Kehidupan Sosial

B. Kehidupan Sosial

Selain berpengaruh dalam kehidupan individu, khasyyatullah juga depet memberikan pengaruh pada kehidupan social kemasyarakatan. Karena hakikatnya masyarakat adalah susunan dari aindizidu, maka jika individunya mempunyai khasyyatullah, maka masyarakat akan ikut merasakan imbasnya. Di antara kondisi yang merupakan hasil pengaruh drai khasyyattullah adalah :

B.1 Timbulnya rasa aman dalam masyarakat Islam adalah agama yang membawa keselamatan dan kesejahteraan. Dari akar katanya ﻢﻠﺳ , timbul pula kata مﻼﺴﻟا (selamat,sejahtera) dan ﻢﻠﺴﻟا (perdamaian). Dari sini dapat dipahami bahwa Islam mengajak dan mengajarkan perdamaian pada

umatnya dan juga semesta alam untuk menuju pada keselamatan dan kesejahteraan. 74 Semangat (rûh) ajaran Islam juga mengandung rahmat (kasih sayang) bagi seluruh

alam. 75 Dari semangat inilah kemudian timbul kesimpulan bahwa syariat Islam bertujuan untuk membawa mashlahat (kebaikan) manusia di dunia dan akhirat. 76

Sejalan dengan rûh risalah Islam ini, maka khasyyatullâh mempunyai andil dalam menjaga tingkat keselamatan dan keamanan dalam masyarakat. Sebagaimana telah diulas pada pembahasan sebelumnya bahwa khasyyatullâh mempunyai implikasi dalam kehidupan individu untuk menahan hawa nafsu dan menghambat perbuatan maksiat. Allah SWT berfirman dalam QS. al-Nazi'at, ayat 40 – 41 :

74 Musthafa Masyhur, Min Fiqh al-Da'wah, (Kairo : dar al-tauzi' wa al-nasyr al-Islamiyah, 1995), j.2, h.723.

75 QS. al-Anbiya : 107.

76 Abdul Karim Zaidan, Ushûl al-Da'wah, (Beirut : Mu'assasah al-Risalah, 1987), cet .II, h.301. Di dalam bukunya, Abdul Karim Zaidan juga mengkaji dan mencantumkan pendapat beberapa

ulama seperti Ibn Taimiyah, Ibnu Qayyim al-Jauziyah dan al-Syathibi yang intinya mengatakan bahwa syari'at Islam baik yang berupa dar'u al-mafâsid (menolak kerusakan) maupun jalb al-mashâlih

40. Dan adapun orang-orang yang takut kepada kebesaran Tuhannya dan menahan diri dari keinginan hawa nafsunya,

41. Maka Sesungguhnya syurgalah tempat tinggal(nya). Jika masyarakat tersusun dari individu-individu yang mempunyai khasyyatullâh , maka akan banyak perbuatan menyimpang yang mungkin dilakukan masyarakat dapat tereliminir, karena al-hawa adalah pangkal dari perbuatan- perbuatan yang menurutkan syahwat, sementara syahwat setingkali berkonotasi negatif. Masyarakat tersebut akan terhindar dari kekacauan dan perbuatan-perbuatan kriminal yang menentang hukum, karena warganya dapat mengekang diri mereka

masing-masing. Jika ternyata terlanjur terjadi suatu kesalahan, maka masalahnya akan segera reda karena pelakunya cepat menyadarinya dan bertaubat dari kekhilafannya. Demikian juga jika pemimpin dalam masyarakat mempunyai khasyyatullâh, maka ia dapat menjadi teladan yang baik bagi warganya mampu menjadi hafîzh yang menjaga hukum-hukum Allah SWT.

B.2 . Terciptanya Keadilan Sosial Setidaknya ada empat pilar penegak masyarakat dalam sendi-sendi Islam,

yaitu : ukhuwah (persaudaraan); al-musâwah (persamaan); hurriyah (kebebasan) dan al-takâful 77 (kepedulian). Pada pilar al-musâwah (persamaan), Islam memandang

dalam derajat yang sama antara orang tua maupun muda, laki-laki maupun perempuan, kaya atau miskin. Tidak ada satu orang yang lebih mulia dibanding yang

lain, kecuali ia dimuliakan oleh ketakwaannya. 78 Al-Qur'an menceritakan bahwa suatu kali Rasulullah SAW pernah ditegur

Allah SWT saat beliau tidak menanggapi seorang sahabat buta yang mendatangi beliau, dengan tanggapan yang sama yang beliau berikan kepada pembesar-pembesar Quraisy. Kisah ini terekam dalam QS. Abasa : 1-10 sebagai berikut :

77 Musthafa Masyhur, Min Fiqh al-Da'wah, j.2, h.865.

1. Dia (Muhammad) bermuka masam dan berpaling,

2. Karena Telah datang seorang buta kepadanya

3. Tahukah kamu barangkali ia ingin membersihkan dirinya (dari dosa),

4. Atau dia (ingin) mendapatkan pengajaran, lalu pengajaran itu memberi manfaat kepadanya?

5. Adapun orang yang merasa dirinya serba cukup,

6. Maka kamu melayaninya.

7. Padahal tidak ada (celaan) atasmu kalau dia tidak membersihkan diri (beriman).

8. Dan adapun orang yang datang kepadamu dengan bersegera (untuk mendapatkan pengajaran),

9. Sedang ia takut kepada (Allah)10. Maka kamu mengabaikannya.

Ibn Katsir mengisahkan tentang hal ini bahwa suatu hari Rasulullah SAW sedang berbicara dengan beberapa pembesar kaum kafir Quraisy 79 dengan harapan

mereka dapat menerima ajaran Islam. Dengan pengandaian bahwa jika mereka dapat menerima ajaran Islam dan memeluk agama Islam, maka akan banyak orang-orang kafir Quraisy yang mengikuti jejak mereka. Atas pertimbangan inilah maka Rasulullah SAW sangat serius menyampaikan ceramahnya. Di tengah keseriusan ini,

datanglah Ibn Ummi Maktum, seorang sahabat buta 80 yang meminta agar Rasulullah mengajarkan beberapa ajaran Islam kepadanya. Karena tengah serius berbicara,

Rasulullah SAW tidak langsung menanggapi permintaan Ibn Ummi Maktum, dan beliau tampak masam karena merasa terganggu. Atas hal inilah kemudian Allah SWT

79 Beberapa riwayat menyebutkan nama-nama mereka adalah Utbah bin Rabi'ah, Abu Jahal bin Hisyam dan Abbas bin Abdul Muthalib. Lihat banyak riwayat yang terdapat dalam al-Suyuthi, al-

Durr al-Mantsûr j.10, h.197

80 Banyak riwayat menyebutkan namanya Abdullah. Al-Alusi menyebutkan bahwa Ibn Ummi Maktum ini adalah anak pamannya Khodijah, istri Rasulullah SAW. Lihat al-Alusi, Rûh al-

Ma'âni j.22, h.167. Sementara al-Biqa'i menyebutkan bahwa Ummi Maktum ini adalah seorang mu'adzin yang dipercaya oleh Rasulullah SAW, selain juga Bilal bin Rabah. Lihat al-Biqa'i, Nazhm al-

menurunkan wahyu berupa awal surat 'Abasa yang menegur sikap Rasulullah SAW. Setelah turunnya ayat-ayat ini, Rasulullah SAW kemudian menanggapi dan

menghormati Ibn Ummi Maktum. 81 Teguran yang Allah SWT berikan kepada Rasulullah SAW ini dimaksudkan

agar Rasulullah SAW tidak mengkhususkan untuk memberikan peringatan (indzâr) kepada orang-orang tertentu saja. Peringatan dalam hal ajaran Islam yang berasal dari Allah SWT itu berhak diterima oleh semua orang, baik dia adalah orang kaya maupun miskin, laki-laki maupun perempuan. Setelah peringatan disampaikan, maka menjadi

hak Allah SWT untuk memberi petunjuk (hidâyah) kepada orang-orang yang Ia kehendaki menuju jalan yang lurus. 82

Pada awal Surat 'Abasa tersebut, al-Qur'an mengungkapkan sifat dari Ibn Ummi Maktum (orang yang bersegera mendatangi nabi / man jâ'aka yas'â) dengan kata ﻰﺸﺨﯾ ﻮﻫ و (dan dia takut kepada Allah SWT). Dari sinilah dipahami bahwa orang yang mempunyai khasyyatullâh mendapat tempat tersendiri di sisi Allah SWT, meski secara lahiriah ia buta dan miskin. Allah SWT mempunyai perhatian khusus kepadanya. Al-Biqa'i menuliskan bahwa adanya khasyyatullâh pada diri seseorang dapat membuatnya mulia dan mempunyai derajat yang tinggi meskipun ia hina secara lahiriah. Hal ini berbanding terbalik dengan orang-orang yang memiliki kemuliaan di

dunia namun ia bernilai hina karena tidak memiliki khasyyatullâh. 83 Al-Biqa'i juga menuturkan bahwa awal surat 'Abasa ini memaparkan sebuah

contoh yang mengandung penjelasan tentang keadaan orang-orang yang mempunyai khasyyatullâh dan dapat menerima peringatan. Meskipun di dunia mereka tampak

81 Lihat Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm j.8, h.319; al-Alusi, Rûh al-Ma'âni j.22, h.167 ; al-Biqa'i, Nazhm al-Durar fi Tanâsub al- Â yât wa al-Suwar j.9, h.332; abi al-Saud, Tafsîr Abî al-Sa'ûd

j.6, h.459 dan al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr j.10, h.197. Sejak peristiwa itu, setiap kali bertemu dengan Ibn Ummi Maktum, Rasulullah SAW menyapanya dengan ucapan "selamat datang wahai orang yang membuatku ditegur oleh Tuhanku"

82 Ibn. Katsir, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm j.8, h.319.

tidak memiliki kemuliaan, namun sejatinya Allah SWT sangat memperhatikan mereka. Mereka terhitung sebagai hamba-hamba-Nya yang terpilih dan mempunyai

kedudukan yang tinggi, sehingga Rasululah SAW menjawab permintaan mereka. 84 Dari kisah ini juga dapat diambil pelajaran tentang adanya persamaan derajat

manusia dalam perspektif keadilan sosial. Semua manusia mempunyai kedudukan yang sama di masyarakat, tanpa harus mempersoalkan status lahiriahnya. Orang kaya tidaklah lebih mulia dibandingkan orang miskin; pejabat tidaklah lebih terhormat dibanding rakyat biasa; orang yang fisiknya sempurna tidaklah lebih baik

dibandingkan orang yang cacat fisik, dan seterusnya. Bahkan seorang yang status lahiriahnya rendah dapat menjadi mulia jika ia mempunyai khasyyatullâh. Dengan demikian, penilaian seseorang terhadap orang lain tidak tergantung pada penampilan fisik semata.

B.3 Terciptanya Kondisi Masjid Yang Makmur Semasa hidupnya, Rasulullah SAW memberi perhatian yang besar pada

masjid dan usaha memakmurkannya. Hal ini terlihat seperti saat singgah di Quba, sebuah wilayah yang beliau lewati dalam perjalanan hijrahnya ke Madinah, beliau mendirikan masjid dan shalat di dalamnya. Masjid ini merupakan masjid pertama yang didirikan atas dasar takwa setelah kenabian. Begitu pula saat tiba di Madinah, beliau membangun masjid dan menfungsikannya tidak hanya sebagai tempat shalat semata. Masjid itu juga digunakan orang-orang muslim untuk menerima pengajaran Islam dan bimbingan-bimbingan dari beliau, sebagai balai pertemuan dan tempat untuk mempersatukan berbagai unsur kekabilahan dan sisa-sisa pengaruh perselisihan semasa jahiliyah, sebagai tempat untuk mengatur segala urusan dan sekaligus sebagai

gedung parlemen untuk bermusyawarah dan menjalankan roda pemerintahan. 85

84 Al-Biqa'i , Nazhm al-Durar fi Tanâsub al- Â yât wa al-Suwar, .j.9, h.334.

Hal yang dicontohkan Rasulullah ini ternyata tidak banyak ditiru oleh umat Islam. Pada masa sekarang, masjid seringkali hanya dijadikan sebagai tempat sholat, tidak lebih dari itu. Bahkan sholat berjamaah di masjidpun, tidak banyak umat Islam yang menjalankannya. Sepinya masjid dari jama'ah dan minimnya kegiatan yang dilakukan di masjid, menjadi indikasi makin berkurangnya rasa khasyyatullâh dalam diri umat Islam. Kesimpulan ini didapat karena al-Qur'an mensinyalir bahwa orang- orang yang memakmurkan masjid hanyalah orang-orang yang beriman kepada Allah

SWT dan hari akhir serta tetap melaksanakan sholat, menunaikan zakat dan tidak mempunyai rasa khasyyah kecuali kepada Allah SWT saja. Hal ini terdapat dalam

QS. al-Taubah:18 :

Hanya yang memakmurkan masjid-masjid Allah ialah orang-orang yang beriman kepada Allah dan hari Kemudian, serta tetap mendirikan shalat, emnunaikan zakat dan tidak takut (kepada siapapun) selain kepada Allah, Maka merekalah orang- orang yang diharapkan termasuk golongan orang-orang yang mendapat petunjuk .

Ayat diatas diawali dengan "innamâ" yang merupakan adât al-hashr, digunakan untuk arti meringkas, sehingga dalam bahasa Indonesia diterjemahkan menjadi "hanya". Ibnu Katsir menjelaskan bahwa dalam ayat ini Allah SWT bersaksi atas keimanan seseorang yang memakmurkan masjid. Keterangan itu berdasar dari hadits nabi yang memerintahkan memberikan kesaksian atas keimanan seseorang

yang membiasakan diri ke masjid. 86 Al-Biqa'i menambahkan bahwa keimanan ini tampak dalam ucapan dan perbuatan yang melakukan kegiatan untuk memakmurkan

masjid, di mana hal itu timbul dari adanya rasa khasyyatullâh. 87 . Jaminan Allah SWT dan Rasul-Nya atas keimanan orang yang hatinya

senantiasa terpaut pada masjid sehingga membiasakan diri untuk ke masjid ini membuahkan jaminan bahwa pada hari kiamat orang tersebut akan menjadi salah satu

dari tujuh golongan yang mendapatkan naungan dari Allah SWT. 88

Perbuatan membiasakan diri di masjid ini bukan sekedar menghadirkan fisik semata tanpa suatu tujuan, melainkan untuk suatu niat memakmurkan masjid. Makna "al-'imârah" (memakmurkan masjid) oleh al-Alusi ditujukan pada setiap kegiatan yang membawa kebaikan pada masjid atau aktifitas menjaga kebersihan masjid.

86 Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm,j.4.h.119. Hadits yang dimaksud Ibn Katsir tersebut diriwayatkan oleh al-Tirmidzi nomor 3018 kitab tafsîr al-Qur'an 'an Rasûlillah bâb wa min sûrah al-

taubah yang bunyinya sebagai berikut :

87 Al-Biqa'i , Nazhm al-Durar fi Tanâsub al- Â yât wa al-Suwar , j.3, h.421.

88 HR. Bukhari nomor 620 kitâb al-adzân bâb man jalasa fi al-masjid yantadzir al-sholât wa fadhl al-masâjid.

Sementara al-Biqa'i mengartikan makna al-'imârah dengan dua kategori, al-hissiyah dan al-maknawiyah. 'Imârah hissiyah mencakup aktifitas yang berhubungan dengan menjaga fisik bangunan masjid, seperti membersihkan, memberi penerangan, menghiasi dengan alas untuk sholat, dan lainnya. Sedangkan 'imârah maknawiyah mencakup aktifitas kebaikan yang bernilai tambah tatkala dilakukan di masjid, seperti

berdzikir, membaca, mempelajari ilmu, beribadah dan banyak hal lainnya. 89 Hal inilah yang patut menjadi perhatian umat Islam pada masa sekarang,

khususnya di daerah yang mayoritas penduduknya beragama Islam, seperti Indonesia, bahwa masjid bukan hanya untuk dibangun kemudian tidak diperhatikan

keberadaannya. Masjid juga perlu dipikirkan tentang bagaimana aktifitas untuk memakmurkannya. Sayangnya, masih banyak di antara umat Islam yang lebih

memilih untuk memperbanyak bangunan fisik masjid karena tergiur pahala surga. 90 Sementara di lain sisi, tidak banyak orang yang berfikir dan berbuat untuk

kemakmuran masjid. Minimnya kesadaran umat Islam untuk memakmurkan masjid ini, salah satu penyebabnya adalah minimnya khasyyatullâh pada diri mereka.

B.4. Timbulnya keberanian Umat Islam untuk menjalankan perintah Allah SWT. Abdul Karim Zaidan dalam Ushûl al-Dakwah menuliskan tentang tiga hal

yang menjadi buah keimanan yang mendalam, yaitu kecintaan kepada Allah SWT, rasa takut pada-Nya dan adanya harapan pada-Nya. Rasa takut kepada Allah SWT,

89 Al-Biqa'i , Nazhm al-Durar fi Tanâsub al- Â yât wa al-Suwar j.3, h.431.

90 Keyakinan ini seringkali didasarkan pada hadits nabi :

HR.Bukhari nomor 431 kitâb shalât bâb man banâ masjidan. Hadis dengan makna senada namun

menurutnya, merupakan puncak kebijakan seorang hamba. Ia memberikan alasan bahwa pada dasarnya orang yang merasa takut terhadap sesuatu maka ia akan menjauhinya dan menjauhi hal-hal yang dekat dengannya karena mengkhawatirkan terjadi suatu hal yang tidak diinginkan pada masa mendatang. Ibarat orang yang takut dengan binatang buas, maka ia akan menjauhi binatang tersebut, bahkan menjauhi kandangnya atau tempat makanannya. Demikian pula dengan orang yang takut pada panasnya neraka, maka ia akan menjauhi segala dosa dan maksiat yang hanya akan

91 membahayakan dirinya di akhirat dan menyeretnya ke neraka. Rasa takut kepada Allah SWT dalam diri seorang hamba ini dapat

membuatnya menjadi pemberani yang tidak takut kepada manusia. Ketika seseorang takut pada Tuhannya, maka ia akan mematuhi perintah-perintah-Nya dan tidak mau melanggar aturan-aturan-Nya meski ia di cemooh atau bahkan disakiti oleh orang lain. Sikap orang-orang yang menentangnya tidak dipedulikannya karena ia lebih merasa takut kepada Allah SWT. Demikian ini dilakukan karena Allah SWT memerintahkan padanya untuk takut kepada-Nya dan tidak takut pada selain-Nya

(terutama orang-orang yang mengingkari-Nya). 92 Contoh keberanian umat Islam dalam menjalankan perintah-Nya meski mendapat cemoohan dari orang lain ini

seperti hal yang pernah terjadi pada masa Rasulullah SAW yang tertulis dalam QS. al-Baqarah : 150 :

91 Abdul Karim Zaidan, Ushûl al-Da'wah, h.340-341.

Dan dari mana saja kamu (keluar), Maka palingkanlah wajahmu ke arah Masjidil Haram. dan dimana saja kamu (sekalian) berada, Maka palingkanlah wajahmu ke arahnya, agar tidak ada hujjah bagi manusia atas kamu, kecuali orang-orang yang zalim diantara mereka. Maka janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku (saja). dan agar Ku-sempurnakan nikmat-Ku atasmu, dan supaya kamu mendapat petunjuk.

Ayat di atas berkaitan dengan peristiwa pemindahan arah kiblat kaum muslimin dari Bait al-maqdis di Palestina ke Ka'bah di Mekkah. Banyak riwayat yang mengungkapkan tentang cemoohan orang-orang yang tidak suka dengan Islam terkait

dengan peristiwa ini. Al-Suyuthi dalam al-Durr al-Mantsûr menuliskan riwayat dari Ibn Mas'ud yang menceritakan adanya kaum musyrik Mekkah yang mencela nabi Muhammad SAW tatkala beliau berpindah arah kiblat dari arah Bait al-Maqdis ke Ka'bah. Orang-orang musyrik itu saling berkata : "Muhammad sudah bingung dengan agamanya sendiri, sehingga ia sekarang menghadapkan kiblatya ke arah kalian karena ia tahu bahwa kalian lebih benar daripada dia. Barangkali ia juga akan masuk dalam

agama kalian. 93 Berkenaan dengan peristiwa itu, Ibn Katsir menuliskan bahwa ahli Kitab

sebenarnya mengetahui karakter umat Islam yang menghadapkan kiblatnya ke ka'bah. Sementara orang-orang musyrik kaum Quraisy mencemooh dengan berkata : "Lelaki ini (Muhammad) mengira bahwa ia berada pada agamanya Ibrahim. Jika memang demikian dan ia pernah menghadapkan kiblatnya ke arah Bait al-Maqdis atas nama millah Ibrahim, lalu mengapa sekarang ia meninggalkannya?" Jawaban atas perkataan ini dituliskan oleh Ibn Katsir bahwa Allah SWT telah memilih arah kiblat ke Bait al- Maqdis pertama kali karena Ia mengetahui hikmahnya, dan Nabi Muhammad menjalankan kepatuhan pada Tuhannya. Hingga kemudian kiblat dialihkan menjadi arah ka'bah, Nabi Muhammad juga mematuhinya karena tidak ingin keluar dari

93 Al-Suyuthi, al-Durr al-Mantsûr, j.1, h.294. Senada dengan hal ini adalah riwayat dari Qatadah yang ditulis oleh Ibn Katsir tentang ahli kitab yang mencemooh nabi Muhammad berpindah

kiblat. Mereka mengatakan bahwa lelaki itu (Muhammad) sudah rindu dengan rumah orang tuanya dan agama kaumnya di Mekkah sehingga ia membelokkan arah kiblatnya. Lihat Ibn Katsir, j.1, h.464 dan

aturan Allah SWT sekejappun. Dan umat Islam sebagai umat Nabi Muhammad haruslah pula mengikutinya. 94

Kepatuhan mutlak nabi Muhammad SAW dan umatnya ini juga berdasarkan perintah Allah SWT yang terdapat pada kelanjutan ayatnya untuk takut kepada-Nya dan tidak takut pada mereka (orang-orang yang mencemoohnya). Dengan demikian, maka Allah SWT akan menyempurnakan nikmat-Nya dan menjadikan Nabi Muhammad SAW bersama umatnya sebagai kaum yang mendapat petunjuk. Dari sinilah Ibn Katsir mengatakan bahwa umat Islam adalah umat yang paling mulia dan

utama. 95

Dengan jaminan kesempurnaan nikmat dan petunjuk dari Allah SWT dan dijadikannya sebagai umat yang termulia ini, maka umat Islam merasa terhormat dengan ajaran agamanya sehingga mau menjalankannya dengan rasa berani dan percaya diri meskipun ada pihak-pihak yang tidak setuju dan terus-menerus mencemoohnya.

Spririt untuk berani dan percaya diri dalam menjalankan aktifitas-aktifitas ajaran agama ini mampu melahirkan 'izzah (kemuliaan, keperkasaan) pada diri umat

Islam. 96 Jika penganut agama Islam sendiri melaksanakan perintah agamanya dengan kepercayaan penuh, niscaya orang-orang yang pernah mencemooh akan berhenti

dengan sendirinya bahkan bukan tidak mungkin akan mengikuti memeluk Islam. Sayangnya, realitas umat Islam kini dan di sini tidak banyak yang menunjukkan hal itu. Tidak jarang umat Islam justru merasa risih jika harus menjalankan aturan agamanya di tengah-tengah komunitas yang heterogen. Sikap mujâmalah (basa-basi) sering diutamakan sehingga tidak ada kebanggaan dan kemuliaan (izzah) menjadi pemeluk Islam. Padahal Allah SWT sudah menekankan untuk tidak takut pada selain

94 Ibn Katsir, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, j.1. h. 464.

95 Ibn Katsir , Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, j.1. h. 464

Dia, sehingga seharusnya umat Islam dapat dengan percaya diri menjalankan perintah-perintah-Nya dan sikapnya seolah berseru : "Isyhadû bi annâ muslimûn".

B.5. Terjalinnya kasih sayang dengan anak dan keturunan. Allah SWT berfirman dalam Q.S. al-Nisa ayat 9 :

Dan hendaklah takut (kepada Allah) orang-orang yang seandainya meninggalkan di belakang mereka anak-anak yang lemah, yang mereka khawatir terhadap (kesejahteraan) mereka. Oleh sebab itu hendaklah mereka bertakwa kepada Allah dan hendaklah mereka mengucapkan perkataan yang benar.

Ayat di atas mengandung perintah bagi orang yang ingin berwasiat agar ia bertakwa pada Allah SWT dan memperhatikan urusan anak yatim, dan juga perintah bagi orang yang hadir tatkala ada orang yang sakit saat berwasiat. Allah SWT memerintahkan orang yang mendengar wasiat tersebut untuk mengingatkan orang yang berwasiat agar bertakwa pada Allah SWT memperhatikan kesejahteraan ahli warisnya sepeninggalnya kelak.

Dikisahkan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW mendatangi Sa’ad bin Abi Waqqash sesaat sebelum Sa’ad meninggal dunia. Saat itu Sa’ad berkata kepada Nabi : “Wahai Rasulullah, aku orang yang punya harta, dan tidak ada yang mewarisinya kecuali satu orang putriku. Apakah aku harus mensedekahkan 2/3 darinya?” Rasululah menjawab : ”Tidak”. Sa’ad berkata lagi : “Kalau begitu, setengahnya?” Rasulullah menjawab : “Tidak”. Sa’ad berkata lagi : “Kalau begitu, 1/3nya?” Rasulullah menjawab : “Sepertiga, dan sepertiga itu banyak”. Setelah itu Rasulullah bersabda : “Meninggalkan ahli warismu dalam keadaan kaya itu lebih baik daripada

engkau meninggalkannya dalam keadaan kekurangan yang hanya akan menjadi beban orang lain”. 97

Al-Biqa'i dalam Nazhm al-Durar menjelaskan tentang adanya kaitan ayat ini dengan ayat-ayat sebelumnya yang membicarakan masalah anak yatim. Ayat ini

merupakan pesan dan wasiat yang dikuatkan dengan perintah nada halus 98 , dan dengan menggambarkan keadaan keturunan yang ditinggalkan, yaitu anak-anak yang

masih kecil dan lemah. 99 Dengan penggambaran demikian, maka diharapkan orang sakit yang berwasiat maupun orang yang menyaksikannya akan merasa terpanggil

dengan perintah Allah SWT dalam ayat ini untuk takut kepada Allah SWT, dan khawatir terhadap kondisi anak keturunannya, sehingga ia tidak berlebihan dalam berwasiat melebihi sepertiga.

Kata "lau" yang terdapat dalam ayat tersebut, menurut Abi al-Sa'ud berfungsi sebagai pengandaian untuk membangkitkan rasa saling menyayangi, sehingga seseorang akan mengasihi anak muslim lainnya seperti ia mengasihi anaknya sendiri. Hal ini terutama terkait dengan anak yatim, bahwa ketika tidak ada lagi orang tuanya yang mengasihi, maka orang Muslim lainnya harus mempunyai kepedulian untuk mengasihi mereka layaknya anak sendiri. Abi al-Sa'ud juga menjelaskan bahwa perintah tersebut bermakna perintah yang ditujukan kepada tiga orang; orang yang sakit; orang yang hadir saat pengucapan wasiat orang sakit dan orang yang hadir saat

97 Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, jilid I, h. 457. Bandingkan dengan al-Baidhâwi, Anwâr al-tanzîl wa asrâr al-ta'wîl , juz 2, h. 152.

98 Kata perintah yang terdapat dalam ayat ini adalah fi'il mudhari' yang disertai lam amr, bukan fi'il amr secara langsung.

99 Al-Biqa'i, Nazhm al-Durar fi Tanâsub al- Â yat wa al-Suwar , Maktabah Syamilah, CD

pembagian harta peninggalan orang yang meninggal. Bagi orang yang sakit, ayat ini berarti perintah untuk tidak berlebihan dalam berwasiat; tidak menyia-nyiakan ahli waris; bertaubat dan bersyahadat. Bagi orang yang menunggu orang sakit saat berwasiat, ayat ini bermakna perintah untuk takut pada Allah dan memperlakukan anak dari orang yang meninggal dengan penuh kasih sayang dan pekerti yang baik. Sementara bagi orang yang menghadiri pembagian harta peninggalan, ayat ini bermakna perintah untuk memenuhi janji yang baik (berkenaan dengan kesepakatan

pembagian harta) dan mengingatkan agar tidak ada pembagian yang satu bagiannya lebih dari sepertiga total harta yang ditinggalkan. 100

Ayat ke-9 surat al-Nisa ini diakhiri dengan perintah untuk bertakwa pada Allah SWT (falyattaqullâh). Al-Alûsi dalam Rûh al-Ma'âni menjelaskan bahwa huruf fa' yang bersambung pada perintah takwa tersebut adalah harf athaf yang berfaidah li al-tartîb , yaitu menyambungkan secara urut antara kata yang berada sebelumnya dengan yang sesudahnya. Dengan ini dapat dipahami bahwa perintah takwa tersebut mempunyai munâsabah dengan awal ayatnya (walyakhsya), sehingga ayat tersebut bermaksud bahwa perintah untuk takut kepada Allah yang diserukan pada awal ayatnya, harus ditindaklanjuti dengan ketakwaan. Hal ini dikarenakan takwa adalah menjalankan perintah dan meninggalkan larangan-Nya, dan takwa ini adalah tujuan

akhir dari khasyyah (ghâyah al-khasyyah). 101 Dengan ini pula dapat dikatakan bahwa salah satu tanda adanya ketakwaan pada diri seseorang adalah adanya rasa takut pada

100 Abi al-Sa'ud, Tafsîr Abî al-Sa'ûd j.2, h.41.

101 Al-Alûsi, Rûh al-Ma'âni, juz 2, h. 423. Lihat juga al-Baidhâwi, Anwâr al-tanzîl wa asrâr

Allah SWT yang dapat menyebabkannya menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Secara lebih jelas Sa'îd bin Jubair, dalam ungkapannya yang dikutip oleh Ibn Katsîr mengatakan bahwa al-khasyyah adalah hal yang dapat menghalangi diri seseorang dari perbuatan maksiat kepada Allah SWT, karena dengan takut

kepada-Nya, maka seseorang tak berani melanggar larangannya. 102

Ibn Katsîr, Tafsîr al-Qur'ân al-'Azhîm, jilid III, h. 554. Ungkapan Sa'id bin Jubair ini senada dengan do'a yang diajarkan Rasulullah, yang menyebutkan bahwa khasyyah dapat menghalangi diri kita dari perbuatan maksiat kepada Allah SWT. Selengkapnya do'a tersebut sebagaimana tercantum dalam hadits riwayat Tirmidzi kitâb al-da'awât 'an Rasûlillâh SAW bâb mâ jâ'a fî 'aqd al- tasbîh bi al-yad , nomor 3424 sebagai berikut:

Lihat Syirkah al-Barâmij al-Islâmiyyah al-Dauliyyah Global Islamic Software Company, Mawsû'ah al-Hadîts al-Syarîf , 2000, terbitan ke-2, CD Room.