Kehidupan Individu
A. Kehidupan Individu
Pengaruh khasyyatullâh dalam kehidupan Individu akan tampak dalam sikap dan perilaku sehari-hari dari orang yang bersangkutan. Di antara pengaruh tersebut adalah:
A.1. Mampu Menahan Hawa Nafsu Allah SWT berfirman dalam QS. al-Nazi'at, ayat 40 – 41 :
40. Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,
41. Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya).
Sayyid Qutb dalam Fi Zhilâl al-Qur'ân menuliskan bahwa rasa takut kepada Allah SWT adalah benteng yang menghalangi seseorang dari dorongan-dorongan
hawa nafsu. Meski setiap manusia dikaruniai nafsu (selain akal) oleh Allah SWT, namun rasa takut itu menuntunnya untuk berada dalam penyesalan, istighfâr dan
taubat dari kesalahan, sehingga ia senantiasa berada dalam wilayah ketaatan. 4
Al-Alûsi mengatakan bahwa pada asalnya, setiap hawa nafsu berpotensi menarik seseorang untuk condong pada suatu perbuatan. Dan perbuatan yang dihasilkannya adalah yang sesuai dengan syahwat. Itulah sebabnya menurut al-Alûsi, dengan mengutip pendapat al-Râghib, bahwa alasan dinamakannya hawâ adalah karena ia dapat menjatuhkan (yahwî) pemiliknya menuju tempat yang terpuruk
(wâhiyah) tatkala di dunia, dan menuju ke neraka Hâwiyah tatkala di akhirat. 5
Secara bahasa, hawâ - yahwî – hawiyyan – huwiyyan - hawayânan berarti turun (habatha) atau jatuh dari atas ke bawah (saqatha). Sedangkan jika dima'rifahkan "al-hawâ" adalah syahwat yang tercela yang menyalahi aturan-aturan
syariat. 6 Dengan melihat pengertian hawâ bahwa ia dapat menyeret pemiliknya ke tempat yang rendah, maka banyak ulama yang menyarankan untuk tidak
menurutinya. Fudhail, sebagaimana dikutip oleh al-Alusi mengatakan bahwa perbuatan yang paling utama adalah menyalahi hawa nafsu. Demikian juga ungkapan sebagian orang bijak, jika menginginkan kebenaran, maka lihatlah hawâmu dan
engkau harus menyalahinya. 7 Al-Junaid , sebagaimana dikutip oleh al-Biqa'i bahkan mengatakan bahwa jika jiwa seseorang menyalahi hawânya., maka setiap penyakit
yang ada dalam jiwa tersebut akan menjadi obatnya. 8 Seseorang yang menyandang khasyyatullâh maka rasa takutnya itu akan
mampu memberi komando dalam jiwanya untuk menjauhi larangan-larangan Allah
4 Sayyid Quthb, Fi Zhilâl al-Qur'ân, (Beirut : Dâr al-Syurûq), 1992, j.6, h. 3928.
5 Abu al-Fadhl Syihâb al-Dîn al-Sayyid Mahmûd al-Alûsî, Rûh al-Ma'âni fî Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm wa al- Sab' i al-Matsânî , Kairo : Dâr al-Fikr, tth., j.22, h.159.
6 Burhan al-din Abi al-Hasan Ibrahim bin Umar al-Biqâ'i, Nazhm al-Durar fi Tanâsub al- Â yât wa al-Suwar , Kairo : Dar al-kitab al-Islami, 1992, j.9, h.329.
7 al-Alûsî, Rûh al-Ma'âni, j.22, h.159.
SWT. Hal yang termasuk larangan Allah SWT adalah memperturutkan hawa nafsu. Dalam ayat 40 surat al-Nazi'at tersebut, Allah SWT meletakkan dalam satu derajat yang sama antara orang yang takut pada-Nya dan orang yang menahan hawa nafsunya. Ungkapan "orang yang takut pada Allah SWT" yang digunakan dalam ayat tersebut menggunakan "man khâfa maqâma rabbih" (orang yang takut pada kebesaran Allah SWT). Al-Biqa'i mengartikan "maqâm" sebagai suatu tempat (padang mahsyar) dan juga masa (hari kiamat) yang digunakan seorang hamba berdiri di hadapan Allah SWT untuk diperhitungkan segala amal perbuatannya. Ungkapan
seperti ini dinilai lebih balîgh dalam susunan bahasa Arab, karena memberikan pengertian bahwa jika mengingat "maqâm" saja seseorang sudah takut dan mampu menahan hawa nafsunya, maka ia akan lebih merasa takut lagi jika mengingat
Tuhannya. 9 Sementara Ibnu Katsir mengartikan ungkapan tersebut sebagai rasa takutnya seorang hamba jika berdiri di hadapan Allah SWT dan menghadiri
pengadilan Allah SWT atas dirinya. 10 Al-Baghawi menuliskan ucapan Muqâtil tentang arti ayat ini, bahwa ayat ini mengandung arti tentang seseorang yang
berangan hendak melakukan suatu kemaksiatan dan tiba-tiba ia mengingat kebesaran Allah SWT, lalu ia membatalkannya. 11
Dengan mengingat bahwa pada suatu tempat dan suatu masa nanti seseorang akan berdiri di hadapan Allah SWT mendengarkan pengadilan atas dirinya sendirinya, maka hal itu cukup bagi orang-orang yang mempunyai khasyyatullâh untuk menahan dirinya dari memperturutkan hawa nafsunya. Seseorang yang mempunyai keimanan akan datangnya hari kiamat dan percaya bahwa pada hari itu juga merupakan yaum al-hisâb (hari perhitungan) dan yaum al-jazâ (hari pembalasan) serta semua perbuatannya di dunia akan menjadi tanggung jawabnya seorang diri
9 Al-Biqâ'i, Nazhm al-Durar fi Tanâsub al- Â yât wa al-Suwar j.9, h.329.
10 Ibn Katsîr, al-Hâfizh 'Imâd al-Dîn Abu al-Fidâ' Ismâ'îl, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, Beirut : Dâr Ihyâ' al- Turâts al-'Arabî, tth. j.8, h.318.
tanpa ada yang menolong, maka ia berpikir beribu kali lipat untuk melakukan pelanggaran terhadap aturan Allah SWT. Ajakan syahwat dan hawa nafsu yang menyesatkan akan mampu dibendungnya karena tak ingin dirinya celaka kelak.
Al-Zamakhsyari mengartikan al-nafs dalam ayat tersebut di atas dalam kategori al-nafsu al-ammârah bi al-sû` (jiwa yang menyuruh pada keburukan). 12 Hal
ini menjadi tantangan bagi setiap manusia, karena nafsu bertabiat untuk menyuruh keburukan dan memperturutkan "al-hawâ", sementara "al-hawâ" bertabiat mengikuti syahwat yang menyeret pada keterpurukan. Al-Ghazali mengkategorikan dua syahwat
terbesar yang dapat menjadi pangkal dari hal-hal yang dapat mencelakakan manusia (al-muhlikât), yaitu syahwat perut dan syahwat kemaluan. 13 Jika manusia tidak ingin
berada dalam keterpurukan dan kehinaan tatkala di dunia dan terjerumus dalam neraka kelak di akhirat, maka ia harus menahan dirinya dari memperturutkan hawa nafsu yang mengikuti syahwat.
Pengendalian diri dari memperturutkan hawa nafsu ini berbanding lurus dengan rasa takut atas kebesaran Tuhannya. Abi al-Sa'ud mengartikan ayat ke 40 dari surat al-Naziat ini dengan orang yang tidak membiasakan dengan kesenangan duniawi yang penuh dengan hiasan-hiasan yang melenakan, karena ia menyadari
akibat dari perbuatannya jika memperturutkan hawa nafsunya. 14 Sementara al- Zamakhsyari menambahkan tentang inti kesabaran dan upaya mendisiplinkan diri
serta kemampuan diri untuk mendahulukan perbuatan baik. 15 Ibnu Manzhur bahkan
12 Al-Zamakhsyari, Mahmud bin Umar, al-Kasysyâf, t.tmp. : Dar al-Kitab al-Arabi, t.t., j. 7 h.231. Term al-Nafsu dalam al-Qur'an terkategorikan dalam tiga golongan, yaitu al-nafsu al-ammârah
bi al-su'i (jiwa yang menyuruh pada keburukan) terdapat dalam QS. Yusuf : 53 ; al-nafs al-lawwâmah (iwa yang selalu menyesali dirinya sendiri) terdapat dalam Q.S al-Qiyamah : 2 dan al-nafs al- muthmainnah (jiwa yang tenang) sebagaimana yang terdapat dalam Q.S al-Fajr : 27.
13 Muhammad bin Muhammad Abu Hâmid al-Ghazâlî, Ihyâ 'Ulûm al-Dîn, Beirut : Dâr al- Fikr, 1993, cet. I, j.2, h.280.
14 Abî al-Sa'ûd bin Muhammad al-'Imadi al-Hanafi, Tafsîr Abî al-Sa'ûd aw Irsyâd al-'Aql al- Salîm ila Mazâyâ al-Kitâb al-Karîm , Beirut : Dar Ihya' al-Turats al-'Arabi, tth., j.6, h.455.
menyebutkan secara lebih jelas tentang makna menahan hawa nafsu adalah dengan cara mencegahnya dari mengikuti syahwat dan maksiat yang ditimbulkannya. 16
Keterangan al-Zamakhsyari ini memberikan konsekuensi tentang adanya "pertarungan" yang terjadi dalam diri seseorang antara keingian untuk memberikan kesenangan diri dengan cara mengikuti tarikan hawa nafsu syahwatnya, dan kebutuhan untuk mencari keselamatan diri dari keterpurukan dan kehinaan. "Pertarungan" inilah inilah yang ditangkap oleh al-Biqa'i, sehingga ia mengartikan al-nafs dalam ayat ke-40 surat al-Naziat tersebut sebagai jiwa yang memiliki potensi
al-munafasah (bersaing), dan mengartikan " al-hawâ" sebagai hal yang berpotensi untuk merendahkan pemiliknya. 17 Al-hawa semacam ini dalam pandangan al-Biqa'i
tidak akan menarik jiwa untuk berbuat kebaikan, tapi justru mengikuti syahwat (kesenangan), dimana syahwat itulah yang mengelilingi neraka (li anna al-nâr huffat bi al-syahawât ). Hal ini terlihat korelasinya dengan ayat selanjutnya (ayat ke-41) yang menjanjikan syurga bagi orang-orang yang memenuhi dua variabel yang tersebut dalam ayat ke-40, yaitu yang takut akan kebesaran Tuhannya, dan orang yang mampu menahan hawa nafsunya.
Orang yang mampu menundukkan nafsunya supaya tidak menuruti al-hawâ, dikategorikan Nabi sebagai orang yang cerdas. Kecerdasan ini tampak karena orang yang demikian akan mampu menatap dan menata masa depan, tidak hanya berbuat untuk kepentingan sesaat. Dalam bidang kesehatan, misalnya, orang yang menahan nafsunya dari makanan-makanan yang enak namun dapat menyebabkan timbulnya penyakit, pastilah ia orang yang berpikir akan pentingnya kesehatan dalam jangka panjang. Hal itu ia lakukan karena ia menyadari bahwa jika ia memperturutkan hawa nafsu dan memenuhi kesenangan dengan mengkonsumsi makanan apa saja yang enak-enak, maka ia akan kehilangan kenikmatan kesehatan pada masa datang.
16 Muhammad bin Makram Ibn Manzhûr al-Mishrî, Lisân al- ‘ Arab , (Beirut: Dâr Shâdir, tth.) j.15, h.371.
Bagi orang yang takut pada Allah SWT, kehidupan masa datang yang dibela secara sungguh-sungguh sehingga ia rela mengorbankan kesenangan dirinya sendiri adalah kehidupan akhirat, masa yang datang setelah datangnya kematian. Kehidupan akhiratlah yang menjadi kampung halaman tempat berpulangnya semua manusia, dan orang-orang yang mempunyai rasa takut pada Tuhannya berkeyakinan bahwa kehidupan akhirat ini jauh lebih baik dan lebih kekal dibandingkan dengan kehidupan
dunia. 18 Dari sinilah, maka Rasulullah menganggap sebagai orang yang cerdas bagi orang yang mampu menundukkan hawa nafsunya dan berbuat untuk masa depannya
yang lebih baik. 19
A.2 Dapat menerima peringatan dari Allah SWT Di antara tujuan Allah SWT mengirim para nabi dan rasul serta menurunkan
kitab suci adalah sebagai pemberi peringatan (nadzîr) selain juga sebagai pemberi kabar gembira (basyîr, mubasysyir). 20 Jika kabar gembira, pada lazimnya, dapat
18 QS. al-Dhuha : 4; QS. al-A'la : 17 dan QS. al-An'am : 32.
19 HR.Tirmidzi nomor 2383 kitâb sifat al-qiyâmah wa al-raqâ`iq wa al-wara' 'an Rasulillâh bâb minhu.
Lihat Syirkah al-Barâmij al-Islâmiyyah al-Dauliyyah Global Islamic Software Company, Mawsû'ah al-Hadîts al-Syarîf , 2000, terbitan ke-2, CD Room. Hadits dengan makna serupa namun dengan sanad dan redaksi matan berbeda juga diriwayatkan oleh Ahmad.
20 Hal ini sebagaimana terdapat dalam QS.al-Baqarah : 119; QS.al-Isra : 105; Q.S al-Furqan :
diterima oleh semua orang, maka tidak demikian dengan sebuah peringatan. Tidak semua orang dapat dengan mudah menerima sebuah peringatan, meskipun datangnya dari Tuhan yang telah menciptakannya. Ada segolongan manusia yang mengaku bahwa mereka telah diberi peringatan namun mereka mendustakannya bahkan memutarbalikkan fakta dengan mengatakan bahwa Allah tidak menurunkan suatu
apapun pada mereka. 21 Dengan fenomena seperti ini, maka tidak mengherankan jika dalam ayat-ayat al-Qur'an, tugas para Rasul sebagai pemberi peringatan dan pemberi
kabar gembira, seringkali diringkas sebagai pemberi peringatan saja. 22 Demikian juga dengan Nabi Muhammad SAW yang beberapa kali mengatakan bahwa beliau adalah
seorang pemberi peringatan (tanpa menyertakan bahwa beliau juga sebagai pemberi kabar gembira). 23
Dalam banyak ayat al-Qur'an, yaitu Qs. Thaha : 2-3; QS. Fathir : 18; QS. Yasin : 11 dan QS. al-Nazi'at : 45, disebutkan bahwa orang-orang yang mempunyai khasyyatullâh dapat menerima peringatan yang diberikan Allah SWT baik melalui lisan utusan-Nya, yaitu para nabi dan rasul, maupun melalui firman-Nya dalam kitab suci. Dalam QS. Thaha : 2-3 Allah SWT berfirman :
2. Kami tidak menurunkan Al Quran Ini kepadamu agar kamu menjadi susah;
3. Tetapi sebagai peringatan bagi orang yang takut (kepada Allah),
Ayat ini berkaitan dengan adanya peringatan Allah yang disampaikan dalam kitab suci, dalam hal ini al-Qur`an. Ibn Katsir meriwayatkan dari Qatadah bahwa Allah menurunkan al-Qur'an tidaklah bertujuan untuk membuat sengsara dan membawa kesulitan, melainkan membawa rahmat, cahaya dan petunjuk menuju
21 Lihat QS. al-Mulk :9.
22 Lihat QS. al-A'raf : 184, 188; QS. al-Syu'ara` : 115; QS. Saba` :46; QS.Fathir : 23 dan QS.al-Ahqaf : 9.
surga. 24 Hal ini terdapat korelasi dengan ayat setelahnya yang dimulai dengan ﻻإ , "illâ" yang diartikan sama dengan "lâkin". 25 Susunan ayat seperti ini memberi pemahaman bahwa sesungguhnya Allah SWT menurunkan kitab sucinya bertujuan untuk memberikan rahmat pada hamba-hamba-Nya dan memberi peringatan serta manfaat bagi orang yang mendengarnya. Peringatan ini berkaitan dengan ketentuan
halal dan haram. 26 Sementara al-Zamakhsyari memaknai susunan ayat ini bahwa Allah SWT menurunkan al-Qur'an kepada Nabi Muhammad SAW agar beliau
mampu memikul beban untuk menyampaikan risalah kepada umatnya, melawan para musuh Islam dan tugas-tugas kenabian lainnya. Beban dan tugas inilah yang
membawa misi untuk menjadi peringatan (tadzkirah). 27
28 Peringatan Allah SWT ini ditujukan bagi seluruh manusia, bahkan juga seluruh alam. 29 Dalam ayat ke-2 surat Thaha ini terdapat pengkhususan, bahwa
peringatan Allah ditujukan kepada orang-orang yang takut kepada-Nya (liman yakhsyâ ). Al-Alusi menuliskan bahwa pengkhususan bagi al-Khâsyî ( orang yang takut kepada Allah ) ini seolah menafikan manusia-manusia lain, karena yang dapat mengambil manfaat dari peringatan yang ada dalam al-Qur'an hanyalah orang-orang yang takut pada Allah SWT. Efek ini dapat timbul karena orang yang mempunyai rasa takut kepada Allah memiliki hati yang lembut dan juga pengetahuan yang
24 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, j.5, h.272. Bandingkan dengan keterangan yang sama dalam al-Suyuthi, Jalal al-din Abdurrahman bin Abu Bakar, al-Durr al-Mantsûr fi al-Tafsîr bi al-
Ma'tsûr , (Beirut : Dar al-Fikr, 1990), j.6,h.496.
25 Al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, j. 4, h.127.
23 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm j.5, h.272.
27 Al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf j.4, h.127 Bandingkan dengan keterangan yang ditulis Abî al-Sa'ûd, Tafsîr Abî al-Sa'ûd, j.4, h.337.
28 QS. Ibrahim : 44 dan QS. Yunus : 2.
memadai tentang Allah SWT. 30 Sementara al-Zamakhsyari menuliskan bahwa peringatan itu ditujukan bagi orang-orang yang memandang segala urusannya dengan
bingkai rasa takut pada Allah SWT dan pengetahuan bahwa Allah SWT mampu merubah kekufuran menjadi keimanan dan mengalihkan kekerasan hati menjadi
takluk dan tunduk pada-Nya. 31 Ketika menafsirkan awal surat Thaha ini, al-Biqa'i menjelaskan tentang
adanya munâsabah (keterkaitan) dengan akhir surat sebelumnya (surat Maryam). 32 Pada bagian akhir surat Maryam, tepatnya ayat ke-97 (Surat Maryam memiliki 98
ayat) terdapat keterangan bahwa al-Qur'an telah dimudahkan Allah SWT dengan bahasa Nabi Muhammad agar dengan itu nabi dapat memberi kabar gembira kepada orang-orang yang bertakwa.
Menurut al-Biqa'i, "orang yang takut kepada Allah SWT (man yakhsyâ)" yang disebut dalam ayat ke-3 surat Thaha ini adalah "orang-orang yang bertakwa" (muttaqîn) yang disebut dalam ayat ke-97 Surat maryam. Keterkaitan ini ditunjukkan oleh isyarat tentang kemukjizatan al-Qur'an dan kandungannya yang menyeluruh dan mencakup semua kitab yang terdahulu. Al-Qur'an yang menjadi kabar gembira bagi orang-orang yang bertakwa inilah yang selanjutnya dijelaskan dengan ungkapan bahwa al-Qur'an diturunkan tidak untuk membuat kesulitan, melainkan peringatan
bagi orang yang takut pada Allah SWT. 33 Disebutkannya "orang yang takut kepada Allah SWT" secara khusus sebagai
orang yang mampu menerima peringatan, menunjukkan bahwa kemampuan itu bersifat individual, bukan kolektif. Kemampuan untuk menerima peringatan itu tidak dapat diwakilkan, bahkan oleh kerabat dekat, dan tidak dapat dilakukan secara
30 Al-Alûsî, Rûh al-Ma'âni j.12, h.40. Bandingkan dengan Abî al-Sa'ûd, Tafsîr Abî al-Sa'ûd
j.4,h. 337.
31 Al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf , j.4, h. 127.
32 Al-Biqâ'i, Nazhm al-Durar fi Tanâsub al- Â yât wa al-Suwar j.5, h.233.
kolektif. Hanya orang yang mempunyai khasyyatullâhlah yang dapat menerima datangnya suatu peringatan. Individualitas inilah yang tampak dalam munâsabah antar kalimat dalam QS.Fathir : 18, di mana masing-masing orang memikul dosanya sendiri dan tidak dapat meminta orang lain untuk memikulnya, karena yang dapat diberi peringatan hanya orang-orang yang takut kepada Allah SWT. Firman Allah SWT dalam QS. Fathir : 18 itu berbunyi :
Dan orang yang berdosa tidak akan memikul dosa orang lain. dan jika seseorang yang berat dosanya memanggil (orang lain) untuk memikul dosanya itu tiadalah akan dipikulkan untuknya sedikitpun meskipun (yang dipanggilnya itu) kaum kerabatnya. Sesungguhnya yang dapat kamu beri peringatan Hanya orang-orang yang takut kepada azab Tuhannya (sekalipun) mereka tidak melihatNya dan mereka mendirikan sembahyang. dan barangsiapa yang mensucikan dirinya, Sesungguhnya ia mensucikan diri untuk kebaikan dirinya sendiri. dan kepada Allahlah kembali(mu ).
Spirit ayat diatas serupa dengan QS. Luqman : 133 dan QS. Abasa : 34 yang menjelaskan bahwa pada hari kiamat setiap manusia akan sibuk dengan urusan dirinya sendiri, akan menanggung dosanya sendiri, tanpa dapat meminta bantuan kepada orang lain, termasuk pada kaum kerabatnya. Al-Suyuthi tatkala menafsirkan ayat ke-18 surat Fathir tersebut menyertakan riwayat dari Ikrimah tentang kisah seorang laki-laki pada hari kiamat. Laki-laki tersebut disibukkan dengan urusan nasibnya sendiri, dan ia merasa membutuhkan bantuan orang lain. Kemudian ia memanggil anak laki-laki dan istrinya. Meski anak dan istrinya memuji kebaikan- kebaikan laki-laki tersebut, namun pada hari kiamat hal itu tidak dapat mempengaruhi
pertaruhan nasibnya. 34 Al-Alusi menganggap ada kesamaan ayat ini dengan QS. al-Ankabut : 12
tentang orang kafir yang menyuruh orang-orang yang beriman untuk mengikuti jalan
34 Al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, j.8, h.271 dan Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, j.6,
mereka, dan dosanya akan ditanggung oleh orang kafir. Padahal orang-orang kafir itu tidak sanggup memikul dosa-dosa mereka sendiri. Al-Alusi menyertakan sebuah riwayat yang disebut sebagai asbâb al-nuzûl ayat ke 18 surat Fathir tersebut diatas, bahwa Walid bin Mughirah pernah menyuruh orang-orang beriman untuk
mengingkari Nabi Muhammad SAW, dan Walid mau menanggung dosanya. 35
Ada dua kesimpulan yang ditarik oleh al-Biqa'i dari QS. Fathir : 18 tersebut, yaitu : pertama, bahwa seseorang tidak akan dirugikan oleh dosa orang lain, dan kedua, bahwa seseorang tidak dapat mengurangkan dosanya untuk dipikulkan orang
lain supaya ia selamat. 36 Sementara al-Zamakhsyari menarik dua kesimpulan juga,
namun dengan cara pandang yang berbeda. Dua hal itu adalah : pertama, bahwa QS. Fathir : 18 tersebut menunjukkan tentang keadilan Allah SWT karena Allah SWT tidak menghukum seseorang kecuali karena disebabkan dosanya sendiri; kedua, bahwa pada hari kiamat, orang yang mencari pertolongan pada orang lain untuk
meringankan bebannya, ia tidak akan mendapatkannya. 37 Terlepasnya seseorang dari urusan orang lain pada hari kiamat ini berkaitan
dengan lanjutan ayatnya bahwa orang yang dapat menerima peringatan hanya orang yang takut kepada Allah SWT. Artinya, meskipun saudara dan kerabat dekat, kalau satu pihak mempunyai khasyyatullâh sementara yang lain tidak, maka yang dapat diberi peringatan hanya pihak yang memiliki khasyyatullâh. Ibnu Katsir mengartikan pengkhususan ini bahwa nasehat yang dibawa oleh nabi hanya dapat diterima oleh orang-orang yang memiliki nalar dan kecerdasan, yaitu orang yang takut pada
Tuhannya dan melakukan apa yang diperintahkan Tuhannya kepadanya. 38 Dari penjelasan tersebut nampak bahwa kemampuan untuk menerima
peringatan dari Allah bersifat sangat individual.
35 Al-Alusi, Rûh al-Ma'âni j.16, h. 379.
36 Al-Biqâ'i, Nazhm al-Durar fi Tanâsub al- Â yât wa al-Suwar j.7, h.33.
37 Al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf ,j.5, h.411.
A.3 Senantiasa Memperbaharui Taubat Layaknya manusia lainnya, orang yang mempunyai khasyyatullâh juga manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan. Namun karena ada rasa takutnya pada Allah SWT, maka orang yang mempunyai khasyyatullâh tidak segan untuk mengakui kesalahan dan bertaubat serta meminta ampun dan bersegera kembali pada Allah SWT. Firman Allah SWT dalam QS. Qaf : 31-33 berbunyi :
31. Dan didekatkanlah syurga itu kepada orang-orang yang bertakwa pada tempat yang tiada jauh (dari mereka ).
32. Inilah yang dijanjikan kepadamu, (yaitu) kepada setiap hamba yang selalu kembali (kepada Allah) lagi memelihara (semua peraturan-peraturan-Nya)
33. (yaitu) orang yang takut kepada Tuhan yang Maha Pemurah sedang dia tidak kelihatan (olehnya) dan dia datang dengan hati yang bertaubat ,
Dalam tiga ayat di atas, dijelaskan bahwa surga didekatkan bagi orang-orang yang bertakwa. Janji ini diperuntukkan bagi setiap awwâb hafîzh. Kata awwâb, oleh para mufasir diartikan sebagai orang yang kembali (pada Allah SWT), bertaubat dan melepaskan diri dari dosa. Hal ini sebagaimana dituliskan oleh Ibn Katsir, al-Alusi
dan al-Zamakhsyari. 39 Sementara al-Biqa'i mengartikannya sebagai orang yang kembali pada sikap istiqomah untuk menjaga hatinya tatkala secara lahiriah ditemui
penyimpangan dalam dirinya. 40 Al-Suyuthi menuliskan riwayat dari Sa'id bin Musayab bahwa awwâb adalah orang yang berdosa lalu bertaubat, kemudian berdosa
lalu bertaubat, kemudian berdosa lalu bertaubat, hingga Allah SWT mengakhiri hidupnya dengan taubat. 41
39 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm j.7, h. 406; al-Alusi, Rûh al-Ma'âni j.19, h.340 dan al-Zamakhsyari, al-Kasysyâf, j.6. h.402.
40 Al-Biqa'i , Nazhm al-Durar fi Tanâsub al- Â yât wa al-Suwar , j.8, h.186.
Sedangkan kata hafîzh, oleh para mufasir diartikan secara beragam. Ibn Katsir mengartikannya sebagai orang yang memelihara janji sehingga ia tidak merusak janji
tersebut. 42 Al-Alusi dengan menukil riwayatnya dari Ibnu Abbas mengartikannya sebagai orang yang menjaga diri dari dosa-dosanya, sehingga ia pergi
meninggalkannya. 43 Al-Zamakhsyari mengartikannya sebagai orang yang menjaga batas-batas peraturan Allah SWT. Pengertian ini dilengkapi oleh al-Biqa'i, bahwa
hafîzh adalah bentuk mubâlaghah (arti sangat) bagi orang yang menjaga (hâfîzh) batas-batas peraturan Allah SWT, menjalankan isi perjanjiannya dengan Allah SWT
dengan istiqomah dan segera kembali pada Allah SWT jika tergelincir dari batas itu. Beragam pengertian tentang hafîzh juga dirangkum oleh Abi al-Sa'ud, di mana ia menulis empat arti bagi hafîzh, yaitu :
a. Orang yang menjaga dirinya untuk segera bertaubat tatkala menyalahi janji.
b. Orang yang menjaga perintah-perintah Allah SWT.
c. Orang yang menjaga hak-hak Allah yang dititipkan kepadanya berupa nikmat yang banyak.
d. Orang yang menjaga diri dari dosa-dosanya, sehingga ia segera meninggalkannya dan meminta ampun atas dosa-dosanya itu. 44
Diantara para mufasir juga ada yang mengartikan awwâb dan hafîzh dalam satu arti. 'Ubaid bin Umair sebagaimana dikutip oleh Ibnu Katsir mangatakan bahwa awwâb adalah hafîzh yang ketika ia duduk dalam suatu majlis, ia tidak berdiri meninggalkan majlis tersebut kecuali setelah beristighfar (memohon ampun pada
Allah SWT). 45 Mujahid sebagaimana tertulis dalam Rûh al-Ma'âni mengatakan
42 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm j.7, h. 406.
43 Al-Alusi, Rûh al-Ma'âni, j.19, h.340.
44 Abi al-Sa'ud, Tafsîr Abî al-Sa'ûd, j.6, h.198.
bahwa al-awwâb al-hafîzh adalah seseorang yang ingat dosanya tatkala sedang menyendiri kemudian ia minta ampun kepada Allah SWT. 46 Al-Suyuthi dalam al-
Durr al-Mantsûr juga meriwayatkan dari Sa'id bin Sinan yang mengatakan bahwa awwâb hafîzh adalah orang yang menjaga dosa-dosanya, kemudian ia bertaubat atas
dosa-dosa itu satu persatu. 47 Penulis merangkum beragam pendapat tentang pengertian awwâb dan hafîzh
ini, bahwa keduanya termasuk sifat yang dimiliki oleh orang yang menghiasi dirinya
dengan khasyyatullâh. Dengan sifat ini, pemilik khasyyatullâh senantiasa menjaga dirinya agar menepati aturan-aturan yang telah digariskan oleh Allah SWT. Namun jika suatu saat dirinya tergelincir keluar dari batas aturan itu, maka ia bersegera bertaubat. Pemilik khasyyatullâh tetaplah manusia biasa yang berpotensi menyalahi aturan Allah SWT dan melakukan perbuatan dosa. Kesalahan itupun dapat berulang berkali-kali dalam rentang masa hidupnya. Namun rasa takutnya pada Allah SWT, menuntunnya untuk bertaubat dari dosa-dosanya itu. Taubat yang dilakukan atas dasar rasa takut pada Allah SWT ini mampu menghapus dosa-dosa yang pernah menghiasi lembaran-lembaran hidupnya. Hal ini seirama dengan hadits yang menerangkan bahwa orang yang bertaubat dari dosa ibarat orang yang tidak punya
dosa. 48
46 Al-Alusi, Rûh al-Ma'âni , j.19, h.340.
47 Al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, j.9,h. 288.
48 HR. Ibn Majah, nomor 4240 kitab al-zuhd bâb dzikr al-taubah.
A.4. Waspada akan datangnya hari kiamat. Berkenaan dengan QS. al-Nur : 36-37 49 yang telah dibahas dalam bab III
Uslûb al-Qur'an tentang Khasyyatullâh sub bab pujian Allah SWT yang menerangkan bahwa orang yang mempunyai khasyyatullâh akan selalu mengingat Allah SWT di setiap waktu, maka hal ini dapat disimpulkan sebagai adanya kesadaran untuk mempergunakan waktu yang dikaruniakan Allah SWT kepadanya untuk bertasbih dan selalu mengingat-Nya. Kesadaran penggunaan waktu seoptimal mungkin ini, bagi seorang pemilik khasyyatullâh juga didasari atas dua hal : pertama, pengetahuan
bahwa hari kiamat adalah hal yang benar dan pasti datangnya, bahkan kedatangan hari kiamat itu sudah dekat sebagaimana yang diisyaratkan Allah SWT dalam QS. al-
Syura : 17-18. 50 Dengan kesadaran dan pengetahuan bahwa hari akhir adalah suatu kebenaran yang pasti datangnya, maka dengan dasar khasyyatullâh yang dimilikinya,
ia akan mengangankannya bahwa kiamat itu akan segera terjadi. Riwayat dari Ibn Mas'ud, sebagaimana ditulis al-Suyuthi dalam al-Durr al-Mantsûr mengatakan
49 Dalam QS : al-Nur : 36-37 Allah SWT berfirman :
Bertasbih kepada Allah di masjid-masjid yang Telah diperintahkan untuk dimuliakan dan disebut nama-Nya di dalamnya, pada waktu pagi dan waktu petang, Laki-laki yang tidak dilalaikan oleh perniagaan dan tidak (pula) oleh jual beli dari mengingati Allah, dan (dari) mendirikan sembahyang, dan (dari) membayarkan zakat. mereka takut kepada suatu hari yang (di hari itu) hati dan penglihatan menjadi goncang.
50 QS. al-Syura : 17-18:
17. Allah-lah yang menurunkan Kitab dengan (membawa) kebenaran dan (menurunkan) neraca
(keadilan). dan tahukah kamu, boleh jadi hari kiamat itu (sudah) dekat ? 18. Orang-orang yang tidak beriman kepada hari kiamat meminta supaya hari itu segera didatangkan dan orang-orang yang beriman merasa takut kepadanya dan mereka yakin bahwa kiamat itu adalah benar (akan terjadi). Ketahuilah bahwa Sesungguhnya orang-orang yang membantah tentang
bahwa hari kiamat tidak terjadi hingga ia diangankan oleh orang-orang yang mengangankannya. 51
Dalam redaksi ayat ke-18 surat al-Syura, al-Qur'an menggunakan derivasi kata isyfâq (musyfiqûn) yang sebagaimana telah disinggung dalam bab sebelumnya, mengandung makna takut yang disertai kewaspadaan. Kewaspadaan ini berkaitan erat dengan dimensi keimanan seseorang, karena dalam ayat tersebut disebutkan dengan kata اﻮﻨﻣآ ﻦﯾﺬﻟاو (dan orang-orang yang beriman). Seberapa besar kadar keimanan seorang hamba, maka sebesar itu pulalah tingkat ketakutannya pada Allah SWT dan
tingkat kewaspadaan dalam dirinya. Hal ini berbanding lurus dengan orang-orang yang tidak beriman yang tidak mempunyai kewaspadaan. Dalam ayat tersebut digambarkan betapa dengan cerobohnya, orang-orang yang tidak beriman justru meminta supaya hari kiamat itu segera didatangkan. Al-Biqa'i menuliskan bahwa isti'jâl (meminta percepatan) ini adalah isti'jâl inkâri dan istihzâ`, yaitu mereka meminta supaya datangnya hari kiamat dipercepat karena pada hakikatnya mereka
mengingkari datangnya hari kiamat itu dan juga untuk memperolokkannya. 52
Landasan selanjutnya yang menyebabkan pemilik khasyyatullah menggunakan waktunya seoptimal mungkin adalah : Kedua, keyakinan bahwa pada hari akhir nanti Allah SWT akan memberi siksaan kepada orang-orang yang durhaka. Orang yang takut pada Allah SWT tidak bisa merasa aman dari ancaman siksaan tersebut, sehingga ia harus selalu waspada. Hal ini berkorelasi dengan pujian selanjutnya yang dibahas di bawah ini.
A.5. Tidak merasa aman dari makar Allah SWT. Terkait dengan keterangan bahwa orang yang memiliki khasyyatullâh tidak merasa aman dari makar Allah SWT, maka hal itu sesungguhnya didasari atas
51 Lihat al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, h.458. Redaksi dari Ibn Mas'ud tersebut adalah : lâ taqûm al-sâ'ah hattâ yatamannâhâ al-mutamannûn.
52 Al-Biqa'i, Nazhm al-Durar fi Tanâsub al- Â yât wa al-Suwar j. 7, h. 400. Bandingkan
kewaspadaannya. Jikalau tiada kewaspadaan, niscaya orang akan menghambur- hamburkan waktunya pada hal-hal yang justru melenakannya dari Allah SWT,
dimana hal itulah yang membuatnya merugi. Dalam Q.S al-a'raf : 99 53 Allah berfirman:
Maka apakah mereka merasa aman dari azab Allah (yang tidak terduga-duga)? tiada
yang merasa aman dan azab Allah kecuali orang-orang yang merugi .
Pada ayat tersebut, orang yang tidak memiliki rasa takut kepada Allah SWT akan merasa aman dari siksa dan makar Allah, sehingga digambarkan dengan
kata "aminu". Rasa aman dari siksaan Allah SWT ketika di dunia menyebabkan seseorang tidak memiliki kewaspadaan akan keselamatannya di akhirat. Al-Suyuthi menuliskan riwayat dari Ibn Abi Hatim yang menyatakan bahwa di antara bentuk rasa aman dari makar Allah itu adalah jika seseorang melakukan suatu dosa, namun di sisi
lain ia mengharapkan ampunan dari Allah SWT. 54
A. 6. Mempunyai semangat berlomba-lomba dalam kebaikan. Rasa takut dan kewaspadaan menjadi energi untuk selalu mentaati Allah SWT. Orang yang takut kepada Allah SWT akan menjaga keimanannya dan tidak mengotorinya dengan kesyirikan, dan berlomba-lomba dalam melakukan amal kebaikan. Akan tetapi, adanya rasa takut dan waspadanya itu membuatnya cemas dan khawatir jikalau amal-amal kebaikan yang dilakukannya tersebut tidak diterima oleh Allah ST. Dalam QS al-mu'minun : 57-61, Allah SWT berfirman :
53 Penjelasan mengenai ayat ini diulas pada pembahasan tentang ancaman Allah pada orang yang tidak mempunyai khasyyatullâh. Lihat Bab III h. 87-88.
57. Sesungguhnya orang-orang yang berhati-hati Karena takut akan (azab) Tuhan mereka,
58. Dan orang-orang yang beriman dengan ayat-ayat Tuhan mereka,
59. Dan orang-orang yang tidak mempersekutukan dengan Tuhan mereka (sesuatu apapun),
60. Dan orang-orang yang memberikan apa yang Telah mereka berikan, dengan hati yang takut, (karena mereka tahu bahwa) Sesungguhnya mereka akan kembali kepada Tuhan mereka,
61. Mereka itu bersegera untuk mendapat kebaikan-kebaikan, dan merekalah orang- orang yang segera memperolehnya.
Ketika menafsirkan rangkaian ayat ini, para mufasir menyertakan riwayat dari Aisyah, bahwa tatkala mendengar wahyu tersebut, Aisyah ra. menanyakan
maksudnya kepada Rasulullah SAW. Aisyah ra. berkata :" Aku bertanya pada Rasulullah SAW tentang suatu ayat :
dan Aisyah berkata : "Apakah orang-orang tersebut adalah orang-orang yang meminum minuman keras dan mencuri?" Rasulullah SAW menjawab: "tidak, wahai putri al-Shiddiq, mereka bukanlah orang yang meminum minuman keras dan mencuri, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang berpuasa, sholat dan bersedekah. Mereka takut jikalau amal-amal mereka itu tidak diterima, dan mereka
itu berlomba-lomba dalam kebaikan." 55
55 Lihat Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, jilid 3, h. 249; Al-Alûsî, Rûh al-Ma'âni, j.13, h.238 yang menyebutkan bahwa riwayat ini dikeluarkan oleh ahmad, al-Tirmidzi, Ibn Majah, al-Hakim
yang menshahihkannya, Ibn Mundzir, Ibn Jarir dan Jama'ah; serta al-Biqa'i, j.5, h.418. Dalam penjelasannya, al-Biqa'i menyertakan pendapat Hasan Bashri yang mengatakan bahwa orang mukmin mengumpulkan iman dan khasyyah dalam dirinya, sementara orang munafik mengumpulkan
Dalam memaknai kata "sâbiqûn", al-Alusi menuliskan bahwa mereka bersegera menuju kebahagiaan yang telah dijanjikan oleh Allah SWT sejak masa azali, dapat juga berarti mereka bersegera melakukan ketaatan dan ibadah
mendahului orang-orang lain. 56
A.7. Mempunyai Murâqabatullâh (merasa selalu diawasi Allah SWT) Ungkapan al-Khasyyah yang seringkali dirangkai dengan kata bi al-ghaib, sebagaimana telah diuraikan dalam pembahasan sebelumnya, mengandung arti bahwa orang yang mempunyai khasyyatullâh tetap merasa takut pada Allah SWT, meskipun Allah ghaib, meskipun siksa yang diancamkan Allah juga ghaib, dan meskipun orang tersebut sedang berada dalam kesendirian, di mana tidak ada sorangpun yang melihatnya kecuali Allah SWT. Perasaan ini melahirkan sikap kehati-hatian tindakan karena ia yakin bahwa Allah SWT dapat melihatnya, mengawasinya meski ia sendiri tidak dapat melihat Allah SWT. Perasaan inilah yang dinamakan murâqabatullâh atau yang sering disebut murâqabah saja.
Ketika seseorang telah merasa selalu diawasi Allah SWT, di mana tak sejengkalpun tempat dan sedetikpun waktu terlewat dari pengawasan-Nya, maka ia tidak akan berani melakukan perbuatan yang mendatangkan murka-Nya. Meski godaan sangat kuat, namun khasyyatullâh yang melahirkan murâqabatullâh akan menjadi rem yang kuat yang mampu menahan dirinya untuk tidak mengikuti godaan itu. Ada kalanya Allah SWT mendatangkan suatu peristiwa yang dapat menjadi cobaan untuk membuktikan seberapa besar ketaatan seorang mukmin dalam mematuhi aturan Allah SWT. Di antara contohnya adalah apa yang termaktub dalam QS. al-Maidah : 94 :
Hai orang-orang yang beriman, Sesungguhnya Allah akan menguji kamu dengan sesuatu dari binatang buruan yang mudah didapat oleh tangan dan tombakmu supaya Allah mengetahui orang yang takut kepada-Nya, biarpun ia tidak dapat melihat-Nya. barang siapa yang melanggar batas sesudah itu, Maka baginya azab yang pedih.
Ibnu Katsir menuliskan riwayat dari Muqatil bin Hayyan yang mengatakan bahwa ayat ini turun saat peristiwa umrah Hudaibiyah. Saat itu, umat Islam yang sedang melaksanakan umrah diuji oleh Allah SWT dengan didatangkannya binatang- binatang buruan serta burung yang dapat dengan mudah ditangkap. Binatang serta burung-burung itu muncul tidak seperti di luar waktu umrah. Mereka muncul sangat banyak dan berlaku jinak sehingga sangat menggoda untuk ditangkap. Di sinilah letak godaannya, karena umat Islam sedang dalam keadaan berihram umrah yang tidak
diperbolehkan menangkap binatang buruan. 57 Ungkapan ﺔﻠﻟا ﻢﻜﻧﻮﻠﺒﯿﻟ (Allah SWT pasti akan menguji kamu) mengandung arti
bahwa saat itu Allah memperlakukan umat Islam sebagai Sang Pemberi cobaan. Hal ini dilakukan untuk mengetahui kondisi keimanan mereka. 58 Fungsi ujian ini
sebagaimana tertuang dalam kelanjutan ayatnya yaitu "supaya Allah SWT mengetahui siapa yang takut kepada-Nya, meski dia tidak melihat-Nya". Ungkapan ini bukan berarti tanpa ujian ini Allah SWT tidak atau belum mengetahui siapa hamba-Nya yang takut pada-Nya. Akan tetapi, ungkapan ini berarti Allah SWT akan menampakkan ketaatan hamba-Nya baik di waktu sembunyi-sembunyi (sirrihi)
maupun ketika terang-terangan (jahriri). 59 Sementara al-Alusi menafsirkan ungkapan ini dengan hubungan antara pengetahuan Allah SWT tentang siapa yang takut
kepada-Nya yang dibuktikan dengan sebuah perbuatan. Dengan adanya perbuatan
57 Ibnu Katsir, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, j.3, h.190. Bandingkan dengan keterangan dalam al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, j.3.h.476.
58 Al-Biqa'i, Nazhm al-Durar fi Tanâsub al- Â yât wa al-Suwar , j.2. h.463 dan Abî al-Sa'ûd, Tafsîr Abî al-Sa'ûd , j.2, h. 290.
tersebut, maka akan berlaku kausalitas balasan, yaitu seorang hamba akan diganjar rasa takutnya kepada-nya, apabila teraktualisasikan dalam perbuatan. 60 Abi al-Sa'ud
menambahkan keterangan ini, bahwa ungkapan ini juga berarti untuk membedakan mana hamba-Nya yang takut siksa-Nya di akhirat, padahal siksa itu ghaib dan juga
akan terlihat bahwa hamba itu merasa terawasi atas dosa dan imannya yang kuat. 61 Al-Biqa'i juga mengatakan bahwa dengan ujian ini Allah SWT akan
menampakkan perbuatan-perbuatan hamba-hambanya yang sudah termaktub di alam ghaib menjadi terlihat di alam nyata. Dengan demikian, maka hubungan pengetahuan
Allah SWT dengan perbuatan hamba tersebut bersifat ta'alluq syuhûdi sekaligus
ta'alluq ghaibi 62 . Al-Alusi mengutip pendapat al-Jubbai bahwa ungkapan "tanâluhu aidîkum wa rimâhukum (yang dengan mudah dapat diambil dengan tangan dan tombak kalian) adalah kerena binatang buruan di tanah haram (Mekkah) pada waktu haram (saat umrah) bersikap sangat jinak dengan manusia, sehingga mereka tidak lari seperti
binatang buruan di selain tanah haram dan selain waktu haram. 63 Disebutkannya kata tangan secara khusus dalam ayat diatas karena tangan mempunyai andil paling besar
dalam proses perburuan. Di dalamnya termasuk juga anggota-anggota badan yang lain. Sementara disebutkannya kata tombak secara khusus adalah karena seringkali alat yang digunakan untuk melukai buruan adalah tombak. Di dalamnya termasuk
juga alat-alat berburu lainya, seperti panah dan semacamnya. 64 Dari ujian inilah, maka Allah SWT akan memberikan penilaian tentang
kejujuran keimananan hamba-hamba-Nya yang terbukti dengan ketaatan yang penuh
60 Al-Alusi, Rûh al-Ma'âni j.5, h.130. Bandingkan dengan keterangan dalam Abî al-Sa'ûd, Tafsîr Abî al-Sa'ûd j.2, h.290.
61 Abî al-Sa'ûd, Tafsîr Abî al-Sa'ûd j.2, h.290.
62 Al-Biqa'i, Nazhm al-Durar fi Tanâsub al- Â yât wa al-Suwar j. 2, h.463.
63 Al-Alusi, Rûh al-Ma'âni j.5, h.130.
saat sembunyi-sembunyi dan terang-terangan. Sementara orang-orang yang melampaui batas dengan cara tidak mematuhi aturan-aturanNya, akan diganjar dengan hukuman siksa yang pedih. Para mufasir mengartikan beragam tentang siksa pedih ini. Ada yang mengatakan bahwa siksa itu diberikan tatkala masih hidup di dunia, ada juga yang mengatakan bahwa siksa itu diberikan kelak di akhirat, bahkan ada juga yang mengatakan bahwa siksa itu diberikan baik tatkala masih di dunia dan
juga kelak di akhirat. 65 Abi al-Sa'ud lebih setuju dengan pendapat yang mengatakan bahwa siksa itu diberikan di dua alam sekaligus, dunia dan akhirat. 66 Hal ini
disebabkan sikap melampaui batas yang dilakukan hamba tersebut adalah pertanda atas kesombongan dan tercabutnya rasa takut pada Allah SWT di hatinya. Ujian-ujian yang Allah SWT berikan, salah satunya berupa godaan ini tidak hanya Allah SWT berikan kepada orang-orang yang sedang menjalankan ihram saja, melainkan juga kepada seluruh orang beriman. Di lain kesempatan Allah SWT mengatakan tentang adanya cobaan yang pasti diberikan kepada orang-orang beriman. Cobaan–cobaan ini juga berfungsi untuk membedakan antara orang-orang yang jujur dalam keimanannya dan orang-orang yang berdusta. Hal ini sebagaimana terlihat dalam QS. al-'Ankabut :2-3 :
2. Apakah manusia itu mengira bahwa mereka dibiarkan (saja) mengatakan: "Kami Telah beriman", sedang mereka tidak diuji lagi?
3. Dan Sesungguhnya kami Telah menguji orang-orang yang sebelum mereka, Maka Sesungguhnya Allah mengetahui orang-orang yang benar dan Sesungguhnya dia mengetahui orang-orang yang dusta.
65 Al-Alusi, Rûh al-Ma'âni j.5, h.130.
Melalui cobaan yang Allah SWT berikan, akan terlihat dengan jelas bahwa orang-orang yang mempunyai Khasyyatullah mampu melahirkan perasaan muraqabatullah (merasa selalu diawasi Allah SWT). Sehingga ia mampu mengendalikan diri untuk tidak melanggar aturan-aturan Allah SWT meskipun tidak ada orang yang melihatnya. Hal ini juga sebagai pembuktian keimanan, yang dalam al-Qur'an dikatakan sebagai alladzîna shadaqû (orang-orang yang jujur).
A.8. Mempunyai Kesungguhan dalam Beramal Di antara rumus untuk meraih kesuksesan yang diutarakan oleh Reza M. Syarief adalah dengan cara mencanangkan tujuan dan menggariskan tahapan sebagai langkah pencapaiannya. Dengan anggapan bahwa sukses bukan tujuan melainkan sukses adalah perjalanan, maka orang yang sukses adalah orang yang mampu terus
melangkah menuju tahap meraih puncak tujuan. 67 Penulis sependapat dengan anggapan bahwa sukses adalah sebuah proses, karena hal ini mengandung semangat
yang sama dengan hadits nabi bahwa orang yang sukses adalah orang yang hari ini lebih baik dibandingkan dengan hari kemarin. Sementara al-Qur'an mengisyaratkan
bahwa salah satu barometer yang menjadi ukuran kesuksesan seseorang 68 adalah jika seseorang dijauhkan dari api neraka dan dimasukkan ke dalam surga 69 .
67 Reza M. Syarief, Life Excellent : Menuju Hidup Lebih Baik, (Jakarta : Prestasi , 2005), h.3.
68 Sukses, dalam bahasa al-Qur'an antara lain diungkapkan dengan istilah al-fauz. Ada banyak karakteristik yang diungkapkan al-Qur'an berkenaan dengan al-fauz, diantaranya adalah
selamatnya orang dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga.
69 QS. Ali Imran : 185:
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati. dan Sesungguhnya pada hari kiamat sajalah disempurnakan pahalamu. barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam syurga, Maka sungguh ia Telah beruntung. kehidupan dunia itu tidak lain hanyalah kesenangan yang
Hal ini menandakan bahwa tujuan yang hendaknya dicanangkan oleh seorang yang ingin meraih kesuksesan adalah masuk surga dan jauh dari api neraka. Jika tujuan ini hanya dapat tercapai di akhirat, maka ukuran kesuksesan di dunia adalah orang yang menempuh perjalanan dan meniti tangga menuju surga. Langkah meniti tangga menuju surga ini, bagi orang-orang yang takut kepada Allah SWT, akan ditempuh secara sungguh-sungguh. Keinginan kuat untuk meraih tujuan itu didasari atas rasa takutnya pada siksa neraka yang telah diancamkan bagi orang-orang yang tidak menghiraukan peringatan dari-Nya. Rasulullah SAW mengisyaratkan hal ini
dalam sabdanya :
Kata ﺞﻟدأ (adlaja), pada hadits di atas mengandung arti melakukan perjalanan di awal malam 71 . Ungkapan ini berarti bahwa orang-orang yang sungguh-sungguh
dan bersegera melakukan pekerjaan, maka ia akan lebih cepat menyelesaikannya. Al- Khazandar menjadikan sikap sungguh-sungguh dan cepat-cepat mengawali suatu perbuatan ini sebagai salah satu sifat yang menandakan akan kejujuran iman seseorang dalam menyiapkan akhiratnya karena dilandasi rasa takutnya pada Allah
SWT. 72 Jika seseorang menempuh perjalanan yang panjang sementara ia tidak
bersegera berangkat dan gerakannya lambat, maka ia tidak akan segera sampai pada tujuannya. Kecepatan memulai perjalanan ini dapat dianalogikan dengan
70 Sunan Tirmidzi nomor 2374 kitâb sifat al-qiyâmah wa al-raqâiq wa al-wara' 'an Rasûlillâh bab mâ jâ`a fi sifat awâni al-haudh .
71 Ali, Atabik dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia al- ‘ Ashri , Yogyakarta : Multi Karya grafika, tth., h.67.
kesungguhan seorang hamba dalam memenuhi panggilan Tuhannya. Semakin cepat ia memenuhinya, maka semakin cepat pula ia menuju kesuksesan di sisi Tuhannya.
Tujuan hidup seorang mukmin adalah meraih kesuksesan besar yang dijanjikan Allah SWT. Kesuksesan besar yang dijanjikan Allah SWT ini adalah selamat dari siksa yang pedih dan masuk surga, di mana hal itu hanya bisa dicapai jika seseorang bersedia melakukan perniagaan (tijârah) dengan Allah SWT. Dalam hadits di atas disebutkan dagangan Allah yang mahal itu (sil'ah Allah ghâliyah) adalah surga. Sementara dalam rangkaian ayat ke 10-12 surat al-Shaff disebutkan bahwa orang beriman dapat "membeli" dagangan Allah SWT itu dengan cara mengimani Allah SWT dan rasul-Nya serta berjihad di jalan-Nya dengan harta dan
jiwa. 73 Meski dagangan Allah SWT mahal, namun orang yang mempunyai khasyyatullâh akan bekerja sungguh-sungguh untuk dapat "membelinya", yang dalam
hadits di atas disebutkan bahwa ia rela memulai perjalanannya lebih awal. Jika lazimnya orang berpergian di mulai pada waktu pagi hari, namun karena orang yang mempunyai khasyyatullâh ingin cepat mencapai tujuannya, maka ia mengawali perjalannya lebih dini, yakni di awal malam.
73 QS. al-Shaff : 10-12 :
10. Hai orang-orang yang beriman, sukakah kamu Aku tunjukkan suatu perniagaan yang dapat menyelamatkanmu dari azab yang pedih? 11. (yaitu) kamu beriman kepada Allah dan RasulNya dan berjihad di jalan Allah dengan harta dan jiwamu. Itulah yang lebih baik bagimu, jika kamu Mengetahui. 12. Niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosamu dan memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai; dan (memasukkan kamu) ke tempat tinggal yang baik di dalam