Ayat-ayat tentang Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan dan Pandangan Aliran Kalam

1. Ayat-ayat tentang Kekuasaan dan Kehendak Mutlak Tuhan dan Pandangan Aliran Kalam

Di dalam al-Qur’an banyak ayat yang menerangkan adanya kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan. Di antaranya: Mu’tazilah menggunakan atat 62 surat al-Ahzâb 155 sebagai berikut:

      Artinya: “…Dan kamu sekali-kali tiada akan mendapati peubahan pada shunnah Allah”. (Q.S. surat al-Ahzâb (33): 62).

Lihat, Harun Nasution, Muhammad Abduh dan Teologi Rasional Mu’tazilah, (Jakarta: UI Press, 1987), cet. I, h. 75.

Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam Tafsir al-Azhar, Sebuah Telaah atas Pemikiran Hamka dalam Teologi Islam, (Jakarta: Penamadani, 2003), cet. 2, h. 89.

Lebih lanjut lihat, Harun Nasution, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisi Perbandingan, (Jakarta: UI Press, 1986), cet. 5, h. 120

Pada surat al-Ahzab di atas, secara gamblang memberikan penjelaskan bahwa tidak akan dijumpai perubahan dalam hukum alam tersebut. Aliran Mu’tazilah sangat menekankan adanya hukum alam ciptaan Tuhan. Al-Jahiz, salah seorang tokoh Mu’tazilah mengatakan bahwa tiap-tiap benda mempunyai hukum alam sendiri yang menimbulkan efek tertentu menurut naturnya masing-masing. Benda dengan naturnya tersebut tidak dapat menghasilkan kecuali efek yang ditimbulkan oleh naturenya itu, dan es tidak menghasilkan apa-apa kecuali dingin. 156 Sunnatullah tersebut tidak

mengalami perubahan atas kehendak Tuhan sendiri, dan dengan demikian merupakan batasan bagi kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. 157

Menurut aliran Mu’tazilah, kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan terbatas. Keterbatasan itu oleh karena adanya pembatasan yang diciptakan- Nya sendiri, yaitu dengan memberi kebebasan berbuat bagi manusia, menciptakan hukum alam atau sunnatullah, menciptakan norma-norma keadilan dan kewajiban-Nya sendiri terhadap manusia. 158

Paham tentang kebebasan berkemauan dan berbuat dalam pandangan Mu’tazilah bertitik tolak dari pemahaman bahwa perbuatan manusia tidaklah diciptakan oleh Tuhan, sebab manusia sendiri yang menciptakannya. 159 Pemberian kebebasan kepada manusia membatasi kehendak dan kemutlakan Tuhan sendiri. Apabila dilanggar-Nya akan bertentangan dengan keadilan-Nya.

156 Harun Nasuition, Teologi Islam, h. 120 157 Harun Nasuition, Teologi Islam, h. 121 158 Harun Nasuition, Teologi Islam, h. 119

Al-Qadi Abdul Jabbar, Syarh al-Usûl al-Khamsah, (Kairo: Maktabah Wahbah, 1960), h. 323.

Berdasarkan kebebasannya, maka manusia merdeka di dalam menentukan nasibnya sendiri. Kewajibannya itu membawa kepada tanggung jawab pribadi. Dengan kata lain, segala perbuatan manusia baik yang mendatangkan dosa maupun yang mendatangkan pahala secara penuh merupakan tanggung jawab manusia itu sendiri.

Di samping itu, kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dibatasi-Nya sendiri melalui sunnatullah atau hukum alam buatan-Nya yang tidak mengalami perubahan, sebagaimana dinyatakan Allah bahwa “kamu sekali-

kali tidak akan mendapati perubahan pada sunnatullah (Q.S. 33 : 62).

Sesuai dengan ayat ini, tampaknya aliran Mu’tazilah berpendirian Tuhan tidak menghendaki untuk berbuat di luar ketetapan sesuai di ciptakan- Nya sendiri. Di samping itu, kekuasaan Tuhan tidak mutlak lagi karena menghadapi dzat yang terbatas, yaitu makhluk-Nya. Oleh Karen itu, Ia sendiri membatasi kekuasaan-Nya terhadap dzat yang terbatas itu. Sekiranya Ia tidak membatasi kehendak dan kekuasaan-Nya, dzat yang terbatas itu tidak mampu untuk menerimanya. Jika yang mutlak dihadapkan kepada yang terbatas, yang terbatas akan hancur karena tidak mampu menerima kemutlakan itu. Paling tidak itulah yang bisa ditangkap dari pemahaman Mu’tazilah sebagaimana di uraikan di atas.

Sementara Maturidiyah Samarkand karena memberikan penghargaan tinggi kepada akal, maka pendapatnya lebih dekat kepada Mu’tazilah. Menurut mereka yang membatasi kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan adalah kebebasan yang diberikannya kepada manusia. Selanjutnya ia tidak Sementara Maturidiyah Samarkand karena memberikan penghargaan tinggi kepada akal, maka pendapatnya lebih dekat kepada Mu’tazilah. Menurut mereka yang membatasi kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan adalah kebebasan yang diberikannya kepada manusia. Selanjutnya ia tidak

ayat al-Qur’an 161 berikut ini: Q.S. al-Mâ’idah (5) : 48, al-‘An‛âm (6) : 149, Yûnus (10) : 99 sebagai berikut:

                Artinya: …sekiranya Allah menghendaki, niscaya kamu dijadikan-Nya

satu umat (saja), tetapi Allah hendak menguji kamu terhadap pemberian-Nya kepadamu, Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan…( Q.S. al-Mâ’idah (5) : 48)

          Artinya: Katakanlah: "Allah mempunyai hujjah yang jelas lagi kuat;

Maka jika dia menghendaki, pasti dia memberi petunjuk kepada kamu semuanya". (Q.S. al-‘An‛âm (6) : 149)

                 Artinya: Dan Jikalau Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman semua

orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya ? (Q.S. Yûnus (10) : 99)

160 Harun Nasution, Teologi Islam, h. 112

Abu Mansur Muhammad bin Muhammad bin Mahmud al-Maturidy, Fathullah Khalifah (ed.), Kitâb al-Tauhîd, (Istambul, Turki: al-Maktabah al-Islâmiyyah, 1979), h. 287- 289.

Ayat-ayat yang dikemukakan al-Maturidi di atas, dipahami oleh al- Maturidi bahwa Tuhan sebenarnya berkuasa membuat manusia yang ada di bumi menjadi berimam, namun Ia tidak melakukannya karena kemerdekaan berkehendak dan berbuat yang ada dalam diri manusia.

Berbeda dengan paham Mu’tazilah dan Maturidiyah Samarkand, al- Asy’ari (w. 324 H.) berpendapat, bahwa Tuhan tetap mempunyai kehendak dan kekuasaan mutlak. Segala sesuatu kejahatan maupun kebaikan di muka bumi terjadi menurut kehendak-Nya. Tidak seorangpun yang mampu berbuat

kalau tidak dengan kehendak Allah. Manusia lemah dan tidak bisa keluar dari ilmu Allah. Allah adalah satu-satunya pencipta. Perbuatan manusia adalah ciptaan-Nya. Argumen yang dikemukakan berkaitan dengan itu adalah “Allahlah yang menciptakan kamu dan apa yang kamu perbuat itu”. (Q.S. 37 : 96). Lengkapnya al-Asy’ari menuturkan sebagai berikut:

Al-Ghazâlî di dalam membicarakan masalah di atas, mengatakan bahwa Allah kuasa atas segala sesuatu. Karena itu tidak ada sesuatupun yang merupakan kewajiban bagi-Nya. Penciptaan alam adalah yang jâ’iz bagi Allah, bukan wajib. Begitupun dengan perbuatan-perbuatan Tuhan yang berkenaan dengan yang ada di alam, adalah jâiz bagi-Nya. Dengan kata lain,

Abû al-Hasan ‘Ali ibn Ismail al-‘Asy’ary, al-Ibânat ‘an Usûl al-Diyânat, ta‘lîq ‘Abdullah Mahmûd dan Muhammad ‘Umar, (Beirut: Dâr al-Kutub al-‘Ilmiyyah, t.t.), h. 16.

Tuhan tidak memberi upah atau pahala kepada orang taat, atau menghukum orang yang durhaka. Pahala dan siksa bukan hak yang mesti diterima manusia. Pahala adalah karunia-Nya, sedangkan siksa adalah keadilan- Nya. 163

Berkaitan dengan ini, aliran asy’ariyah memandang bahwa kehendak Allah meliputi semua yang terjadi, dan kekuasaan-Nya meliputi segala yang diciptakan-Nya, baik atau buruk. 164

Untuk memperkuat pendapat di atas, Asy’ariyah mengemukakan

beberapa ayat al-Qur’an yang berkenaan dengan kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan, yaitu: Q.S. al-Insân (76) : 30, al-Kahfi (18) : 23-24, Hûd (11) : 107. 165

       Artinya: Dan kamu tidak mampu (menempuh jalan itu), kecuali bila

dikehendaki Allah. Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. al-Insân (76) : 30)

 …              Artinya: Dan jangan sekali-kali kamu mengatakan tentang sesuatu:

"Sesungguhnya Aku akan mengerjakan Ini besok pagi, Kecuali (dengan menyebut): "Insya Allah"...(Q.S. al-Kahfi (18) : 23-24)

163 al-Ghazâlî, al-Iqtisâd fî al-I‘qtiqâl, (Kairo: Maktabah al-Husain al-Tijariyah, t.th.), h. 81.

164 Muhammad Yusuf Musa, al-Qur’an wa al-Falsafah, (Kairo: Dâr al-Ma‘ârif, t.th.), h. iii.

Abdurrahman al-Bawadi, Madzâhib al-Islâmiyyîn, (Beirut: Dâr al-Ilmi lî al- Malayyyîn, 1983), h. 556.

Artinya: … Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana terhadap apa yang dia kehendaki. (Q.S. Hûd (11) : 107)

Ayat-ayat tersebut di atas, dipahami oleh Asy’ari sebagai pernyataan tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan. Kehendak Tuhan mesti berlaku. Bila kehendak Tuhan tidak berlaku, itu berarti Tuhan lupa, lalai dan lemah untuk melaksanakan kehendak-Nya itu. Sedangkan sifat lalai, lupa, apalagi lemah, adalah sifat-sifat mustahil bagi Allah. 166

Aliran Asy’ariyah mencontohkan kehendak dan kekuasaan mutlak Tuhan dengan mengatakan, bahwa kekafiran itu jahat, rusak dan batil. Begitu

juga dengan iman itu baik. Bagaimanapun orang berusaha agar iman di pandang buruk atau batil, tidak bisa sebab Allah telah menetapkan sebagai sesuatu yang baik. Kalau manusia sendiri yang menentukan sendiri perbuatannya sudah tentu menjadikan kekafiran itu bisa terlaksana. Tetapi kenyataannya tidak demikian. Oleh karena itu, terdapat penentu yang sesungguhnya terhadap sesuatunya, yaitu Allah Swt. 167

Berbeda dengan Maturidi Bukhara yang mengemukakan konsep masyi’at dan rida, yaitu bahwa manusia melakukan perbuatan adalah benar atas kehendak Allah. Namun, tidak semua perbuatan baik adalah kehendak

166 Al-Asy’ary, Al-Luma’, h. 47.

Abdurrahman al-Bazdawi, Madzâhib al-Islâmiyyîn, (Beirut: Dâr al-Ilmi lî al- Malayyîn, 1983), h. 555.

Di samping itu, al-Bazdawi memandang paham taklîf mâlâ yûtak dapat diterima. Sebab tidak mustahil bagi Tuhan meletakkan kewajiban kewajiban yang tidak dapat dipikul oleh manusia. 169

Adapun dalil yang digunakan oleh aliran Maturidiyah Bukhara, sama dengan yang digunakan oleh aliran As’ariyah. Sejalan dengan pandangan al-Asy’ari di atas, aliran Maturidiyah

Bukhara juga menekankan berlakunya kehendak dan kekuasaan Tuhan semutlak-mutlaknya. Tuhan berbuat sekehendak dan tidak ada suatu larangan pun bagi Tuhan. Ia membuat apa saja yang dikehendaki-Nya. Tidak ada yang dapat menentang dan memaksa Tuhan. 170

Dengan demikian, Maturidiyah Bukhara berpandangan bahwa Tuhan mempunyai kekuasaan mutlak dalam menentukan sesuatu, dan tidak ada satupun yang menghalangi-Nya. Tuhan menciptakan kosmos ini bukan karena ada tujuan tertentu. Ia berbuat sekehendak-Nya. 171 Berdasarkan pandangan demikian, dapat dikatakan bahwa Maturidiyah Bukhara sepaham dengan Asy’ariyah.

168 al-Dawwani, Syarh al-Aqâid al-Adudiyyah, (Kairo: Isa al-Babi al-Halabi, 1958), h. 42.

169 Abu Yusr Muhammad al-Bazdawi, Usûl al-Dîn, (Kairo: Dâr al-Ihya’ al-Kutub al- ‘Arabiyyah, 1963), h. 130.

Abu al-yusuf Muhammad bin Muhammad bin Abdul Karim al-Bazdawi, Kitâb Usûl al-Dîn¸(Kairo: Dâr al-Ihyâ’ al-Kutub al-‘Arabiyyah, 1963), h. 130.

Abu Yusuf Muhammad al-Bazdawi, Kitâb Usûl al-Dîn, (Kairo: Dâr al-Ihya’ al- Kutub al-‘Arabiyyah, 1963), h. 130.