
institusi-institusi yang independen dan tak terpisahkan. Membicarakan peran partai-partai politik dan sistem pemilihan. Mengundang-undangkan hak-hak dan kewajiban dasar negara dan
warga negara.
Konstitutionalisme dan Aturan Hukum