Reformasi Hubungan Perburuhan

10. Reformasi Hubungan Perburuhan

10.1 Penegakan Hukum

Indonesia mempunyai jumlah tenaga kerja yang sangat besar dalam sektor formal, dan penanaman modal langsung luar negeri ada di sektor-sektor manufaktur dan industri-industri ringan. Upah kompetitif dan tenaga kerja yang patuh telah dijadikan daya tarik umum yang telah membantu Indonesia menarik penanaman modal yang besar di sektor-sektor ini.

Walaupun terdapat hukum dan peraturan yang menentukan hubungan perburuhan di Indonesia, pemerintah belum pernah secara serius mengawasi pelaksanaan kebijakan-kebijakannya. Mekanisme penegakan hukum juga tidak ada di semua tingkatan, baik di tingkat nasional maupun tingkat daerah yang paling rendah. Sebelumnya, pemerintah telah berusaha mereformasi dirinya dengan mensahkan standar-standar perburuhan internasional semacam konvensi International Labour Organisation (ILO), namun proses reformasi tersebut hanya terbatas pada tingkat pembuatan kebijakan semata. Ada juga kurangnya sosialisasi dan koordinasi kebijakan, sehingga kebijakan nasional gagal dijalankan di tingkatan lokal. Dalam praktek, setiap tingkatan menjalankan kebijakan sesuai dengan pemahaman masing-masing

Pembangunan Sosial-Ekonomi

Rekomendasi:

Langkah-langkah harus segera diambil untuk mengukuhkan aturan hukum, termasuk hukum-hukum perburuhan. Memprioritaskan penegakan hukum di bidang perburuhan. Kekerasan harus dianggap sebagai tindakan kejahatan dan harus ditindak sesuai hukum.

Memperkuat pranata-pranata hukum dan menegakkan hukum-hukum perburuhan. Membuat saluran komunikasi antara pimpinan pemerintah pusat dan daerah untuk menjamin bahwa kekerasan di perburuhan diperhatikan. Menggunakan media untuk membangun kesadaran melawan penghisa- pan tenaga kerja.

10.2 Korupsi, Kolusi dan Nepotisme dalam Hubungan Perburuhan

Kondisi dan praktek kerja yang berhubungan dengan hubungan perburuhan memang sangat buruk. Namun para pengusaha tidak pernah melakukan usaha- usaha yang cukup untuk meningkatkan standarnya karena mereka mampu menyogok pengurus-pengurus serikan buruh, aparat penegak hukum dan pejabat di Departemen Tenaga Kerja, sehingga mereka mangatakan bahwa kondisi perburuhan sudah cukup baik.

Banyak wirausaha juiga dipaksa menggunakan aparat keamanan untuk menyediakan pengamanan tambahan dan menjadi pihak ketiga dalam berhubungan dengan buruh. Kegiatan ini sering memakan biaya 30 persen dari total biaya produksi.

Yang jelas, hubungan majikan-buruh harus didefinisi ulang. Banyak korupsi berasal dari luar biasa rendahnya upah buruh serta, antara yang dibayarkan kepada buruh dan yang untuk aparat keamanan. Walaupun sulit untuk meninjau kembali upah selama masa krisis ekonomi ini, langkah ini harus diambil sebagai prioritas. Upah dan kondisi kerja harus dinegosiasikan lagi di antara semua pihak sehingga masalah dapat diselesaikan dengan konsensus.

Rekomendasi:

Penilaian Demokratisasi di Indonesia

Hapus korupsi dalam hubungan perburuhan yang mengarah ke penghisapan tenaga kerja. Memastikan bahwa buruh diupah secara wajar, yaitu upah untuk hidup. Membangun mekanisme hukum untuk melindungi hak-hak buruh secara lebih efektif.

10.3 Diskriminasi antara Buruh Perempuan dan Laki-laki

Diskriminasi berdasarkan gender masih dijadikan dasar untuk mengartikan hubungan perburuhan di Indonesia. Fasilitas dan bahkan upah disesuaikan berdasarkan gender dan tidak pada kualitas kerja. Bentuk diskriminasi gender yang paling umum adalah pada upah, di mana kaum perempuan masih dianggap sebagai pencari nafkah sekunder yang kemudian membenarkan pembayaran upah yang lebih rendah daripada yang diterima oleh laki-laki.

Lebih dari itu, kaum buruh perempuan juga mengalami diskriminasi tambahan berdasar gender, misalnya dikenai tes kehamilan dan ancaman pemecatan jika mereka cuti selama haid.

Rekomendasi:

Upah harus berdasarkan kualitas kerja, bukan pada gender. Perempuan juga pencari nafkah utama dan pembeda-bedaan harus

tidak didasarkan atas gender. Diskriminasi berdasarkan gender yang berasal dari fungsi-fungsi reproduksi perempuan harus dilarang oleh hukum, dan hukum harus ditegakkan.

10.4 Upah Minimum Regional

Upah Minimum Regional (UMR) ditentukan berdasarkan terpenuhinya kebutuhan fisik dasar kaum buruh sebagai “makhluk hidup” dan bukan sebagai “makhluk sosial”. Proses penentuan tingkat UMR ini juga sangat rentan terhadap korupsi dan sangat tidak transparan. Dewan Pengupahan Nasional hanya terdiri dari satu serikat buruh, yaitu serikat buruh pemerintah, dan mereka menentukan tingkat upah tanpa konsultasi dengan serikat buruh yang lain.

Pembangunan Sosial-Ekonomi

Analisis harga yang digunakan untuk menentukan tingkat upah tidak berkaitan dengan kondisi riil. Ini didasarkan atas perkiraan yang didapat dari harga-harga di pasar-pasar utama, yang biasanya lebih rendah dari pasar lokal, di mana komoditas telah melalui rantai distribusi yang sangat panjang.

Selama menentukan UMR, pemerintah dan pengusaha mengisolasi buruh dari interaksi sosial untuk mendepolitisasi mereka. Sementara proses sedang terjadi, buruh harus dijauhkan dari komunikasi dan interaksi sosial sehingga peraturan-peraturan ekonomi dapat ditentukan dan disampaikan kepada buruh untuk diterima.

UMR juga sering di anggap sebagai upah regional “maksimum”, dan berdasarkan kriteria-kriteria yang tidak ilmiah dan tidak ekonomis.

Rekomendasi:

Harga kebutuhan harian harus didasarkan atas kriteria yang realistis dan ditentukan melalui proses yang transparan dan adil. Harus ada mekanisme perwakilan bagi serikat buruh-serikat buruh untuk mengirimkan wakilnya di Dewan Pengupahan nasional. Peran para akademisi dalam menentukan upah sebuah perusahaan harus dibatasi hanya dalam kapasitas sebagai penasihat. Formulasi pengupahan harus didasarkan atas kemampuan ekonomi sebuah perusahaan dan indeks standar kebutuhan sehari-hari.

UMR harus didasarkan atas fiskal minimum perusahaan dan kebutuhan hidup minimum buruh. Oleh karenanya, upah harus dihubungkan dengan kesejahteraan perusahaan. Untuk menjamin agar hal ini terpenuhi, perusahaan harus menyediakan informasi yang berhubungan dengan status keuangan kepada buruh dan serikat buruh untuk menegosiasikan upah yang layak.

Pemerintah harus membuat peraturan untuk menjamin upah minimum dan kapasitas untuk menghubungkan antara kenaikan upah dengan produktivitas.

10.5 Pemogokan

Di Indonesia, aksi mogok belum diakui sebagai hak dasar kaum buruh. Aksi pemogokan masih dianggap sebagai tindakan perlawanan dan kekerasan, wujud egoisme kaum buruh dalam menyatakan tuntutan. Aksi mogok jarang dianggap sebagai tindakan terakhir ketika tuntutan tidak dipenuhi. Proses negosiasi “damai” yang selalu menguntungkan pengusaha dianggap sebagai yang terbaik.

Penilaian Demokratisasi di Indonesia

Rekomendasi:

Buruh dan pengusaha harus melakukan negosiasi untuk menyelesaikan masalahnya. Hak untuk mogok harus dianggap sebagai hal pokok buruh sebagai hak untuk berserikat dan menggunakan hukum.

10.6 Penyelesaian Persengketaan Perburuhan

Sampai saat ini tidak ada batas waktu untuk menyelesaikan sengketa industrial. Pihak yang kalah dapat menuntut ke pengadilan, tetapi hal ini bisa makan waktu tiga tahun atau bahkan lebih. Selama masa itu, hukum tidak melindungi hak dan kewajiban kedua belah pihak. Ini sering berarti bahwa kaum buruh yang secara ekonomi lemah tidak punya pilihan lain kecuali keluar dan mencari kerja yang baru.

Rekomendasi:

Sebuah pengadilan perburuhan harus didirikan untuk menyelesaikan masalah-masalah perburuhan secara efisien dan membatasi waktu proses hukum antara buruh dan pengusaha. Pengadilan perburuhan harus mampu membuat putusan yang independen, menyeluruh, dan mengikat dalam jangka waktu yang ditentukan

Dalam proses sengketa, pengusaha masih harus memenuhi kewajiban- nya terhadap buruh baik ketika mereka masih mempekerjakan buruh tersebut atau tidak.

10.7 Buruh Anak-Anak

Karena tingginya tingkat kemiskinan di Indonesia, banyak sekali anak-anak yang dipekerjakan walaupun sudah ada konvensi internasional untuk memastikan hak anak-anak dan melarang buruh anak-anak.

Pemerintah telah mengesahkan konvensi ILO yang mengatur batas umur buruh anak-anak dan menyediakan standar minimal untuk mengatur kondisi kerja untuk buruh anak-anak. Namun buruh anak-anak masih diperlakukan secara buruk dan kurang perlindungan kesejahteraan dan kesempatan terhadap pendidikan. Estimasi menunjukkan bahwa antara 4 -6,5 juta buruh anak-anak Indonesia yang tidak dibayar dan bekerja di bawah usia 15 tahun. Mereka tidak punya

Pembangunan Sosial-Ekonomi

kesempatan terhadap pendidikan dan mereka harus bekerja lebih dari jam kerja harian, dan bahkan sampai 12 jam kerja.

Rekomendasi:

Buruh anak-anak hanya diizinkan setelah mereka sekolah. Pemerintah dan pengusaha harus menjamin bahwa anak-anak ini harus menerima pendidikan.

Karena ketidakmampuan fisik anak, jam kerja mereka harus dibatasi sampai pada lima sampai enam jam perhari. Sebagaimana buruh perempuan, anak-anak harus menerima upah berdasarkan pekerjaan yang dilakukannya.