Biografi Singkat dan Potret Kehidupan Awal

A. Biografi Singkat dan Potret Kehidupan Awal

Prof. Dr. Harun Nasution dalam buku Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan membagi sejarah Islam dalam tiga periode

69 70 besar, yaitu: pertama klasik 71 , kedua pertengahan , dan ketiga moderen .

69 Periode klasik (650 – 1250 M.) merupakan zaman kemajuan dan dibagi menjadi dua fase. Pertama, fase ekspansi, intergrasi dan puncak kemajuan (650 – 1000 M.) pada

zaman ini daerah Islam meluas melalui Afrika Utara sampai ke India Timur. Dan pada zaman ini pula pula menghasilkan ulama-ulama kenamaan. Misalnya, Imâm Mâlik, Imâm Abû Hanifah, Imâm Syâfi‘i, dan Imâm Ahmad bin Hanbal dalam bidang hukum, Imam Asy‘arî, Imâm al-Maturidi, pemuka-pemuka Mu’taziah seperti Wasil bin Ata’ dalam bidang teologi, Zunûn al-Misri, al-Hallaj dalam mistisisme dan tasawuf, al-Kindi, al-Farabi, Ibnu Sina dalam bidang falsafah, Ibnu Hayyan, al-Khawarizmi, dan al-Râzî dalam bidang ilmu pengetahuan. Dan pada tahun 1000 – 1250 M. disebut fase disintegrasi. Masa ini umat Islam dalam bidang politik mulai pecah, dan imbasnya Baghdad sebagai pusat peradaban dirampas dan dihancurkan oleh Hulagu pada tahun 1258. Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran- Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1983), h. 13.

70 Periode pertengahan (1250 – 1800 M.) juga dibagi menjadi dua fase. Pertama fase kemunduran (1250 – 1500 M.). di zaman ini desentralisasi dan disintegrasi bertambah

meningkat. Perbedaan Sunni dan Syi’ah dan demikian juga dengan Arab dan Persia. Pendapat bahwa pintu ijtihad tertutup makin meluas di kalangan umat Islam. Demikian pula dengan tarekat dengan pengaruh negatifnya. Perhatian terhadap ilmu pengetahuan melemah. Umat Islam di Spanyol dipaksa masuk Kristen atau keluar dari daerah itu. Kedua fase tiga kerajaan besar (1500 – 1800 M.) yang dimulai zaman kemajuan (1500 – 1700 M.) dan zaman kemunduran (1700 – 1800 M.) tiga kerajaan besar yang dimaksud adalah Kerajaan Turki Usmani (Ottoman Empire) di Turki, Kerajaan Safawi di Persia, dan Kerajaan Mughal di India. Lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1983), h. 13-14.

71 Periode Moderen (1800 M. – dan seteterusnya) merupakan masa kebangkitan Islam. Jatuhnya Mesir menyadarkan dan menginsafkan akan umat Islam bahwa di Barat

telah timbul peradaban baru yang lebih tinggi dan merupakan ancaman bagi umat Islam. Di periode moderen inilah timbulnya ide-ide pembaharuan dalam Islam. Lihat Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1983), h. 14.

Melihat pembagian yang diuraikan oleh Prof. Dr. Harun Nasution di atas, Imâm al-Syaukânî (1173 H. / 1760 M. – 1250 H. / 1837 M. ) termasuk dalam periode pertengahan dalam zaman kemunduran (1700 – 1800 M.) dan masa modern (1800 M. - dan seterusnya).

Sejak permulaan abad ke-12 H. (18 M.) dunia Islam telah memasuki fase kemunduran, pada waktu itu, tiga kerajaan besar: Turki Usmani, Safawi, dan Mughal telah mulai mengalami masa surutnya masa kejayaannya. Sehabis masa pemerintahan Sulaiman al-Qanuni (1566 M.), kerajaan Turki

Usmani telah memasuki masa kemundurannya, sultan-sultan yang memerintah tidak memiliki kemampuan untuk mengendalikan kerajaan yang luas itu, bahkan mereka banyak dipengaruhi oleh para putri di istana, sementara di berbagai wilayah dalam kerajaan muncul berbagai pemberontakan, seperti di Suriyah timbul pemberontakan Kurdi Jumbulat, di Mesir terjadi pemberontakan ‘Ali Bek al-Kabir yang diteruskan oleh Muhammad ‘Ali, di Libanon terjadi pemberontakan di bawah pimpinan Druze Amir Fakhruddin dan kemudian muncul pula gerakan al-Syihabiyah, di Palestina gerakan pemberontakan dipimpin oleh Damir al-Amr. Janissary, tentara Usman sendiri, juga berontak terhadap kerajaan. 72

Pada masa itu pula, beberapa peperangan dengan negara-negara tetanggapun terjadi, sehingga mengakibatkan kerajaan Turki Usmani semakin terpojok. Yunani memperoleh kemerdekaannya kembali pada tahun 1829 M., Rumania lepas pada tahun 1856, begitu pula dengan Bulgaria pada

72 Lihat, A. Syalabi, Mausu’ah al-Tarîkh wa al-Hadarah al-Islamiyah, (Mesir: al- Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1979), j. V, h. 675-677.

tahun 1878 M., Albania, dan Macedonia. 73 Dalam pada itu, kerajaan Syafawi di Persia yang menganut paham Syi’ah, mulai mengalami kemunduran.

Penyebabnya adalah penyerangan yang dilakukan oleh Afghan yang menganut paham Sunni, di bawah pimpinan Mir Ways pada tahun 1709 M. setelah itu, terjadilah pemberontakan besar-besaran yang dilakukan oleh Afghan. Dengan demikian, tamatlah kerajaan Syafawi di Persia. 74

Sementara itu, di India, kerajaan Mughal yang berada di bawah kekuasaan Aurangzeb sedang mengalami tantangan dari golongan Hindu

yang merupakan mayoritas penduduk India. Dalam kondisi demikian, Inggris turut campur dalam konflik politik di India, dan akhirnya India dapat dikuasai pada tahun 1857 M. 75

Hal di atas, gambaran kondisi dunia Islam ketika al-Syaukani hidup. Melihat kondisi dunia Islam yang semakin tidak menentu, Yaman adalah salah satu bagian dari kerajaan Turki Usmani, di bawah kepemimpinan al- Qasim ibn Muhammad, memberontak melawan Turki Utsmani, pada tahun 1598 M. dan mendirikan dinasti Qasimiyah. Setelah al-Qasim meninggal (1009 H.), ia diganti oleh putranya, al-Mu’ayyad Muhammad ibn al-Qasim (1009-1054 H.), yang telah sanggup mempertahankan Yaman dari serangan bangsa Turki. 76

73 Lihat, Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1979), h. 87

74 Lihat, C. Brockelmen, History of The Islamic Peoples, (London: Routledge dan Kegan Paul, h. 337-378.

75 Lihat, Harun Nasution, Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya, (Jakarta: UI Press, 1979), h. 87-88.

76 Lihat, A. Syalabi, Mausu’ah al-Tarîkh wa al-Hadarah al-Islamiyah, (Mesir: al- Maktabah al-Nahdah al-Misriyyah, 1979), j. VII, h. 484.

Setelah itu, berkali-kali serangan bangsa Turki di arahkan ke Yaman, namun tidak menggoyahkan sendi-sendi pemerintahan para imam Zaidiyah di Yaman. Al-Syaukani sendiri merekam cerita tentang kepahlawanan kakeknya, yaitu Abdullah al-Syaukani, yang ketika usianya telah mencapai 110 tahun masih mampu dengan gagah perkasa berjuang bersama para putra Yaman melawan bangsa Turki dan mengusir mereka dari tanah Yaman. 77

Sekalipun demikian, para sultan Turki Utsmani tetap memandang

Yaman sebagai bagian dari wilayah mereka , yang membangkang terhadap pemerintah pusat. Oleh sebab itu, selama pemerintahan Dinasti Qasimiyah senantiasa terjadi konfrontasi antara Yaman dan Turki Utsmani. 78

Sebagaimana di wilayah dunia Islam lainnya, perkembangan ilmu pengetahuan di Yaman, sekalipun tidak seburuk di wilyah lain, tidak dapat dikatakan telah mencapai kemajuan yang berarti. 79 Diakui oleh al-Syaukani bahwa kebekuan dan taklid yang melanda kaum muslim sejak abad ke-4 yang mempengaruhi akidah mereka, mereka telah banyak dibuai oleh bid’ah dan khurafat, sehingga terjauh dari tuntunan Islam yang sebenarnya. 80

Dalam situasi dan kondisi seperti itulah al-Syaukani di lahirkan. Kondisi demikian, tidak dapat dipungkiri, bahwa sering seorang tokoh muncul

77 al-Syaukânî, al-Badr al-Tali‘ bi Mahâsin Man Ba‘d al-Qarn al-Sabi‘, (Beirut: Dâr al- Ma‘rifah, t. th.), j. I, h. 482.

78 A. Syalabi, Mausu’ah al-tarikh wa al-Hadarah al-Islamiyah, h. 485. 79 Lihat, al-‘Amiri, Mi‘ah ‘Am min Tarikh al-Yaman al-Hadits, (Damaskus, Dâr al- Fikr, t.th.), h. 12. 80 Al-Syaukânî, al-Rasâ’il al-Dawa’ al-‘ajil fî Daf al-‘Aduw al-Sail dalam al-Rasa’il al-

Rasa’il al-Salafiyyah fi Ihya Sunnah Khair al-Bariyyah Sallallah ‘Aliah wa Sallam, (Beirut: Matba’ah al-Sunnah al-Muhammadiyah, 1347 H.), h. 40-42.

ketika keadaan suatu umat sedang dilanda krisis. Nabi Muhammad saw. Sendiri muncul di tengah-tengah masa jahiliyah, Ibnu Taimiyah (w. 728 H./1327 M.) muncul ketika dunia Islam sedang dalam kebekuan berfikir, yang kemudian disusul oleh muridnya, Ibn al-Qayyim (w. 751 H./1356 M.). 81 demikianlah pula, agaknya al-Syaukani.

Nama lengkap al-Syaukânî adalah Muhammad bin Ali bin

82 Muhammad bin Abdullah al-Syaukânî al-San’anî 83 al-Yamanî. Beliau lahir di Syaukan, 84 Yaman Utara, pada hari Senin tanggal 28 Dzu al-Qa’dah tahun

1172 H. dan meninggal dunia pada hari Selasa tanggal 27 Jumâd al-Akhîr tahun 1250 H. dalam usia sekitar 78 tahun. 85 Al-Syaukânî dimakamkan di

pemakaman Khuzaimah San‘a. sebelum kelahirannya, orang tuanya tinggal

81 Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad al-Syaukânî Relevansinya Bagi Pembaharuan Hukum Islâm di Indonesia, (Jakarta: Logos, 1999), cet. 1, h. 52.

82 Lihat lebih lanjut, al-Syaukânî, al-Badr al-Tali‘ bi Mahâsin Man Ba‘d al-Qarn al- Sabi‘, (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, t. th.), j. II, h. 214.

83 Berkenaan dengan tahun kelahiran al-Syaukânî tidak ada kesepakatan pendapat para ahli sejarah, ada yang mengatakan dia lahir pada tahun 1173 H./1760 M. lihat lebih

lanjut, Luis Ma‘luf, al-Munjid, (Beirut: Dâr al-Masyrîq, tt), h. 395-396. lebih lanjut mengenai tahun kelahiran al-Syaukâni, bisa dirujuk pada beberap kitab berikut ini: al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah Wahbah, 2000), juz 3, h. 211., lihat pula Salâh ‘Abdul Fattâh al-Khâlidî, Ta‘rîf al-Dârisîn Bimanâhij al-Mufassirîn, (Damsyik, Dâr al-Qalam, tt.), h. 337, lihat pula, Syaikh al-Imâm Muhammad bin ‘Ali al-Syaukani, Kitâb al-Sail al-Jarâr al- Mutadaffiq ‘alâ Hadâiq al-Azhâr, (Kairo: tp. 1982), cet. Ke-2, h. 16.

84 Syaukân adalah sebuah desa yang jaraknya dengan kota San’a sejauh perjalanan satu hari, dengan berjalan kaki. Desa tersebut dihuni oleh suku Suhamiyyah, termasuk

rumpun kabilah Khaulan. Lihat, al-Syaukânî, al-Badr al-Tali‘ bi Mahâsin Man Ba‘d al-Qarn al-Sabi‘, (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, t. th.), j. I, h. 480. desa tersebut biasa disebut Hijrah Syaukan. Lihat pula, al-Syaukânî, al-Badr al-Tali‘ bi Mahâsin Man Ba‘d al-Qarn al-Sabi‘, (Beirut: Dâr al-Ma‘rifah, t. th.), j. II, h. 251. bahkan, ada juga yang menyebutnya dengan nama desa ‘Adna Syaukan. al-Syaukânî, al-Badr al-Tali, j. I, h. 481.

85 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Tafsîr Fath al-Qadîr, (Mesir: Dâr al- Fikr, 1973), juz I, h. 4-8, lihat pula, al-Dzahabî, al-Tafsîr wa al-Mufassirûn, (Kairo: Maktabah

Wahbah, 2000), juz 3, h. 211., lihat pula Salâh ‘Abdul Fattâh al-Khâlidî, Ta‘rîf al-Dârisîn Bimanâhij al-Mufassirîn, (Damsyik, Dâr al-Qalam, tt.), h. 337.

di San’a 86 . ketika musim gugur, mereka pulang ke Syaukan, kampung asalnya dan pada waktu itulah al-Syaukani lahir. Tidak berapa lama setelah

itu, ia dibawa oleh orang tuanya kembali ke San’a. 87 Ayahnya, Ali al-Syaukânî (1130-1211 H.), adalah seorang ulama yang

terkenal di Yaman, yang bertahun-tahun dipercaya oleh pemerintahan imam- imam Qasimiyah, sebuah dinasti Zaidiyah di Yaman, untuk memegang jabatan Qâdi (hakim). Ia mengundurkan diri dari jabatan tersebut dua tahun menjelang ajalnya. Dalam lingkungan keluarga inilah al-Syaukani dibesarkan.

Pada masa kecilnya, ia belajar al-Qur’an pada beberapa guru, yang diselesaikannya pada al-Faqih Hasan ibn Abdullah al-Habi. Kemudian, ia meneruskan pelajarannya dengan mempelajari ilmu tajwid pada beberapa guru (masyayikh) di San’a. Sehingga ia menguasai bacaan al-Qur’an dengan baik. 88

86 Kota San’a dianggap sebagai kota yang tertua di dunia yang dibangun oleh putra Nabi Nuh AS., yang bernama Syam. Di kota tua ini terdapat istana Gamadan yang didirikan

oleh raja bernama al-Jasrah Jahsab. Pada masa khalifah Utsman berkuasa (6 H.), istana tersebut rusak kemudian dibangun kembali oleh Abraham al-Habsyi, demikian pula dengan gereja Qalis., sebagai salah satu rumah ibadah untuk menandingi umat Islam yang pergi melakukan ibadah haji ke Makkah. Lihat, Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Nail al-Autâr, Syarah Muntaqa al-Akhbâr, (Beirut: Dâr al-Fikr, 1961), juz I, cet. 3, h. 3. Istana Gamadan secara turun temurun ditempati oleh raja-raja dari keturunan Bani Ziyad, Bani Ja’far di abad ke- 3 H., dan oleh Bani Raus di tahun 322 H. / 933 M., Selanjutnya kota San’a dijadikan sebagai ibu kota Yaman oleh kaum Syi’ah Zaidiyah sejak tahun 1000 H. / 1592 M.. Kemudia pada tahun revolusi Zaidiyah tahun 1948 M., kota tersebut direbut kembali oleh Ahmad bin Yahya, dan ibu kota dipindahkan ke Taiz. Setelah pembentukan Republic Yaman tahun 1962, barulah ibu kota Yaman dipindahkan dari Taiz ke San’a. lihat, Ahmad Atiyatullah, al-Qâmus al-Islâmî, (Kairo: al-Nahdah al-Misriyyah, 1976), jilid 4, h. 342-344.

87 Lihat, Umar Muhammad Rida Kahhalah, Mu‘jam al-Mu’allifîn, (Beirut: Maktabah al-Musanna, t.th.), j. XI, h. 53.

88 al-Syaukânî, al-Badr al-Tali‘ bi Mahâsin Man Ba‘d al-Qarn al-Sabi‘, (Beirut: Dâr al- Ma‘rifah, t. th.), j. II, h. 215.

Dalam Majalah Al-Furqon Edisi 12 tahun V / Rajab 1427/ Agustus 2006, yang merupakan Tarjamah al-Imam al-Syaukani oleh Syaikh Husain bin Muhsin al-Ansari al-Yamani. Dikatakan bahwa Beliau tumbuh di bawah asuhan ayahandanya dalam lingkungan yang penuh dengan keluhuran budi dan kesucian jiwa. Beliau belajar al-Qur'an di bawah asuhan beberapa guru dan dikhatamkan di hadapan al-Faqih Hasan bin Abdullah al-Habi dan beliau perdalam kepada para masyâyikh al-Qur'an di San'a. Kemudian beliau menghafal berbagai matan dalam berbagai disiplin ilmu, seperti: al-Azhar

oleh al Imâm al-Mahdi, Mukhtasar Faraidh oleh al-Usaifiri, Malhah al-Harm, al-Kafiyah al-Syafiyah oleh Ibn al-Hajib, at-Tahdzîb oleh at-Tifazani, al- Talkhis fi ‘Ulum al-Balâghah oleh al Qazwaini, al-Ghayah oleh Ibn al-Imam, Mamhumah al-Jazâri fi al-Qira'ah, Mamhumah al-Jazzar fi al-'Arud, Adâb al-

Bahs wa al-Munazarah oleh al-Imâm al-' Adud. 89 Pada awal belajarnya beliau banyak menelaah kitab-kitab tarikh dan

adab. Kemudian beliau menempuh perjalanan mencari riwayat hadits dengan sama’ (mendengar) dan talaqqi (bertemu langsung) kepada para masyâyikh hadis hingga beliau mencapai derajat imamah dalam ilmu hadits. Beliau senantiasa menggeluti ilmu hingga berpisah dari dunia dan bertemu Rabbnya. 90

89 Lihat, Majalah al-Furqon Edisi 12 tahun V / Rajab 1427/ Agustus 2006, yang merupakan Tarjamah al-Imâm al-Syaukani oleh Syaikh Husain bin Muhsin al-Anshari al-

Yamani. 90 Tarjamah al-Imam al-Syaukani oleh Syaikh Husain bin Muhsin al-Ansari al-

Yamani, disadur dalam Majalah al-Furqon Edisi 12 tahun V / Rajab 1427/ Agustus 2006.

Pada tahun 1209 H. meninggallah Qadi Yaman, Syaikh Yahya bin Salih al-Syajari al-Sahuli. Maka Khalifah al-Mansur meminta kepada al-Imâm al-Syaukani agar menggantikan Syaikh Yahya sebagai qadi negeri Yaman. Pada awalnya beliau menolak jabatan tersebut karena takut akan disibukkan dengan jabatan tersebut dari ilmu. Maka datanglah para ulama San'a kepada beliau meminta agar beliau menerima jabatan tersebut, karena jabatan, tersebut adalah rujukan syar'i bagi para penduduk negeri Yaman yang dikhawatirkan akan diduduki oleh seseorang yang tidak amanah dalam

agama dan keilmuannya. Akhirnya beliau menerima jabatan tersebut. Beliau menjabat sebagai Qadi Yaman hingga beliau wafat pada masa pemerintahan tiga khalifah: al-Mansur, al-Mutawakkil, dan al-Mahdi. Ketika beliau menjabat sebagai qadi maka keadilan ditegakkan, kezaliman diberi pelajaran, penyuapan dijauhkan, fanatik buta dihilangkan, dan beliau selalu mengajak umat kepada ittiba' terhadap Kitabullah dan Sunnah. 91

Berkenaan jabatan al-Syaukani sebagai hakim, Ahmad Atiyatullah dalam kitab al-Qâmus al-Islâmî menegaskan bahwa al-Syaukânî menjabat sebagai hakim, ketika berusia kira-kira 45 tahun. Tugas sebagai hakim dijabatnya pada tahun 1299 H. di San’a. rupanya jabatan sebagai hakim ini, dipegangnya sampai akhir hayatnya. Kemudian, jabatan sebagai hakim dilimpahkan kepada anaknya yakni Ahmad Muhammad ‘Ali (1229 H. / 1813

91 http://kisahislam.com/index.php?option=com_content&task=view&id=88&Itemid =4

M.), yang ketika ayahnya wafat, Ahmad Ali berusia 21 tahun dan meninggal dunia tahun tahun 1281 H. / 1864 M. 92

Kiprah intelektual al-Syaukânî dalam pengembangan ilmu keagamaan dimulai sejak ia masih dalam bimbingan guru-gurunya. Disebutkan bahwa setiap hari ia dapat menekuni tiga belas mata pelajaran, yang kemudian di ajarkannya lagi pada hari yang sama kepada murid-muridnya. Disebutkannya bahwa setiap hari ia dapat mengajarkannya sepuluh mata pelajaran kepada murid-muridnya, dalam berbagai cabang ilmu, antara lain

adalah tafsir, hadits, usul fikih, nahwu, sorof, ma’ani, bayan, mantiq, fikih, jidal (metode berdiskusi), arud (seni mengarang puisi), dan lain-lain. 93

Di samping al-Syaukânî mendampingi guru-gurunya, ia juga tekun belajar sendiri, membaca buku-buku sejarah, sastra dan sebagainya. Dia seringkali mengikuti ceramah-ceramah tokoh-tokoh ilmuan, yang pada gilirannya dapat membentuk watak serta kepribadiannya sehingga beliau memperoleh predikat ulama.