Penafsiran al-Syaukani terhadap Ayat-ayat Kalam tentang keadilan Tuhan

2. Penafsiran al-Syaukani terhadap Ayat-ayat Kalam tentang keadilan Tuhan

Faham keadilan Tuhan banyak tergantung pada faham kebebasan manusia dan faham sebaliknya, yaitu kekuasaan mutlak Tuhan. 214

Sebagaimana pandangan al-Syaukani tentang kekuasaan dan kehendak mutlak Tuhan, telah disinggung secara sepintas bahwa Tuhan berkuasa dan

211 Muhammad Yunan Yusuf, Corak Pemikiran Kalam, h. 96. 212 Harun Nasuition, Teologi Islam, h. 124. 213 Harun Nasuition, Teologi Islam, h. 124. 214 Harun Nasuition, Teologi Islam, h. 123.

berkehendak secara mutlak. Maka manusia dalam hal ini, seumpama wayang yang dimainkan dalangnya.

Konsep keadilan Tuhan yang dianut al-Syaukani nampaknya masuk dalam pengertian yang dibawa oleh kedua corak aliran kalam yakni tradisioanl dan rasional. Aliran tradisioanl menitik beratkan pada makna keadilan Tuhan yang mempunyai kekuasaan mutlak terhadap apa yang dimiliki-Nya. Sementara keadilan yang dipahami oleh aliran kalam rasioanal adalah yang memberikan makna keadilan pada kepentingan manusia.

Semangat keadialan seperti yang dipahami oleh aliran kalam rasional tergambar dengan jelas dalam penafsiran yang diberikan oleh al-Syaukani terhadap ayat-ayat kalam tentang keadilan Tuhan. Namun itu semua belum bisa di katakana bahwa paham keadilan al-Syaukani lebih cenderung kepada aliran rasional. Justru penafsiran al-Syaukani tentang keadilan Tuhan lebih bisa dikatakan masuk pada keduanya (rasional dan tradisioanl).

Katika al-Syaukani menafsirkan ayat 47 surat al-Anbiya’. Menurut al- Syaukani dalam penafsirannya:

ﻙﺎﻨﻫ ﻥﺃ ﻰﻠﻋ لﺩﻴ ﻭﻫﻭ ،ﻥﺍﺯﻴﻤ ﻊﻤﺠ ﻥﻴﺯﺍﻭﻤﻟﺍ " ﺔﻤﺎﻴﻘﻟﺍ ﻡﻭﻴﻟ ﻁﺴﻘﻟﺍ ﻥﻴﺯﺍﻭﻤﻟﺍ ﻊﻀﻨﻭ " ﺔﻔﺼ ﻲﻓ ﺔﻨﺴﻟﺍ ﻲﻓ ﺩﺭﻭ ﺩﻗﻭ ،ﻊﻤﺠﻟﺍ ﻅﻔﻠﺒ ﻪﻨﻋ ﺭﺒﻋ ،ﺩﺤﺍﻭ ﻥﺍﺯﻴﻤ ﺩﺍﺭﻴ ﻥﺃ ﻥﻜﻤﻴﻭ ،ﻥﻴﺯﺍﻭﻤ ،ﺓﺩﺎﻋﻹﺍ ﻥﻋ ﻲﻨﻐﻴ ﺎﻤ ﺍﺫﻫ ﻲﻓ ﻑﻬﻜﻟﺍ ﻲﻓﻭ ،ﻑﺍﺭﻋﻷﺍ ﻲﻓ ﻰﻀﻤ ﺩﻗﻭ ،ﺔﻴﺎﻔﻜ ﻪﻴﻓ ﺎﻤ ﻥﺍﺯﻴﻤﻟﺍ لﺼﻷﺍ ﻲﻓ ﺏﺴﺤﻟﺍﻭ ،ﻥﻴﺼﺤﻤ ﺎﻨﺒ ﻰﻔﻜ ﻱﺃ " ﻥﻴﺒﺴﺎﺤ ﺎﻨﺒ ﻰ ﻔﻜﻭ ". ﻥﻴﺯﺍﻭﻤﻠﻟ ﺔﻔﺼ ﻁﺴﻘﻟﺍﻭ

ﺎﻨﺒ ﻰﻔﻜ لﻴﻗﻭ ،ﻪﻅﻔﺤﻭ ﻪﻤﻠﻋ ﹰﺎﺌﻴﺸ ﺏﺴﺤ ﻥﻤ ﻥﻷ ،ﻥﻴﻤﻟﺎﻋ ﺎﻨﺒ ﻰﻔﻜ لﻴﻗﻭ ،ﺩﻌﻟﺍ ﻩﺎﻨﻌﻤ

٢١٥

. ﺭﺸﻭ ﺭﻴﺨ ﻥﻤ ﻩﻭﻤﺩﻗ ﺎﻤ ﻰﻠﻋ ﻥﻴﺯﺎﺠﻤ

215 Muhammad ibn ‘Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid III, h. 513.

“Kami akan memasang timbangan yang tepat pada hari kiamat” kata “al-mawazin” itu adalah bentuk jama dari kata “mîzan” itu mengindikasikan bahwa di hari kiamat itu ada beberapa timbangan, dan mungkin juga yang dimaksud adalah satu timbangan, diungkapkan dengan bentuk jama', sedikit banyaknya telah dielaborasi dalam Sunnah dalam pembahasan karakteristik pertimbangan dan juga telah banyak dikenal dan dalam surat Al-Kahfi kata-kata ini banyak diulang-ulang, dan sifat keadilan itu adalah sifat utama dalam pertimbangan. “dan cukuplah kami sebagai pembuat perhitungan” yakni dan cukuplah kami yang menguasai”, dan kata “al- hasbu/hitungan” itu makna leterleknya adalah “al-‘udd/ menghitung” dan ada juga yang mengatakan “dan cukuplah kami yang mengetahui” karena orang yang menghitung sesuatu itu adalah orang yang telah mengetahui dan menguasainya, dan juga ada yang mengatakan “dan cukuplah kami yang membalas terhadap apa yang mereka lakukan baik dan buruknya.

Penafsiran al-Syaukani di atas, mengungkap kata wawâzîn adalah bentuk jamak dari kata mîzân. Hal ini agaknya mengisyaratkan, bahwa setiap amal yang lahir maupun batin, kelak akan ditimbang atau mempunyai tolok ukur masing-masing, sehingga semua amal benar-benar menghasilkan ketepatan timbangan.

Jangan duga bahwa siksa yang mereka peroleh itu sewenang-wenang, atau tanpa tolok ukur yang adil. Sehingga mereka teraniaya. Tidak! Kami akan memasang timbangan yang adil pada hari kiamat, untuk menjadi tolok ukur kebaikan dan keburukan amal serta kualitasnya, maka di sana tiadalah dirugikan seseorang walu sedikitpun dengan penambahan keburukannya atau pengurangan kebaikannya. Dan cukuplah Allah sebagai pembuat perhitungan.

Sementara itu, ayat 54 surat Yâsîn (36) dalam tafsiran al-Syaukani mengandung arti bahwa Allah akan menghukum sesuai dengan perbuatanya, dan membalas sesuai dengan apa yang dikerjakannya tanpa dirugikan sedikitpun. Sebagaimana penafsiran al-Syaukani sebagai berikut:

“Maka pada hari itu seseorang tidak akan dirugikan sedikitpun” kata “nafsun” itu adalah bentuk jama dari kata “nufuus”, kata “sedikitpun” yakni terhadap haknya, tidak seorangpun bisa mengurangi perbuatan/amalnya sedikitpun, dan “dan kamu tidak dibalas, kecuali dengan apa yang Telah kamu kerjakan” yakni balasan terhadap apa yang telah kamu kerjakan di dunia, atau tidak akan dibalas kecuali karena kamu telah melakukannya” yakni karena telah berbuat.

Ayat di atas, mengandung makna baik orang taat maupun seseorang yang durhaka, maka ia tidak akan dirugikan sedikitpun akan ganjarannya sesuai dengan apa yang telah dikerjakan. Jika yang dilakukan keburukan, maka balasannya adil dan setimpal, dan jika kebajikan maka ganjaran yang akan diperoleh merupakan anugerah Allah yang berlipat ganda dari nilai amal kita.

Adapun ayat 46 surat Fusilat (41) ditafsirkan al-Syaukani dengan menonjolkan kebebasan manusia dalam memilih perbuatan baik ataupun

Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid IV, h. 447.

“Barangsiapa yang mengerjakan amal yang saleh, maka (pahalanya) untuk dirinya sendiri “ yakni barangsiapa yang taat kepada Allah dan beriman kepada Rasul-Nya serta tidak berbuat bohong maka pahalanya untuk dirinya sendiri, dan akan merasakan manfaatnya “dan barangsiapa mengerjakan perbuatan jahat, maka (dosanya) untuk dirinya sendiri” yakni pembalasannya akan dirasakan olehnya juga bukan oleh orang lain, “dan sekali-kali tidaklah Rabb-mu menganiaya hamba-hamba-Nya” Maka Dia tidak akan menganiaya seseorang kecuali karena dosanya, dan tidak pula menganiaya seseorang sebagaimana yang dimaksud dalam firmannya “Sesungguhnya Allah tidak akan menganiaya seseorang sedikitpun”.

Ayat di atas, memberikan pemahaman bahwa Allah tidak akan menyia-nyiakan amal baik tanpa ganjaran dan juga tidak membiarkan satu dosa tanpa tanpa perhitungan. Dan barang siapa yang berbuat jahat dalam

Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid IV, h. 619.

Keadaan Tuhan tidak melakukan aniaya terhadap hamba-Nya walaupun sebesar zarrah sekalipun, menurut al-Syaukani, memberikan jaminan bahwa Tuhan selamanya akan berlaku adil kepada hamba-bamba- Nya. Oleh sebab itu, tidaklah perlu khawatir, bahwa kebaikan yang diperbuat selama hidup di dunia ini tidak akan mendapat ganjaran dari Tuhan, bahkan

seberat zarrahpun tidaklah manusia akan dirugikan. Secara lebih jelas al- Syaukani mengatakan hal itu ketika menafsirkan surat al-Nisâ’ (4) ayat 40, surat al-Kahfi (18) ayat 49 dan al-An‛âm (6) ayat 160, sebagai berikut:

“Sesungguhnya Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar zarrah” maksud ayat ini adalah bahwa Allah tidak menganiaya seseorang, besar ataupun kecil, yakni Allah tidak akan mengurangi pahala kebaikan seseorang dan tidak pula menambahkan siksa kejahatan seseorang walaupun sebesar zarrah. Firman Allah “dan jika ada

niscaya Allah akan melipatgandakannya” dan firman Allah juga “dan memberikan dari sisi-Nya pahala yang besar” dan telah dijelaskan terlebih dahulu

Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid I, h. 623-624.

Penafsiran al-Syaukani memberikan isyarat bahwa Allah tidak menganiaya seseorang walaupun sebesar dzarrah, yakni sekecil apapun. Betapa Dia menganiaya, padahal Dia Maha Kuasa, dan yang ada di alam raya ini adalah ciptaan dan milik-Nya. Bahkan Allah memberikan ganjaran, jika ada kebajikan sebesar dzarrahpun, Allah pasti melipatgandakan yang tidak tergambar sebelumnya dalam benak siapapun.

Kemudian dalam surat al-Kahfi (18) : 49 al-Syaukani menafsirkan sebagai berikut:

ﻲﻓ ﺩﻴﻌﺴﻟﺍ : ﻩﺩﻴ ﻲﻓ ﺩﺤﺍﻭ لﻜ ﺔﻔﻴﺤﺼ ﻊﻀﻭﻴ ﻥﺄﺒ ﻲﺴﺤ ﺎﻤﺇ ﻊﻀﻭﻟﺍﻭ " ﺏﺎﺘﻜﻟﺍ ﻊﻀﻭﻭ " ﺭﻴﺨ ﻥﻤ ﺩﺤﺍﻭ لﻜ لﻤﻋ ﺭﻬﻅﺃ ﻱﺃ : ﻲﻠﻘﻋ ﺎﻤﺇﻭ . ﻥﺍﺯﻴﻤﻟﺍ ﻲﻓ ﻭﺃ ،ﻪﻟﺎﻤﺸ ﻲﻓ ﻲﻘﺸﻟﺍﻭ ،ﻪﻨﻴﻤﻴ ﻥﻴﻠﺠﻭ ﻥﻴﻔﺌﺎﺨ ﻱﺃ ﻪﻴﻓ " ﺎﻤﻤ ﻥﻴﻘﻔﺸﻤ ﻥﻴﻤﺭﺠﻤﻟﺍ ﻯﺭﺘﻓ " ﻡﻭﻴﻟﺍ ﻙﻟﺫ ﻲﻓ ﻥﺌﺎﻜﻟﺍ ﺏﺎﺴﺤﻟﺎﺒ ﺭﺸﻭ ﺏﺍﺫﻌﻟﺎﺒ ﺓﺍﺯﺎﺠﻤﻟﺍﻭ ،ﻊﻤﺠﻟﺍ ﻙﻟﺫ ﻲﻓ ﺡﺎﻀﺘﻓﻻﺍ ﻥﻤ ﻙﻟﺫ ﺏ ﻘﻌﺘﻴ ﺎﻤﻟ ﻉﻭﻀﻭﻤﻟﺍ ﺏﺎﺘﻜﻟﺍ ﻲﻓ ﺎﻤﻤ ﺍﺫﻫ ﻰﻨﻌﻤﻭ ،ﻙﻼﻬﻟﺍ ﻲﻓ ﻡﻬﻋﻭﻗﻭﻟ لﻴﻭﻟﺎﺒ ﻡﻬﺴﻔﻨﺃ ﻰﻠﻋ ﻥﻭﻋﺩﻴ " ﺎﻨﺘﻠﻴﻭ ﺎﻴ ﻥﻭﻟﻭﻘﻴﻭ " ﻡﻴﻟﻷﺍ " ﺎﻫﺎﺼﺤﺃ ﻻﺇ ﺓﺭﻴﺒﻜ ﻻﻭ ﺓﺭﻴﻐﺼ ﺭﺩﺎﻐﻴ ﻻ ﺏﺎﺘﻜﻟﺍ ﺍﺫﻫ لﺎﻤ " ﺓﺩﺌﺎﻤﻟﺍ ﻲﻓ ﻪﻘﻴﻘﺤﺘ ﻡﺩﻘﺘ ﺩﻗ ﺀﺍﺩﻨﻟﺍ

ﺎﻬﺘﺒﺜﺃﻭ ﺎﻬﻁﺒﻀﻭ ﺎﻫﺍﻭﺤ ﻻﺇ ﺓﺭﻴﺒﻜ ﺔﻴ ﺼﻌﻤ ﻻﻭ ﺓﺭﻴﻐﺼ ﺔﻴﺼﻌﻤ ﻙﺭﺘﻴ ﻻ ﻪﻟ ﺀﻲﺸ ﻱﺃ ﻱﺃ ﺍﻭﻠﻤﻋ ﺎﻤ ﺀﺍﺯﺠ ﺍﻭﺩﺠﻭ ﻭﺃ ،ﺔﺒﻭﻘﻌﻠﻟ ﺔﺒﺠﻭﻤﻟﺍ ﻲﺼﺎﻌﻤﻟﺍ ﻥﻤ ﺎﻴﻨﺩﻟﺍ ﻲﻓ ﺍﻭﻠﻤﻋ " ﺎﻤ ﺍﻭﺩﺠﻭﻭ " ﻻﻭ ،ﺏﻨﺫ ﺭﻴﻐﺒ ﻩﺩﺎﺒﻋ ﻥﻤ ﹰﺍﺩﺤﺃ ﺏﻗﺎﻌﻴ ﻻ ﻱﺃ ﹰﺍﺩﺤﺃ " ﻙﺒﺭ ﻡﻠﻅﻴ ﻻﻭ " ﹰﺎﺘﺒﺜﻤ ﹰﺎﺒﻭﺘﻜﻤ ﹰﺍﺭﻀﺎﺤ " " ٢١٩ . ﻪﻘﺤﺘﺴﻴ ﻱﺫﻟﺍ ﻩﺭﺠﺃ ﻥﻤ ﺔﻋﺎﻁﻟﺍ لﻋﺎﻓ ﺹﻘﻨﻴ

“Dan diletakkanlah kitab” kata “meletakan” makna implisitnya adalah seseorang meletakan kertas diatas tangannya. Kebahagiaan itu berada pada tangan kanannya dan kecelakaan berada pada tangan

219 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid 1, h. 366-369.

kirinya, atau dalam timbangannya. Sementara makna ekplisitnya adalah memperlihatkan perbuatan seseorang, baik itu perbuatan baik ataupun perbuatan jahat dengan penuh perhitungan pada hari kebangkitan, “lalu kamu akan melihat orang-orang bersalah ketakutan terhadap apa yang (tertulis) di dalamnya” yakni mereka ketakutan terhadap apa yang tertulis karena kesalahannya yang telah dilakukan pada masa itu, dan akan memberikan pembalasan dengan siksa yang pedih, “dan mereka berkata: "Aduhai celaka kami” mereka mengajak- ngajak terhadap yang lainnya kepada neraka wail untuk menempati tempat yang tragis, tempat orang-orang celaka, adapun makna panggilan ini adalah telah dijelaskan pada surat Al-Maidah “Kitab apakah Ini yang tidak meninggalkan yang kecil dan tidak (pula) yang besar, melainkan ia mencatat semuanya” kitab apakah ini yang tidak meninggalkan pebuatan dosa yang kecil tidak pula yang besar melainkan dia menjaganya, menghapalkannya, menetapkannya “dan mereka dapati apa yang telah mereka kerjakan ada (tertulis)” di dunia karena berbuat maksiat yang pasti akan mendapatkan siksaanya atau mereka menemukan pembalasan terhadap apa yang mereka kerjakan secara terang-terangan tertulis, dan ditetapkan “dan Tuhanmu tidak menganiaya seorang juapun” yakni Allah tidak akan menganiaya hambanya yang tidak berdosa dan tidak pula mengurangi pahala kebaikan seseorang yang sudah menjadi haknya.

Tafsiran al-Syaukani dapat dipahami bahwa setelah semua berkumpul di padang mahsyâr tempat melakukan perhitungan bagi semua manusia diletakkan, yakni diberikan kitab yang merinci amal-amal masing-masing. Ada dua tipe orang yang dikemukan dalam ayat tersebut, pertama orang yang beriman dan beramal saleh yang merasa gembira ketika melihat catatan amal-amalnya, sedangkan tipe yang kedua adalah para pendurhaka baik musyrik maupun muslim tetapi bergelimang dosa, tipe orang yang kedua ini merasa ketakutan seraya mereka berulang-ulang berkata: “Hai kecelakaan kami hadirlah”. Dan di akhir ayat ditutup dengan “Dan Tuhanmu tidak Tafsiran al-Syaukani dapat dipahami bahwa setelah semua berkumpul di padang mahsyâr tempat melakukan perhitungan bagi semua manusia diletakkan, yakni diberikan kitab yang merinci amal-amal masing-masing. Ada dua tipe orang yang dikemukan dalam ayat tersebut, pertama orang yang beriman dan beramal saleh yang merasa gembira ketika melihat catatan amal-amalnya, sedangkan tipe yang kedua adalah para pendurhaka baik musyrik maupun muslim tetapi bergelimang dosa, tipe orang yang kedua ini merasa ketakutan seraya mereka berulang-ulang berkata: “Hai kecelakaan kami hadirlah”. Dan di akhir ayat ditutup dengan “Dan Tuhanmu tidak

Selanjutnya al-Syaukani dalam menafsirkan surat al-An‛âm (6) ayat 160 sebagai berikut:

ﻙﻟﺫ ﺏﻘﻋ ﻥﻴﺒ ﺩﻋﻭﺘ ﺎﻤﺒ ﻪﻟ ﻥﻴﻔﻟﺎﺨﻤﻟﺍ ﻪﻨﺎﺤﺒﺴ ﺩﻋﻭﺘ ﺎﻤﻟ " ﺎﻬﻟﺎﺜﻤﺃ ﺭﺸﻋ ﻪﻠﻓ ﺔﻨﺴﺤﻟﺎﺒ ﺀﺎﺠ ﻥﻤ " ﻥﻤ ﺓﺩﺤﺍﻭ ﺔﻨﺴﺤﺒ ﺀﺎﺠ ﻥﻤ ﻥﺄﺒ ﻡﻬﻟ ﻪﻋﺭﺸ ﺎﻤﻟ ﻥﻴﻠﺜﺘﻤﻤﻟﺍ ﻪﺒ ﻡﻫﺭﻤﺃ ﺎﻤﺒ ﻥﻴﻠﻤﺎﻌﻟﺍ ﺀﺍﺯﺠ ﺭﺍﺩﻘﻤ ﻯﺯﺠﻴ ﻼﻓ " ﺔﺌﻴﺴﻟﺍ لﺎﻤﻋ ﻷﺍ ﻥﻤ ﺔﺌﻴﺴﻟﺎﺒ " ﺀﺎﺠ ﻥﻤﻭ " ﺕﺎﻨﺴﺤ ﺭﺸﻋ ﺀﺍﺯﺠﻟﺍ ﻥﻤ ﻪﻠﻓ ﺕﺎﻨﺴﺤﻟﺍ ﺔﺌﻴﺴ ﻰﻠﻋ ﻯﺯﺎﺠﻴ ﻙﺭﺸﻤﻟﺎﻓ ،ﻡﻅﻌﻟﺍﻭ ﺔﻔﺨﻟﺍ ﻲﻓ ﺎﻫﺭﺩﻗ ﻰﻠﻋ ﺎﻬﻴﻠﻋ ﺓﺩﺎﻴﺯ ﻥﻭﺩ ﻥﻤ " ﺎﻬﻠﺜﻤ ﻻﺇ ﺩﺭﻭ ﺎﻤﻤ ﺎﻬﻠﺜﻤﺒ ﺎﻬﻴﻠﻋ ﻯﺯﺎﺠﻴ ﻥﻴﻤﻠﺴﻤﻟﺍ ﻥﻤ ﺔﻴﺼﻌﻤﻟﺍ لﻋﺎﻓﻭ ،ﺭﺎﻨﻟﺍ ﻲﻓ ﻩﺩﻭﻠﺨﺒ ﻙﺭﺸﻟﺍ ﻪﻴﻠﻌﻓ ﺍﺫﻜ لﻤﻋ ﻥﻤ ﻥﺄﺒ ﺔﺤﺭﺼﻤﻟﺍ ﺙﻴﺩﺎﺤﻷﺍ ﻥﻤ ﺭﻴﺜﻜ ﻙﻟﺫﺒ ﺩﺭﻭ ﺎﻤﻜ ﺕﺎﺒﻭﻘﻌﻟﺍ ﻥﻤ ﻩﺭﻴﺩﻘﺘ ﻑﻘﻨ ﻡﻟ ﻥﺇﻭ ﻪﻠﺜﻤﺒ ﷲﺍ ﻪﻴﺯﺎﺠﻴ : لﻭﻘﻨ ﻥﺃ ﺎﻨﻴﻠﻌﻓ ﺏﻭﻨﺫﻟﺍ ﻥﻤ ﺭﻴﺩﻘﺘ ﻪﺘﺒﻭﻘﻌﻟ ﺩﺭﻴ ﻡﻟ ﺎﻤﻭ ،ﺍﺫﻜ ﻩﺩﻤﻐﺘ ﻭﺃ ﻪﺘﺎﺌﻴﺴ ﻪﺘﺎﻨﺴﺤ ﺕﺒﻠﻏ ﻭﺃ ﺏﺎﺘ ﺍﺫﺇ ﺎﻤﺃ ،ﺏﺘﻴ ﻡﻟ ﻥﺇ ﺍﺫﻫﻭ ،ﻪﺒ ﻯﺯﺎﺠﻴ ﺎﻤ ﺔﻘﻴﻘﺤ ﻰﻠﻋ

ﹰﺎﺤﻴﺭﺼﺘ ﺍﺫﻬﺒ ﺔﺤﺭﺼﻤ ﺔﻨﺴﻟﺍﻭ ﺏﺎﺘﻜﻟﺍ ﺔﻟﺩﺃﻭ ،ﺓﺍﺯﺎﺠﻤ ﻼﻓ ﻪﺘﺭﻔﻐﻤﺒ ﻪﻴﻠﻋ لﻀﻔﺘﻭ ﻪﺘﻤﺤﺭﺒ ﷲﺍ " ﻥﻭﻤﻠﻅﻴ ﻻ " ﺔﺌﻴﺴﻟﺎﺒ ﺀﺎﺠ ﻥﻤﻭ ﺔﻨﺴﺤﻟﺎﺒ ﺀﺎﺠ ﻥﻤ ﻱﺃ " ﻡﻫﻭ " ،ﺏﺎﺘﺭﻤﻟ ﺏﻴﺭ ﻩﺩﻌﺒ ﻰﻘﺒﻴ ﻻ

٢٢٠

. ﻥﻴﺌﻴﺴﻤﻟﺍ ﺕﺎﺒﻭﻘﻋ ﺓﺩﺎﻴﺯﺒ ﻻﻭ ﻥﻴﻨﺴﺤﻤﻟﺍ ﺕﺎﻨﺴﺤ ﺏﺍﻭﺜ ﺹﻘﻨﺒ

“Barangsiapa membawa amal yang baik, Maka baginya (pahala) sepuluh kali lipat amalnya” sebagaimana Allah telah janjikan kepada orang-orang yang telah berbuat baik sesuai ukuran orang yang melakukan apa yang diperintahkan kepada mereka dan melakukan apa yang disyariatkan kepada mereka karena orang yang melakukan kebaikan satu kali saja maka pahalanya sepuluh kali lipat “dan barangsiapa yang melakukan kejahatan” yakni perbuatan-perbuatan yang jahat “Maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang” tanpa ada tambahan sesuai dengan apa yang dia lakukan, baik itu dosa ringan ataupun dosa besar. Adapun orang musyrik akan dibalas perbuatan syiriknya kekal di dalam neraka. Sementara orang yang

220 Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid II, h. 233-234.

maksiat dari kalangan orang-orang muslim maka akan di balas seimbang dengan perbuatan kejahatannya sebagaimana telah banyak disinggung dalam hadits-hadits yang shohih “bahwa orang yang melakukakan kejahatan maka sisksaannya akan seimbang, dan apabila tidak diketahui ukuran siksaannya maka kita seharusnya mengatakan”semoga Allah membalas seimbang dengan dosanya, dan apabila tidak diketahui juga hakikat balasan dari Allah berarti dia belum bertaubat, dan jika sudah bertaubat atau perbuatan baiknya lebih banyak dari pada perbuatannya jahatnya atau Allah memberikan rahmat-Nya dan mengaruniai ampunannya maka tidak ada siksaan dari Allah, dalil Al-Qur’an dan Sunnah Nabi sudah jelas tidak bisa diragukan lagi “dan mereka” yakni orang yang melakukan kebaikan dan orang yang melakukan kejahatan. “Tidak akan dianiaya” dengan mengurangi pahala orang-orang yang melakukan kebaikan dan tidak pula menambah siksaan orang-orang yang melakukan kejahatan.

Ayat di atas, menunjukkan pembalasan Allah sungguh adil. Menarik dari paparan penafsiran ayat dia atas, jika diperhatikan dengan seksama, ketika Allah berfirman “Barang siapa yang membawa amal yang baik, maka baginya sepuluh kali lipat”, sedangkan sebaliknya “barang siapa membawa perbuatan yang buruk, maka dia tidak diberi pembalasan melainkan seimbang dengannya”. Hal ini menunjukkan ketika seseorang melakukan satu amal kebajikan saja, maka Allah membalasnya dengan sepuluh kali lipat, dan itulah karunia Allah, tapi tidak dengan kejahatan, Allah tidak mengganjarnya sepuluh kali, namun disini Allah menjatuhkan sangsi atasnya, selain itu, tidak sedikit keburukan hamba dimaafkan-Nya.

Dalam pandangan aliran kalam rasional, keadaan Tuhan berkaitan erat dengan janji-janji Tuhan yang mestinya ditepati oleh Tuhan sendiri. Sedangkan janji-janji Tuhan itu sendiri erat kaitannya dengan kebaikan manusia. Oleh sebab itu, bila Tuhan tidak menepati janji-Nya, itu berarti Dalam pandangan aliran kalam rasional, keadaan Tuhan berkaitan erat dengan janji-janji Tuhan yang mestinya ditepati oleh Tuhan sendiri. Sedangkan janji-janji Tuhan itu sendiri erat kaitannya dengan kebaikan manusia. Oleh sebab itu, bila Tuhan tidak menepati janji-Nya, itu berarti

Yang ditekankan di sini adalah sisi keadilan Tuhan. Berbeda dengan penggalan yang lalu, di sana yang ingin ditekankan adalah sisi kemurahan- Nya. Perlu dicatat bahwa kemurahan Allah akan diperoleh juga jika kejahatan yang telah direncanakan dibatalkan oleh kesadaran perencanaan,

karena kesadaran dan pembatalan itu dinilai sebagai satu kebajikan.

Sejalan dengan itu, al-Syaukani berpendapat bahwa Tuhan tidak akan menyalahi janji-Nya yang telah dibuat sendiri. Demikian penjelasan al- Syaukani ketika menafsirkan surat ‘Âli Imrân (3) ayat 9 sebagai berikut:

“Sesungguhnya Allah tidak menyalahi janji” sebagai alasan adanya jaminan terhadap orang yang memegang janji pada sebelumnya, yaitu bahwa memegang janji adalah memberikan keputusan dihadapan Allah dan janjinya yang menyalahi Allah seolah-olah dia meniadakan Allah.

Sejalan dengan pemikiran kalam rasional, pemikiran al-Syauakani di atas, juga mengandung konsep adanya kewajiban Tuhan sendiri yang dibuat- Nya. Jadi, masalah keadilan Tuhan dalam pandangan al-Syaukani sejalan dengan paham keadilan Tuhan menurut pemikiran kalam rasional.

Muhammad ibn Ali Muhammad al-Syaukânî, Fath al-Qadîr, Tahqîq dan takhrîj Sayyid Ibrâhîm, (Kairo-Mesir: Dâr al-Hadîs, 2007), jilid I, h. 332.

Pemahaman keadilan Tuhan menurut al-Syaukani mengandung makna keadilan yang diletakkan pada kepentingan dan kemaslahatan manusia. Tuhan dikatakan adil, apabila Dia tidak berbuat berdasarkan kehendak dan kekuasaan mutlak-Nya. Bahkan, al-Syaukani tegas di akhir penafsiran ayat di atas, bahwa memegang janji adalah memberikan keputusan dihadapan Allah dan janjinya yang menyalahi Allah seolah-olah dia meniadakan Allah. Maka janganlah bermain-main dengan janji, karena menyalahi janji, berarti meniadakan Allah. Demikian penafsiran al-Syaukani.