Penafsiran al-Syaukani terhadap Ayat-ayat Kalam tentang

3. Penafsiran al-Syaukani terhadap Ayat-ayat Kalam tentang

Sifat-sifat Tuhan

Al-Syaukani dalam tafsirnya membicarakan masalah-masalah yang diperdebatkan dalam sifat-sifat Tuhan, yakni: tasybih (antrpomorfisme),

ru’yatullah (melihat Tuhan), dan khalq al-Qur’ân (al-Qur’ân qadîm atau baharu).

1. Anthropomorphisme. Sebagaimana diketahui, masalah Anthropomorphisme dalam ilmu

kalam diperdebatkan dalam kaitan apakah nash-nash agama yang menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani, cukup dipahami dalam makna harfiahnya, ataukah harus dipahami dalam makna kalam diperdebatkan dalam kaitan apakah nash-nash agama yang menggambarkan bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat jasmani, cukup dipahami dalam makna harfiahnya, ataukah harus dipahami dalam makna

Dalam bidang teologi Islam, al-Syaukani nampaknya tidak sepaham dengan Mu’tazilah yang dipegang oleh madzhab Zaidiyah, tetapi ia lebih dekat aliran salaf. Hal ini terlihat pada beberapa pandangannya lebih dekat kepada paham salaf. Misalnya, ketika manafsirkan ayat-ayat mutasyabihat, dalam hal ini al-Syaukani cenderung memegang makna lahir dari ayat, tanpa menakwilkannya. Ini terlihat ketika al-Syaukani menafsirkan Q.S. al-A’Raf (7)

ayat 54: Al-Syaukani menafsirkan ayat ini sebagai berikut:

Artinya: Sesungguhnya para ulama telah berbeda pendapat tentang makna ini “Tuhan bersemayam di atas ‘arasy” atas empat belas pendapat, yang paling benar dan paling dekat dengan yang seharusnya adalah paham salaf yang saleh, yaitu Allah Swt. bersemayam, tanpa (diketahui) caranya, tetapi dalam proporsi yang layak dengan-Nya serta (dalam) ketransendenan-Nya dari segala yang tidak boleh atas (diri)-Nya. 315

Ayat di atas menjelaskan bahwa Tuhan adalah pembimbing dan pemelihara, dan yang menciptakan langit dan bumi dalam enam hari, setelah itu, Tuhan bersemayam di atas Arsy. Dia berkuasa dan mengatur segala yang

Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid II, h. 269.

Kemudian, dalam menafsirkan penggalan ayat “‘alâ al-‘arsyi istawâ” yang terdapat dalam surat Tâhâ ayat 5, al-Syaukani yang menjelaskan tentang sifat-sifat Tuhan dengan tahrif dan ta’wil, dengan mengatakan:

Artinya: “Arrahmân ‘alâ al-arsy istawâ” Ahmad bin Yahya berkata: Sa’lab berkata: bersemayam atas sesuatu sebagaiaman al- Zujaz dan al-Farra berkata. Dan menurut satu pendapat, istawa adalah kinayah atas raja dan penguasa. Yang sependapat dengannya adalah Abu Hasan Al-Asy’ari karena Allah SWT menduduki arsy’-Nya tanpa batas dan sekendak-Nya, sesuai dengan pendapat ini adalah imam Al- Jamahir dari kalangan ulama salaf yang menjelaskan tentang sifat- sifat Tuhan dengan tanpa tahrif dan ta’wil.

Ayat di atas, membicarakan sifat Allah yaitu al-Rahmân Tuhan Yang Maha Pemurah, yang Bersemayam, yakni berkuasa penuh di atas arasy, yakni pada seluruh kerajaan-Nya. Selanjutnya, al-Syaukani berpendapat, bahwa kata istawa dikinayahkan dengan raja. Jadi bisa dipahami bahwa

Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid III, h. 448

Lalu bagaimana kecenderungan al-Syaukani sebenarnya? Di ayat lain, yakni Ayat 39 surat Tâhâ, al-Syaukani mengurai kata ‘ainî dinisbahkan kepada Allah dalam ayat-ayat al-Qur’an, dipahami oleh al-Syaukani sebagai di bawah pangkuanku, sebagaimana penafsiran al-Syaukani sebagai berikut:

“Dan supaya kamu diasuh di bawah pengawasan-Ku” yakni agar kamu dididik dibawah pangkuanku, dikatakan seseorang mengasuh tetangganya, ketika mendidik dan menggembala kudanya, serta memberi makan kudanya, penafsiran kata “aini” dengan dibawah pangkuanku itu adalah riwayat yang shohih.

Ayat di atas, secara umum memberikan gambaran akan sambutan Allah atas permohonan Nabi Musa As yang tulus itu. Yakni diilhamkan sehingga Musa selamat dari rencana Fir’aun. Ilham itu adalah perintah meletakkan dan menghanyutkan Musa ke sungai Nil, dan atas kasih sayang Allah, sehingga siapapun yang memandangnya akan merasa tertarik dan menaruh kasih dan cinta kepada Musa. “dan supaya engkau diasuh” secara terhormat “di bawah pengawasan-Ku.

Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid III, h. 458.

Al-Syaukani menafsirkan ‘aini dengan di bawah pangkuan-Ku. Artinya Nabi Musa diasuh oleh Istri Firaun laksana mengasuh anaknya sendiri.

Di samping pendapat di atas, al-Syaukani juga mengartikan wajah wajh (wajah) dengan Allah. Sebagaimana penafsiran al-Syaukani dalam ayat

88 surat al-Qasas (28):

. ﻪﻬﺠﻭ ﻪﺒ ﺩﻴﺭﺃ ﺎﻤ ﻻﺇ : لﺎﻗ " ﻪﻬﺠﻭ ﻻ ﺇ ﻙﻟﺎﻫ ﺀﻲﺸ لﻜ " ﺱﺎﺒﻋ ﻥﺒﺍ ﻥﻋ Imam Mardaweh ikut mentakhrij ketika turun ayat “semua yang

ada di muka bumi ini akan binasa”. Malaikat berkata: celakalah penduduk bumi, maka ketika turun ayat “setiap orang akan merasakan kematian” malaikatpun berkata celakalah setiap orang, dan ketika turun ayat “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah” Malaikat berkata lagi celakalah penduduk langit dan penghuni bumi. Dan Imam Abd bin Hamid dari Ibnu Abbas mentakhrij “Tiap-tiap sesuatu pasti binasa, kecuali Allah” dia mentafsirkan dengan “kecuali sesuatu apa yang Allah kehendaki”.

Dari penafsiran al-Syaukani di atas, memberikan titik terang bahwa ayat ini melukiskan bahwa segala sesuatu akan binasa, harta, kedudukan, kekuasaan, dunia, dan bahkan segala penghuninya bahkan alam raya dan segala isinya, penduduk langit dan bumi. Baik yang kita ketahui atau tidak. Dan yang tinggal hanya Allah. Kepada-Nya segala sesuatu akan kembali dan tiada tempat berlindung kecuali Allah semata. Dan al-Syaukani mengakhiri

Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid IV, h. 228.

Sedang dalam menafsirkan ayat 75 surat Sâd (38) yang di dalamnya terdapat kata bi yaday, al-Syaukani mengatakan dalam penafsirannya yaitu:

“Allah berfirman: "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku” yakni apa yang membuat kamu enggan dan membangkan untuk berusujud terhadap hamba yang kuciptkan dengan tanpa adanya perantara, dan kami bubuhi penuh dengan nilai-nilai kemulyaan, sebagaimana Allah adalah sang Pencipta segala sesuatu, baik itu menciptakan nyawa, rumah, onta serta masjid-masjid.”

Setelah ayat yang sebelumnya yang mengurai keengganan Iblis untuk sujud kepada Nabi Adam as., ayat di atas mengurai kecaman Allah kepada Iblis. Ayat di atas menyatakan bahwa Allah berfirman : "Hai iblis, apakah yang menghalangi kamu sujud kepada yang telah Ku-ciptakan dengan kedua tangan-Ku”. Kata “yadai” (dengan kedua tangan) menurut Quraish Shihab, sebagai berikut:

“Kalimat khalaqtu bi yadai, diperbincangkan oleh para ulama Ada yang mengambil jalan pintas, lantas berkata ada sifat khusus yang disandang Allah dengan nama itu sambil menegaskan bahwa Allah Maha Suci dari segala sifat kebendaan dan keserupaan makhluk. Ada

Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid IV, h. 528.

Al-Syaukani dalam keterangannya di atas, memahami kata yadayya nampaknya lebih kepada isyarat tentang betapa manusia memperoleh

pengangan khusus dan penghormatan dari Allah Swt. Dari sini pula sehingga ayat di atas, tidak menggunakan kata tunggal untuk kata yadai/tangan tetapi bentuk dual yakni yadayya/kedua tangan-Ku.

Kemudian dalam menafsirkan ayat 67 surat al-Zumar (39) yang didalamnya terdapat kata biyamînih, al-Syaukani mengatakan bahwa Allah bertangan kanan, maksud utamanya ialah mendekatkan pahamnya kepada kita. Namun hakikat sebenarnya, demikian kata al-Syaukani yaitu bersangkut paut dengan qudrat Ilahi yang mutlak, yang tidak terikat oleh bentuk dan tidak terbatas. Sebagaimana al-Syaukani menafsirkannya sebagai berikut:

“Dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya” penyebutan tangan kanan yaitu untuk mencapai proses sempurna dalam

M. Quraish Shihab, Tafsir al-Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian al-Qur’an, (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. V, vol. 12, h. 170.

Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid IV, h. 546.

Ayat di atas, mengecam kaum musyrikin dengan menyatakan sesungguhnya mereka telah melakukan kedurhakaan yang besar yakni mempersekutukan Allah padahal bumi dan beserta isisnya adalah dalam genggaman tangan-Nya. Al-Syaukani memahami yamînih nampaknya secara metafora dalam arti kekuasaan atau kerajaan. Agaknya yang dimaksud di sini

adalah kekuasaan Allah Swt. Penggalan ayat di atas, adalah salah satu di antara, yang menggambarkan sebagian dari hakikat kuasa Allah yang mutlak, yang tidak terikat oleh satu bentuk, tidak juga memerlukan tempat atau dibatasi oleh batas-batas apapun. Demikian al-Syaukani

Dan akhirnya kata jâ’a Rabbuka (telah datang Tuhanmu) dalam ayat

22 surat al-Fajr (89), juga diberi ta’wil oleh al-Syaukani dengan ketentuan Tuhan. Al-Syaukani menulis sebagai berikut:

“Dan datang “Tuhanmu” yakni datang perintah dan ketentuannya dan jelaslah tanda-tandanya, ada juga yang

Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid V, h. 522.

Ayat di atas merupakan kecamana terhadap ayat sebelumnya yang mengaku memberikan kemuliaan dan memberi makan anak yatim, al- Syaukani memberikan keterangan bahwa “dan datang Tuhanmu, yakni

datang dalam bentuk yang sesuai dengan keagungan dan kesucian-Nya atau hadirlah ketetapannya, serta nampak dengan jelas kuasa dan keagungan- Nya.

Uraian di atas, menunjukkan bahwa secara kuantitatif al-Syaukani sebenarnya lebih cenderung kepada pandangan yang di anut di kalangan pemikir kalam rasional-tradisioanl. Dikatakan rasional yakni memahami nash- nash antrpomorfisme tersebut tidak dalam makna harfiahnya, tetapi dalam makna metaforisnya. Dari lima kasus yang disebut di atas, yakni: ‘alâ al-‘arsyi istawâ, ‘ainî, wajh, biyamînih, dan jâ’a Rabbuka, dipahami al-Syaukani tidak dalam makna harfiyahnya, tetapi ia mempergunakan makna metaforis. Namun di sisi lain, ditemukan juga penafsiran al-Syaukani, yang cenderung ke corak tradisional seperti pada surat al-A’raf di atas.

Dengan demikian, dapatlah disimpulkan bahwa pada hakekatnya al- Syaukani, bila berhadapan dengan nash-nash antropomorfisme tersebut, cenderung menggunakan takwil dan kadang juga memaknai secara lahir.

2.Ru’yatullah.

Dalam menghadapi masalah ru’yatullah (melihat Tuhan), al-Syaukani adalah penganut faham akidah Salafiyah, oleh karena itu setiap kali al- Syaukani menemukan ayat-ayat mutasyâbih selalu membawanya kepada makna dzahir. 323

Sebagaimana diketahui bahwa ayat-ayat al-Qur’an yang dipergunakan sebagai dalil dalam membicarakan masalah melihat Tuhan ini, dalam ilmu kalam adalah ayat 103 surat al-An‘Âm, ayat 143 surat al-A‘râf, ayat 26 surat Yûnus, dan ayat 23-24 surat al-Qiyâmah.

Ayat 103 surat al-An‛âm (6), ditafsirkan oleh al-Syaukani dengan penjelasan sebagai berikut:

“Dia tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata,” kata “al- abshar” adalah bentuk jama dari kata ”bashar” artinya penglihatan, yakni mengetahui sesuatu yang diperlihatkan. “sedang Dia dapat melihat segala yang kelihatan” yakni mengetahuinya segala sesuatu dan tidak bisa disembunyi-bunyikan, mengkhususkan dengan menggunakan kata “al-Abshar” untuk kesesuaian dengan kalimat sebelumnya. “dan Dialah yang Maha halus” yakni maha lembut

Lihat, Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid I, h. 371.

Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid II, h. 190.

Kata al-absâr dalam penafsiran al-Syaukani di atas, adalah bentuk jama’ dari kata basar yang menyatakan bahwa Dia, yakni Allah tidak dapat

dijangkau dalam bentuk apapun oleh penglihatan mata makhluk, sedang Dia dapat dapat menjangkau, yakni melihat dan menguasai segala apa yang dapat terlihat. Jika demikian, ketidakmampuan makhluk melihat Allah dengan mata kepala disebabkan oleh kelemahan potensi penglihatan makhluk itu sendiri. Kemudian lanjut al-Syaukani, kata al-latîf yang mengandung arti lembut, halus, mengindikasikan tentang penyucian Allah dari persamaannya dengan mahluk serta uraian tentang ketidakmampuan indera dan akal manusia untuk menjangkau Dzat dan sifat-Nya. Atas dasar itulah kata al-Latîf di sini lebih baik dipahami dalam arti Maha Tersembunyi.

Lebih jauh al-Syaukani mengatakan, bahwa jangankan melihat Tuhan yang Mahagaib, alam raya sekalipun banyak yang tidak mampu di capai oleh mata, baik itu yang berada di luar diri manusia, ataupun yang berada di dalam diri manusia. Namun lebih dari itu, bahwa sesungguhnya Allah mampu mengetahui segala sesuatu dan tidak seorangpun mampu menyembunyikan dari rekaman Allah.

Tafsir yang diberikan oleh al-Syaukani terhadap Surat al-A‛râf (7) ayat 143 adalah sebagai berikut:

،ﺃﺩﺼﻟﺍ ﻥﻤ ﻪﺘﺼﻠﺨﺃ : ﻑﻴﺴﻟﺍ ﺕﻭﻠﺠﻭ ،ﺎﻬﺘﺯﺭﺒﺃ ﻱﺃ : ﺱﻭﺭﻌﻟﺍ ﺕﻭﻠﺠ ﻙﻟﻭﻗ ﻥﻤ ،ﺭ ﻬﻅ : ﻩﺎﻨﻌﻤ ﻩﺭﻤﺃ ﻭﻫ ﻲﻠﺠﺘﻤﻟﺍ لﻴﻗﻭ ،ﹰﺎﻜﺩ ﻪﻠﻌﺠ لﺒﺠﻠﻟ ﻪﺒﺭ ﺭﻬﻅ ﺎﻤﻠﻓ : ﻰﻨﻌﻤﻟﺍﻭ . ﻑﺸﻜﻨﺍ : ﺀﻲﺸﻟﺍ ﻰﻠﺠﺘﻭ ﺭﺎﺼﻓ ﹰﺎﻗﻭﻗﺩﻤ ﹰﺎﻜﻭﻜﺩﻤ ﻪﻠﻌﺠ ﻱﺃ : لﻭﻌﻔﻤﻟﺍ ﻰﻨﻌﻤﺒ ﺭﺩﺼﻤ ﻙﺩﻟﺍﻭ ﻩﺭﻴﻏﻭ ﺏﺭﻁﻗ ﻪﻟﺎﻗ ،ﻪﺘﺭﺩﻗﻭ ﻰﻠﻋ ﺎﻤﺃﻭ ،ﺓﺭﺼﺒﻟﺍ لﻫﺃﻭ ﺔﻨﻴﺩﻤﻟﺍ لﻫﺃ ﻡﻫﻭ ،ﺭﺩﺼﻤﻟﺎﺒ ﹰﺎ ﻜﺩ ﺃﺭﻗ ﻥﻤ ﺓﺀﺍﺭﻗ ﻰﻠﻋ ﺍﺫﻫ ،ﹰﺎﺒﺍﺭﺘ ﻲﻫﻭ ،ﺕﺍﻭﺍﺭﻤﺤﻭ ﺀﺍﺭﻤﺤﻜ ﺕﺍﻭﺎﻜﺩ ﻊﻤﺠﻟﺍﻭ ،ﺙﻴﻨﺄﺘﻟﺍ ﻰﻠﻋ ﺀﺎﻜﺩ " ﻪﻠﻌﺠ " ﺔﻓﻭﻜﻟﺍ لﻫﺃ ﺓﺀﺍﺭﻗ

ﹰﺍﺭﻴﻐﺼ ﺭﺎﺼ لﺒﺠﻟﺍ ﻥﺃ : ﻰﻨﻌﻤﻟﺎﻓ ،ﺔﻴﻭﺘﺴﻤﻟﺍ ﺽﺭﻸﻟ ﻭﺃ ﺽﺭﻷﺍ ﻥﻤ ﺓﺯﺸﺎﻨﻟﺍ ﺔﻴﺒﺍﺭﻠﻟ ﻡﺴﺍ ﺕﺍﻭﺎﻜﺩﻟﺍﻭ ،ﻙﺩﺃ ﺎﻫﺩﺤﺍﻭ ﺽﺍﺭﻌﻟﺍ لﺎﺒﺠﻟﺍ : ﻙﺩﻟﺍ : ﻲﺌﺎﺴﻜﻟﺍ لﺎﻗ . ﺔﻴﻭﺘﺴﻤ ﹰﺎﻀﺭﺃ ﻭﺃ ﺔﻴﺒﺍﺭﻟﺎﻜ ﻡﻠﻓ ﺽﺭﻷﺍ ﻥﻤ ﺩﺒﺘﻟﺍ ﺎﻤ : ﻙﺩﺎﻜﺩﻟﺍﻭ ،ﻅﻼﻐﻟﺎﺒ ﺕﺴﻴﻟ ﻥﻴﻁ ﻥﻤ ﺏﺍﻭﺭ ﻲﻫﻭ ،ﺀﺎﻜﺩ ﻊﻤﺠ : ﺔﻘﻋﺎﺼﻟﺍ ﻥﻤ ﹰﺍﺫﻭﺨﺄﻤ ﻪﻴﻠﻋ ﹰﺎﻴﺸﻐﻤ ﻱﺃ " ﹰﺎﻘﻌﺼ ﻰﺴﻭﻤ ﺭﺨﻭ " ﺎﻬﻟ ﻡﺎﻨﺴ ﻻ : ﺀﺎﻜﺩ ﺔﻗﺎﻨﻭ ،ﻊﻔﺘﺭﻴ

٣٢٥ . ﻪ ﻟ ﺔﻘﻋﺎﺼﻟﺍ ﺔﺒﺎﺼﺇ ﺩﻨﻋ ﻪﻴﻠﻋ ﻰﺸﻐﻴ ﻥﻤ لﺎﺤﻜ ﻪﻴﻠﻋ ﻲﺸﻏ ﺎﻤﻟ ﻪﻟﺎﺤ ﺭﺎﺼ ﻪﻨﺃ : ﻰﻨﻌﻤﻟﺍﻭ

“Dan Tuhan telah berfirman (langsung) kepadanya” yakni Allah mendengarkan pembicaraan Musa tanpa ada hijab dan fiman- Nya “Ya Tuhanku nampakkanlah (diri Engkau) agar aku dapat melihat kepada Engkau” yakni nampakkanlah bentuk diri Engkau agar aku dapat melihat langsung kepada Engkau, yakni memohon kepada Tuhan untuk memperlihatkan diri-Nya karena Musa rindu ingin melihat apa yang didengar dalam isi pembicaraanya. Dan permohonan Musa untuk melihat ini, mengindikasikan adanya kebolehan baginya untuk melihat diri Tuhan, walaupun, itu adalah hal yang mustahil baginya untuk melihat sesuai apa yang dia minta. Sementara jawaban atas pertanyaan itu adalah firman-Nya “Kamu sekali-kali tidak sanggup melihat-Ku” ini menunjukan bahwa Musa tidak bisa melihat apa yang di mohon pada saat itu, ataupun dia tidak bisa melihat selagi yang melihat itu hidup di muka bumi. Adapun penglihatannya kepada Tuhannya nanti pada hari kiamat sudah ditetapkan pada hadits mutawatir yang tidak bisa diragukan lagi bagi orang yang mengetahui hadits yang agung, dan bagi orang mempermasalahkanya atau orang yang menghindarinya yang sudah tahu kebenarannya, tetapi keyakinan itu berlaku bagi madzhab yang

Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid V, h. 308-309.

325

diikuti oleh orang banyak, serta sudah dikenal oleh nenek moyangnya, serta penduduk kampungnya tanpa adanya perhatian khusus terhadap apa yang diharapkan dari hambanya atas syariah yang agung yang akan mengakibatkan fanatisme. Dan orang yang fanatic walaupun penglihatannya itu sehat padahal penglihatannya itu adalah tuli, dan telinganya untuk mendengarkan kebaikan adalah gagap, menolak kebenaran dia mengira bahwa apa yang dia tolak itu adalah tidak salah, juga memperkirakan yang terjadi selama ini adalah benar, padahal dia itu adalah bodoh dan tidak mengetahui akan apa yang telah Allah wajibkan kepadanya untuk melihat yang benar serta menerima apa yang telah dijelaskan dalam Al-Kitab dan As-Sunnah dengan penuh ketundukan dan kepasrahan. Adapun untuk meminimalisir perbedaan setelah lahirnya beberapa madzhab ini baik dalam masalah ushuliyyah maupun furu’iyyah, maka sudah dikategorikan dalam pembahasan tentang kebenaran secara absolut, dan cara pemisahannya dengan cara akurat. Perintah Allah SWT serta petunjuk-Nya: ditelantarkan oleh sebuah kaum. Karena mereka mengikuti hawa nafsu walaupun sudah tau bahwa itu adalah benar “Tuhan berfirman: Kamu sekali-sekali tidak akan sanggup melihatku” diawali dengan adanya jawaban atas pertanyaan kurang lebih seperti ini: Maka apa yang Allah katakan kepadanya? Sesuai dengan firman- Nya ”tetapi lihatlah ke bukit itu, maka jika ia tetap di tempatnya (sebagai sediakala) niscaya kamu dapat melihatku” maknanya adalah bahwa kamu tetap tidak bisa melihatku, maka lihatlah!”maka jika ia tetap di tempatnya (Sebagai sediakala)” tidak berpindah-pindah “maka niscaya kamu akan melihatku” jika susah juga, maka kamu tidak akan bisa, inilah perumpamaan dialog Musa AS di atas bukit.

Ayat ini sudah menjadi pegangan aliran Mu’tazilah dan Asya’riyyah. Aliran Mu’tazillah berdalil dengan firman Allah “kamu tetap tidak akan bisa melihat-Ku” dan beserta perintahnya untuk melihat ke bukit. Sementara Asy’ariyah mereka berargumen bahwa kaitannya melihat Tuhan dengan bukit, itu mengindikasikan bisa melihat Tuhan tanpa ada halangan, perbedaan mereka bukan terletak pada masalah melihat Tuhan di dunia, tetapi terletak pada perbedaan yang terjadi pada masa sahabat, dan masalah ini sudah terkenal di antara mereka.

“Tatkala Tuhannya menampakkan diri kepada gunung itu, dijadikannya gunung itu hancur luluh”, kata “tajalla” artinya menampakkan/memperlihatkan, seperti kutampakkan pedang, dan kata “menampakkan sesuatu” berarti membukanya, jadi maknanya sama dengan “takala Tuhanmu memperlihatkan diri kepada gunung itu” sementara kata “al-dakk” adalah bentuk masdar tetapi memiliki makna maf’ul, yakni “dijadikannnya hancur luluh” dan akhirnya menjadi “tanah” pendapat ini bagi mereka yang membaca kata “ad- dakk” sebagai bentuk “mashdar”, diantaranya orang-orang Madinah dan Bashrah.

Permintaan Musa untuk melihat wajah Tuhan itu disambut oleh Allah dengan cinta kasih. Pada ayat di atas, Allah menyatakan bahwa sekali-kali

(Dia) Allah tidak dapat dilihat. Hal ini tidak dapat diterangkan. Lihat saja ke bukit Tursina. Jika nanti bukit itu tetap tempatnya, maka Musa nanti akan melihat wajah Allah di sana. Namun, apa yang terjadi, tatkala Tuhan menampakkan diri pada gunung itu, maka hancurlah ia, dan tersungkurlah Musa. Dialog di atas antara Musa dan Allah mengindikasikan bahwa Tuhan memang tidak bisa dilihat dengan mata kepala.

Ayat di atas, menjadi bahasan panjang lebar, khususny di kalangan para teolog tentang bisa tidaknya Tuhan dilihat manusia di dunia atau di ahirat nanti. Dalam penafsiran al-Syaukani juga dikatakan, bahwa ayat di atas menjadi pegangan dan perdebatan antara As’ariyah dan Mu’tazilah dengan alasan masing-masing. Sebagaimana al-Syaukani memaparkan:

Ayat ini sudah menjadi pegangan aliran Mu’tazilah dan Asya’riyyah. Aliran Mu’tazillah berdalil dengan firman Allah “kamu tetap tidak akan bisa melihat-Ku” dan beserta perintahnya untuk melihat ke bukit. Sementara Asy’ariyyah mereka berargumen bahwa kaitannya melihat Tuhan dengan bukit, itu mengindikasikan bisa melihat Tuhan tanpa ada halangan, perbedaan mereka bukan terletak Ayat ini sudah menjadi pegangan aliran Mu’tazilah dan Asya’riyyah. Aliran Mu’tazillah berdalil dengan firman Allah “kamu tetap tidak akan bisa melihat-Ku” dan beserta perintahnya untuk melihat ke bukit. Sementara Asy’ariyyah mereka berargumen bahwa kaitannya melihat Tuhan dengan bukit, itu mengindikasikan bisa melihat Tuhan tanpa ada halangan, perbedaan mereka bukan terletak

Sementara itu, kata ziyadah dalam Surat Yûnus (10) ayat 26 di tafsirkan oleh al-Syaukani dengan Allah akan memberi tambahan pahala dengan keutamaan atau bertemu langsung dengan hadirat Allah. Untuk lebih jelasnya penafsiran tersebut sebagai berikut:

“Bagi orang-orang yang berbuat baik, ada pahala yang terbaik (surga) dan tambahannya” yaitu orang-orang yang berbuat baik dengan cara melaksanakan apa yang diperintahkan Allah kepada mereka serta menjauhi segala seuatu yang berbau maksiat, yang dimaksud dengan kata “al-husna” adalah pahala yang terbaik, atau ada yang mengatakan adalah “surga” sementara yang dimaksud dengan “ziyadah” adalah Allah akan memberi tambahan pahala dengan keutamaan seperti dalam firman-Nya “Allah akan mencukupi pahala mereka dan menambahkannya dengan keutamaan” dan ada juga yang mengatakan bahwa “al-ziyadah” adalah bertemu langsung dengan hadirat Allah.

Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid V, h. 309.

Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid II, h. 554.

Penafsiran di atas, di akhiri oleh al-Syaukani dengan mengatakan “bahwa “al-ziyadah” adalah bertemu langsung dengan hadirat Allah.”. 328

Agaknya tidak terlalu berlebihan kalau dikatakan bahwa, walaupun al- Syaukani secara tidak tegas menyebut melihat dengan mata kepala, memberikan pemahaman bahwa dalam penafsiran al-Syaukani yakni, Tuhan dapat dilihat, akan tetapi tidak dengan mata kepala.

Selanjutnya surat al-Qiyâmah (75) ayat 22- 23 di tafsirkan oleh al- Syaukani sebagai berikut:

“Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri” yakni mendapatkan kenikmatan yang indah, dikatakan pepohonan terlihat indah laksana rumput terlihat indah, yakni begitu indah dan penglihatan terhadap alam kehidupan begitu indah dan menyenangkan.

“Kepada Tuhannyalah mereka Melihat” ini termasuk pandangan mata, yaitu merasa melihat terhadap sang pencipta dan terhadap sang pemilik penglihatan, inilah pendapat mayoritas ulama, dan pendapat ini sesuai dengan masksud hadits sahih bahwa hamba- hamba Allah yang akan melihat Rabbnya di hari kiamat nanti laksana mereka melihat bulan di malam bulan purnama.

328 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, h. 554. 329 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj

Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid V, h. 401.

Ayat di atas, menjelaskan bahwa ada wajah-wajah pada hari akhirat itu berseri-seri, yakni wajah orang-orang yang tidak lengah akan kehidupan akhirat dan mempersiapkan diri menghadapnya. Kemudian ilâ Rabbihâ/kepada Tuhan-Nya bertujuan membatasi penglihatan itu hanya kepada Allah. Seakan-akan mereka tidak melihat kepada selain-Nya. Nampaknya al-Syaukani ketika menafsirkan kata nâdirah dalam arti melihat dengan mata kepala, walau dalam konteks ayat ini banyak di antara mereka yang menggarisbawahi bahwa melihat yang dimaksud itu adalah dengan

pandangan khusus. Selanjutnya dalam menafsirkan surat al-Kahfi (18) ayat 110, al- Syaukani menafsirkan ayat ini dengan memberikan hukum sebab akibat, dengan mengatakan barang siapa yang mengharap perjumpaan dengan Allah maka hendaknya ia beriman dan beramal salih, maka buah dari iman dan amal salih akan memberikan pahala bagi yang mengerjakannya. Jelasnya sebagai berikut:

“Barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya” harapan itu akan menghasilkan kebaikan pada masa akan datang, maknanya adalah barang siapa yang mengharap apa yang dikehendaki orang-orang beriman “maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh” kalimat ini mengindikasikan segala sesuatu yang

Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid III, h. 400.

Penafsiran dari ayat di atas, menggambarkan bahwa siapa yang hendak bertemu dengan Allah, maka hendaknya beramal yang baik. Hal ini menjadikan amal yang dimaksud sebagai natîjah (hasil) dari keimanan kepada Allah. Dan ayat di atas, menyatakan harapan akan pertemuan dengan Allah, yakni walaupun belum sampai kepada tingkat keyakinan, sudah cukup dengan melakukan kebajikan. Memang dengan harapanpun seseorang sudah terdorong untuk beramal saleh, apalagi kalau dia sepenuhnya yakin.

Dari beberapa penafsiran al-Syaukani di atas, jelas terlihat bahwa al- Syaukani memahami masalaha ru’yatullah ini sejalan dengan kalam rasional, yakni Tuhan memang dapat dilihat, akan tetapi bukan dengan mata kepala.

3. Khalq al-Qur’ân. Masalah yang mengemuka adalah, apakah al-Qur’an itu makhluq (diciptakan), ataukah qadîm (abadi), al-Syaukani mencoba menghindarkan diri dari perdebatan yang hebat dan sangat tajam berkenaan dengan masalah ini. Hal ini bisa di pahami dari pendapatnya yang menyatakana bahwa:

Al-Syaukani tidak menyenangi sikap ahli sunnah, dan juga sikap Mu’tazilah tentang masalah penciptaan al-Qur’an, dia bersikap koperatif terhadap ulama yang memilih diam (tawaqquf) dalam masalah ini. Dia mengecam orang yang memutuskan bahwa al-Quran itu qodim dan Makhluk 331

Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid III, h. 497.

Dalam rangka memperoleh pemahaman terhadap pemikiran al- Syaukani, untuk lebih jelasnya baiklah akan di kemukakan penafsiran al- Syaukani berkenaan dengan penciptaan al-Qur’an.

Sikap tawaqqufnya al-Syaukani bisa dilihat melalui penafsiran Surat al-Anbiya’ (21) : 2 sebagai berikut:

ﻪﻨﻭﻜﻟ ﺭﻜﺫﻟﺍ ﻑﺼﻭﺒ لﺩﺘﺴﺍ ﺩﻗﻭ ،ﺔﻴﺎﻐﻟﺍ ﺀﺍﺩﺘﺒﻻ ﻥﻤ ﺙﺩﺤﻤ " ﻡﻬﺒﺭ ﻥﻤ ﺭﻜﺫ ﻥﻤ ﻡﻬﻴﺘﺄﻴ ﺎﻤ " ﺙﻭﺩﺤ ﻲﻓ ﻉﺍﺯﻨ ﻻ ﻪﻨﺄﺒ ﺏﻴﺠﺃﻭ . ﻥﺁﺭﻘﻟﺍ ﻭﻫ ﺎﻨﻫ ﺭﻜﺫﻟﺍ ﻥﻷ ،ﺙﺩﺤﻤ ﻥﺁﺭﻘﻟﺍ ﻥﺃ ﻰﻠﻋ ﹰﺎﺜﺩﺤﻤ

ﺎﻤﻨﺇﻭ ،ﻪﻠﻴﺯﻨﺘ ﺙﺩﺤﻤ ﻰﻨﻌﻤﻟﺎﻓ . لﻭﺯﻨﻟﺍ ﻲﻓ ﺩﺩﺠﺘﻤ ﻪﻨﻷ ،ﻑﻭﺭﺤﻟﺍﻭ ﺕﺍﻭﺼﻷﺍ ﻥﻤ ﺏﻜﺭﻤﻟﺍ ﻥﻤ ﺭﻴﺜﻜ ﺎﻬﺒ ﻲﻠﺘﺒﺍ ﺩﻗ ﻪﺜﻭﺩﺤﻭ ﻥﺁﺭﻘﻟﺍ ﻡﺩﻗ ﻲﻨﻋﺃ : ﺔﻟﺄﺴﻤﻟﺍ ﻩﺫﻫﻭ ، ﻲﺴﻔﻨﻟﺍ ﻡﻼﻜﻟﺍ ﻲﻓ ﻉﺍﺯﻨﻟﺍ ﻥﺒ ﺩﻤﺤﺃ ﻡﺎﻤﻺﻟ ﻯﺭﺠﻭ ،ﺔﻴﻘﺜﺍﻭﻟﺍﻭ ﺔﻴﻤﺼﺘﻌﻤﻟﺍﻭ ﺔﻴﻨﻭﻤﺄﻤﻟﺍ ﺔﻟﻭﺩﻟﺍ ﻲﻓ لﻀﻔﻟﺍﻭ ﻡﻠﻌﻟﺍ لﻫﺃ ﺭﺼﻨ ﻥﺒ ﺩﻤﺤﻤ ﻕﻨﻋ ﺎﻬﺒﺒﺴﺒ ﺏﺭﻀﻭ ،لﻴﻭﻁﻟﺍ ﺱﺒﺤﻟﺍﻭ ﺩﻴﺩﺸﻟﺍ ﺏﺭﻀﻟﺍ ﻥﻤ ﻯﺭﺠ ﺎﻤ لﺒﻨﺤ ،ﺭﻜﺫﺘ ﻥﺃ ﻥﻤ ﺭﻬﺸﺃ ﺔﺼﻘﻟﺍﻭ ،ﻩ ﺩﻌﺒ ﺎﻤﻭ ﺕﻗﻭﻟﺍ ﻙﻟﺫ ﻲﻓ ﺔﻤﻴﻅﻋ ﺔﻨﺘﻓ ﺕﺭﺎﺼﻭ ،ﻲﻋﺍﺯﺨﻟﺍ ﺀﻼﺒﻨﻟﺍ ﺏﺎﺘﻜ ﻲﻓ لﺒﻨﺤ ﻥﺒ ﺩﻤﺤﺃ ﻡﺎﻤﻹﺍ ﺔﻤﺠﺭﺘ ﻊﻟﺎﻁ ﺎﻬﺘﻘﻴﻘﺤ ﻰﻠﻋ ﻑﻭﻗﻭﻟﺍ ﺏﺤﺃ ﻥﻤﻭ ﻕﻠﺨﺒ لﻭﻘﻟﺍ ﻰﻟﺇ ﺔﺒﺎﺠﻹﺍ ﻥﻤ ﻡﻬﻋﺎﻨﺘﻤﺎﺒ ﺔﻨﺴﻟﺍ ﺔﻤﺌﺃ ﺏﺎﺼﺃ ﺩﻘﻟﻭ . ﻲﺒﻫﺫﻟﺍ ﻡﻼﺴﻹﺍ ﺥﺭﺅﻤﻟ ﻰﻟﺇ ﻙﻟ ﺫ ﺍﻭﺯﻭﺎﺠ ﷲﺍ ﻡﻬﻤﺤﺭ ﻡﻬﻨﻜﻟﻭ ،ﻉﺍﺩﺘﺒﻻﺍ ﻥﻋ ﻪﻴﺒﻨ ﺔﻤﺃ ﻡﻬﺒ ﷲﺍ ﻅﻔﺤﻭ ﻪﺜﻭﺩﺤﻭ ﻥﺁﺭﻘﻟﺍ ﻡﻟ ﻡﻬﺘﻴﻟﻭ ،ﻑﻗﻭ ﻥﻤ ﺭﻴﻔﻜﺘ ﻰﻟﺇ ﻙﻟﺫ ﺍﻭﺯﻭﺎﺠ لﺒ ،ﻕﻭﻠﺨﻤ ﻥﺁﺭﻘﻟﺎﺒ ﻲﻅﻔﻟ لﺎﻗ ﻥﻤ ﺭﻴﻔﻜﺘ ﻥﻤ ﺢﻟﺎﺼﻟﺍ ﻑﻠﺴﻟﺍ ﻥﻤ ﻊﻤﺴﻴ ﻡﻟ ﻪﻨﺈﻓ ،ﺏﻭﻴﻐﻟﺍ ﻡﻼﻋ ﻰﻟﺇ ﻡﻠﻌﻟﺍ ﻉﺎﺠﺭﺇﻭ ﻑﻗﻭﻟﺍ ﺩﺤ ﺍﻭﺯﻭﺎﺠﻴ ﺀﻲﺸ ﺔﻟﺄﺴﻤﻟﺍ ﻩﺫﻫ ﻲﻓ لﻭﻘﻟﺍ ﺭﻭﻬﻅﻭ ﺔﻨﺤﻤﻟﺍ ﻡﺎﻴﻗ ﺕﻗﻭ ﻰﻟﺇ ﻡﻫﺩﻌﺒ ﻥﻤﻭ ﻥﻴﻌﺒﺎﺘﻟﺍﻭ ﺔﺒﺎﺤﺼﻟﺍ

،ﻪﻴﻟﺇ ﺍﻭﻋﺩ ﺎﻤ ﻰﻟﺇ ﺔﺒﺎﺠﻹﺍ ﻥﻤ ﻉﺎﻨﺘﻤﻻﺍ ﻥﺎﻜﻓ ،ﻙﻟﺫ ﻲﻓ ﺔﻤﻠﻜ ﻡﻬﻨﻋ لﻘ ﻨ ﻻﻭ ،ﻡﻼﻜﻟﺍ ﻥﻤ ﺔﻤﻼﺴﻟﺍ ﻪﻴﻓﻭ ،ﻰﻠﺜﻤﻟﺍ ﺔﻘﻴﺭﻁﻟﺍ ﻭﻫ ﻪﻤﻟﺎﻋ ﻰﻟﺇ ﻙﻟﺫ ﻡﻠﻋ ﻉﺎﺠﺭﺇﻭ ،ﻑﻗﻭﻟﺍ لﺎﻴﺫﺄﺒ ﻙﺴﻤﺘﻟﺍﻭ

332 . ﻪﻨﺎﺤﺒﺴ

ﷲ ﺭﻤﻷﺍﻭ ،ﷲﺍ ﺩﺎﺒﻋ ﻥﻤ ﻑﺌﺍﻭﻁ ﺭﻴﻔﻜﺘ ﻥﻤ ﺹﻭﻠﺨﻟﺍﻭ

“Tidak datang kepada mereka suatu ayat al-Qur’an pun yang baru dari Tuhan mereka” ini mengindikasikan sifat Al-Qur’an adalah baru, dan yang dimaksud “al Dzikr” di sini adalah Al-Qur’an.

Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid III, h. 497.

332

Terjawab bahwa tidak ada yang membantah bahwa susunan al- Qur’an adalah baru baik suara maupun huruf-hurufnya, karena turunnya al-Qur’an juga adalah baru. Dan yang menjadi perdebatan adalah mengenai firman-Nya itu sendiri, permasalahan ini mengemuka: bahwa lama barunya Al-Qur’an itu telah menjadi perhatian para ulama pada masa daulah Ma’muniyah, Muktasimiyyah serta pada masa Watsiqiyyah. Dan ini terjadi pada imam Ahmad Bin Hanbal yang mendapatkan hukuman berat serta lama dipenjara, juga mengakibatkan di hukum gantungnya imam Muhammad bin Nashr al- Khoza’I sehingga pada masa itu dan masa setelah itu menjadi fitnah yang dahsyat, dan sejarah yang monumental adalah dengan munculnya terjemahan Imam Ahmad bin Hanbal dalam kitab “An- Nubla” karangan sejarawan muslim Imam Al-Dzahaby. Dan telah terdengar oleh Imam-imam Ahli Sunnah dengan melarangnya mereka dengan menjawab perkataan orang yang menganggap bahwa al- Qur’an itu adalah makhluq serta al-Qur’an itu adalah baru. Mereka juga membolehkan kepada orang yang mengatakan bahwa lafadz al- Qur’an itu adalah makhluq, bahkan mereka juga sangat menghargai kepada orang yang tidak mengeluarkan pendapat (tawaquf). Tetapi mereka juga melarang untuk membatasi lamanya berdiam/tawaquf, karena tidak ditemukan pendapat dari ulama shalih, baik kalangan sahabat, tabiin maupun orang-orang setelah mereka sampai waktu terjadinya fitnah yang dahsyat serta mencuatnya masalah ini ke permukaan, maka larangan itu muncul lagi sebagai jawaban terhadap apa yang mereka hadapi, dan tetap berpegang untuk tidak mengeluarkan pendapat/diam dan kembalinya ilmu itu kepada orangnya adalah cara yang ideal, dan itu adalah cara yang damai serta pamrih sesuai dengan perintah Allah.

Dari penjelasan di atas, nampaknya al-Syaukani juga tidak sependapat dengan paham Mu’tazilah yang memandang bahwa al-Qur’an sebagai makhluk dan bersifat baharu. Sementara pendapat al-Asy’ariyah yang memandang al-Qur’an sebagai Qadim juga ditolaknya. Menurut al-Syauknai, Nabi Saw., para sahabat dan tabi’in, dan umumnya para ulama salaf tidak Dari penjelasan di atas, nampaknya al-Syaukani juga tidak sependapat dengan paham Mu’tazilah yang memandang bahwa al-Qur’an sebagai makhluk dan bersifat baharu. Sementara pendapat al-Asy’ariyah yang memandang al-Qur’an sebagai Qadim juga ditolaknya. Menurut al-Syauknai, Nabi Saw., para sahabat dan tabi’in, dan umumnya para ulama salaf tidak

Menurut al-Syaukani, jika masalah kebaharuan atau keqadiman al- Qur’an dibicarakan, ada dua bahaya yang muncul. Pertama, karena masalah ini tidak pernah dibicarakan oleh Nabi Saw, dan para ulam salaf, maka membicarakannya adalah bid’ah. Melakukan bid’ah adalah perbuatan terkutuk dan pelakunya masuk neraka. Kedua, jika masalah ini dibicarakan, maka tidak terelakkan akan muncul pertentangan, yang berjuang pada saling

mengkafirkan. Kalau sudah saling mengkafirkan, maka akan terjadi keretakan dalam tubuh umat Islam. 333

Dari penafsiran al-Syaukani di atas, menggambarkan betapa permaslahan al-Qur’an qadim atau makhluq, mengakibatkan ulam besar Imam Ahmad bin Hanbal di penjara, dan Imam Muhammad bin Nasr al- Khaza’I harus di hukum gantung karena memperdebatkan al-Qur’an qadim atau makhluq.

Inilah pembahasan penting yang terdapat di dalam tafsir Fath al-Qadîr yang telah memberikan kepada diri al-Syaukani kebebasan yang luas dalam mengkritisi pendapat-pendapat umum, ajaran-ajaran Mu’tazilah dan sikap diamnya Ahlussunnah. penulis kira setiap orang mempunyai potensi untuk mencela menghakimi suatu golongan, tinggal bagaimana menyikapi dengan arif tentunya dengan dalil-dalil yang kuat.

Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîts, 2007), jilid II, h. 384.