Pendekatan (manhâj) Tafsir Imam al-Syaukâni dalam Tafsir Fath Al-Qâdîr

B. Pendekatan (manhâj) Tafsir Imam al-Syaukâni dalam Tafsir Fath Al-Qâdîr

Dilihat dari sumber pengambilan atau orientasi penafsirannya, tafsir dapat dibedakan ke dalam tiga aliran besar yakni tafsîr bi al-riwâyah, tafsîr al- dirâyah, dan tafsîr bi al-isyârah. Ketiga pendekatan tafsir ini timbul dan berkembang seiring dengan kebutuhan umat dan tuntunan zaman.

Pada mulanya lahir tafsîr al-riwâyah, kemudian diikuti dengan tafsîr al- dirâyah dan akhirnya tafsîr bi al-isyârah. Kelahiran tafsîr al-dirâyah selain karena kebutuhan mendesak pada zamannya, juga sebagai kritik terhadap aliran tafsîr al- al-riwâyah yang dianggap terlalu sedidkit. Demikian pula dengan tafsîr bi al-isyârah, lahir sebagai reaksi atas aliran tafsir bi al-dirâyah

131 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, (Mesir: Dâr al-Hadits, 2007), j. I, h. 31

132 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, (Mesir: Dâr al-Hadits, 2007), j. I, h. 32 132 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, (Mesir: Dâr al-Hadits, 2007), j. I, h. 32

Nama tafsir al-Syaukanî adalah tafsir Fath Al-Qadîr al-Jâmi‘ Bain Fannai al-Riwâyah wa al-Dirâyah min ‘Ilm al-Tafsîr. Berdasarkan dari nama tafsir karya al-Syaukânî ini, bisa diketahui bahwa pendekatan (manhaj) yang dipakai oleh al-Syaukânî dalam tafsirnya al-Syaukani menggunakan dua pendekatan yaitu bi al-riwayah dan bi al-dirayah.

Tafsîr al-riwâyah atau dalam sebutan lain bi al-ma’tsur, atau al-manqul

ialah tafsir yang terdapat dalam al-Qur’an, atau sunnah atau pendapat sahabat, dalam rangka menerangkan apa yang dikehendaki Allah Swt. Tentang penafsiran al-Qur’an berdasarkan al-Sunnah Nabawiyyah. Dengan demikian tafsir bi al-ma’tsur adakalanya menafsirkan al-Qur’an dengan al- Qur’an, atau menafsirkan al-Qur’an dengan sunnah Nabawiyah, atau menafsirkan al-Qur’an dengan yang dikutip dari pendapat sahabat. 133

Sedangkan tafsir bi al-dirayah atau dalam istilah lain bi al-ma’qul, bi al-ra’yi, dan bi al-ijtihad ialah penafsiran yang dilakukan berdasarkan ijtihad mufassir setelah mengenali lebih dahulu bahasa Arab dari segi argumentasinya yang dibangun dengan menggunakan syai’r-sya’ir jahili serta mempertimbangkan sabab al-nuzûl dan lain-lain yang dibutuhkan oleh mufassir. 134

133 Muhammad ‘Ali al-Sabûnî, al-Tibyân fî ‘Ulûm al-Qur’ân, (Damsyik: Maktabah al- Ghazali, 1981), h. 63

Muhammad Husein al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), juz 1, h. 295

Secara selintas tafsir dengan menggunakan pendekatan al-dirâyah lebih berorientasi kepada penalaran yang bersifat aqli (rasional) dengan menggunakan pendekatan kebahasaan yang menjadi dasar penjelasannya. Itulah sebabnya mengapa para ulama berbeda-beda pendapat dalam menilai tafsir bi alra’yi. Begitu juga halnya dengan ijtihad dan tafsir bi al-ra’yi yang memungkinkan hasilnya akan benar atau salah.

Dalam kaitan pembahasa ini, al-Syaukani menggunakan dua pendekatan ini, sehingga bertambah mapan akan kajian yang dilakukan al-

Syaukânî. Untuk mengenal manhâj yang dipakai al-Syaukani dalam tafsirnya kita dapat mengetahuinya dari pendahuluan kitab tersebut sebagai berikut:

“Pada dasarnya para mufassir berbeda pendapat pada dua masalah, mereka mengambil jalan atas dua cara: golongan yang pertama adalah para mufasir yang memakai pendekatan riwayah, kedua adalah ulama yang memakai pendekatan dirayah yang membahas hanya sebatas telaah bahasa dan kandungan isinya tanpa melirik segi periwayatannya dan kalaupun mereka mencamtukan hanya sebatas pelengkap, masing-masing kelompok, yang menganggap pendekatan yang mereka gunakan adalah benar, padahal menurut hemat saya (al-Syaukani) kedua metode di atas bisa saling melengkapi satu sama lain…”

Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid I, h. 30.

Oleh karena itu, lanjut al-Syaukani hendaklah ada usaha untuk menyatukan dua pendekatan (manhaj) di atas tanpa membeda-bedakan antara keduanya. Bahkan harus menjadikan keduanya saling melengkapi satu sama lain, harapan itulah yang al-Syaukani pakai selama ini yakni dengan cara meneliti buku-buku tafsir yang bertentangan satu sama lain mulai dari segi makna, i’rab dan balaghahnya. Selain itu berusaha untuk menunjukkan penafsiran-penafsiran yang telah ditetapkan oleh Rasulullah, sahabat, tabiin, tabi’ tabi’in dan imam-imam yang dapat dipercaya.

Dalam menyusun tafsir ini, di satu sisi terkadang al-Syaukani menyebutkan kedaifan sanadnya karena ada sanad yang lebih kuat dari padanya atau bertentangan dengan kaidah bahasa arab dan di sisi lain al- Syaukani hanya menyebutkan perawi tanpa menerangkan lebih jauh kualitas sanadnya sesuai dengan sumber yang al-Syaukani kutip seperti dalam tafsir Ibnu Jarir, Qurtubi, Ibnu Kasir, Suyuti dan yang lainnya karena mustahil bagi mereka untuk menukil hadis daif tanpa menjelaskan kedaifannya.

Tafsir al-Syaukani tebal dan banyak ilmu yang kita dapat dari padanya, aktual, dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, memenuhi standar penafsiran, mempunyai keunggulan dan sistematika yang memadai. Setelah melakukan penafsiran secara riwayah, al-Syaukani melakukannya dengan metode dirayah dengan rujukan tafsir-tafsir ulama-ulama terpercaya sehingga kitab ini menjadi lengkap, sempurna dan mengagumkan, serta menjadi referensi bagi orang-orang cerdas. Sehingga al-Syaukani kemudian Tafsir al-Syaukani tebal dan banyak ilmu yang kita dapat dari padanya, aktual, dapat dipertanggungjawabkan kebenarannya, memenuhi standar penafsiran, mempunyai keunggulan dan sistematika yang memadai. Setelah melakukan penafsiran secara riwayah, al-Syaukani melakukannya dengan metode dirayah dengan rujukan tafsir-tafsir ulama-ulama terpercaya sehingga kitab ini menjadi lengkap, sempurna dan mengagumkan, serta menjadi referensi bagi orang-orang cerdas. Sehingga al-Syaukani kemudian