Khasyyatullâh dan Ulama

C. Khasyyatullâh dan Ulama

Sebagaimana telah disinggung dalam pembahasan sebelumnya bahwa al- khasyyah mempunyai landasan pengetahuan, maka pada poin berikut, penulis akan mengulas ayat yang menerangkan tentang hal itu. Berkaitan dengan khasyyatullâh yang berhubungan dengan ulama, maka dari potongan ayat ke-28 surat Fathir yang

berbunyi ؤﺎﻤﻠﻌﻟا هدﺎﺒﻋ ﻦﻣ ﷲا ﻰﺸﺨﯾ ﺎﻤﻧإ terlihat dengan jelas bahwa al-khasyyah hanya dipunyai oleh orang-orang yang berilmu, karena redaksi ayat ini menggunakan adât al-hashr innamâ yang mengandung arti pengkhususan (ikhtishâsh), bahwa hanya orang-orang yang berilmulah yang takut kepada Allah. Hal ini sekaligus

mengecualikan orang-orang yang tidak berilmu. 74 Syaikh al-Islâm Ibn Taimiyah dalam bukunya al- Îmân, sebagaimana dikutip oleh Al-Ramlî, membuat kesimpulan

dengan mafhûm mukhâlafah bahwa tidak ada orang yang takut kepada Allah kecuali orang yang berilmu, dan setiap orang yang takut kepada Allah adalah orang yang

berilmu. 75 Semakin tinggi kadar pengetahuan seseorang terhadap Allah, maka ia akan

menjadi orang yang semakin takut kepada-Nya. 76 Ketika menganalisa ayat tersebut di atas, Ahzami Sami'un Jazuli dalam

bukunya, Fiqh al-Qur`an, mencatat dua hal mendasar, yaitu : Pertama, dengan melihat kata "'ibâdihi" dapat dipahami bahwa 'ulama adalah hamba Allah SWT, bukan hamba siapa-siapa. Oleh karena itu, seluruh potensi yang dimilikinya, termasuk ilmu, harus ditujukan untuk beribadah dan sebagai sarana penghambaan kepada-Nya, bukan justru dimanfaatkan untuk menjustifikasi perbuatan atau kebijakan yang bertentangan dengan prinsip 'ubûdiyah kepada Allah. Di sini, Ahzami juga mengambil kesimpulan bahwa al-Qur`an menggunakan bahasa yang tegas ketika berbicara tentang pengabdian, yaitu menggunakan adât al-hashr (pembatasan). Disebutkan olehnya ayat-ayat lainnya, yaitu QS.al-Fatihah : 5, QS.al-Dzariyat : 56 dan QS. Al-Bayyinah : 5. Kedua, 'ulama adalah orang yang mempunyai

74 al-Alûsî, Rûh al-Ma'ânî, jilid 7, h. 343.

75 al-Ramlî , al-Khauf min Allâh, h. 175.

76 al-Alûsî, Rûh al-Ma'ânî, jilid 7, h. 343. Demikian juga sebagaimana pendapat para mufasir lainnya seperti Ibn Katsir, al-Baidhawi, al-Suyuthi, al-Syaukani, al-Baghawi dan Sayyid Quthb. Al-

Suyuthi dalam al-Durr al-Mantsûr mencantumkan hadits nabi dari Makhul yang menyatakan bahwa keutamaan seorang 'alim (orang yang berilmu) dibandingkan dengan seorang 'abid (seorang ahli ibadah) adalah laksana perbandingan Rasulullah SAW dengan umatnya. Rasulullah lalu melanjutkan pernyataannya bahwa Allah SWT, para malaikat, seluruh penduduk langit dan penduduk bumi, bahkan ikan di lautan bershalawat bagi seorang yang berilmu yang mengajarkan kebaikan. Lihat Al-Suyuthi,

khasyyatullâh , yaitu takut dan mengagungkan Allah SWT. Seluruh obsesi ulama hanya untuk mengagungkan Allah SWT. Ulama berperan untuk meningkatkan kualitas diri dan umatnya untuk senantiasa pandai-pandai meninggikan ajaran Allah SWT di atas segalanya. Jika terjadi tarik-menarik kepentingan antara menjalankan peran dan tanggung jawab ulama sebagai kepala keluarga, berkenaan dengan harta dunia, atau golongan, maka dengan khasyyatullâh yang dimilikinya, ulama akan selalu berpihak pada Allah SWT, Rasul-Nya dan berjihad untuk menegakkan ajaran

agama Islam. 77 Al-Alûsî menjelaskan makna pendahuluan obyek khasyyah (makhsyâ), yaitu

lafadz Allâh, adalah juga sebagai pengkhususan (ikhtishâsh). Hal ini bermakna bahwa orang-orang yang berilmu hanya takut kepada Allah, bukan selain-Nya. 78 Ibn Katsîr

memberikan penjelasan dengan mengutip riwayat Abi Hayyân al-Tamîmî yang mengatakan bahwa ulama terbagi menjadi tiga golongan:

1. Orang yang mempunyai pengetahuan tentang Allah, tapi tidak mengetahui perintah-perintah-Nya.

2. Orang yang mengetahui perintah-perintah-Nya, tapi tidak mempunyai pengetahuan tentang-Nya.

3. Orang yang mempunyai pengetahuan tentang Allah dan mengetahui perintah- perintah-Nya. Orang yang seperti inilah yang bisa merasakan takut kepada Allah. Hal ini didasarkan pada firman Allah dalam QS. al-Isra’ ayat 107-109 yang berbunyi :

77 Ahzami Sami'un Jazuli, Fiqh al-Qur`an Kajian atas Tema-tema Penting dalam al-Qur`an, (Jakarta :Kilau Intan), 2005, cet.I, h.189-190.

78 al-Alûsî, Rûh al-Ma'ânî, jilid 7, h. 343 dan Tafsir Abi al-Sa'ud. Bandingkan dengan Al- Syaukani yang juga mencantumkan pendapat al-Sya'bi dan Mujahid yang mengatakan bahwa yang

dinamakan orang yang 'alim (berilmu) hanyalah orang yang takut pada Allah SWT dan pendapat la- Rabi' bin Anas yang mengatakan bahwa orang yang tidak takut pada Allah SWT bukanlah dinamakan seorang 'alim (berilmu). Lihat Al-Syaukani, Fath al-Qadîr, juz.4, h.348.

Katakanlah, "Berimanlah kamu kepadanya atau tidak usah beriman (sama saja bagi Allah)." Sesungguhnya orang-orang yang diberi pengetahuan sebelumnya apabila dibacakan al-Qur`an kepada mereka, mereka menyungkur atas muka mereka sambil bersujud. Dan mereka berkata, " Maha Suci Tuhan kami, sesungguhnya janji Tuhan kami pasti dipenuhi." Dan mereka menyungkur atas muka mereka sambil menangis dan mereka bertambah khusyu' .

Dari sini dapat dimengerti maksud hadits Rasulullah bahwa beliaulah orang yang paling merasa takut kepada Allah, karena beliaulah orang yang paling banyak pengetahuannya tentang Allah.

Sesungguhnya aku adalah orang yang paling tahu tentang Allah, dan orang yang paling takut kepada-Nya.

Berkaitan dengan pengetahuan yang dapat melandasi rasa takut terhadap Allah ini, maka merupakan keharusan bagi setiap mukmin untuk senantiasa berusaha mencari pengetahuan yang membuatnya semakin mengenal Allah. Hal ini juga berarti bahwa seseorang jika semakin bertambah pengetahuannya, maka seharusnya bertambah pula rasa takutnya kepada Allah. Ilmu yang dimaksud, tidak mengenal dikotomi antara ilmu agama atau ilmu umum (kauniyah). Lazimnya orang Indonesia menganggap "ulama" hanya orang yang berpengetahuan di bidang agama Islam saja, sementara ilmuwan di bidang ilmu kauniyah tak lazim dinamakan ulama, tapi disebut ilmuwan saja. Hal ini telah menjadi anggapan umum di masyarakat, bahkan juga dalam bahasa baku Indonesia. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia disebutkan

bahwa ulama adalah orang yang ahli dalam hal atau pengetahuan agama Islam. 80 Sementara Ibn Manzhur mencatat beberapa pendapat terkait arti ulama ini. Riwayat

dari Ibn Mas'ud mengatakan bahwa tidaklah seseorang disebut berilmu karena ia banyak berbicara, namun ilmu adalah karena adanya al-khasyyah; Ibn Jinni mengatakan bahwa 'alim adalah orang yang mempunyai ilmu yang didapatnya setelah menggelutinya dalam jangka waktu yang lama, sehingga pengetahuan itu melekat dalam dirinya dan menjadi insting, karena jika ia belum bergumul dengan ilmu dengan lama, maka ia belumlah menjadi 'alim, namun masih muta'allim (pelajar).

Sedangkan pendapat lain mengatakan bahwa 'alim adalah orang yang mengamalkan apa yang ia ketahui. 81

Meskipun demikian, namun bukanlah suatu keniscayaan bahwa orang yang mempunyai banyak pengetahuan agama Islam, maka ia akan semakin takut pada Allah SWT, jika ilmu yang dimilikinya hanya berada dalam tataran teori hampa amal. Demikian juga bahwa orang yang berpengetahuan tentang ilmu kauniyah, bukan berarti ia tak merasa takut pada Allah SWT. Hal ini terlihat pula dalam isyarat Allah SWT dalam rangkaian ayat ke 28 dan ayat yang mendahuluinya dalam surat Fathir tersebut. Secara lengkap redaksi ayat-ayat tersebut adalah sebagai berikut :

27.Tidakkah kamu melihat bahwasanya Allah menurunkan hujan dari langit lalu kami hasilkan dengan hujan itu buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. dan di antara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya dan ada (pula) yang hitam pekat.

80 Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia , (Jakarta : Balai Pustaka), 1988, h. 985.

28.Dan demikian (pula) di antara manusia, binatang-binatang melata dan binatang-binatang ternak ada yang bermacam-macam warnanya (dan jenisnya). Sesungguhnya yang takut kepada Allah di antara hamba-hamba-Nya, hanyalah ulama. Sesungguhnya Allah Maha Perkasa lagi Maha Pengampun .

Ayat ke-27 dan awal ayat ke-28 surat Fathir tersebut di atas menjelaskan tentang berbagai fenomena alam, seperti turunnya hujan, tumbuh-tumbuhan, gunung, dan binatang-binatang, yang lazim dikategorikan dalam ranah ilmu kauniyah, semacam fisika, biologi dan geografi. Namun dalam kelanjutan ayatnya, Allah SWT kemudian menyebutkan tentang rasa takut yang hanya dimiliki oleh orang yang

berilmu (ulama). Sehingga tidaklah heran jika dikatakan bahwa dengan mempelajari dan mengetahui ilmu tentang berbagai fenomena alam, seorang hamba akan menyadari kemahabesaran dan kemahakuasaan Sang Pencipta, yaitu Allah SWT. Dengan menyadari hal itu, maka timbullah rasa takut dan hormatnya pada Allah SWT.

Selanjutnya Al-Alûsî dalam tafsirnya menyinggung pula tentang perbedaan bacaan (qirâ'at) pada ayat tersebut. Ayat yang dibaca sebagaimana yang dijelaskan di atas (lafadz Allâh dibaca nashab sebagai maf''ûl / obyek dan lafadz al-'ulamâ' dibaca rafa' sebagai fâ'il / subyek) adalah bacaan / qirâ'at dengan riwayat yang mutawâtir. Selain bacaan tersebut, ada juga beberapa ulama (yaitu Abu Hanîfah, 'Umar bin Abdul Azîz dan Ibn Sîrîn) yang membacanya berbeda, yaitu dengan menashabkan lafadz al-'ulamâ' sebagai maf''ûl / obyek dan merafa'kan lafadz Allâh sebagai fâ'il /

subyek. Hal ini mengandung arti isti'ârah 82 dengan faidah li al-ta'zhîm, yaitu "Allah menghormati para ulama di antara hamba-hamba-Nya yang lain". Meskipun bacaan

82 Dalam ilmu balaghah, isti'ârah termasuk majâz lughawî (adanya lafadz yang digunakan pada selain makna seharusnya karena ada 'alâqah yang menghalanginya dari pemakaian makna asli).

Isti'ârah sendiri adalah tasybîh (penyerupaan) yang dibuang salah satu bagian antara musyabbah (hal yang diserupakan) dan musyabbah bih (hal yang digunakan untuk menyerupakan)nya, sehingga 'alâqah (hubungan) yang ada pada isti'ârah selamanya adalah karena ada keserupaan (musyâbahah).

ini termasuk qirâ'at yang syâdz, namun al-Alûsî menganggapnya sangat bermanfaat. 83

Al-Alûsî menyebutkan bahwa 'Abdullah bin 'Umar memaknai al-khasyyah dengan al-ikhtiyar (memilih). Sehingga ayat tersebut bermakna "Innamâ yakhtâru Allâh min baini 'ibâdihi al-'ulamâ' " (Di antara hamba-hamba-Nya, Allah hanya

memilih para ulama'). 84 Dalam Tafsir Abi al-Sa'ud disebutkan bahwa ayat ini melengkapi penjelasan tentang ayat yang menerangkan tentang adanya khasyyah

yang dikaitkan dengan al-ghaib (yakhsyauna rabbahum bi al-ghaib), bahwa orang yang dapat merasa takut pada Allah yang ghaib ini hanyalah orang-orang yang

mempunyai pengetahuan tentang-Nya, sifat dan perbuatan-Nya. 85 Adapun hal-hal yang bisa menimbulkan rasa takut kepada Allah SWT, al-

Ramlî, dalam bukunya al-khauf min Allah, menyebutkan 11 faktor, yaitu:

1. mentadabburi (merenungi) ayat-ayat suci al-Qur`an, karena di dalamnya ditemui keterangan tentang sifat-sifat keagungan Allah, marah dan murka-Nya, siksa- Nya di dunia pada kaum terdahulu yang ingkar kepada-Nya, serta apa yang telah Ia persiapkan di alam akhirat bagi hamba-hamba-Nya yang bermaksiat dan mengingkari-Nya. Setelah mentadabburi (merenungi) ayat-ayat suci al-Qur`an, maka selanjutnya adalah merenungi hadits-hadits Rasulullah dan mempelajari sunnah- sunnah beliau yang terdapat dalam sîrah, karena beliaulah orang yang paling

sempurna rasa takutnya kepada Allah SWT. 86

2. tafakkur (memikirkan) tentang keagungan Allah SWT. Allah SWT adalah Sang Maha Besar, tempat bersandar (al-Shamad), Maha Kuasa atas segala sesuatu,

83 al-Alûsî, Rûh al-Ma'ânî, jilid 7, h. 344. Bandingkan juga dengan Al-Syaukani, Fath al- Qadîr , juz.4, h.348 dan Abî al-Sa'ûd bin Muhammad al-'Imadi al-Hanafi, Tafsîr Abî al-Sa'ûd au

Irsyâd al-'Aql al-Salîm ila Mazâyâ al-Kitâb al-Karîm , (Beirut : Dar Ihya' al-Turats al-'Arabi, tth.), juz. 5, h.395.

84 al-Alûsî, Rûh al-Ma'ânî, jilid 7, h. 344.

85 Abî al-Sa'ûd, Tafsîr Abî al-Sa'ûd, j. 5, h.395.

pemberi siksa pedih kepada siapapun yang mendurhakai-Nya, pemilik seluruh alam semesta, penguasa 'arasy dan seluruh kehidupan, dan lain-lainnya. Dengan menyadari hal ini, niscaya akan timbul rasa takut kepada Allah SWT dalam hati seorang

mukmin. 87

3. tafakkur (memikirkan) tentang kematian yang pasti kedatangannya dan tak ada seorangpun yang dapat mengelaknya. Setiap orang akan menemui ajalnya, kapanpun dan di manapun tanpa memandang apakah orang tersebut masih muda atau sudah tua; sehat atau sakit; kaya atau miskin; siang atau malam; penguasa atau rakyat

jelata; ilmuwan atau orang tak berilmu. Kematian itu akan datang dengan disertai dahsyatnya peristiwa sakaratul maut. 88

4. tafakkur (memikirkan) tentang adanya alam kubur yang di dalamnya terdapat siksa yang pedih bagi orang-orang yang bergelimang maksiat dan lalai

mengingat-Nya ketika hidupnya di dunia. 89

5. tafakkur (memikirkan) tentang hari kiamat dan kejadiannya yang maha dahsyat sebagaimana yang sudah diterangkan dalam ayat-ayat al-Qur`an, seperti keadaan manusia yang diibaratkan anai-anai yang beterbangan dan gunung-gunung

seperti kapas yang dihambur-hamburkan (QS. Al-Qari'ah : 4-5). 90

6. tafakkur (memikirkan) tentang neraka yang siksanya yang amat pedih, dan bahan bakarnya adalah batu dan manusia. 91

7. tafakkur (memikirkan) tentang dosa-dosa yang dilakukannya (muhasabah). Setiap perbuatan yang dilakukan manusia pasti akan menerima balasan, baik atau

buruk. 92

87 Al-Ramlî, al-Khauf min Allah, h. 130.

88 Al-Ramlî, al-Khauf min Allah, h. 138.

89 Al-Ramlî, al-Khauf min Allah, h. 143.

90 Al-Ramlî, al-Khauf min Allah, h. 146.

91 Al-Ramlî, al-Khauf min Allah, h. 151.

8. Kesadaran bahwa bisa jadi seseorang terhalang atau tidak dapat melakukan taubat dikarenakan meninggal dunia atau cobaan lainnya (seperti lalai yang tiada

henti). 93

9. tafakkur (memikirkan) tentang sû'ul khatimah (akhir kehidupan yang buruk). Siapapun orangnya tidak ada yang mengetahui apakah akhir kehidupannya

baik sebagaimana yang diinginkan ataukah sebaliknya. 94

10. bergaul dengan orang-orang shalih dan menghadiri majlis ilmu yang dapat mengingatkan kepada keagungan Allah SWT. 95

11. mendengarkan nasihat dan belajar dari beragam peristiwa kehidupan yang

dapat mengingatkan kepada keagungan Allah SWT.