Uslûb al-Qur'an dalam memotivasi untuk memiliki khasyyatullâh
B. Uslûb al-Qur'an dalam memotivasi untuk memiliki khasyyatullâh
Ada beberapa uslûb dalam ayat-ayat al-Qur'an berkenaan dengan khasyyatullâh . Dari uslûb-uslûb tersebut, dapat dilihat bahwasanya al-Qur'an memposisikan khasyyatullâh sebagai suatu sifat dan kondisi yang sebanding dengan tingkat keimanan seorang hamba. Untuk mencapai kondisi ideal bagi orang beriman, al-Qur'an menyerukan agar setiap orang yang beriman menempatkan rasa takutnya hanya pada Allah SWT dan melarang penempatannya pada selain-Nya. Al-Qur'an
5 'Ali al-Jârim dan Mushthafâ Amîn, al-Balâghah al-Wâdlihah, Kairo : Dâr al-Ma'ârif, tth., h.12.
6 al-Zarqâni, Manâhil al-'Irfân, juz 2, h.303. Al-Zarqâni kemudian menambahkan bahwa uslûb al-Qur`an memiliki karakteristik tersendiri
yang tidak dimiliki oleh selainnya. Beberapa contoh karakteristik yang disebutkannya adalah :
1. Corak pelafalan al-Qur`an sangat menarik dan mengagumkan, yang tampak dalam nizhâm shawty dan jamâl lughawy. 2. Dapat diterima oleh semua orang, baik yang awam maupun yang 'khusus' (dalam ilmu dan bahasa Arab, Pen.) 3. Dapat diterima dan dicerna oleh akal dan perasaan. 4. Untaian dan kesinambungan kalimatnya indah.
5. Cemerlang dalam penggunaan derivasi ungkapan dan kekayaan seni bertuturnya, sehingga suatu makna bisa diungkapkan dengan berbagai gaya yang tetap memukau. 6. Penggabungan antara kalimat global dan penjelasannya sekaligus. 7. Al-Qur`an sengaja mendatangkan satu lafal dengan segenap maknanya, sehingga dalam setiap kalimat didapati penjelasan sesuai kadar kebutuhan jiwa kemanusiaan berdasarkan petunjuk ketuhanan tanpa menambah jumlah lafalnya. Untuk lebih jelas, lihat al-Zarqâni, Manâhil al-'Irfân, juz 2, h.309-325.
juga menceritakan kondisi orang-orang yang dihiasi khasyyatullâh dengan cara menggambarkan sifat baiknya dengan disertai pujian atas mereka dan janji ganjaran yang akan mereka dapatkan, dan juga kondisi orang yang tak memiliki khasyyatullâh dengan disertai celaan serta ancaman hukuman yang akan menimpa mereka. Pembahasan tentang uslûb al-Qur'an yang membicarakan khasyyatullâh ini penulis bagi ke dalam tiga bagian, yaitu : perintah dan larangan, pujian dan celaan serta janji dan ancaman. .
B.1. Perintah dan Larangan Dengan mengacu pada ayat-ayat yang menggunakan redaksi al-khasyyah dan al-khauf untuk mengungkapkan rasa takut kepada Allah SWT, maka pada pembahasan selanjutnya juga mencantumkan ayat-ayat yang menggunakan redaksi kata-kata sepadannya, karena sebagaimana telah penulis singgung dalam bab sebelumnya, kata-kata sepadan tersebut bermuara pada al-khasyyah dan al-khauf yang bermakna khasyyatullah.
Allah SWT dengan tegas memerintahkan orang-orang beriman untuk menanamkan rasa takut hanya kepada-Nya. Ia juga melarang jika rasa takut itu tertuju kepada selain-Nya, terutama pada orang-orang kafir dan kawan-kawannya yang selalu mencari cara untuk menakut-nakuti orang mukmin. Dalam Q.S al-Maidah ayat
44 Allah SWT berfirman :
Sesungguhnya kami Telah menurunkan Kitab Taurat di dalamnya (ada) petunjuk dan cahaya (yang menerangi), yang dengan Kitab itu diputuskan perkara orang- orang Yahudi oleh nabi-nabi yang menyerah diri kepada Allah, oleh orang-orang alim mereka dan pendeta-pendeta mereka, disebabkan mereka diperintahkan memelihara kitab-kitab Allah dan mereka menjadi saksi terhadapnya. Karena itu janganlah kamu takut kepada manusia, (tetapi) takutlah kepada-Ku. dan janganlah
kamu menukar ayat-ayat-Ku dengan harga yang sedikit. barangsiapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, Maka mereka itu adalah orang- orang yang kafir.
Ayat tersebut di atas berbicara dalam konteks kitab suci Taurat yang di dalamnya terkandung petunjuk dan cahaya. Penggunaan fi'il nahy (larangan) bermaksud melarang Bani Israel takut pada selain Allah SWT, di mana rasa takut itu membuat mereka tidak berani menggunakan hukum sesuai ketentuan Allah SWT
dalam Taurat. 7 Dalam rangkaian ayat yang berbicara tentang keengganan menggunakan aturan sesuai petunjuk Allah SWT dalam kitab suci ini, para pelakunya
dikategorikan sebagai golongan orang-orang kafir (QS.al-Maidah : 44); orang-orang zhalim (ayat ke-45) dan orang-orang fasik (ayat ke 47). Al-Baidhawi berpendapat bahwa sebutan itu digunakan untuk menunjukkan kerendahan derajat mereka; disebut kafir atas keingkaran mereka, disebut zhalim atas sikap mereka yang menyalahi
aturan, dan disebut fasik atas ketidakpatuhannya. 8 Menanggapi ayat ini, ada sebagian sahabat yang menganggap bahwa ayat ini
hanya ditujukan pada Bani Israel, dan tidak untuk selainnya, apalagi kaum muslimin. Namun kemudian ada seorang sahabat lain yang meluruskan bahwa isi kandungan ayat ini juga berlaku untuk umat Islam, umat yang kepada mereka diturunkan al- Qur'an yang memuat ayat ini. Hal ini sebagaimana yang ditegaskan oleh Sa'id bin
Jubair yang berkata : "ayat ini turun atas Bani Israel dan juga turun atas kita". 9 Dengan demikian, maka tidak menutup kemungkinan jika ada orang Islam yang
mengingkari, menyalahi dan tidak patuh pada aturan Allah SWT sebagaimana yang
7 Nashir al-Din Abu al-Khair Abdullah bin Umar al-Syirazi al-Baidhâwi, Anwâr al-tanzîl wa asrâr al-ta'wîl , (Beirut : Dar al-Fikr, 1982), juz 2, h. 294. Bandingkan juga dengan keterangan yang
ditulis oleh Burhan al-din Abi al-Hasan Ibrahim bin Umar al-Biqâ'i, Nazhm al-Durar fi Tanâsub al- Â yât wa al-Suwar , (Kairo : Dar al-kitab al-Islami, 1992), j.2, h.393.
8 al-Baidhâwi, Anwâr al-tanzîl wa asrâr al-ta'wîl, j.2, h.294.
9 Abu Bakar bin Muhammad bin Sabiq al-din al-Khudhairi al-ma'ruf bi Jalal al-din al-Suyuthi,
terkandung dalam al-Qur'an, maka ia juga termasuk golongan orang kafir, zhalim dan fasik.
Menempatkan rasa takut hanya kepada-Nya ini bahkan dikategorikan sebagai salah satu syarat keimanan seseorang. Hal ini dapat dipahami karena rasa takut kepada-Nya ini bermuara pada tauhid secara akidah (pengesaan Allah SWT dalam keyakinan). Jika seorang mukmin hanya takut kepada Allah SWT, maka ia akan menjadikan-Nya satu-satunya pelindung, penolong dan pemberi keselamatan. Sementara jika sebaliknya, yaitu ada orang yang takut pada selain Allah SWT, maka
orang tersebut bisa terjerumus pada kemusyrikan. Ini dikarenakan ia telah menempatkan sekutu bagi Allah SWT. Padahal tidak ada yang layak untuk ditakuti dan dijadikan pelindung selain Allah SWT. Dalam hal ini Allah SWT menegaskan dalam QS al-Taubah :13 :
Mengapakah kamu tidak memerangi orang-orang yang merusak sumpah (janjinya), padahal mereka Telah keras kemauannya untuk mengusir Rasul dan merekalah yang pertama mulai memerangi kamu?. mengapakah kamu takut kepada mereka padahal Allah-lah yang berhak untuk kamu takuti, jika kamu benar-benar orang yang beriman .
Dalam akhir ayat ke-13 surat al-Taubah di atas terdapat huruf syarat (نإ), yang dari sinilah dipahami bahwa salah satu syarat keimanan seseorang bergantung pada rasa takutnya kepada Allah SWT. Ayat yang senada dengan makna ayat ini adalah
Q.S. al-Imron : 175. 10 Tatkala menafsiri ayat-ayat ini, al-Baidhawi menuliskan bahwa
10 QS. Ali Imron : 175 :
Sesungguhnya mereka itu tidak lain hanyalah syaitan yang menakut-nakuti (kamu) dengan kawan-kawannya (orang-orang musyrik Quraisy), Karena itu janganlah kamu takut kepada mereka, tetapi takutlah kepadaku, jika kamu benar-benar orang yang beriman.
tuntutan keimanan adalah untuk tidak takut kecuali pada Allah SWT (fa inna qadhiyyah al- Îmân an lâ yakhsya illâ minhu), atau menomorsatukan rasa takut pada- Nya melebihi yang lainnya (fa inna qadhiyyah al- Îmân yaqtadhi îtsâr khauf Allah
'ala khauf ghairih 11 ). Al-Alusi menambahkan bahwa alasan untuk takut hanya pada Allah SWT adalah karena hanya Dialah yang dapat mendatangkan madharat dan manfa'at, serta tidak ada selain-Nya yang mampu membuat madharat dan manfa'at
kecuali atas izin-Nya. 12 Dalam ayat ke-175 surat Ali Imron tersebut terkandung jawaban Allah SWT
dalam rangka meneguhkan keimanan orang-orang Islam. Di mana dalam ayat sebelumnya (ayat 173) tercantum ucapan orang-orang kafir yang berusaha menakut- nakuti orang-orang Islam. Ibnu Katsir ketika menjelaskan ayat ini, memberikan keterangan bahwa ayat ini berkenaan dengan peristiwa perang Badr Shugrâ (Badar kecil) yang terjadi sesudah perang Uhud. Sewaktu meninggalkan perang Uhud itu, Abu Sufyan pemimpin orang Quraisy, menantang Nabi dan sahabat-sahabat beliau, dengan mengatakan bahwa dia bersedia bertemu kembali dengan kaum muslimin pada tahun berikutnya di Badar. Tetapi Abu Sufyan sendiri ketika itu sebenarnya sedang merasa takut, maka ia menyuruh kawan-kawannya untuk menyebarkan berita bohong yang bertujuan untuk menakut-nakuti orang-orang Islam. Ia mengatakan bahwa pihak mereka (orang-orang kafir) telah mengumpulkan pasukan untuk
11 al-Baidhâwi, Anwâr al-tanzîl wa asrâr al-ta'wîl, j.3, h.134 dan j.2, h.118. Keterangan yang sama ditemui pula dalam al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, j.3, h.93 dan Abî al-Sa'ûd bin Muhammad
al-'Imadi al-Hanafi, Tafsîr Abî al-Sa'ûd aw Irsyâd al-'Aql al-Salîm ila Mazâyâ al-Kitâb al-Karîm, (Beirut : Dar Ihya' al-Turats al-'Arabi, tth.), j.3, h.147 dan j.1, h. 494. Dalam menafsirkan QS.Ali Imron :175, Al-Biqa'i menuliskan bahwa jika mengakui Allah SWT sebagai satu-satunya Tuhan yang mempunyai sifat-sifat kemuliaan, maka tiada pilihan lain kecuali "memandang-Nya" dengan rasa takut. Lihat al-Biqa'i, Nazhm al-Durar fi Tanâsub al- Â yât wa al-Suwar , j.2, h.144.
12 Abu al-Fadhl Syihâb al-Dîn al-Sayyid Mahmûd al-Alûsî, Rûh al-Ma'âni fî Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm wa al- Sab' i al-Matsânî , (Kairo : Dâr al-Fikr, tth.), j.7, h.174.
menyerang umat Islam, dan ia berharap supaya umat Islam merasa ketakutan atas ancaman yang sebenarnya berita bohong tersebut. Ketika Rasulullah mendengar pengaduan sahabat-sahabat beliau tentang hal tersebut, beliau bersabda, "Cukuplah
Allah SWT penolong kami dan Allah SWT adalah sebaik-baik pelindung". 13 Ketegasan Rasulullah SAW yang mencontohkan keteguhan iman kepada sahabat-
sahabat beliau ini dikarenakan beliau mampu menempatkan rasa takut kepada Allah SWT.
Dalam pengkategorian rasa takut yang dialami manusia, Al-Ramli mengutip perkataan Ibn Sa'di dalam buku al-Qaul al-Sadîd yang berpendapat bahwa rasa takut
itu bisa bernilai ibadah, namun bisa jadi hanya merupakan rasa takut yang naluriah. Semuanya bergantung pada sebab-sebab dan hal-hal lain yang berkaitan dengan rasa takut tersebut. Pertama, rasa takut bernilai ibadah adalah jika rasa takut itu ditujukan hanya pada Allah SWT, dimana dengan rasa takut tersebut menjadikannya tidak berani berbuat maksiat dan melanggar aturan-aturan-Nya, selalu mencari cara untuk mendekatkan diri kepada-Nya dan berusaha untuk tidak melakukan hal yang mendatangkan murka-Nya. Rasa takut yang sedemikian inilah yang jika ditujukan kepada selain Allah akan menjadikan yang bersangkutan menjadi orang musyrik. Sebesar apapun rasa takut seseorang kepada makhluk, semestinya tidak menjadikannya penghamba yang akan selalu mematuhi perintah-perintahnya.
13 al-Hâfizh 'Imâd al-Dîn Abu al-Fidâ' Ismâ'îl Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, (Beirut : Dâr Ihyâ' al- Turâts al-'Arabî, tth.), jilid I, h. 431-432. Kisah demikian juga disebutkan oleh al-Wâhidi
dalam bukunya, Asbâb al-Nuzûl. Lihat Abu al-Hasan Ali bin Ahmad al-Wâhidi, Asbâb Nuzûl al- Qur'ân , tahqiq : Kamal Basyuni Zaghlul, (Beirut : Dar Kutub al-'Ilmiyah, 1991), cet.I, h.135. Bandingkan kisah serupa yang dipaparkan al-Suyuthi dalam al-Durr al-Mantsûr. Al-Suyuthi menambahkan bahwa ketika itu Rasulullah SAW dan para sahabat lalu keluar dengan membawa harta dagangan yang banyak. Beliau berkata kepada para sahabat beliau : "Jika Abu Sufyan menemui kita, maka kita memang keluar untuk menemuinnya, namun jika ia tidak keluar menemui kita, maka kita akan menjual dagangan kita. Dan ternyata Abu Sufyan memang tidak keluar menemui kaum Muslimin. Lihat al-Suyuthi dalam al-Durr al-Mantsûr, j.2, h. 180-182.
Sementara yang kedua, rasa takut yang naluriah adalah seperti takutnya seseorang kepada hewan buas atau hal-hal yang menimbulkan madharat secara fisik. Rasa takut yang semacam ini tidak bernilai ibadah dan tidak menjadikan seseorang
menjadi musyrik. 14 Selain dua rasa takut sebagaimana tersebut di atas, ada juga rasa takut yang
tanpa alasan dan sebab atau ada penyebabnya namun terlalu remeh. Rasa takut yang seperti ini, dalam istilah bahasa Arab sering diredaksikan dengan 'jubn'. Rasulullah SAW mengajarkan do'a supaya terhindar dari sifat yang seperti ini, karena ia termasuk akhlak yang tercela. Dalam Shahih Bukhari nomor 5892 kitâb al-da'awât bâb al-isti'âdzah min al-jubn wa al-kasal kusâlâ wa kasâlâ wâhid , beliau bersabda : ﹶﻝﺎﹶﻗ ٍﻚِﻟﺎﻣ ﻦﺑ ﺲﻧﹶﺃ ﺖﻌِﻤﺳ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﻭٍﺮﻤﻋ ﻲِﺑﹶﺃ ﻦﺑ ﻭﺮﻤﻋ ﻲِﻨﹶﺛﺪﺣ ﹶﻝﺎﹶﻗ ﹸﻥﺎﻤﻴﹶﻠﺳ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ٍﺪﹶﻠﺨﻣ ﻦﺑ ﺪِﻟﺎﺧ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ
Ibn Hajar dalam Fath al-Bari menuliskan bahwa al-jubn adalah lawan dari al- syajâ'ah. Jika al-syajâ'ah berarti berani dan orang yang mempunyai sifat al-syaja'ah dikatakan pemberani, maka sebaliknya al-jubn adalah takut dan pemilik al-jubn dikatakan penakut. 16
B. 2. Pujian dan Celaan.
Selain perintah dan larangan, uslûb al-Qur'an tentang khasyyatullâh adalah dengan cara memberikan pujian kepada orang yang memiliki khasyyatullâh dan celaan kepada orang yang tidak dihiasi dengan khasyyatullâh.
14 Muhammad Syûman bin Ahmad al-Ramlî, al-Khauf min Allâh, (Kairo : Dâr Ibn ‘Affân, 2000), cet. I, h. 20-21.
15 Syirkah al-Barâmij al-Islâmiyyah al-Dauliyyah Global Islamic Software Company, Mawsû'ah al-Hadîts al-Syarîf , 2000, terbitan ke-2, CD Room. Sifat-sifat dalam doa ini adalah keadaan
dengan efek negatif besar dalam diri seorang mukmin, sehingga Nabi SAW mengajarkan untuk meminta perlindungan kepada Allah agar terhindar dari sifat-sifat tersebut. Hadits dengan maksud sama namun dengan sanad dan redaksi matan berbeda juga diriwayatkan oleh Muslim , Tirmidzi, Nasai, Abu Dawud, Ibn Majah dan Ahmad.
16 Ahmad bin Ali bin Hajar al-'Asqalâni, Fath al-Bâri bi syarh shahih al-Bukhari, (Riyadh :
B.2.1. Pujian Bentuk pujian Allah SWT kepada hamba-hamba yang mempunyai khasyyatullâh adalah dengan menyebut sifat-sifat terpuji yang dimiliki hamba tersebut. Hal ini dapat dipahami karena dengan memiliki khasyyatullâh, maka seseorang akan takut, tunduk dan hormat pada Allah SWT, yang dengannya pula ia akan melakukan perbuatan-perbuatan baik ketika di dunia, yang layak mendapatkan pujian dari Allah SWT.
Di antara sifat dan kondisi hamba-hamba Allah SWT yang memiliki khasyyatullâh dan mendapatkan pujian dalam al-Qur'an adalah dalam hal-hal sebagai
berikut :
1. Ibadah sosial Seorang hamba Allah yang di dalam dirinya terdapat khasyyatullâh akan
mempunyai kepedulian kepada sesamanya, dan tidak membiarkan sifat egoisme bersemayam dalam dirinya. Salah satu bentuk kepedulian itu adalah dengan cara memberi makan orang yang sedang membutuhkannya, bahkan dengan cara menomorduakan dirinya sendiri. Bentuk kepedulian itu dilakukannya hanya untuk mencari keridhaan Allah SWT dan karena dilandasi atas rasa takutnya kepada Allah SWT, terutama membayangkan nasib dirinya tatkala berada di hari kiamat yang terdapat siksa Allah SWT dan ditemuinya orang-orang yang bermuka masam dan mengalami kesulitan. Hal ini sebagaimana tergambar dalam Q.S. al-Insan :7-10, di mana Allah SWT berfirman :
7. Mereka menunaikan nazar dan takut akan suatu hari yang azabnya merata di mana-mana.
8. Dan mereka memberikan makanan yang disukainya kepada orang miskin, anak yatim dan orang yang ditawan.
9. Sesungguhnya kami memberi makanan kepadamu hanyalah untuk mengharapkan keridhaan Allah, kami tidak menghendaki balasan dari kamu dan tidak pula (ucapan) terima kasih.
10. Sesungguhnya kami takut akan (azab) Tuhan kami pada suatu hari yang (di hari itu) orang-orang bermuka masam penuh kesulitan.
Disebutkan oleh al-Wâhidi dalam Asbâb al-Nuzûl bahwa ayat ini berkenaan dengan kisah Ali bin Abi Thalib ra. Ketika itu Ali sedang menyaring gandum. Sebagian gandum ia sisakan dan sepertiganya ia buat tepung yang ia gunakan untuk membuat sesuatu untuk dimakan. Ketika makanannya telah matang, datanglah seorang miskin dan ia berikan makanannya tadi untuk si miskin. Ia kemudian mengolah lagi sepertiga yang lain, dan ketika telah matang datanglah seorang
tawanan dari golongan orang-orang musyrik, lalu iapun memberinya makan. 17
2. Ibadah mahdhah dan dzikrullâh Hal lain dalam diri orang yang memiliki khasyyatullâh yang mendapat pujian Allah SWT adalah keseriusannya menjaga hubungan vertikal dengan Allah SWT. Mereka mempererat hablun min Allah ini dengan cara melakukan bentuk-bentuk ibadah mahdhah seperti sholat, dan senantiasa mengingat-Nya dalam tiap waktu. Dalam QS : al-Nur : 36-37 Allah SWT berfirman :
17 Lihat al-Wahidi, Asbab al-Nuzul, tahqiq : Ridwan Jami' Ridwan, (Kairo : Dar al-Haram Li al-turats, 1990), h.281. Hal yang dilakukan oleh Ali ini juga dikarenakan Rasulullah SAW
memerintahkan untuk berbuat baik dengan tawanan orang-orang musyrik. Lihat Jalal al-din Abdurrahman bin Abu Bakar al-Suyuthi, Lubâb al-Nuqûl fi Asbâb al-Nuzûl, (Riyadh : Maktabah al- Riyadh al-Hadîtsah, .t.th.), h.2320. Riwayat versi Ibn Abbas yang disebutkan oleh al-Suyuthi dalam al- Durr al-Mantsûr menyebutkan bahwa ayat ini turun atas kisah Ali sekaligus Fatimah. Lihat al-Suyuthi al-Durr al-Mantsûr , h.528. Bandingkan dengan keterangan yang terdapat dalam al-Baidhâwi, Anwâr al-tanzîl wa asrâr al-ta'wîl , j.5, h.428, yang menyebutkan bahwa ketika itu Ali dan Fatimah sedang dalam keadaan berpuasa selama tiga hari sebagai nadzar atas kesembuhan Hasan dan Husein. Selama tiga hari berturut-turut itulah, ketika sedang menghadapi waktu berbuka, datanglah seorang miskin pada hari pertama, seorang anak yatim pada hari kedua, dan seorang tawanan pada hari ketiga yang meminta makanan persediaan berbuka. Sementara al-Biqa'i menuliskan bahwa ayat ini turun pada saat peristiwa perang Badar di mana para sahabat memberikan makanan roti kepada para tawanan, padahal pada waktu itu roti termasuk makanan yang mewah. Karena takjub atas akhlak mulia para sahabat dan perlakuan baik umat Islam kepada para tawanan yang nota bene kafir itu, maka akhirnya banyak di antara mereka yang masuk Islam. Lihat al-Biqa'i, Nazhm al-Durar fi Tanâsub al- Â yât wa al-Suwar, j.9, h.279.
Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang Telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.
Dalam dua ayat tersebut, Allah SWT menyebutkan bahwa orang yang takut pada hari kiamat karena dilandasi rasa takutnya pada Allah SWT, akan senantiasa melakukan amal-amal kebaikan. Perbuatan-perbuatan terpuji tersebut adalah :
1). Senantiasa bertasbih (mensucikan) Allah, dan berdzikir (mengingat) Nya di setiap waktu. Penyebutan waktu pagi dan petang (al-ghuduw wa al-âshâl / وﺪﻐﻟا لﺎﺻ ﻵاو ) bukan bermaksud bahwa dzikir dan tasbih itu dilakukan hanya pada waktu- waktu tersebut, namun berfaidah li al-ihathah (ﺔﻃﺎﺣﻹا) yaitu melingkupi seluruh waktu dari pagi, siang, petang dan malam. Hal ini juga selaras dengan penggunaan fi'l mudhari' pada kata yusabbihu (ﺢﺒﺴﯾ) yang mempunyai faidah tajaddud wa al-istimrâr
(berkelanjutan). 18 Sementara al-Suyuthi mengkaitkan aktifitas yusabbihu ini dengan sholat di rumah-rumah Allah SWT, di mana al-ghadâh diartikan dengan sholat
shubuh dan al-âshâl dengan sholat ashar. Ini karena dalam dua waktu itu, Allah sangat menyukai jika ada hamba-Nya yang mengingat-Nya. 19
2). aktifitas duniawinya (perdagangan, bisnis) tidak membuatnya lalai untuk mengingat Allah SWT dan melaksanakan kewajiban. Meski sibuk dengan urusan bisnis, namun ketika tiba waktu sholat ia senantiasa teguh menegakkan sholat. Meskipun keuntungan bisnis ia kumpulkan dengan susah payah, namun ia tak pernah pelit untuk menunaikan kewajiban membayar zakat.
Disebutnya aktifitas perdagangan dalam ayat di atas adalah sebagai perwakilan dari sekian banyak aktifitas mencari nafkah yang dilakukan manusia. 20
Dalam perniagaan, seseorang dihadapkan pada hasil (untung) yang menggiurkan dan dapat dinikmati (diterima) tak selang lama dari proses jual belinya. Dari sinilah
18 Abi al-Sa'ud, Tafsîr Abî al-Sa'ûd, j.5, h.53 dan Al-Alûsî, Rûh al-Ma'âni, j.13, h.238.
19 Lihat al-Suyuthi al-Durr al-Mantsûr, j.5, h.90-93.
20 Al-Biqa'i, Nazhm al-Durar fi Tanâsub al- Â yât wa al-Suwar , j.5, h.343.
kemudian al-Zamakhsyari mengatakan bahwa perniagaan adalah aktifitas yang paling memungkinkan untuk melenakan manusia dari mengingat-Nya. 21 Hal ini karena
tatkala sedang terjadi proses jual beli, sang pedagang sudah membayangkan bahwa dirinya akan menerima untung yang seolah sudah di depan mata. Jika pada saat bersamaan tiba-tiba terdengar panggilan adzan untuk segera melaksanakan sholat, maka ia dihadapkan pada dua pilihan; melanjutkan pekerjaan berdagangnya ataukah segera mendirikan sholat. Bagi seorang hamba yang dirinya berhias khasyyatullâh, ia tak akan berpikir panjang lagi untuk segera menghentikan aktifitas yang sedang
dijalaninya untuk memenuhi panggilan Tuhannya. Al-Suyuthi dalam al-Durr al- Mantsûr menuliskan riwayat dari Ibn Abbas, al-Dhahhak, Ibn Mas'ud dan Ibn Umar, bahwa laki-laki (rijâl) yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah setiap orang yang bekerja mencari nafkah dengan berniaga, yang ketika ada panggilan untuk segera
mendirikan sholat, ia akan bergegas meletakkan apa yang sedang berada di tangannya untuk pergi ke masjid dan melakukan sholat. 22
Melihat beberapa pendapat di atas, penulis berkesimpulan bahwa orang yang mempunyai khasyyatullâh akan menomorsatukan kepatuhannya untuk memenuhi perintah Tuhannya meski ia sedang melaksanakan aktifitas yang dapat mendatangkan keuntungan secara materi. Aktifitas yang dimaksudkan di sini mencakup beragam jenis pekerjaan yang dilakukan manusia yang diharapkan menghasilkan keuntungan atau gaji, tidak hanya terbatas pada perdagangan. Disebutnya kata laki-laki (rijâl) pada ayat di atas, karena pada umumnya yang bekerja mencari nafkah adalah para laki-laki, di mana hal itu sudah menjadi konsekuensi atas kedudukannya sebagai kepala keluarga. Namun di sini berlaku juga untuk para wanita yang bekerja, baik di rumah maupun luar rumah, atau bahkan laki-laki yang sedang menganggur, bahwa jika ia mempunyai khasyyatullâh, maka ia akan menomorsatukan kepatuhannya
21 al-Zamakhsyari, Mahmud bin Umar, al-Kasyyâf, (t.tmp. : Dar al-Kitab al-Arabi, t.th.), j.5, h.72.
22 Lihat al-Suyuthi al-Durr al-Mantsûr, h.374.
dalam memenuhi perintah Tuhannya. Aktifitas apapun yang sedang dijalankan akan dihentikan sejenak tatkala ada tuntutan untuk menghadap-Nya.
B.2.2. Celaan. Jika Allah SWT memberi pujian kepada orang-orang yang mempunyai khasyyatullâh , maka di lain sisi Allah SWT juga memberikan celaan jika manusia tidak menghiasi dirinya dengan khasyyatullah. Dalam uslûb al-Qur'an didapati ungkapan yang mencerminkan bahwa Allah SWT mencela sikap orang-orang yang
tidak takut kepada-Nya. Di antara celaan itu adalah dengan cara : 1). Menganggap mereka sebagai pengecut karena lebih takut pada manusia dengan mengesampingkan rasa takut pada Allah SWT. Dalam QS al-Hasyr :13-14, Allah berfirman :
13. Sesungguhnya kamu dalam hati mereka lebih ditakuti daripada Allah. yang demikian itu Karena mereka adalah kaum yang tidak mengerti.
14. Mereka tidak akan memerangi kamu dalam keadaan bersatu padu, kecuali dalam kampung-kampung yang berbenteng atau di balik tembok. permusuhan antara sesama mereka adalah sangat hebat. kamu kira mereka itu bersatu, sedang hati mereka berpecah belah. yang demikian itu Karena Sesungguhnya mereka adalah kaum yang tidak mengerti.
Ibnu Katsir menulis bahwa ayat tersebut menceritakan tentang orang-orang munafik seperti Abdullah bin Ubay yang tidak menepati janji dan ucapannya kepada kaum Yahudi Bani Nadhir pada peristiwa pengusiran kaum Yahudi dari Madinah ke Syam. Kebiasaan orang munafik adalah suka menjilat-jilat dan 'bermuka dua'. Jika bersama-sama orang Islam, mereka berkata bahwa mereka termasuk golongan orang-
orang Islam, namun jika bersama dengan orang kafir (kaum Yahudi), merekapun mengatakan bahwa mereka termasuk ke dalam golongannya. Ketika itu orang-orang munafik menjanjikan akan menolong dan membela orang-orang Yahudi. Namun di lain sisi, orang-orang munafik sebenarnya juga takut terhadap orang-orang Islam yang mempunyai kekuatan. Di sinilah Allah SWT mengatakan orang-orang munafik lebih takut kepada manusia daripada Allah SWT. Mereka takut kepada manusia sehingga berusaha menjilat untuk mencari selamat dan mengaku sebagai golongannya
dan kalaupun berani untuk berperang, mereka berperang di belakang tembok atau benteng. Namun mereka tidak takut kepada Allah sehingga seenaknya mengingkari
janji dan menyimpan dusta dalam hatinya. 23
2). Menganggap mereka sebagai orang tak berakal. Kondisi orang-orang yang tidak mengerti tentang hakikat takut itu
diisyaratkan oleh Allah sebagai keadaan orang-orang yang tidak mengetahui (bodoh) dan orang-orang yang tidak berakal (tak mau berfikir). Isyarat ini tampak tatkala posisi mereka ditempatkan di bawah derajat gunung dan batu, di mana keduanya meski tidak berakal, namun dapat merasa takut kepada-Nya. Perumpamaan ini
tercantum dalam Q.S. al-Hasyr :21 dan Q.S. al-Baqarah : 74. 24 Al-Biqa'i menuliskan bahwa orang-orang yang demikian bahkan diibaratkan layaknya binatang yang tidak
23 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, jilid 4, h. 341. Bandingkan dengan riwayat tentang kisah ini yang ditulis oleh al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, j.5, h.500.
24 Penulis tidak mengulang penjelasan tentang dua ayat ini karena pembahasan tentang hal ini telah dipaparkan dalam bab sebelumnya tentang sub bab khasyyatullah dan alam. Lihat Bab II Sub Bab
Khasyyatullâh dan Alam, h. 49-54.
dapat menjangkau hal-hal yang ghaib, melainkan hanya dapat mengetahui hal-hal yang dapat dijangkau oleh indera semata. 25
B.3. Janji dan Ancaman
Bagian ketiga dari uslûb al-Qur'an tentang khasyyatullâh setelah perintah dan larangan serta pujian dan celaan adalah janji dan ancaman Allah SWT. Janji ini berisi balasan yang Allah SWT siapkan pada orang-orang yang mematuhi-Nya dengan takut hanya kepada-Nya. Sementara ancaman Allah SWT disampaikan bagi orang-orang
yang menyalahi aturan-Nya disebabkan ia tidak mempunyai rasa takut pada-Nya. Dua jenis uslûb ini terdapat dalam ayat-ayat al-Qur'an sesuai dengan tabiat manusia; di
mana ada manusia yang lebih tertarik sesuatu karena dijanjikan suatu imbalan, dan ada juga manusia yang baru dapat menerima suatu aturan karena ada ancaman.
B.3.1. Janji Allah pada orang yang mempunyai khasyyatullâh Di antara uslûb al-Qur'an tentang khasyyatullâh adalah Allah SWT mengutarakan janji bahwa Dia akan memberikan balasan dan pahala bagi orang- orang yang memiliki khasyyatullâh. Janji Allah ini adalah suatu keniscayaan, karena Dia tidak akan pernah menyalahi janji-Nya. Jaminan bahwa Dia Maha menepati janji ini terulang pada banyak ayat, yaitu : QS. al-Hajj : 47; QS. ali Imran : 9, 197; QS. al- Ra'd : 31; QS. al-Rum : 6 dan QS. al-Zumar : 20. Janji yang terdapat dalam ayat-ayat al-Qur'an yang diperuntukkan bagi orang-orang yang memiliki khasyyatullâh adalah :
B.3.1.1. Surga Allah SWT
Khasyyatullâh merupakan salah satu dari beberapa akhlak yang disebutkan dalam al-Qur'an yang memiliki keutamaan tersendiri. Dalam banyak ayat, al-Qur'an menyebut dengan meninggikan derajat orang-orang yang takut kepada-Nya. Allah
25 Al-Biqa'i, Nazhm al-Durar fi Tanâsub al- Â yât wa al-Suwar , j.8, h.448.
bahkan memberikan jaminan bahwa Ia menyiapkan surga bagi mereka. 26 Dalam QS. al-Rahman : 46 Allah berfirman :
Dan bagi orang yang takut akan saat menghadap Tuhannya ada dua syurga
Ada beberapa riwayat berkaitan dengan turunnya ayat ini. Ibn Katsir dan al- Suyuthi menuliskan sebuah riwayat dari Ibn Syaudzab dan Atha' al-Khurasani yang menerangkan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan kisah Abu Bakar al-Shiddiq,
sahabat Rasulullah SAW. 27 Sementara riwayat dari Ibn Abi Hatim yang juga ditulis oleh Ibn Katsir maupun al-Suyuthi menerangkan bahwa ayat ini turun berkaitan
dengan kisah seseorang yang meminta kepada ahli warisnya supaya dirinya dibakar ketika mati nanti, diperabukan, dan kemudian abunya dibuang dan diterbangkan angin di lautan. Hal itu ia inginkan karena ia merasakan takut yang amat sangat kepada Allah SWT dan takut akan siksa-Nya yang sangat pedih yang akan ia terima setelah mati nanti. Ia berfikir bahwa jika ia diperlakukan seperti itu, maka ia tidak merasakan siksa Allah SWT, di mana hal itu sangat ia takutkan, terjadi atas dirinya.
26 Hal ini sebagaimana terdapat dalam QS.al-Rahman : 46, QS al-Insan : 10-12, QS.al-Nazi'at : 40-41, QS. al-Bayyinah : 7-8 dan QS.Qaf : 31-35.
27 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, jilid 4, h. 277dan al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, j.5, h.488. Al-Suyuthi menuliskan bahwa pada suatu hari Abu Bakar berfikir tentang keadaan pada hari
kiamat, adanya timbangan amal, keadaan surga dan neraka, langit yang terlipat, gunung yang tercerai berai, matahari yang sudah tak dapat bersinar dan kemudian alam menjadi gelap gulita dan bintang- bintang berserakan tak beraturan. Abu Bakar kemudian merasa takut yang amat sangat, hingga ia kemudian bernadai-andai dan berkata : "Andaikan aku adalah dedaunan yang hijau yang didatangi binatang dan dimakannya, dan diriku ini tak pernah tercipta." Rasa takut yang dirasakan oleh Abu Bakar ini bukan karena ia menyesali takdir dan kenyataan bahwa ia telah diciptakan Allah di atas muka bumi, melainkan karena ia tak sanggup membayangkan keadaan pada hari kiamat yang penuh dengan huru-hara, dan ia sendiri takut jika ia menjadi bagian dari orang-orang yang tertimpa siksaan dari Allah SWT atas kesalahan dan dosa yang pernah ia perbuat semasa hidupnya.
Karena ketakutannya tersebut, maka Allah SWT menerima taubatnya dan memasukkannya ke dalam surga. 28 Menanggapi dua riwayat tersebut, Ibnu katsir
mengambil jalan tengah dengan mengikuti pendapat Ibnu Abbas yang mengatakan bahwa ayat ini mengandung makna umum. Maksudnya, siapa saja yang punya rasa takut kepada Allah SWT, yang dengan rasa takut tersebut ia mampu menahan hawa nafsunya, meninggalkan segala larangan dan menjalankan segala perintah-Nya ketika
di dunia, maka di akhirat nanti, Allah mempersiapkan dua surga untuknya. 29 Sementara arti dua surga dalam ayat tersebut ada beberapa pendapat. Al-
Qurthubi dalam tafsirnya, al-Jâmi' li ahkâm al-Qur'ân, mencantumkan pendapat dari Muhammad bin Ali yang mengatakan bahwa dua surga itu berarti satu surga sebagai balasan atas rasa takutnya pada Allah SWT dan satu surga lagi sebagai balasan atas
usahanya untuk tidak menuruti syahwatnya. 30 Al- Sa'di dalam Taisîr al-karîm al- rahmân menuliskan bahwa dua surga tersebut berarti satu surga sebagai balasan atas
28 Kisah tentang orang yang ingin dibakar ketika mati ini ada dalam beberapa hadits, di antaranya adalah :
HR. Muslim nomor 4950 kitâb al-Taubah bâb fi sa'at rahmat Allah wa annahâ sabaqat ghadhabahu. Selain diriwayatkan oleh Muslim, hadits dengan maksud yang sama namun dengan sanad dan redaksi matan berbeda diriwayatkan juga oleh Ibn Majah, Ahmad dan Darimi. Lihat Mawsû'ah al-Hadîts al- Syarîf , CD Room.
29 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, jilid 4, h. 277.
30 Abu Abdillah Muhammad bin Ahmad al-Anshari al-Qurthubi, al-Jâmi' li ahkâm al-Qur'ân, (t.tmp : t.p., tth.),j. 9, h. 91.
amalnya dalam menjalankan ketaatan kepada Allah SWT, dan satu surga lagi sebagai balasan atas usahanya meninggalkan kemaksiatan. 31 Selain arti tersebut, al-
Zamakhsyari menyebutkan juga bahwa "dua surga" tersebut bisa berarti satu surga untuk golongan manusia yang takut pada Allah SWT, dan satu surga untuk golongan
jin yang takut pada-Nya. 32 Sementara al-Biqa'i menuliskan bahwa dua surga itu berarti satu surga dari arah kanan dan satu surga dari arah kiri. Satu surga diberikan
sebagai balasan atas ilmu dan penggunaan akal, sedangkan satu surga lainnya diperuntukkan sebagai balasan atas amal perbuatannya. Al-Biqa'i juga mengatakan
bahwa tidak menutup kemungkinan jika disebutkannya dua surga dalam ayat tersebut di atas adalah sebagai makna mubâlaghah (arti sangat) yang menunjukkan bahwa
balasan yang disediakan Allah adalah surga yang sangat banyak dengan kenikmatan yang berlipat. 33
Terlepas dari perbedaan pendapat tentang arti dua surga tersebut , Ibn Katsir demikian juga al-Suyuthi dan Sayyid Quthb, menekankan bahwa maksud dua surga ini tidak jauh berbeda dengan kosakata "surga" yang ada dalam banyak ayat al- Qur'an, yaitu tempat yang penuh kenikmatan. Tempat itu tak pernah terlintas dalam pandangan mata, pendengaran telinga, dan bahkan tak terbersit dalam perasaan hati
manusia ( ﺮﺸﺑ ﺐﻠﻗ ﻰﻠﻋ ﺮﻄﺧ ﻻ و ﺖﻌﻤﺳ نذأ ﻻ و تأر ﻦﯿﻋ ﻻ ﺎﻣ ) di mana gambaran kenikmatan surga ini sebagaimana yang diterangkan dalam ayat-ayat selanjutnya dalam surat al-
Rahman ini. 34
31 ِِِِAbdul Rahman al-Sa'di, Taisîr al-Karîm al-Rahmân fî Tafsîr Kalâm al-Mannân, (Beirut : Muassasah al-Risalah, 2000), cet. 1, h.831.
32 al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, j.4, h.452.
33 Al-Biqa'i, Nazhm al-Durar fi Tanâsub al- Â yât wa al-Suwar , j.8, h.314.
34 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, jilid 4, h. 277-279; Sayyid Quthb, Fi Zhilal al- Qur`an, (Kairo : Dar al-Syuruq, 1988), cet. Ke-15, j. 6, h. 3457 dan al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr,
Pada keterangan selanjutnya didapati bahwa disebutkannya "dua surga" dalam ayat 46 ini adalah sebagai pengkhususan akan ketinggian derajatnya. Hal ini kaitannya dengan disebutkannya "dua surga" dalam ayat sesudahnya (ayat 62), yaitu نﺎﺘﻨﺟ ﺎﻤﻬﻧود ﻦﻣ و bahwa selain dua surga yang pertama tadi, ada juga dua surga yang lain. Ibn Katsir dan juga al-Suyuthi membedakan dua surga ini dengan berdasarkan hadits :
Dua surga yang pertama (dalam ayat 46) diperuntukkan bagi golongan al- muqarrabîn , sementara dua surga yang kedua (dalam ayat 62) diperuntukkan bagi golongan ashhâb al-yamîn. 36 Penjelasan tentang peruntukan masing-masing dua
surga ini sebagaimana terdapat dalam surat al-Waqi'ah : 7-12 :
7. Dan kamu menjadi tiga golongan.
8. Yaitu golongan kanan alangkah mulianya golongan kanan itu.
9. Dan golongan kiri alangkah sengsaranya golongan kiri itu.
10. Dan orang-orang yang beriman paling dahulu,
11. Mereka Itulah yang didekatkan kepada Allah.
12. Berada dalam jannah kenikmatan.
35 H.R. Bukhari no 4500 kitab tafsîr al-qur'ân bâb qauluhu wa min dûnihimâ jannatâni. Hadits dengan maksud sama dengan sanad dan redaksi matan berbeda juga diriwayatkan oleh
Muslim, Ibn Majah, Ahmad, dan Darimi. Lihat Mawsû'ah al-Hadîts al-Syarîf, CD Room.
36 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, jilid 4, h. 277. Al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr,
Dalam rangkaian ayat tersebut, dijelaskan bahwa pada hari kiamat manusia terbagi menjadi tiga golongan : pertama, ashhâb al-yamîn, yaitu berada di sebelah kanan arasy, buku catatan amal mereka diberikan dari arah kanan dan diterima mereka dengan tangan kanan pula. Golongan inilah yang menjadi mayoritas penghuni surga. Kedua, ashhâb al-syimâl, yaitu segolongan orang yang berada si sebelah kiri arasy , buku catatan amal mereka diberikan dari arah kiri dan diterima dengan tangan kiri pula. Golongan ini adalah mayoritas penghuni neraka. Ketiga, al-Sâbiqûn, yaitu segolongan orang yang melesat cepat di depan Allah SWT. Mereka adalah
segolongan kecil dari ashhâb al-yamîn dan merupakan pemimpin mereka, yaitu para Rasul, Nabi, orang-orang yang shiddîq dan para syuhadâ. Ibnu Katsir menjelaskan pembagian 3 golongan tersebut dengan ayat ke-32 surat Fathir sebagai berikut:
Kemudian Kitab itu kami wariskan kepada orang-orang yang kami pilih di antara
hamba-hamba kami, lalu di antara mereka ada yang menganiaya diri mereka sendiri dan di antara mereka ada yang pertengahan dan diantara mereka ada (pula) yang lebih dahulu berbuat kebaikan dengan izin Allah. yang demikian itu adalah karunia yang amat besar.
Secara lebih lanjut Ibnu Katsir juga menjelaskan makna sâbiq sebagai orang- orang yang paling dahulu dan paling cepat berbuat kebaikan dan merespon panggilan kebaikan. Golongan sâbiq inilah yang dimaksud dengan muqarrabîn yang akan menerima "dua surga" pada bagian pertama. Dengan demikian, maka barang siapa yang ketika di dunia paling cepat menuju kebaikan, maka di akhirat ia menjadi orang
yang paling cepat menuju kemuliaan. 37 Amatlah tepat pepatah yang mengatakan bahwa balasan itu sesuai dengan perbuatan, dan barang siapa menanam ia akan
menuai.
37 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, jilid 4, h. 248. Hal ini didasarkan pada QS al-Hadid
: 21 dan QS. Ali Imron : 133 .
Selain mengandung makna seperti yang diungkapkan oleh Ibn Katsir tersebut, banyak penafsiran lain terkait dengan kata sâbiq. Al-Suyuthi menuliskan tiga makna dari sâbiq, yaitu muqarrabîn; orang yang masuk surga tanpa perhitungan amal dan
orang yang berada di tempat yang paling tinggi. 38 Al-Baidhawi memaknai sâbiq sebagai orang yang amal baiknya melampaui kejahatannya, sehingga kejahatan itu
dapat terhapuskan. 39 Sementara al-Qurthubi, dengan mengutip banyak pendapat dari ulama lain, mencantumkan tidak kurang dari sepuluh makna dari sâbiq, di antaranya
bahwa sâbiq adalah orang 'alim (pendapat Sahl bin Abdullah yang membandingkan dengan zhalim adalah jahil dan muqtashid adalah muta'allim); orang yang tak pernah
melupakan Allah SWT (pendapat Zhun nun al-Mishri yang membandingkan dengan zhalim adalah orang yang mengingat Allah dengan lisannya saja dan muqtashid adalah orang yang mengingat-Nya dengan hatinya) dan orang yang mampu mencintai
Allah SWT tanpa sebab. 40 Beragamnya pendapat ini, menurut penulis tetaplah memberikan pemahaman
bahwa orang yang mempunyai rasa takut kepada Allah SWT, di akhirat nanti akan termasuk dalam golongan orang-orang yang berada dalam derajat yang tinggi dan akan mendapatkan balasan dari Allah SWT yang tinggi pula.
B.3.1.2. Ridha Allah SWT Selain akan mendapatkan surga dari Allah, orang yang mempunyai
khasyyatullâh juga dijanjikan Allah akan mendapat ridha dari-Nya. Allah SWT berfirman dalam QS. al-Bayyinah :7-8 :
38 Al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, h.426.
39 al-Baidhawi, Anwâr al-tanzîl wa asrâr al-ta'wîl, j.4, h.419. Pengertian sâbiq ini jika dibandingkan dengan zhalim sebagai orang kejahatannya lebih banyak daripada kebaikannya dan
muqtashid adalah orang yang amal baiknya sebanding dengan kejahatannya.
40 Selebihnya lihat Al-Qurthubi, al-Jâmi' li ahkâm al-Qur'ân , j. 9, h. 75.
7. Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh, mereka itu adalah sebaik-baik makhluk.
8. Balasan mereka di sisi Tuhan mereka ialah syurga 'Adn yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha kepadanya. yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada Tuhannya.
Ungkapan pada akhir ayat ﻪﺑر ﻲﺸﺧ ﻦﻤﻟ ﻚﻟذ menurut Al-Alusi adalah penekanan bahwa khasyyatullâh menjadi kunci untuk memperoleh balasan yang terbaik yang disiapkan Allah bagi orang-orang yang beriman dan beramal saleh. Ia juga bermaksud mengingatkan akan adanya kesalahan pemahaman pada kebanyakan umat Islam. Menurutnya, untuk meraih pahala terbaik dari Allah yaitu kenikmatan surga dan ridha dari-Nya, tidaklah cukup hanya dengan mengandalkan akidah Islam yang diwarisinya mentah-mentah dari nenek-moyang dan menilai ibadah-ibadah secara lahiriyah saja, seperti gerakan sholat, lapar dahaganya puasa, sementara dalam hatinya masih terdapat rasa iri dengki, riya', sombong, mulutnya penuh dengan
kebohongan, dan amalnya tanpa keikhlasan. 41 Sementara Abi al-Sa'ud menuliskan bahwa khasyyatullâh yang menjadi salah satu karakter dari orang yang mempunyai
pengetahuan tentang Allah SWT, bergantung juga pada kesempurnaan ilmu dan amal yang mampu menghantarkan pada kebahagiaan dunia dan akhirat. 42
Dalam ayat tersebut di atas, selain Allah berjanji akan memberikan pahala terbaik bagi orang yang mempunyai khasyyatullâh berupa surga, Ia juga menyertai dengan keridhaan-Nya. Dengan berpedoman pada ayat ke-72 surat al-Taubah, Ibn Katsir mengatakan bahwa ridha Allah SWT adalah kenikmatan yang paling tinggi
41 Al-Alusi, Rûh al-Ma'âni, j.23, h. 78. Bandingkan juga dengan Sayyid Quthb, Fi Zhilâl al- Qur'ân , j. 8, h. 82.
42 Abi al-Sa'ud, Tafsîr Abî al-Sa'ûd, j.7, h.45.
dan balasan yang paling sempurna. 43 Keridhaan Allah SWT adalah tuntutan tertinggi yang diharapkan oleh para nabi dan shiddiqin, bahkan Nabi Musa meminta untuk
disegerakan bertemu dengan Allah SWT mendahului para kaumnya, adalah karena ingin mendapatkan ridha Allah SWT (Q.S.Thaha :83-84). 44 Sementara Sayyid Quthb,
setelah menjelaskan bahwa ridha Allah SWT adalah pahala tertinggi, memaparkan tentang makna ungkapan ﻪﻨﻋ اﻮﺿر و ﻢﻬﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر ."Allah SWT ridha terhadap mereka" (ﻢﻬﻨﻋ ﷲا ﻲﺿر) adalah ridha yang disertai pemberian pahala, dan Dia sebaik- baik pemberi pahala. Sedangkan "mereka ridha terhadap Allah SWT" ﻪﻨﻋ اﻮﺿرو ( )
adalah adanya ketenangan hati mereka bersama Allah, percaya sepenuhnya terhadap takdir-Nya, berprasangka baik terhadap keputusan-Nya, bersyukur atas nikmat-
nikmat-Nya dan bersabar atas cobaan-Nya. Dan ungkapan keridhaan dalam ayat ini melingkupi seluruh makna ridha yang komplit dan saling memberi antara Allah SWT dan hamba-hamba-Nya yang terpilih. Ridha seperti ini tidak memungkinkan manusia untuk membahasakannya, namun akan nampak mulia dalam teks al-Qur'an lewat ruh
yang bangkit, hati yang terbuka dan perasaan yang tersambung dengan Allah SWT. 45
B.3.1.3. Ampunan Allah SWT dan pahala yang besar. Janji Allah terhadap orang yang mempunyai khasyyatullâh adalah disiapkannya amunan dan pahala besar. Allah SWT berfirman dalam QS. al-Mulk:12
Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Tuhannya yang tidak nampak oleh
mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar.
43 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, jilid 2, h. 320.
44 Muhammad Shalih al-Munajjid, A'mâl al-qulûb, (Amalan Hati, terj.), (Jakarta : Maktabah Abiyyu), 2004, cet. I, h.129-130.
45 Sayyid Quthb, Fi Zhilal al-Qur`an, j. 8, h. 82.
Al-Suyuthi mengartikan pahala yang besar sebagai surga, 46 sementara Abi al- Sa'ud menuliskan bahwa pahala yang besar ini tidak dapat diukur perkiraannya. 47 Ibn
Katsir menjelaskan bahwa dua keutamaan ini (ampunan dan pahala) diberikan pada orang yang takut kepada Allah, yang meski ia tidak dapat melihat-Nya, namun selalu menyadari bahwa Ia tak pernah lepas dari pengawasan-Nya. Dengan demikian ia
akan menjaga dirinya untuk tidak bermaksiat. 48 Orang-orang yang demikian terkategorikan dalam orang yang dapat menjaga
hati, di mana hal itu jauh lebih penting dibanding dengan menjaga angota badan lahiriah. 49 Mereka mendapat keistimewaan akan termasuk dalam tujuh golongan
orang yang akan mendapat naungan Allah pada hari kiamat, ketika tidak ada naungan kecuali naungan-Nya. Rasulullah SAW mengisyaratkan hal ini dalam sabdanya :
46 Al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, h.516.
47 Abi al-Sa'ud, Tafsîr Abî al-Sa'ûd j.6, h.352. Bandingkan dengan al-Alusi, Rûh al-Ma'âni j.21, h.132.
48 Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, j. 3, h. 566, dan j. 4, h. 398.
49 Salman bin Zaid bin Salman al-Yamani, al-Qalb wa Wazhâifuhu, (Riyadh : Dar Ibn Qayyim, 1994), h.443.
50 HR. Bukhari nomor 620 kitâb al-adzân bâb man jalasa fi al-masjid yantadzir al-sholât wa fadhl al-masâjid. Hadits dengan maksud sama namun dengan sanad dan matan berbeda juga
diriwayatkan oleh Muslim, Tirmidzi, Ahmad dan Malik. Lihat Mawsû'ah al-Hadîts al-Syarîf, CD Room.
B.3.1.4. Allah menjadi satu-satunya pelindung dan pembuat perhitungan Allah SWT berfirman dalam QS. al-Ahzab : 39 :
(yaitu) orang-orang yang menyampaikan risalah-risalah Allah, mereka takut kepada-
Nya dan mereka tiada merasa takut kepada seorang(pun) selain kepada Allah. dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan.
Ayat ke-39 surat al-Ahzab tersebut berkaitan dengan ayat-ayat sebelumnya yang berisi tentang kisah Rasulullah Saw tatkala diperintahkan Allah SWT untuk menikahi Zainab, setelah Zaid menceraikannya. Ketika itu Rasulullah merasa belum
siap menghadapi pandangan orang yang mengatakan kalau Muhammad menikahi janda anak angkatnya. Namun Allah menegaskan supaya jangan takut terhadap manusia karena Allahlah yang lebih layak untuk ditakuti. Hal ini terlebih lagi karena apa yang dilakukan Muhammad adalah kejadian yang dinilai tak pantas pada masa itu. Dimana masyarakat ketika itu menganggap anak angkat sama dengan anak kandung, sehingga tak pantaslah seorang ayah angkat menikahi janda anak angkatnya. Namun karena Rasullullah lebih mengutamakan rasa takutnya kepada Allah SWT, maka beliaupun mengesampingkan rasa khawatir yang sempat muncul. Rasulullahpun melaksanakan perintah Allah tersebut yang menjadi bagian dari ajaran
syariat-Nya. 51 Al-Biqa'i menuliskan sebuah riwayat dari Aisyah yang pernah mengatakan
bahwa seandainya Nabi Muhammad SAW ingin menyembunyikan wahyu dari Allah yang disampaikan kepada beliau, niscaya ayat inilah yang akan disembunyikannya.
51 Dalam sejarah dikisahkan bahwa dalam pernikahan Rasulullah dengan Zainab, Allahlah yang menikahkannya, tanpa wali dan saksi. Allahlah yang kemudian menjadi pelindung Rasulullah
SAW, di mana peristiwa ini sekaligus menjadi tonggak awal pendobrak tradisi jahiliyah yang menyamakan anak angkat dengan anak kandung. Zaid yang semula sempat dipanggil dengan Zaid bin Muhammad, kemudian kembali lagi disambungkan nasabnya kepada ayahnya, menjadi Zaid bin Haritsah. Lihat Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, jilid 3, h.490-492. Bandingkan dengan banyak riwayat tentang hal ini yang tercantum dalam Al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, j.5, h.385.
Namun rasa takut kepada Allah yang terdapat dalam diri Nabi tidak berkumpul dengan rasa takut pada manusia, sehingga beliau berat memutuskan suatu perkara. 52
B.3.1.5. Allah akan memberi kekuasaan di dunia mengalahkan orang-orang kafir Di antara janji Allah yang akan didapatkan oleh orang yang mempunyai khasyyatullah adalah diberikannya kekuasaan di dunia. Allah SWT berfirman dalam QS. Ibrahim : 14 :
Dan kami pasti akan menempatkan kamu di negeri-negeri itu sesudah mereka. yang demikian itu (adalah untuk) orang-orang yang takut (akan menghadap) kehadirat-Ku dan yang takut kepada ancaman-Ku.
Al-Suyuthi menuliskan riwayat dari Ibn Abbas yang mengatakan bahwa ayat tersebut diatas mengandung pengertian bahwa para rasul dan orang beriman seringkali dipinggirkan oleh kaumnya, didustakan, dan dibujuk-bujuk untuk kembali kepada kekufuran. Menghadapi demikian, Allah SWT memerintahkan untuk berserah
diri kepada-Nya, dan Ia menghibur bahwa Ia menjanjikan kemenangan di bumi. 53 Al- Suyuthi juga menambahkan riwayat dari Ibn Abi Hatim dan juga Ibn Abbas yang
mengatakan bahwa janji Allah itu hanya berlaku bagi orang-orang yang takut kepada- Nya. 54
52 Al-Biqa'i, Nazhm al-Durar fi Tanâsub al- Â yât wa al-Suwar, j.6, h.430. Bandingkan
dengan al-Alusi, Rûh al-Ma'âni, j.16, h.133.
53 Al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, h.285. Sementara riwayat dari Qatadah menyatakan bahwa Allah menjanjikan kemenangan di dunia sekaligus surga di akhirat.
54 Gambaran tentang orang yang mempunyai rasa takut pada Allah ini sebagaimana terungkap dalam cerita bahwa pada suatu waktu Rasulullah SAW membaca al-Qur`an ayat ke-6 surat
al-Tahrim, yang berisi tentang kewajiban menjaga diri dan keluarga dari api neraka. Saat itu, ada seorang pemuda (kakek, dalam versi Ibn Abi Hatim) yang terjatuh pingsan. Rasulullah kemudian memeriksanya dan tatkala mendapatinya masih bernyawa, Rasulullah menyuruhnya untuk mengucapkan dua kalimat syahadat hingga akhirnya orang tersebut meninggal dunia. Rasulullah kemudian mengatakan bahwa orang tersebut akan dijamin masuk surga. Lihat Al-Suyuthi, al-Durr al-
Meski ayat ini berada dalam rangakain ayat yang berbicara tentang Nabi Musa, namun janji Allah ini tidak hanya berlaku bagi Musa, namun juga bagi seluruh penyeru kebenaran dan penyebar risalah Ilahi. Dengan demikian, jika pada masa sekarang ada kejadian yang serupa dengan kisah Musa bersama kaumnya yang ingkar tersebut, maka setiap pengusung misi Ilahi hendaklah mengingat jaminan Allah ini. Seberat apapun rintangan yang menghadang, dan sekejam apapun penguasa yang tiran, namun suatu saat kebenaran akan menjadi pemenang. Firman Allah ini,
sekaligus sebagai pendorong / motivasi bagi orang-orang beriman supaya tetap teguh berpegangan pada ajaran Allah dan menyampaikan / mendakwahkannya kepada masyarakat meski menghadapi banyak tantangan.
Dalam ayat 14 surat Ibrahim tersebut, redaksinya menggunakan fi'il mudhari' (ﻢﻜﻨﻨﻜﺴﻨﻟ), yang memuat dimensi waktu sekarang dan sekaligus akan datang. Hal ini dapat dipahami bahwa jika sekarang para penyeru kebenaran masih menghadapi tantangan dari para kaum yang tidak sejalan dengannya, ia harus yakin akan janji Allah bahwa pada masa yang akan datang Allah akan memberikan posisi yang unggul. Jika hari ini belum merasakan janji Allah tersebut, maka ia harus bersabar dan menunggu hingga esok hari, esok lusa, bulan depan, tahun depan atau beberapa tahun lagi. Kesabaran ini membawa keyakinan bahwa Allah akan menepati janjinya meski telah lewat masa beberapa kurun, sehingga yang merasakan nikmat dan keutamaan dari Allah itu adalah anak cucu para penyeru kebenaran.
Untuk memberikan keyakinan akan janji ini, dalam redaksi fi'il mudhâri' tersebut, al-Qur'an menggunakan bahasa penguat berupa lâm ta'kîd di awal fi'il dan nûn taukîd tsaqîlah di akhir fi'il. Al-Alusi mengatakan bahwa lâm ta'kîd itu berfungsi
li al-'ahdi 55 (untuk menguatkan janji). Dalam ilmu balâghah, redaksi seperti ini
55 Al-Alusi, Rûh al-Ma'âni, j.9, h.337.
(dengan dua adât taukîd) termasuk dalam kalâm khabari 56 yang ditujukan kepada mukhâtab (audiens) yang dikhawatirkan akan mengingkari atau tidak percaya dengan
isi kalimatnya. 57 Untuk mengantisipasi ketidakpercayaan audiens tersebut, maka kalimat yang digunakan disertai dengan unsur penguat kalimat (adât taukîd). Jika
audiens semakin tidak percaya, maka adât taukîdnya semakin banyak. Dalam memahami ayat ke-14 surat Ibrahim tersebut, bukan tidak mungkin ditemukan orang- orang yang ragu-ragu bahkan tidak percaya (mengingkari) janji Allah tersebut. Orang-orang tersebut dapat berasal dari pihak para penyeru kebenaran yang merasa
pesimis atau rendah diri menghadapi banyaknya rintangan, dan dapat pula berasal dari pihak penentang yang memang angkuh dan merasa dirinya akan selalu berada di pihak yang kuat kedudukannya. Menghadapi audiens yang seperti ini, Allah mengutarakan janjinya dalam ayat tersebut dengan mendatangkan kalâm khabari inkâri.
B.3.1.6. Mendapat petunjuk dan rahmat dari Allah SWT Kata ﺔﻤﺣر و ىﺪﻫ (petunjuk yang disertai kasih sayang Allah SWT) dalam al- Qur’an terulang sebanyak 12 kali. Masing-masing ayat menyebutkan bahwa petunjuk dan kasih sayang tersebut diperuntukkan bagi:
1. Orang-orang beriman ; masing-masing diredaksikan dengan :
56 Redaksi kalimat, dalam bahasa Arab, terbagi menjadi dua macam, yaitu : kalâm khabar dan kalâm insya'. Kalâm khabar adalah kalimat yang mengandung muatan berita benar atau bohong. Benar
jika sesuai dengan realita, dan bohong jika sebaliknya. Sedangkan kalâm insya' adalah kalimat dimana orang yang mengucapkannya tidak bisa dikatakan telah berkata benar atau bohong. Kalâm insya' ini terbagi menjadi dua, thalabi (seperti amr/perintah, nahy/ larangan, istifhâm/pertanyaan) dan ghair thalabi (seperti al-qasam/sumpah, shîghat akad, ta'ajjub/kekaguman). Lihat Ali-al-jârim, al-balâghah al-wâdhihah , h.139 dan h.170.
57 Kalâm khabari terbagi menjadi 3 macam sesuai dengan mukhâthab (audiens) yang dihadapi, yaitu ibtidâ'i, kalimat tanpa satupun adât taukîd karena audiensnya mudah menerima;
thalabi , kalimat yang sebaiknya menggunakan adât tauhîd karena audiensnya menyimpan keraguan; dan inkâri, kalimat yang harus menggunakan adât taukîd karena audiens tidak percaya dengan isi
a. نﻮﻨﻣﺆﯾ م yaitu terdapat dalam : QS.an-Nahl : 64; QS Yusuf : 111; ﻮﻘﻟ
QS al-A’raf : 52 dan 203.
b. ﻦﯿﻨﻣﺆﻤﻠﻟ yaitu terdapat dalam : QS. Yunus : 57
c. نﻮﻨﻣﺆﯾ ﻢﻬﺑر ءﺎﻘﻠﺑ ﻢﻬﻠﻌﻟ yaitu terdapat dalam : QS. al-An'am : 154, dan dengan arti yang sama dilanjutkan dalam ayat ke-157.
2. Orang-orang Islam (orang- orang yang berserah diri), diredaksikan dengan ﻦﯿﻤﻠﺴﻤﻠﻟ yaitu terdapat dalam QS. al-Nahl : 89.
3. Orang-orang yang berbuat kebaikan, diredaksikan dengan ﻦﯿﻨﺴﺤﻤﻠﻟ yaitu terdapat dalam QS. Luqman : 3.
4. Orang–orang yang meyakini, diredaksikan dengan نﻮﻨﻗﻮﯾ مﻮﻘﻟ yaitu terdapat dalam QS. al-Jatsiyah : 20.
5. Orang – orang yang takut kepada Allah, diredaksikan dengan نﻮﺒﻫﺮﯾ ﻢﻬﺑﺮﻟ ﻢﻫ ﻦﯾﺬﻠﻟ yaitu terdapat dalam QS. al-A’raf : 154.
6. Manusia, supaya mendapat pelajaran, diredaksikan dengan نوﺮﻛﺬﺘﯾ ﻢﻬﻠﻌﻟ - - -- -- - سﺎﻨﻠﻟ yaitu terdapat dalam QS. al-Qashash : 43. Muatan petunjuk dan kasih sayang Allah yang terkandung dalam ayat-ayat tersebut semuanya bermuara dalam kitab suci yang diturunkan Allah. Dari 12 ayat tersebut, delapan (8) ayat berisi bahwa al-Qur’an menjadi petunjuk dan kasih sayang, sedangkan yang empat (4) lainnya merujuk pada Taurat yang dibawa Nabi Musa As. Petunjuk dan kasih sayang Allah sebagaimana yang terdapat dalam ayat-ayat al- Qur’an tersebut tidak diperoleh dan dirasakan oleh sembarang orang, namun hanya orang-orang yang berkarakteristik seperti dalam 12 ayat tersebut di atas, yaitu beriman, berserah diri, mempunyai keyakinan akan Allah SWT, berbuat kebaikan, dan mempunyai rasa takut kepada Allah SWT. Meski ada satu ayat yang mengatakan bahwa petunjuk dan rahmat Allah itu bisa diperoleh manusia (tanpa kriteria tertentu),
namun akhir ayat yang menerangkan makna tersebut terdapat ungkapan نوﺮﻛﺬﺘﯾ ﻢﻬﻠﻌﻟ -
(supaya mereka memperoleh pelajaran). Sementara orang-orang yang bisa merasakan manfaat pelajaran dan peringatan dari Allah SWT sebagaimana terdapat dalam ayat
yang lain adalah orang-orang yang beriman (QS. al-Dzariyat : 55) dan orang-orang yang takut kepada-Nya (QS : al-A’la : 9-10).
Telah disinggung di atas bahwa petunjuk dan rahmat Allah SWT akan diberikan kepada (salah satunya) orang-orang yang takut kepada-Nya ( QS. al-A’raf : 154). Ayat tersebut menceritakan tentang Nabi Musa As, yang setelah mereda
kemarahannya 58 , mengambil kembali Taurat yang sempat dilemparkan. Dari sini terdapat ibrah yang bisa diambil, yaitu bahwa meski manusia berpotensi untuk
marah, namun kemarahan itu hendaknya tidak berlarut dan harus cepat reda. Tatkala hati sudah kembali tenang, langkah awal yang selanjutnya dilakukan adalah memulai perbuatan dengan mendasarinya dengan firman Allah. Pesan-pesan ilahiah yang terkandung dalam firman-Nya tetap menjadi pijakan awal dalam setiap perbuatan, meski sebelumnya sempat dilanda kemarahan. Dengan demikian, api amarah yang telah mereda akan benar-benar padam dan aktifitas selanjutnya dapat berjalan dengan baik karena dijalani dengan hati yang tidak terkontaminasi nafsu amarah. Hal ini juga sekaligus menjadi bukti bahwa orang-orang yang takut pada Allah SWT tidak akan larut dalam nafsu amarah dan ia senantiasa mendasari perbuatan dengan panduan kalam Tuhan. Di sinilah kemudian Allah akan memberi petunjuk dan melimpahkan kasih sayang-Nya lewat panduan wahyu-Nya.
B.3.1.7. Memperoleh rasa aman di akhirat
Allah SWT berfirman dalam QS. al-Thur : 26-27 :
58 Dalam ayat-ayat sebelumnya dikisahkan bahwa Nabi Musa As sempat merasa sedih dan marah kepada kaumnya yang menyembah patung anak sapi. Patung itu mereka buat sendiri di saat
Nabi Musa pergi ke gunung Sinai selama 40 hari untuk bermunajat dan menerima wahyu berupa kitab suci Taurat yang tertulis dalam lauh (kepingan dari batu dan kayu yang di dalamnya tertulis isi Taurat). Tatkala marah, Nabi Musa AS sempat melempar lauh tersebut dan memegang kepala Harun (Nabi yang sekaligus sepupunya, yang ia berikan kepercayaan untuk menjaga kaumnya saat kepergiannya). Lihat Al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, j.3, h.237 yang mencantumkan banyak riwayat tentang hal ini;
26. Mereka berkata: "Sesungguhnya kami dahulu, sewaktu berada di tengah-tengah keluarga kami merasa takut (akan diazab)".
27. Maka Allah memberikan karunia kepada kami dan memelihara kami dari azab neraka.
Dalam ayat tersebut Allah menjanjikan akan memberikan kebebasan dari siksa api neraka bagi mereka yang tetap takut kepada Allah dan waspada meski ia sedang bersama-sama dengan keluarganya. Kebanyakan manusia menjadi lengah dan lalai di saat menikmati kebahagiaan berkumpul bersama keluarga. Kewaspadaan ini menurut Al-Biqa'i membuat orang yang takut kepada Allah SWT tidak mempunyai kebergantungan pada amal perbuatannya yang, dalam benaknya, tidak seberapa banyak, sehingga ia senantiasa mengagungkan Allah SWT karena takut pada-Nya. Hal ini juga dapat berfungsi sebagai peringatan bahwa rasa takut kepada Allah SWT yang dapat menyebabkan pemiliknya menjauhi maksiat, menuntut adanya kontinuitas (al-dawâm), karena kalaulah Allah berkehendak menyiksa manusia atas dosa kecilnya, niscaya hal itu dapat membuatnya hancur. Dalam hal ini al-Biqa'i memaknai fî ahlinâ sebagai sejumlah kenikmatan, kelapangan dan kesenangan dunia
yang berpotensi membuat lalai. 59 Secara lebih spesifik, kebersamaan dengan keluarga (fî ahlinâ) dalam ayat
tersebut dapat dipahami sebagai bertemunya pasangan suami istri di tempat tidur pada malam hari. Kenyamanan bercengkerama antara suami istri tidaklah membuat lalai untuk mengingat Allah SWT dan beribadah kepada-Nya. Inilah salah satu hal yang dibanggakan Allah SWT di hadapan para malaikat-Nya. Al-Ramli mengutip sebuah
59 Al-Biqa'i, Nazhm al-Durar fi Tanâsub al- Â yât wa al-Suwar , j. 8, h.224. Bandingkan dengan al-Alusi, Rûh al-Ma'âni, j. 19, h. 447 dan Al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, j.9, h. 311.
hadits riwayat Ibn Abi Syaibah dalam al-mushannaf 60 yang berisi bahwa Allah kagum kepada dua orang, yaitu : pertama, seseorang yang meninggalkan tempat tidur
dan selimutnya karena ingin melaksanakan shalat; dan kedua, seseorang yang berperang di jalan Allah SWT, yang meskipun teman-temannya melarikan diri kabur dari medan peperangan, namun ia tetap kembali di medan perang hingga tertumpahkan darahnya.
Rasa takut kepada Allah SWT yang menjadikan seseorang waspada ketika hidup di dunia membuahkan rasa aman di akhirat. Bahkan jika ada seorang hamba menangis karena dilandasi rasa takutnya pada Allah SWT, maka air matanya akan
membentengi dirinya dari panas api neraka. 61
B.3.2. Ancaman Allah SWT kepada orang-orang yang tidak memiliki khasyyyatullâh Pada pembahasan sebelumnya telah diutarakan janji dan keutamaan- keutamaan yang akan Allah SWT berikan pada orang-orang yang memiliki khasyyyatullâh . Jika janji Allah tersebut dimaksudkan sebagai targhîb (motivasi)
60 Al-Ramli, al-khauf min Allah, h. 50-51. Hadits tersebut berbunyi :
61 Rasulullah SAW bersabda : ﻦـﻋ ﹶﺔﺤﹾﻠﹶﻃ ِﻦﺑ ﻰﺴﻴِﻋ ﻦﻋ ِﻦﻤﺣﺮﻟﺍ ِﺪﺒﻋ ِﻦﺑ ِﺪﻤﺤﻣ ﻦﻋ ﻱِﺩﻮﻌﺴﻤﹾﻟﺍ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ِﺪﺒﻋ ِﻦﺑ ِﻦﻤﺣﺮﻟﺍ ِﺪﺒﻋ ﻦﻋ ِﻙﺭﺎﺒﻤﹾﻟﺍ ﻦﺑ ِﻪﱠﻠﻟﺍ ﺪﺒﻋ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ ﺩﺎﻨﻫ ﺎﻨﹶﺛﺪﺣ
H.R. Tirmidzi nomor 23 kitâb al-zuhd 'an rasûlillâh bâb min fadhl al-bukâ' min khasyyatillâh. Hadits dengan maksud sama namun dengan sanad dan redaksi matan berbeda juga diriwayatkan oleh
untuk memupuk rasa takut kepada-Nya, maka pada pembahasan berikut akan diutarakan ancaman Allah SWT kepada orang-orang yang tidak memiliki khasyyyatullâh . Ancaman tersebut berfungsi sebagai tarhîb (peringatan) supaya orang-orang yang masih membangkang menjadi takut kepada-Nya.
B.3.2.1. Neraka Allah SWT Secara tegas Allah SWT mengancam orang-orang yang tidak memiliki rasa takut kepada-Nya dan tidak mengagungkan-Nya dengan ancaman siksa api neraka, tempat kembali di akhirat yang paling jelek. Hal ini berbanding terbalik dengan orang yang di akhirat datang dengan perasaan aman sentosa karena tatkala di dunia ia merasa takut kepada Allah SWT. Dalam QS. Fushshilat : 40 Allah SWT berfirman :
Sesungguhnya orang-orang yang mengingkari ayat-ayat kami, mereka tidak tersembunyi dari kami. Maka apakah orang-orang yang dilemparkan ke dalam neraka lebih baik, ataukah orang-orang yang datang dengan aman sentosa pada hari kiamat? perbuatlah apa yang kamu kehendaki; Sesungguhnya dia Maha melihat apa yang kamu kerjakan.
Al-Qurthubi dan al-Biqa'i menuliskan bahwa ayat di atas berfungsi sebagai ancaman (wa'îd bi tahdîd). 62 Ada beberapa pendapat tentang siapa yang dimaksud
dengan orang yang tidak takut kepada Allah SWT sehingga mengingkari ayat-ayat Allah SWT yang disebut dalam ayat di atas. Al-Qurthubi menyebutkan nama Abu Jahal; orang yang mengejek al-Qur'an; orang yang meragukan bahwa al-Qur'an
berasal dari Allah dan orang yang mendustakan al-Qur'an. 63
62 Al-Qurthubi, al-Jâmi' li ahkâm al-Qur'ân, h.210 dan Al-Biqa'i, Nazhm al-Durar fi Tanâsub al- Â yât wa al-Suwar, j. 7, h. 365.
63 Al-Qurthubi, al-Jâmi' li ahkâm al-Qur'ân, h.210 dan Muhammad Shalih Ali Mushthafa,
Hal ini dapat dipahami bahwa orang yang bersikap seperti di atas, mengejek al-Qur'an; meragukan bahwa al-Qur'an berasal dari Allah dan bahkan mendustakan al-Qur'an, maka itu termasuk dalam golongan orang yang tidak mempunyai rasa takut pada Allah SWT. Dan siapapun orangnya yang bersikap demikian, maka ia terkena ancaman neraka Allah ini.
B.3.2.2. Siksa Allah SWT yang tak terprediksi Jika seseorang selama hidup di dunia tidak merasa takut kepada Allah SWT, bahkan merasa aman dari segala ancaman siksaan Allah SWT, maka ia akan melakukan perbuatan tanpa merasa harus mempertanggungjawabkannya kelak. Ia dengan santainya bersenang-senang dalam kubangan kesalahan pada siang hari dan terlelap di malam hari tanpa sedikitpun mempersiapkan bekal untuk kehidupan di alam mendatang. Ia menghabiskan waktunya untuk melakukan kesalahan, kemaksiatan dan menumpuk dosa seolah-olah tidak akan dibangkitkan lagi untuk menanggung beban dosanya dan menerima balasan atas perbuatannya. Dengan demikian iapun tak menyadari bahwa ajal dapat datang setiap saat, kapan dan di mana saja. Kehidupan dan kesenangan dunia yang sementara membuatnya melalaikan perintah-Nya. Nikmat duniawi yang Allah berikan bukanlah tanda atas kecintaan
Allah padanya, melainkan makar dari Allah SWT yang berupa istidrâj. 64 Allahpun membiarkannya berlumur dosa, karena hatinya sudah membatu dan tidak dapat
menerima peringatan apapun. Orang yang demikian ini termasuk dalam golongan orang-orang yang merugi. Allah SWT berfirman dalam QS. al-A'raf : 97-99 :
64 al-Qurthubi, al-Jâmi' li ahkâm al-Qur'ân h. 98; al-Biqa'i, Nazhm al-Durar fi Tanâsub al-
97. Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan
siksaan kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur?
98. Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain?
99. Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga- duga)? tiada yang merasa aman dari azab Allah kecuali orang-orang yang merugi.
Selain diartikan sebagai istidrâj, makar Allah SWT dalam ayat tersebut juga berarti siksaan Allah yang dapat Ia timpakan sewaktu-waktu. 65 Bahkan siksa itu dapat
saja Allah timpakan pada waktu pagi hari ketika orang yang ingkar itu bermain, atau
malam hari ketika mereka sedang terlelap. Penyebutan dua waktu dengan dua aktifitas itu (pagi bermain dan malam terlelap) selain sebagai tanda waktu yang melenakan mereka, adalah juga sebagai ejekan bagi orang yang tidak mempunyai rasa takut pada Allah diibaratkan dengan anak kecil yang belum punya nalar, di mana
aktifitasnya hanya bermain dan tidur saja. 66 Rasa aman dari siksaan Allah SWT ketika di dunia menyebabkan sesorang
tidak memiliki kewaspadaan akan keselamatannya di akhirat. Al-Suyuthi menuliskan riwayat dari Ibn Abi Hatim yang menyatakan bahwa di antara bentuk rasa aman dari makar Allah itu adalah jika seseorang melakukan suatu dosa dengan mengharapkan
ampunan dari Allah SWT. 67 Jika hal ini dikaitkan dengan kondisi masyarakat, maka akan didapati
banyaknya orang yang bersikap seperti ini. Seorang pejabat yang korup tidak hanya sudah kehilangan hati nurani karena secara nyata merugikan bangsa dan negara dan menyengsarakan banyak rakyat yang tidak berdosa, tapi juga sudah kehilangan akal sehat karena tidak memikirkan nasib dirinya sendiri di kemudian hari.
65 Abi al-Sa'ud, Tafsîr Abî al-Sa'ûd j.3, h. 22.
66 Al-Biqa'i, Nazhm al-Durar fi Tanâsub al- Â yât wa al-Suwar , j.. 3, h.243.
67 Al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, h.188.
Seorang pemikir dan ilmuwan yang sering melontarkan gagasan dan wawasan pengetahuan yang bahkan bertentangan dengan ajaran agama dan membuat banyak umat (yang awam) merasa kebingungan dan kehilangan kepercayaan terhadap agama, tidak mempunyai sedikitpun rasa bersalah karena menganggap tingkah lakunya hanya berimplikasi pada tataran wacana semata. Seolah ia berpikir bahwa jika hanya wacana yang ia lontarkan (dan bukan dengan perbuatan maksiat), maka itu tidak akan dimintai pertanggungjawaban oleh Allah SWT. Padahal jika idenya merusak otak seorang (bahkan banyak orang) yang beragama, itu akan mempunyai efek yang jauh lebih besar dibandingkan dengan perbuatan (anggota fisik badan). Perang pemikiran akan cepat menyebar, sementara kekhilafan perbuatan anggota fisik badan hanya merugikan orang yang melihatnya dan berdekatan dengannya.
Pemimpin yang lalim, orang tua yang melalaikan tanggung jawab mendidik dan mengasuh anak-anaknya, guru yang tidak memberikan contoh perilaku yang baik kepada murid-muridnya, dan banyak lagi oknum lainnya, seringkali tidak menyadari bahwa perbuatannya, baik yang sengaja dilakukannya ataukah hanya karena kelengahannya, dapat memicu murka Allah SWT yang bukan tidak mungkin
mendatangkan siksaan di dunia pada waktu yang tidak mereka sadari. 68
B.3.2.3. Keadaan buruk saat di akhirat. Untuk menambah rasa ketakutan di hati orang-orang yang ingkar, ancaman
Allah SWT juga dilancarkan dengan cara menggambarkan keadaan orang-orang yang
68 Hal ini sesuai dengan QS. al-Nahl : 45-47 :
45. Maka apakah orang-orang yang membuat makar yang jahat itu, merasa aman (dari bencana) ditenggelamkannya bumi oleh Allah bersama mereka, atau datangnya azab kepada mereka dari tempat yang tidak mereka sadari,
46. Atau Allah mengazab mereka diwaktu mereka dalam perjalanan, Maka sekali-kali mereka tidak dapat menolak (azab itu), 47. Atau Allah mengazab mereka dengan berangsur-angsur (sampai binasa dan dalam keadaan
di akhirat didera ketakutan yang amat sangat (karena di dunia tidak takut kepada- Nya). Hal ini sebagaimana tertuang dalam QS. al-Nazi'at : 8-9 :
8. Hati manusia pada waktu itu sangat takut,
9. Pandangannya tunduk.
Al-Syaukani menyebutkan bahwa orang yang tatkala di dunia tidak mempunyai perasaan takut kepada Allah SWT, maka di akhirat akan tergambar
seperti dalam ayat di atas, pandangannya tunduk karena merasa hina dan takut. Disebutkannya juga bahwa kata wâjifah dalam ayat tersebut berarti ketakutan yang
amat sangat, gemetar hingga tergeser dari tempatnya berada. 69